Hari Kemerdekaan
Siapa bilang di balik orang sukses itu ada mantan yang menyesal? Itu salah. Kesalahan yang ngawur belaka. Yang benar itu, di balik orang sukses pasti ada mantan yang nyeseeell … banget.
Sebenarnya setiap malam adalah sama. Yang membedakan
adalah status orang yang memikirkannya. Bagi para jomblo seperti saya, malam
hari itu ujian. Apalagi kalau malam minggu. Berat (Red: akibat tumpukan tugas
kuliah kelas karyawan).
Drrt … drrt …
Ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk membuatku sedikit
terkejut nyaris terjun ke dunia tarik suara. Teriak.
“Assalamu’alaikum.” ucapan salam tanpa emot dari Iqbal
Ramadhan, Sang Mantan Terindah.
Aku langsung menahan senyum yang girang takut
kebablasan. Mengejutkan. Tapi kemudian syok dengan hidung kembang-kempis
melihat foto profilnya adalah seorang perempuan berhijab, meski dari
belakangnya saja.
“Mau apa nih orang? Bikin mellow malam minggu saja,” gumamku. Meski akhirnya kubalas, “wa’alaikumussalam.”
“Alhamdulillah, dibalas. Khawatir gak dibalas, kirain
diblokir.”
Asal dia tahu saja, waktu dia memutuskanku tiga tahun
lalu secara tiba-tiba padahal aku sedang sayang-sayangnya, langsung kublokir
nomor ponselnya. Bahkan akun facebooknya dan segera unfollow Instagramnya juga.
Tiga tahun, saudara-saudara sebangsa dan setanah air!
Meski tidak selama Bangsa Belanda menjajah negeriku kala itu, tapi selama tiga
tahun itu aku merasa dijajah masa lalu. Rasanya seperti tiga abad alias tiga
ratus tahun. Beda setengah abad memang dengan lama masa penjajahan pemerintah kolonial
Belanda. Tapi itu sudah cukup membuatku setengah mati, kehilangan setengah
harapan hidup untuk bahagia lagi.
Tapi dua hari lalu, seorang teman mengabariku kalau Iqbal
Ramadhan Si Mantan Terindah tengah mencariku. Antara penasaran dan rasa ingin
balas dendam, akhirnya kutitip pesan untuk coba lagi menghubungiku dengan
alasan ponselku sempat sakit dan masuk rumah sakit alias di servis. Itu Hoax.
Dan benar saja, Si Mantan Terindah itu menghubungiku.
“Hehehe, ada apa ya? Tumben.” Sekuat hati aku berdo’a
semoga bukan bermaksud mengirimi undangan pernikahannya.
“Gak apa-apa. Baru pulang kajian. Bahas tentang
singlelillah, terus inget kamu.”
Oh … no …
ini kali pertama aku bahagia disebut single.
Apakah ini pertanda baik?
“Kok inget aku?”
“Iya, aku baca di facebook kamu. Akhirnya karyamu
debut juga. Novel ‘A Moment To Decide’. Selamat, ya … gak nyangka. Itu kan
novel yang dulu sering kamu certain ke aku, waktu kita masih jadian. Jaman
sekolah dulu.”
Mendadak aku tersipu, merasa menjadi sosok Milea-nya
Dilan. Bagusnya ada backsong, ‘dulu kita
masih remaja, usia anak SMA …’
“Masih ingat, ya?”
“Iya, dong. Aku suka ceritanya. Tentang seorang jomblo
yang bertahan gak pacaran demi laki-laki impiannya, kan? Based on true story, kamu banget, tuh. Hahahaha.”
Sapu mana, sapu! Kalau dia ada di depanku, rasanya
ingin menggetok jidatnya yang lebar kali panjang alias luas itu.
“Maaf. Tapi sepertinya kamu salah orang, deh. Novelku
memang akan debut, judulnya memang itu. Mungkin aku memang single dan memang benar gak pacaran. Tapi novelku isinya bukan
tentang jomblo seperti yang kamu bilang.”
“Eh? Sudah direvisi, ya?”
Whatever.
“Iya, tahu deh … yang punya pacar … Saya mah apa atuh,
cuma jomblo yang menunggu dihalalkan.”
“Siapa yang punya pacar? Dosa tahu, pacaran.”
“Lah terus, Nur Rani? Bukannya dia pacar sahnya kamu,
ya?” pepet terus, pantang kendur.
“Udah deh, jangan bahas dia. Lagi gak mau bahas dia.
Dia bukan pacar aku lagi.”
“Lho? Udah nikah? Gak ngundang-ngundang. Nikah dimana?
Di Palu apa di Jakarta?”
Yiiha!
“Kita udahan dua bulan lalu. Aku cuma mau tahu kabar
kamu aja, kok.”
Mulai, deh…
“Kabar baik.” Keep
cool, padahal deg-deg serr.
“Sedang apa?”
“Menunggu WA dari calon imam.”
“Masya Allah … kamu bisa aja.”
Setidaknya jebakan batman sudah menangkap calon
korbannya.
“Kamu sendiri sedang apa? Sudah salat? Sudah makan
belum?”
“Alhamdulillah, sudah. Terima kasih ya, diingatkan.
Kamu gak berubah, masih suka perhatian.”
“Iya, sesama muslim harus saling mengingatkan. Nanti
kalau kamu gak solat kamu gak masuk surga. Kalau kamu gak makan, sakit terus
meninggal gimana? Pertama, kamu gak bisa lihat aku bahagia sama calon imamku di
pelaminan dua minggu lagi. Kedua, kalo kamu gak masuk surga, kamu gak bisa lihat
aku bahagia sama imamku itu berkumpul lagi di surga Allah, insya Allah. Karena
cinta itu, mengajak menikah dan ke surga bukan pacaran terus diputusin pas lagi
sayang-sayangnya.”
Beberapa detik lamanya sunyi. Tidak ada balasan apa
pun meski status pesanku ceklis dua berwarna biru dan Iqbal Ramadhan sedang
Online.
“17 Agustus 2018. Nanti mampir ke rumahku ya! Bukan cuma
sekedar hari kemerdekaan bangsa Indonesia, tapi juga hari kemerdekaanku atas
masa lalu.”
Sekian.
By Dian Dhie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar