17 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 2


Chapter 2
Pertemuan yang Memberi Semangat

Lanjutan Dari Chapter 1

Jihan sedang menunggu mangsa di tangga menuju lantai dua kampus. Ia akan membalas Raffi yang sengaja menjebaknya dan bersengkokol dengan Juna dan kawan-kawan. Jihan menyiapkan seember penuh air kotor yang dicampur tanah dan batu kerikil. Terdengar suara orang menaiki tangga. Jihan mengintip sedikit. Beberapa detik kemudian, Jihan berakting keberatan membawa beban lalu berpura-pura oleng. Jihan menumpahkan seluruh isi ember itu tepat ke arah Raffi.
Raffi syok. Dalam sekejap ia basah kuyup dan kotor. Lantai dan tembok sekitarnya ikut kotor. Beberapa orang yang baru akan naik berhenti dan terkejut melihat kejadian itu.
“Hhaa!!” Jihan menutup mulutnya. Syok.
Raffi mengusap wajahnya.
“Maaf, aku sedang buru-buru. Aku baru saja mencuci sandal.” Jelas Jihan.
“Kau sengaja, kan?!!” Raffi berteriak kesal.
“A-aku sudah minta maaf. Aku tidak sengaja!”
Raffi tidak menghiraukan Jihan. Ia mengambil ember itu dan bersiap untuk membalas Jihan. melihat itu, Jihan sigap mengambil langkah seribu menaiki tangga dan kabur. Terjadi aksi kejar-kejaran antara keduanya.
Jihan sangat kuat berlari. Di desa ia biasa berlari mengejar bis yang terlewat saat ketiduran menunggu bis di halte. Jihan berlari dengan wajah puas membalas Raffi. Raffi berteriak-teriak mengejar Jihan sambil membawa ember. Beberapa orang menertawakan mereka. Karena suasana masih pagi, kampus masih agak sepi jadi Jihan bisa leluasa berlari. Jihan menuju tangga di sisi lain untuk turun. Jihan berlari menuruni tangga. Raffi tertinggal cukup jauh dari Jihan. Jihan tertawa menuruni anak tangga.
Bruk!!!
Jihan terjatuh. Ia baru saja menabrak seseorang. Orang yang ditabraknya juga terjatuh. Buku-buku bawaannya jatuh berantakan.
“Ma-maaf…maaf, aku tidak sengaja. Maaf…” Jihan mengambil buku-buku itu.
“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.” Orang itu merapikan jaketnya lalu mengambil buku yang dikumpulkan Jihan.
“Jihan!!!!!” teriak Raffi di sisi lain.
Jihan terkejut. Raffi mendekat. Tapi ia tidak bisa tidak bertanggung jawab terhadap orang yang ditabraknya itu.
“Hey, perempuan jalang!” maki Raffi di atas tangga. Ia sangat geram.
Jihan terkejut. “Aku benar-benar minta maaf, Kak!”
Raffi tidak menggubris Jihan. Raffi melempar ember kosong itu ke arah Jihan. Jihan memejamkan matanya ketakutan dan menghalangi wajahnya dengan kedua tangan. Ember itu terpelanting. Jihan membuka matanya. Orang yang tadi ditabrak Jihan menghalau ember itu. Kemejanya kotor terkena kotoran ember itu.
Raffi ikut terkejut. “Kenapa kau menolongnya??”
“Apa kau tuli? Dia sudah minta maaf!” kata orang itu.
Jihan melongo.
Raffi turun. “Dia pembohong! Perempuan binal ini patut kuhajar!”
Orang itu berdiri menghadang Raffi. “Bicaramu kasar sekali.”
Jihan bersembunyi di balik orang itu.
“Dia sengaja menyiramku dengan air kotor. Lihat ini! Aku kotor dan bau!”
Orang itu melirik Jihan. “Kau sengaja?”
“Tidak. Aku sudah minta maaf dan bilang tidak sengaja.” Jelas Jihan.
“Hey, dasar kau pembual!” maki Raffi yang sigap menyerang Jihan.
Orang itu menghalangi Raffi. “Sudah, bersihkan dirimu! Biar kuurus dia.”
Raffi masih berusaha meraih Jihan.
“Kau tidak mendengarku?!” suara orang itu meninggi.
Raffi menyerah. Dengan kesal ia mundur lalu pergi. Jihan menarik napas lega.
“Namamu Jihan?” tanya orang itu.
Jihan mengangguk.
“Satria Abimanyu. Fakultas ekonomi semester 7.” Satria menyodorkan tangannya mengajak salaman.
Jihan menyambutnya. “Hukum. Semester 1.”
“Sepertinya kau dalam masalah. Ikut aku!” Satria memberi isyarat agar Jihan mengikutinya.

Di ruang sekeretariat Mahasiswa Pencinta Alam.
Jihan masuk mengikuti Satria. Tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa orang di sana. Mereka kebanyakan laki-laki dan sedang sibuk masing-masing. Jihan dipersilahkan duduk. Jihan memandang berkeliling. Ia melihat sebuah gambar struktur organigram. Jihan terkejut membaca sebuah nama di sana.
Ketua – Satria Abimanyu.
“Kenapa?” tanya Satria sambil duduk di sudut meja.
Jihan menggeleng.
“Iya. Aku ketua perkumpulan mahasiswa pencinta alam. Semua mahasiswa di kampus ini mengenalku. Dulu aku ketua BEM. Aku mundur karena lebih sering dan fokus di kegiatan pencinta alam. Seperti, mendaki gunung atau melakukan ekspedisi ke desa-desa terpencil. Karena itu hobiku.”
Jihan tersenyum. Sepertinya ia bertemu dengan orang yang menyenangkan.
“Nah, sekarang ceritakan padaku yang sebenarnya terjadi.”
Jihan terpaku. Ia mencari alasan. “Aku tidak sengaja.”
Satria diam memandang lurus ke arah Jihan. Ia seperti menunggu jawaban lain.
“Itu benar. Aku tidak sengaja.”
Masih diam. Lurus memandang.
“Baiklah, baiklah…” Jihan menyerah dan menceritakan semuanya. Bahwa ia memang sengaja karena Raffi menjebaknya ke arena renang dan membuat ia hampir mati tenggelam.

Jihan keluar ruangan. Ia berhenti sejenak lalu memandangi pintu ruang itu. Tidak lama, Jihan tersenyum.
“Satria Abimanyu. Dia tampan juga. Semoga dia baik dan menyenangkan,” Jihan melangkah sambil tersenyum. “Aku akan ikut perkumpulan itu. Mungkin saja aku bisa dekat dengannya.”
Jihan berjalan menuju kelasnya. Ia melihat Juna dan teman-temannya di ujung koridor. Jihan memperlambat jalannya. Ia baru saja membalas Raffi tapi belum mempersiapkan pembalasan untuk Juna dan teman-temannya.
“Ibu, tolong aku. Jangan biarkan aku bertemu dengan orang itu sekarang. Aku baru saja merasa senang, semoga tidak secepat kilat runtuh.” Jihan membatin.
Mereka terus berjalan. Jantung Jihan berdegup semakin kencang. Jarak antara keduanya semakin dekat. Jari-jari Jihan gemetar.
“Hey, kau!!” Raffi tiba-tiba muncul di hadapan Jihan.
Jihan masih syok dan tidak ada persiapan.
Raffi memegang tempat sampah dan siap melemparnya ke arah Jihan.
“Aaa!!” Jihan memekik. Jihan reflek menutup wajahnya.
Sepi. Tidak terjadi apa-apa. Jihan membuka wajahnya. “Hhaa!!” Jihan syok.
Semua orang yang melihat kejadian itu syok. Juna memegang tangan Raffi. Ternyata dengan sangat bodohnya Raffi lupa kalau tempat sampah itu terbuka dan isinya mudah terlempar kemana saja. Sebelum Raffi sempat melemparnya ke arah Jihan, isinya terkuras ke belakang ketika Raffi mengayun untuk melemparnya. Parahnya, Juna dan teman-temannya menjadi korban. Paling parah Juna.
“O-o…” Jihan berbalik. Ia menahan tawa dan bersiap kabur.
“Hey, kau! Jangan kabur!” teriak Raffi dengan tangan masih dipegang Juna.
“Kau yang jangan kabur, bodoh!!” maki Juna langsung menjitak kepala Raffi.
Jihan berlari sambil tertawa. “Tuhan membalasmu, Juna!” gumam Jihan sambil tertawa.

Sesampainya di kelas. Jihan duduk di kursinya dengan lelah.
“Kau darimana?” tanya Feni.
Jihan nyengir. “Olahraga.”
“Kau pasti membuat masalah lagi.”
“Tidak. Ini benar-benar lucu. Kau mau dengar tidak?” Jihan lalu menceritakan kejadian pagi ini.
Feni senyam-senyum. “Kau keterlaluan.”
“Kenapa aku? Kau ini temanku atau teman mereka, sih?”
Feni tersenyum. “Hati-hati. Di kampus ini, ada sebuah grup yang koordinatornya tidak diketahui. Mereka berkumpul dengan satu alasan.”
“Hm? Apa?”
“Perkumpulan penggemar Juna dan kawan-kawan.”
Jihan tertawa.
“Aku serius.”
Jihan mendengarkan.
“Mereka seolah bisa mendengar dan melihatmu kapan saja. Mereka selalu update aktivitas terbaru Juna dan kawan-kawannya. Apa pun itu. Gossip, berita fakta atau hal-hal pribadi mereka.”
“Sungguh? Mereka bukan artis.”
“Memang. Tapi kau setuju kan, kalau Juna sangat tampan? Juna itu mirip Hyun Bin waktu di serial Secret Garden. Argha mirip Lee Jong-Suk di drama Doctor Stranger.”
Jihan mengernyitkan dahinya. “Siapa mereka?”
“Kau tidak tahu mereka?”
Jihan menggeleng. Feni lalu menjelaskan mereka satu per satu bahkan menunjukkan foto mereka dengan melakukan searching di smartphone-nya.
“Ooh…itu,” Jihan baru mengerti. “Aku tidak pernah melihat mereka di tv. Satu-satunya drama korea yang kutonton saat itu hanya serial Boys Before Flower.”
“Huh…kau kurang update.”
Jihan nyengir. Menurutnya Feni tidak benar juga. Karena Jihan baru bertemu orang tampan dan baik hari ini, Satria Abimanyu. Kalau dibandingkan Juna dan teman-temannya seperti artis Korea, Satria itu mirip Lee Min Ho di drama Boys Before Flower.
Jihan tersenyum. “Lalu kenapa aku harus hati-hati?”
Ponsel Feni berbunyi. “Kau lihat ini! Ini pasti pesan berantai dari grup itu.”
Jihan mencondongkan tubuhnya.
Juna memberi pelajaran pada Raffi karena membuat Juna dan teman-temannya kotor. Raffi tidak sengaja karena tujuan utamanya Jihan, anak baru yang sok berani dan sok cantik!
“Hhaff!” Jihan terkejut. “Mereka jahat sekali! Aku tidak ada hubungannya di grup itu!”
Feni tersenyum. “Apa kau mau ikut bergabung?”
“Hm? Aku?” Jihan membusungkan dada. “Tidak!”
“Kau perlu mengklarifikasi berita seputar dirimu yang dikaitkan dengan Juna melalui grup ini.”
Jihan berpikir. “Tapi ponselku, ponsel murah. Tidak ada fasilitas chat seperti itu.”
“Kenapa tidak kau ganti saja?”
“Aku tidak punya cukup uang. Ahk, sudahlah. Aku tidak peduli.”

Jihan pulang kuliah. Ia sengaja lewat depan ruang sekretariat mahasiswa pecinta alam. Ia berharap bisa melihat Satria. Jihan mengintip-ngintip sambil berjalan. Sepertinya ia tidak menemukan Satria. Jihan menghela lesu.
Di tempat lain, Juna kebetulan melihat aksi Jihan yang seperti mengendap-endap. Juna memperhatikan Jihan. Juna melihat Jihan seperti kecewa tidak mendapati sesuatu.

“Hey, kau kenal Satria Abimanyu?” tanya Jihan pada Anggi di kamarnya.
“Kenal. Kenapa?” Anggi sedang sibuk melumuri masker di wajahnya.
“Dia…seperti apa?”
Anggi berhenti. Ia menoleh pada Jihan. “Kau bertemu dengannya?”
Jihan mengangguk. “Dia menolongku dari kejaran Raffi.”
Anggi kembali sibuk dengan maskernya. “Dia kakak kelas. Dulu dia sangat aktif organisasi. Bisa dibilang, dia cukup tenar seperti Juna dan teman-temannya. Hanya saja…”
Jihan menyimak.
“Dua tahun yang lalu, kelompok pecinta alam melakukan acara pendakian gunung ke Sumatera. Dua orang anggota mereka hilang. Mereka seangkatan denganku. Adik kelasnya Satria. Sampai saat ini, keduanya belum ditemukan hidup atau mati. Sejak saat itu, kepercayaan mahasiswa berkurang tentang keamanan kelompok pecinta alam. Satria yang tadinya aktif dan sering muncul di acara kemahasiswaan, jadi tertutup dan pendiam. Dia seperti hilang dari permukaan. Sulit untuk mencarinya.”
Jihan bergidik.
“Salah satu mahasiswi yang hilang itu bernama Rinjani. Satu-satunya anggota perempuan yang ikut pendakian waktu itu.”
“Siapa Rinjani?”
“Entahlah. Gossip yang beredar, Rinjani menyukai Satria dan sengaja ikut kelompok itu. Satria yang cuek tidak tahu atau tidak menanggapi. Tapi ada juga yang bilang, mereka sepasang kekasih.”
“Kau kenal Rinjani?”
“Secara langsung sih, tidak. Yang aku tahu, dia masuk kuliah bersamaan dengan aku masuk kuliah.”
“Ummm…” Jihan bergumam.
Anggi berbalik. Dilihatnya Jihan lekat-lekat. Ia mengernyitkan dahi.
“Kenapa?” Jihan bingung. “Kenapa melihatku seperti itu?”
“Kau…” Anggi berpikir serius. “Kau pernah melihat foto Rinjani?”
Jihan menggeleng.
“Ya Tuhan…” Anggi berpindah dan duduk di sebelah Jihan. “Aku baru ingat!”
“Hm?”
“Kau mirip sekali dengan Rinjani!”
“Aha, kau pasti bercanda.”
“Aku tidak begitu yakin, tapi foto mereka sempat dipampang di pengumuman kampus sebagai berita duka dan diadakan acara do’a bersama untuk keselamatan mereka.”
“Kau menakuti aku, ya? Kau ini sepupuku, kau pasti lebih hapal wajahku daripada Rinjani. Kenapa kau baru bilang sekarang?”
“Aku serius. Hanya saja, Rinjani memiliki hidung yang lebih mancung dan senyum yang sangat manis. Rambutnya pirang bergelombang. Dia cantik dan mulus.”
Jihan menjitak kepala Anggi. “Itu artinya tidak mirip, dasar bodoh!”
Anggi mengaduh. “Aku serius…” gumam Anggi sambil mengusap-usap kepalanya.
Jihan pergi. Tiba-tiba Anggi merinding. Ia merasakan hawa kamarnya mendadak dingin. Ia mengusap kedua lengannya. Ia bergidik. Ia mengusap tengkuknya dan memandang berkeliling.
“Aku pasti salah bicara…”

Di kampus saat jam istirahat. Jihan sedang antri membeli makan siang di kantin. Seseorang muncul menerobos antrian.
“Bi, ada pesanan untuk Juna dan teman-temannya!” orang itu memberikan secarik kertas.
Bibi penjual makanan mengambilnya. Ia membacanya. “Tapi tidak ada orang yang mengantar…”
“Aduh, aku juga lapar. Tapi mereka ingin cepat-cepat. Kalau begitu kutunggu saja, aku cari makanan dulu.” kata orang itu lalu pergi.
Bibi menunjukkan ekspresi kebingungan. Jihan tersenyum. Ide jahilnya muncul kembali.
“Bibi, kalau kau kerepotan biar aku yang menunggu di sini, kau antar saja. Mungkin aku bisa membantumu.” Tawar Jihan.
“Be-benarkah?” Bibi tampak ragu.
“Tenang saja, gratis!” Jihan berkedip sebelah mata.
Bibi menerima tawaran Jihan dengan senang hati. Ia lalu mengajarkan Jihan cara menyiapkan pesanan Juna dan teman-temannya. Setelah hampir siap, Jihan menyuruh Bibi bersiap-siap. Selagi Bibi bersiap-siap, Jihan menaruh bubuk lada, garam dan cabai yang banyak ke mangkuk pesanan Juna dan teman-temannya tanpa sepengetahuan Bibi. Bibi kembali, Jihan tersenyum menyerahkan pesanan Juna.
“Terima kasih. Kau sangat membantu. Aku titip kiosku sebentar, ya!” Bibi beranjak pergi.
Jihan memandangi bibi dari belakang. Tiba-tiba Jihan terkejut teringat sesuatu. “Ya ampun, kalau Juna marah, nanti Bibi itu yang kena!”
“Hey, Bibi!” Si Pengantar Pesanan datang. “Biar aku saja. Tadi kan sudah kukatakan, kalau sudah selesai cari aku. Nanti mereka bisa marah kalau aku tidak mengatarkannya. Ini ambilah uangnya. Ahk, merepotkan sekali. Sudah menyuruh, pakai uangku dulu pula.”
Orang itu mengambil pesanan Juna dan membawanya. Bibi diam saja. Jihan bernapas lega, kalau terjadi sesuatu Bibi tidak akan langsung kena marah. Lagi pula, di sana disediakan pula botol bubuk garam, lada dan cabai. Jadi kalau Juna marah pada Bibi Penjual Makanan, Jihan akan membela bahwa itu kesalahan Juna sendiri. Mungkin saja, tanpa setahu Bibi, Juna menambahkan banyak ketiga bubuk itu lalu menyalahkan Bibi supaya makan gratis. Jihan nyengir.

Di ruang kelas Juna.
“Nah, itu dia!” sahut Gilang. “Kau lama sekali. Tidak tahu ya, kami sangat lapar!”
Danu dan Kris mengambil pesanannya. Gilang mengikuti. Juna dan teman-temannya mengaduk makanan. Argha mengambil uang dari sakunya untuk membayar. Si Pengantar masih berdiri menunggu bayaran untuk Si Bibi.
Juna melahap makanannya. Ia terbatuk. Rasanya tidak karuan. Menusuk hidung dan tenggorokannya. Danu, Kris dan Gilang menyusul.
Juna berdiri. Ia marah dan menarik kerah baju Si Pengantar. “Kau meracuni kami, ya!!”
“A-apa maksudmu? Aku…aku tidak mengerti.”
Argha mencicipi makanannya. Ia meludah. Ketiga temannya meminum minuman pesanan mereka. Mereka kembali memekik. Rasanya sangat asam. Argha juga mencicipi minumannya. Juna mendorong orang itu hingga terjatuh.
“Ma-maafkan aku. Aku tidak tahu apa-apa.”
“Apa kau melihat orang yang mencurigakan di sana?” tanya Argha menyelidik.
Juna melirik Argha.
“A-aku tidak mengerti. Sungguh! Aku hanya memberikan catatan kalian lalu mengantarnya.”
“Apa kau meninggalkannya?”
“Ti-tidak.” Orang itu ketakutan.
“Kau pasti berbohong!” Juna kembali menarik kerah baju orang itu.
“Maksudku…Bibi itu kerepotan dan aku juga lapar.”
“Kau kenal Jihan?” tanya Argha.
“Jihan?” orang itu berpikir.
“Pasti ada orang lain di sana. Kau meninggalkannya.” Juna melepaskan cengkeramannya.
“Hanya ada seorang perempuan yang sedang menunggu pesanan. Tapi aku tidak tahu siapa.”
“Jihan.” gumam Juna.

Jihan sedang di kelas membaca buku di kursinya. Tiba-tiba suasana kelas menjadi gaduh. Mereka berlarian menuju kursi masing-masing. Beberapa memastikan kegaduhan dengan mengintip dari jendela. Jihan tidak memperhatikan.
Juna dan kawan-kawannya masuk ke kelas Jihan. Hening mendadak. Merasa ada yang aneh, Jihan menyelesaikan aktifitas membacanya. Jihan terkejut melihat Juna dan teman-temannya. Mereka membawa atribut pesta kejutan. Memakai topi kerucut, meniupkan terompet kecil, membawa cup cake kecil dengan lilin di atasnya, dan membawa kado berukuran besar.
Happy birthday to you…happy birthday to you…” Gilang memberi isyarat kelas untuk bersama-sama bernyanyi.
Kelas menjadi ramai. Beberapa orang di luar kelas melihat melalui jendela dan pintu. Juna menuju Jihan membawa kado dengan pita merah. Argha mendekatkan cup cake itu pada Jihan.
Jihan bingung. Ia tidak merasa sedang ulang tahun. “Ini pasti jebakan lagi!”
Danu dan Kris memberi isyarat agar kelas diam.
“Selamat ulang tahun, adik kelas…” Argha memasang senyum super imutnya. Para gadis meringis gemas.
Jihan menghindar. “Aku tidak sedang berulang tahun. Kalian pasti menjebakku.”
“Wah, yang benar saja. Kami mendapat informasi ini dari kampus. Kau bercanda atau terkejut?” kata Danu.
 “Hargailah niat baik kami. Kami sudah mengaturnya khusus buatmu.” Sahut Gilang.
“Ayo, tiup!” Argha menyodorkan cup cake dengan lilin menyala pada Jihan. “Tidak akan meledak. Percayalah!”
“Aku tidak mau!” Jihan berdiri.
Juna menahan Jihan dan mendudukkan Jihan kembali ke kursinya. “Setidaknya terimalah ini.”
Juna diam memegang kadonya. Jihan mengawasi. Juna meletakkan kadonya di meja Jihan. Jihan diam saja mengadu pandang dengan Juna. “Aku berbaik hati, akan membukakannya untukmu,” Juna menarik salah satu tali pitanya. “Surprise!!”
“Aaaaaaaakkkk!!!!” Jihan berteriak. Ia berontak dan berusaha menghindar. Tapi karena meja dan kursinya menyatu, Jihan terjatuh bersama dengan kursinya.
Kadonya tumpah. Seisi kelas berteriak. “Ulaaar!!!!”
Mereka berhamburan kabur keluar kelas. Gilang dan teman-temannya tertawa. Kecuali Juna. Jihan berhasil lepas dari kursinya. Ular berukuran besar melingkar di leher dan punggung Jihan. Jihan ketakutan. Ia menendang ular yang meski besar tapi terlihat malas. Jihan menangis ketakutan. Ia berjalan merangkak ke pojok ruangan. Jihan mendekap kedua kakinya. Ia gemetar dan bergidik ngeri.
Ular itu mendesis melingkarkan diri di kursi Jihan. Buku dan seluruh isi tas Jihan berantakan. Kelas berantakan karena orang-orang berebut paksa keluar dan menabrak benda apa saja di sekitarnya.
Juna melihat Jihan ketakutan. Ia memungut ular itu dan melingkarkan di lehernya. “Kukira kau pemberani. Ternyata cengeng juga.”
Juna berbalik dan pergi. Keempat temannya mengikuti. Jihan masih menangis di pojok. Ia masih gemetar ketakutan. Feni masuk ke kelas dan menyuruh teman-temannya merapikan ruangan sebelum ada dosen yang masuk. Feni merapikan kursi dan buku-buku Jihan. Kemudian ia mendekati Jihan.
“Tidak apa-apa. Ular memang mengerikan. Tapi mereka hanya menakutimu. Ular itu tidak berbisa. Ayo bangun!” Feni menuntun Jihan.
“Aku tidak ikut kelas.” Jihan mengambil tasnya lalu pergi.
Feni mematung memperhatikan Jihan.

Jihan di ruang perawatan dan pemeliharaan kesehatan kampus. Ia menyeruput teh manis hangat yang dibuatkan Anggi.
“Hah, kau selalu membuat masalah.” kata Anggi. “Aku sudah curiga sejak kau pulang basah kuyup malam itu.”
Jihan diam saja.
“Sudahlah, jangan berurusan lagi dengan Juna. Mereka itu laki-laki. Kau harus hati-hati.”
Jihan berbaring.
“Ibu menitipkanmu padaku. Kupikir tidak masalah karena kita seusia dan kau bukan anak kecil lagi yang harus kuawasi setiap saat. Tapi aku salah.”
“Aku tidak akan memulainya duluan kalau mereka tidak memulainya.” kata Jihan.
“Iya, tapi kalau kau tidak membalasnya dan memasang wajah memelas, mereka juga tidak akan terus mengerjaimu.”
“Aku tidak suka mengemis pada mereka.”
“Aku tidak meminta kau mengemis. Aku hanya ingin kau minta maaf saja lalu menjauhi mereka,” Anggi sesungut kesal. “lagi pula kau ini aneh sekali. Sepanjang aku kuliah di sini, tidak pernah ada kasus sepertimu. Berurusan dengan senior sampai berlarut-larut. Selama ini semua damai. Normalnya, para gadis sangat mengidolakan Juna dan teman-temannya. Apa matamu sudah tidak normal? Juna itu sangat tampan. Keren!”
Jihan melirik Anggi yang berlebihan berekspresi.
“Lihat apa?” Anggi tertangkap basah sedang hiperbola. “Itu wajar, kan?”
“Dasar aneh.”
“Hey, Jihan. Aku serius soal minta maaf. Apa kau tidak lelah tidak pernah akur dengan seseorang?”
“Aku lelah. Tapi aku kesal.”
Anggi berdiri. “Ya sudah. Kau istirahat saja di sini. Nanti sore kujemput.”
Anggi meninggalkan Jihan. Ia sedang memikirkan sesuatu. Terbesit olehnya untuk memohon sendiri pada Juna untuk memaafkan Jihan dan melupakan perseteruan diantara mereka. Anggi terus berjalan hingga ke ruang kelas Juna.



 Bersambung ke Chapter 3

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya