From This Moment
Ini berbagi pengalaman saya tentang menikah dan berumah tangga, memulai dengan kesadaran sendiri untuk berpisah tanggung jawab dari orang tua…
Saya menikah di usia 24 Tahun, meleset 4 tahun dari cita-cita saya. Saya terinspirasi tokoh Yukiko Kudo, ibu dari detektif favorit saya di serial komil Detective Conan, Shinici Kudo. Yukiko itu, artis terkenal yang menikah di usia 20 tahun, meninggalkan semua ketenarannya demi seorang novelis misteri, Yusaku Kudo. Yah, walaupun tidak sepenuhnya lepas dari ketenaran, sih…
Itu kan fiksi dan kebetulan ceritanya dia artis…kalau saya?
Ingin sekali menikah di usia 20 tahun, karena merasa muda dan kelak kalau saya punya anak, saya akan merasa tetap muda, berjiwa muda jadi teman yang klop dengan anak saya ketika beranjak dewasa nanti.
Realitanya, muda itu hanya pembungkus sementara. Ada yang bisa apik terbungkus hingga saatnya pembungkus itu lepas sendiri, ada juga yang tidak sabaran sampai mengkoyak pembungkusnya sendiri.
Orang yang apik alias sabar menekuni pernikahan di usia mudanya dengan apa adanya, tidak mengedepankan ego dan terus tekun menjalani pernikahan dengan komitmen harus utuh. Lambat laun, waktu yang terus berjalan alias menghitung mundur akan mendewasakan mereka. Mereka ini yang selamat dari ombang-ambingnya ambisi muda.
Ada juga orang yang tidak sabaran, terlalu melihat masalah, mencari siapa yang salah dan memilih ‘sign out’ dari pada pusing. Toh, akan dimaklumi karena ada stigma ‘masih muda’ sebagai cara memaklumi kalau nanti gagal memelihara pernikahan.
Nah, mungkin saya termasuk karakter yang kedua, jadi Allah tidak ijinkan saya menikah di usia 20 tahun. Lagi pula, sebagai alumni jomblo, saya termasuk jomblo kelas berat. Susah dekat dengan lawan jenis dan membina hubungan, sekedar teman misalnya. Saya sibuk bekerja setelah lulus sekolah dan sibuk baca novel. Baca novel di sisa waktu senggang sambil ngemil di kasur atau di sofa lalu ketiduran. Bagaimana saya bisa mencari jaringan pertemanan di luar sana? Saya pun malas hangout atau nongkrong haha-hihi…
Jodoh adakalanya tidak sama dengan rezeki. Kalau jodoh tidak akan kemana walau kita mengurung diri sekalipun, kalau rezeki tidak bisa tidak kemana kalau tidak kemana-mana.
Walau pun saya kuper atau kudet, tapi saya tetap bisa bertemu jodoh saya. Walau hanya beberapa detik di depan wali dan penghulu. Sisanya cukup Allah yang tahu dan saya hanya bisa berusaha.
Suami saya, 2 tahun lebih muda dari saya. Wih…brondong…hheee. Waktu itu, pola pikir pria yang kini jadi suami saya, sangat jauh lebih dewasa dari pada saya. Sekarang mungkin iya, tapi saya lebih cenderung memberontak dan suami saya seorang penyabar.
Terus terang, sebenarnya itu pun saya merasa terburu-buru menikah karena saya tidak mau menikah lebih dari usia 25 tahun. Karena saya punya mimpi, memiliki sebuah keluarga yang harmonis dan fresh! Kalau saya menikah di atas usia 25 tahun, berapa banyak waktu normal yang saya punya untuk anak-anak saya?
Kalau saya menikah muda, saya merasa sedikitnya punya kesempatan memperbaharui cara pikir dan semangat update knowledge-nya masih ada jadi, saya merasa akan jadi orang tua yang bersahabat untuk anak-anak saya.
Yah, itu kembali pada karakter masing-masing. Oke, lepas dari situ…
Orang bilang, menikah itu enak. Iya betul. Semua halal bahkan berpahala. Tapi awal kehidupan pernikahan tidaklah mudah. Itu juga betul sekali. saya baru menikah selama 4 tahun, rasanya belum pantas membanggakan pernikahan yang seumur anak TK.
Tapi tak apa, saya pikir hikmah bisa terjadi kapan saja asal kita sadari dan syukuri. Pengalaman ini, semoga menjadi penguat saya untuk bertahan sampai akhir hayat.
Setelah menikah, yang rencana awalnya akan menetap sementara di rumah orang tua saya, berubah ke rumah mertua saya. Sambil menunggu rencana selanjutnya, mencari rumah idaman sendiri.
Entah stress entah lelah, waktu itu saya divonis terkena kista. Berbulan-bulan mengikuti pengobatan, kista tetap ada dan saya mengalami haid selama dua hari, setiap dua hari sekali. rasanya sakit dan lelah.
Juli 2012 menikah, Agustus sakit kista, Desember pengajuan KPR, Januari tahun selanjutnya disetujui dan akad kredit.
Alhamdulillah, punya rumah idaman walau sangat mungil tapi puas. Dan, oh! Rezeki luar biasa, saya hamil!
Setelah tahu hamil di akhir Januari, selama sembilan bulan mengandung penuh suka-duka, oktober 2013, saya mempunyai bayi. Alhamdulillah…
4,5 bulan kemudian, musibah datang…suamiku kecelakaan.
Awal maret, hari Jum’at. Baru saja ia mengantar saya selamat sampai di tempat kerja. Baru saja saya selesai merapikan diri dengan seragam kerja dan siap mengolah pikiran, tiba-tiba dapat kabar buruk.
Alhamdulillah, suami saya masih selamat. Hanya saja, tangan kanannya patah dan harus dioperasi. Operasi besar karena tulang antara sikut dengan pergelangan tangan kanannya patah total bahkan menembus dagingnya.
Berat dan saya belum tahu kenapa saya tidak menangis. Saya baru menangis ketika semua orang sudah pulang, hanya tinggal kami berdua di kamar perawatan.
“Maaf, aku belum bisa membahagiakanmu. Malah memberimu beban berat seperti ini. Anakku, bahkan aku belum bisa membelikannya sesuatu dengan uangku sendiri.”
Baru saya menangis, “Tidak apa, kamu selamat pun aku sudah sangat berterima kasih. Tidak bisa kubayangkan jika sebaliknya.”
Sejak saat itu, meski kondisi suami saya tampak normal seperti orang pada umumnya, tapi mencari pekerjaan selalu mentok di riwayat patah tulangnya itu.
Jadilah saya, seorang ibu, wanita karier dan tulang punggung keluarga juga.
Tapi saya tahu, suami saya belum menyerah. Dia tetap saja berusaha mencari pekerjaan yang dia bisa untuk meringankan saya dan membuat mimpi saya jadi kenyataan, menjadi Ibu Rumah Tangga seutuhnya.
Saya tidak pernah menyuruh, tapi suami saya bergerak sendiri meringankan beban saya di rumah. Meski tidak serapih dan sebersih perempuan membereskan rumah, tapi suami saya sudah berusaha.
Mencuci pakaian, memasak dan menyetrika. Sesekali ia menyapu dan mengepel. Sementara urusan menjaga bayi, ibunya atau neneknya anak saya yang membantu.
Saya tidak bisa memasak ketika di rumah, karena bayi saya terlalu rindu sampai tidak bisa lepas dari saya. Jadi suami saya menyuruh saya, fokus dengan anak dan biarkan urusan rumah ia ambil alih.
Kalau saya mengikuti ego, ini seperti terbalik. Suami rumah tangga dan istri tulang punggung. Itu kejam, menusuk hati walau tampak demikian. Tapi, kembali ke awal, menikah di usia yang cukup, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, seperti saya, 24 tahun baru menikah, baru saya sadari ada untung dan maksud Allah yang baik di sana.
Berpikir tidak kekanak-kanakan yang selalu menuntut hak ketimbang kewajiban. Menimbang tidak kolot yang selalu menuntut hasil timbal balik yang mutualisme. Bagaimana jika, saya ingat-ingat moment indah masa sulit ini, seperti..
Terbiasa bangun sebelum adzan subuh. Saya merapikan pakaian Si Kecil dan keperluannya, lalu merayu Si Kecil untuk bangun supaya tidak tiba-tiba dibangunkan dan langsung mandi. Sambil itu, saya merapikan kamar dan ruangan lain. Suami saya mencuci piring dan memasak air panas untuk mandi anak kami.
Setelahnya dia mandi dan shalat subuh. Kemudian, dia sigap mengambil alih memasak sarapan di dapur. Saya mandi lalu shalat subuh. Setelah Si Kecil berhasil mengumpulkan seluruh nyawanya, barulah saya ajak dia mandi, sekarang agak lama karena perlu waktu membujuknya sikat gigi dan mencuci rambut.
Setelah itu, saya sibuk merapikan Si Kecil, suami siap dengan sarapannya. Bahkan dia membekali saya makan siang, merapikan tas kerja dan seisinya pula. Termasuk satu set perlengkapan memerah ASIP yang selalu dia siapkan.
Kemudian kami sarapan bersama. Begitu setiap hari.
Sering dengar kalau suami-istri bertengkar, ‘dasar suami tidak berguna? Dasar istri tidak berguna?’
Rasanya sakit mendengarnya, hati saya pun sakit jika mencoba mengucap itu meski dalam hati. Kenapa? Karena, saya bisa apa tanpa suami saya…
Saya pelupa. Setiap sudah mau berangkat, baru ingat kacamata, HP, kunci laci, botol ASI kurang dan lain-lain.
Bagaimana saya akan lancar bekerja jika, sulit melihat jarak agak jauh tanpa kacamata? Berkomunikasi dengan relasi tanpa HP? Membuka laci mengambil ATK atau berkas tanpa kunci laci meja kerja? Menahan rasa nyeri jika terlewat waktu pumping ASI karena lupa bawa botol ASI atau pump set-nya?
Setiap pagi, suami saya yang bosan mengingatkan ini itu dan tetap saja saya lupakan, sudah menyiapkan semuanya. Di tas saya, sudah ada HP, kacamata, kunci laci, satu set prelengkapan pumping, bahkan bekal makan siang walau di tempat kerja saya dapat jatah makan siang.
Ketika pulang kerja, lelah dan lapar. Dia menyuruh saya segera mandi lalu ambil alih Si Kecil dari neneknya, tidak usah repot ini itu. Suami saya sibuk menyiapkan makan untuk saya.
Atau ketika saya sakit, anemia saya yang kambuh atau maag saya yang kambuh. Pijatan yang meringankan nyeri di kepala tidak pernah tidak ia berikan ketika saya sakit. Juga pijatan di kedua kaki saya ketika dia lihat saya sangat lelah.
Atau ketika semua sudah siap, ketika saya akan berangkat kerja, saya tertegun di depan lemari. Seragam saya sudah bersih, rapi di setrika, harum dan lembut tergantung siap dipakai. Selama libur, saya tidak terpikirkan, seragam saya besok bagaimana? Suami saya membuat liburan saya benar liburan. Tidak memikirkan setumpuk pakaian yang belum disetrika.
Maka, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?
Dia terus begitu sampai kami punya dua orang anak yang cantik-cantik, cerdas dan sehat.
Ketika banyak perempuan mengeluh lelah dengan urusan rumah, saya tidak. Kecuali libur, tentunya. Ketika banyak suami enggan membantu pekerjaan istrinya, suami saya sebaliknya.
Kadang saya sedih, melihat sampai seperti itu suami saya. Apa dia tidak malu? Apa jawabannya?
“Malu. Tapi apa yang bisa saya lakukan untuk istri dan anak saya? Hanya ini yang bisa saya berikan. Saya juga terus berusaha mencari pekerjaan, supaya kamu tidak lelah dan sakit karena bekerja. Saya hidup, makan dari jerih payah istri saya. Rasa malu saya tidak sebesar rasa sedih saya, kalau tidak bisa berbuat apa-apa.”
Hanya itu.
Hanya Allah yang tahu seperti apa dia dan bagaimana usahanya. Biarlah orang menghina dan merendahkannya, asal jangan Allah dan saya yang menghinanya.
Saya?
Iya, kalau mulut saya keji mengatakan ‘suami tidak berguna?’. Hatinya pasti hancur, sakit dan perih. Membayangkannya saja, hati saya ikut perih. Tidak tega.
Saya, semoga tidak menjadi istri yang membangkang. Biarlah saya menjadi ibu-ibu yang kuper dengan ibu-ibu lainnya, supaya tidak terpancing curhat salah jalur, menjadi bahan cibiran, mengeluhkan kekurangan, menjadi ajang pamer dan berakhir pada iri. Naudzubillah…
Mulai saat ini, semua kebaikannya akan selalu saya ingat.
Mulai saat ini, saya akan mendukung dan membantu suami saya supaya Allah menaikkan derajatnya.
Mulai saat ini, yang harus saya pahami adalah hidup berumah tangga bukan hanya cinta, tapi komitmen.
Cinta yang tulus, tidak akan berubah menjadi benci dan memusuhi. Juga tidak akan tega pasangannya tersakiti meski oleh mulutnya sendiri.
Jika cinta bisa dibanding-bandingkan, lalu luntur seiring waktu, komitmen harus kuat. Bahwa komitmen awal menikah adalah, hidup bersama susah senang dan membuat rumah kecil yang isinya hanya ayah, ibu dan anak-anak. Bukan rumah tangga, jika hanya ayah dan anak-anak atau ibu dan anak-anak. Maka peganglah komitmen itu, meski mungkin cinta sudah menipis jangan bercerai, jangan berpisah, teruslah bersama-sama.
“Bertahanlah Sekuat Hati, Bukan Sekuat Tenaga. Karena Hati, Bisa Menguatkan Fisik yang Lemah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar