Review Putusan MK tentang LGBT & Kumpul Kebo
Apakah tindakan kumpul kebo tidak termasuk dalam kategori asusila? Bukankah ada hukum pelarangan asusila?
Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
Perbuatan perzinahan tidak sama dengan perbuatan asusila sehingga pelaku perzinahan tidak dapat dituntut atas perbuatan asusila juga. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Pada dasarnya, KUHP tidak memberikan arti pelanggaran kesusilaan (perbuatan asusila) itu secara eksplisit. Namun, Soesilo menjelaskan antara lain bahwa arti “kesusilaan” memiliki keterkaitan dengan kesopanan, perasaaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan perempuan, memperlihatkan anggota kemaluan, mencium (hal. 204).
Ini artinya, perbuatan asusila adalah perbuatan yang berhubungan dengan merusak kesopanan dalam lingkungan nafsu berahi kelamin seperti pada contoh-contoh di atas. Akan tetapi, hal penting yang perlu dilihat adalah sejauh mana pelanggaran kesusilaan (perbuatan asusila) itu dilakukan. Perlu pengamatan hukum dengan mengacu pada adat istiadat yang ada untuk melihat konteks asusila di sini, misalnya dilakukan di tempat umum.
Bisakah kita menilai sesuatu karena sebab-akibatnya, sehingga kita bisa menentukan sesuatu apakah layak dicegah atau dibiarkan? Ketika sudah layak dicegah, maka perlu adanya kejelasan hukum yg tujuannya adalah Preventif, mencegah akibat dari sebab itu sendiri.
Apakah LGBT dan Kumpul Kebo bisa menjadi 'sebab'? Apakah 'akibat'-nya?
1. 78% Pelaku homoseksual terjangkit penyakit kelamin :
Penelitian yang dilakukan selama tahun 2001, 2003, dan 2005, yang penelitian tersebut dengan 1.493 pria dan 918 wanita mengaku sebagai gay dan lesbian. Ada sebanyak 1.116 wanita mengaku berorientasi biseksual (Prof. DR. Abdul Hamid Al-Qudah : Kaum Luth Masa Kini hal 65-71)
Prof. DR. Abdul Hamid Al-Qudah, dia adalah seorang spesialis penyakit kelamin menular dan AIDS di asosiasi kedokteran Islam dunia (FIMA)
2. Pelecehan seksual terhadap anak-anak :
33% pelecehan seksual pada anak-anak di Negara Amerika Serikat dilakukan oleh kaum homoseksual, dimana yang cukup mencengangkan bahwa populasi kaum homo ini sebenarnya hanya 2% dari keseluruhan penduduk Amerika.
Yang hal itu berarti bahwa 1 dari 20 kasus homo seksual bentuknya adalah pelecehan seksual pada anak-anak.
Adapun 1 dari 490 kasus perzinaan bentuknya adalah pelecehan seksual pada anak-anak (Psychological Report, 1986, 58 pp. 327-337).
3. HIV/AIDS :
Virus HIV ini umumnya oleh orang-orang dikaitkan dengan masalah hubungan seksual bebas, termasuk sering berganti pasangan.
Pada sebuah studi yang dilakukan, didapatkan data-data bahwa seorang gay punya pasangan antara 20-106 orang per tahunnya. Adapun pasangan zina (pasangan hetroseksual tetapi di luar pernikahan) tidak lebih dari 8 orang seumur hidupnya.
Pada penelitian yang serupa, bahwa sekitar 43% dari golongan kaum gay, yang didapatkan data-datanya dengan pencermatan yang teliti.
Ditemukan bahwa sekitar 43% kaum gay tersebut selama hidupnya melakukan homo seksual dengan 500 orang bahkan lebih.
Bahkan, diantaranya itu ada sekitar 28% yang melakukannya dengan lebih dari 1000 orang.
Sekitar 79% dari mereka mengatakan bahwa pasangan sejenisnya itu merupakan orang yang tidak dikenalinya sama sekali.
Bayangkan, berapa % peningkatan dan penyebaran HIV/AIDS melalui satu orang pelaku homoseksual saja, jika 1 orang gay punya 20-106 pasangan??
4. Kanker Mulut dan Kanker Anal :
Kemungkinan besar pelaku gay terkena kanker karena virus HPV (Human Papillomavirus). Dimana kemunculannya tersebut ditularkan dengan melakukan hubungan seksual seperti itu, yang akhitnya menjadi penyebab tubuh terkena kanker anal.
Kalau diperhatikan bahwa cara hubungan seksual dari pelaku gay yaitu melakukan seks anal, sehingga pelaku gay ini sangat berisiko tinggi terkena kanker anal.
Adapun kasus kanker anal yang terbanyak terjadi ditemukan pada pria gay yang juga positif terkena virus HIV. Dan tingkat kedua terbanyak pasien kanker anal yaitu pria gay yang tidak terjangkiti virus HIV. Sehingga penyakit kanker anal ini dapat dikatakan dimonopoli oleh pelaku gay ini.
Dari informasi di situs Dallasvoice.com, dilakukan sebuah studi di New England Journal of Medicine, dan hasil penelitian yang dilakukan tersebut menemukan kesimpulan bahwa rokok bukanlah satu-satunya yang menjadi penyebab kanker mulut.
Bahkan pihak yang berisiko paling tinggi terkena kanker mulut yaitu mereka yang melakukan oral seks dengan enam atau lebih dari partner seks yang berbeda-beda.
Sehingga dapat dibayangkan apabila oral seks dilakukan oleh para gay bersamaan dengan banyak partner yang berbeda-beda. Dapat ditebak bahwa kebiasaan “mengerikan” seperti ini jadinya membuat tubuh sangat berisiko tinggi terkena kanker mulut.
5. Meningitis :
Sebuah penggalan tulisan di DetikHealth yang cukup menarik yaitu "New York Diserang Wabah Radang Otak karena Hubungan Seks Sembarangan".
Meningitis sebenarnya bisa disebabkan dari beberapa penyebab, seperti karena terjadinya infeksi mikroorganisme, masalah peradangan tubuh, kanker dan penggunan obat-obatan yang salah.
Dan dari tulisan di DetikHealth itu disebutkan bahwa New York dihebohkan dengan mewabahnya penyakit meningitis akibat penularan dari hubungan seksual, yang ini teutama ditunjukan bagi pelaku LGBT yang melakukan hubungan sesama jenis.
6. Penularan Homoseksual melalui efek psikologis :
"(LGBT) bisa (menular). Tadi yang dikatakan, perilaku itu bisa menular. Penularannya bukan dalam konsep ada virus, ada kuman, bukan. Tapi yang disebut dengan teori perilaku, yaitu teori penularan dari konsep pembiasaan. Dia mengikuti satu pola, akan menjadi satu karakter, jadi kepribadian, jadi pembentuk kebiasaan, dan sebagainya, akhirnya menjadi penyakit. Menularnya dari konteks perubahan perilaku dan pembiasaan," (Dr. Fidiansyah - Psikiater).
Uraian itu hanya sebagian dan bukan untuk diskriminasi kaum LGBT, syukur-syukur jadi cerminan bahwa penelitian itu bertujuan agar mereka sadar, berhenti dan mencegah efek-efek tsb di atas, demi kebaikan dirinya sendiri dan masyarakat lain tentunya.
Bagaimana dengan Kumpul Kebo? Apakah bisa dikategorikan 'sebab' dan punya 'akibat'?
Filosofi Kumpul Kebo
Awalnya, kumpul kebo lahir dari budaya Eropa. Ketika itu, derajat wanita dianggap lebih rendah dibandingkan pria. Wanita tidak mempunyai hak yang sama seperti pria dan selalu dipersalahkan bila tidak dapat memberikan keturunan. Padahal pernikahan tanpa keturunan sebagai penerus dianggap aib. Menyikapi permasalahan ini, kemudian muncul fenomena hidup bersama antara pria dan wanita sebelum diresmikan dalam pernikahan dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya untuk mengetahui apakah wanita yang akan dinikahi dapat memberikan keturunan atau tidak. Bila dari hasil “ujicoba” pasangannya hamil, maka pernikahan antara keduanya akan dilaksanakan. Namun, bila pasangannya tidak hamil, dia dicampakan begitu saja layaknya barang bekas.
Meningkatnya kumpul kebo di negara Barat dilatarbelakangi sejumlah faktor. Pertama, ketidakpercayaan pada institusi pernikahan. Pernikahan di Barat dipandang sebagai hubungan perdata antara pria dan wanita. Layaknya kontrak, ikatan pernikahan bisa dibatalkan setiap saat. Akibatnya, negara seperti AS, Rusia, dan Ukraina memiliki angka perceraian tertinggi di dunia. Hal ini berbeda dengan Indonesia, dimana pernikahan merupakan ikatan lahir bathin yang bersifat sakral dengan mengindahkan nilai-nilai agama (Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan).
Tentunya, negara melarang suatu perbuatan karena mempunyai tujuan baik demi melindungi warganya. Negara mencoba meminimalisir resiko yang timbul di kemudian hari. Begitu pula dengan kumpul kebo, negara ingin memberikan kepastian hukum terhadap pria dan wanita yang ingin hidup bersama dengan ikatan pernikahan. Kumpul kebo, khusus bagi wanita dan anak yang dilahirkan dari hubungan itu, tidak dapat memperoleh jaminan hukum. Pasangan pria bisa saja meninggalkan wanita dan anak biologisnya tanpa pertanggungjawaban karena tidak ada bukti tertulis bahwa mereka pernah berumah tangga. Jangankan untuk kasus kumpul kebo, untuk kasus pernikahan tidak bercatat yang jelas-jelas sah menurut hukum sering menimbulkan polemik dan berujung ke meja hijau. Apalagi kumpul kebo yang tidak jelas status hubungannya.
Jadi kalau negara tidak mengatur, maka jangan protes jika kemudian ada anak hasil dari kumpul kebo atau zina yang dilegalkan menuntut hak waris, sementara hak waris pun ada aturan hukumnya, minimal tercatat dalam sebuah keluarga yang sah, memiliki bukti nikah dan kartu keluarga. Bagaimana jika anak lain dari hasil pernikahan yang sah tidak terima? Bukankah jadi polemik?
Kembali ke pasal 284 KUHP. Aturan yang ada sebelumnya (pasal 284 KUHP) dirasa tidak cukup. Pasal tersebut hanya menjerat pelaku perzinaan yang salah satunya terikat hubungan pernikahan. Bagi mereka yang masih lajang dan melakukan perbuatan itu atas dasar suka sama suka atau tinggal seatap layaknya suami istri tanpa ikatan pernikahan, tidak dapat dipidana. Maka tak heran bila pada tahun 2009, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merilis data yang mengejutkan mengenai prilaku seks bebas di kalangan remaja telah mencapai angka 35,9 persen (Republika, 24 Maret).
Pada saat BKKBN merilis data tersebut, Kumpul kebo dan free sex masih disetujui secara umum sebagai perbuatan terlarang. Bagaimana jika dilegalkan? Meningkat? Pasti. Jika meningkat;
Apakah negara mau menerima keluhan atau aduan hukum dari semakin banyaknya warga negara yang menuntut hak seseorang atas waris orang tuanya yang tidak tercatat di caspil? Sementara terlalu banyak urusan yang lebih penting untuk memajukan bangsa ketimbang mengurus hak dari orang yang tidak mau bertanggung jawab? Apakah salah negara, sementara kumpul kebo suka sama suka, atas kemauan sendiri artinya apa pun resikonya ditanggung sendiri?
Apakah ada orang tua yang baik-baik saja ketika anak hasil kumpul kebonya tidak diakui misalkan, oleh pasangan kumpul kebonya? Bahkan menerima hak pengurusan, pendidikan atau nafkah?
Apakah ada anak yang tidak sedih ketika tidak diakui salah satu orang tuanya karena alasan dicampakan dari hasil hubungan kumpul kebo?
Atau adakah orang tua yang rela anaknya jadi anggota kumpul kebo? Dipermainkan, dicampakkan seenaknya?
Apakah ini hanya tanggung jawab orang tua dan pribadi masing-masing, sementara pemerintah mewajibkan suksesnya negara berawal dari warganya sendiri?
Jawabannya kemudian kita definisikan sebagai ‘akibat’ dari kumpul kebo itu sendiri.
Maka jelas, LGBT adalah sebab dari masalah tsb di atas yang kemudian disebut ‘akibat’. Begitu juga dengan Kumpul Kebo.
Permasalahnnya adalah, akibat tsb akan dibiarkan atau dicegah?
Inilah yang kemudian menjadi tolak ukur, apakah LGBT dan Kumpul Kebo boleh dilegalkan atau dilarang?
@Dikutip dari sejumlah sumber.
Allahu’alam. Semoga Allah melindungi keluarga, sahabat dan keturunan kita dari semua kekacauan ini. Aamiin.
-Ungkapan kesedihan atas keputusan MK tentanag LGBT dan Kumpul Kebo-
![]() |
Lindungi Anak dan Generasi Kita |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar