Mozarella Cake - Chapter 2
Chapter
2
Pertemuan
yang Memberi Semangat
Lanjutan Dari Chapter 1
Jihan sedang
menunggu mangsa di tangga menuju lantai dua kampus. Ia akan membalas Raffi yang
sengaja menjebaknya dan bersengkokol dengan Juna dan kawan-kawan. Jihan
menyiapkan seember penuh air kotor yang dicampur tanah dan batu kerikil.
Terdengar suara orang menaiki tangga. Jihan mengintip sedikit. Beberapa detik
kemudian, Jihan berakting keberatan membawa beban lalu berpura-pura oleng. Jihan
menumpahkan seluruh isi ember itu tepat ke arah Raffi.
Raffi syok.
Dalam sekejap ia basah kuyup dan kotor. Lantai dan tembok sekitarnya ikut
kotor. Beberapa orang yang baru akan naik berhenti dan terkejut melihat
kejadian itu.
“Hhaa!!” Jihan
menutup mulutnya. Syok.
Raffi mengusap
wajahnya.
“Maaf, aku
sedang buru-buru. Aku baru saja mencuci sandal.” Jelas Jihan.
“Kau sengaja,
kan?!!” Raffi berteriak kesal.
“A-aku sudah
minta maaf. Aku tidak sengaja!”
Raffi tidak
menghiraukan Jihan. Ia mengambil ember itu dan bersiap untuk membalas Jihan.
melihat itu, Jihan sigap mengambil langkah seribu menaiki tangga dan kabur.
Terjadi aksi kejar-kejaran antara keduanya.
Jihan sangat
kuat berlari. Di desa ia biasa berlari mengejar bis yang terlewat saat
ketiduran menunggu bis di halte. Jihan berlari dengan wajah puas membalas
Raffi. Raffi berteriak-teriak mengejar Jihan sambil membawa ember. Beberapa
orang menertawakan mereka. Karena suasana masih pagi, kampus masih agak sepi
jadi Jihan bisa leluasa berlari. Jihan menuju tangga di sisi lain untuk turun. Jihan
berlari menuruni tangga. Raffi tertinggal cukup jauh dari Jihan. Jihan tertawa
menuruni anak tangga.
Bruk!!!
Jihan terjatuh.
Ia baru saja menabrak seseorang. Orang yang ditabraknya juga terjatuh.
Buku-buku bawaannya jatuh berantakan.
“Ma-maaf…maaf,
aku tidak sengaja. Maaf…” Jihan mengambil buku-buku itu.
“Tidak apa-apa.
Aku baik-baik saja.” Orang itu merapikan jaketnya lalu mengambil buku yang
dikumpulkan Jihan.
“Jihan!!!!!”
teriak Raffi di sisi lain.
Jihan terkejut.
Raffi mendekat. Tapi ia tidak bisa tidak bertanggung jawab terhadap orang yang
ditabraknya itu.
“Hey, perempuan
jalang!” maki Raffi di atas tangga. Ia sangat geram.
Jihan terkejut. “Aku
benar-benar minta maaf, Kak!”
Raffi tidak
menggubris Jihan. Raffi melempar ember kosong itu ke arah Jihan. Jihan
memejamkan matanya ketakutan dan menghalangi wajahnya dengan kedua tangan. Ember
itu terpelanting. Jihan membuka matanya. Orang yang tadi ditabrak Jihan
menghalau ember itu. Kemejanya kotor terkena kotoran ember itu.
Raffi ikut
terkejut. “Kenapa kau menolongnya??”
“Apa kau tuli?
Dia sudah minta maaf!” kata orang itu.
Jihan melongo.
Raffi turun.
“Dia pembohong! Perempuan binal ini patut kuhajar!”
Orang itu
berdiri menghadang Raffi. “Bicaramu kasar sekali.”
Jihan
bersembunyi di balik orang itu.
“Dia sengaja
menyiramku dengan air kotor. Lihat ini! Aku kotor dan bau!”
Orang itu
melirik Jihan. “Kau sengaja?”
“Tidak. Aku
sudah minta maaf dan bilang tidak sengaja.” Jelas Jihan.
“Hey, dasar kau
pembual!” maki Raffi yang sigap menyerang Jihan.
Orang itu
menghalangi Raffi. “Sudah, bersihkan dirimu! Biar kuurus dia.”
Raffi masih
berusaha meraih Jihan.
“Kau tidak mendengarku?!”
suara orang itu meninggi.
Raffi menyerah.
Dengan kesal ia mundur lalu pergi. Jihan menarik napas lega.
“Namamu Jihan?”
tanya orang itu.
Jihan
mengangguk.
“Satria
Abimanyu. Fakultas ekonomi semester 7.” Satria menyodorkan tangannya mengajak salaman.
Jihan
menyambutnya. “Hukum. Semester 1.”
“Sepertinya kau
dalam masalah. Ikut aku!” Satria memberi isyarat agar Jihan mengikutinya.
Di ruang
sekeretariat Mahasiswa Pencinta Alam.
Jihan masuk
mengikuti Satria. Tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa orang di sana. Mereka
kebanyakan laki-laki dan sedang sibuk masing-masing. Jihan dipersilahkan duduk.
Jihan memandang berkeliling. Ia melihat sebuah gambar struktur organigram. Jihan
terkejut membaca sebuah nama di sana.
Ketua – Satria
Abimanyu.
“Kenapa?” tanya
Satria sambil duduk di sudut meja.
Jihan
menggeleng.
“Iya. Aku ketua
perkumpulan mahasiswa pencinta alam. Semua mahasiswa di kampus ini mengenalku.
Dulu aku ketua BEM. Aku mundur karena lebih sering dan fokus di kegiatan
pencinta alam. Seperti, mendaki gunung atau melakukan ekspedisi ke desa-desa
terpencil. Karena itu hobiku.”
Jihan tersenyum.
Sepertinya ia bertemu dengan orang yang menyenangkan.
“Nah, sekarang
ceritakan padaku yang sebenarnya terjadi.”
Jihan terpaku.
Ia mencari alasan. “Aku tidak sengaja.”
Satria diam
memandang lurus ke arah Jihan. Ia seperti menunggu jawaban lain.
“Itu benar. Aku
tidak sengaja.”
Masih diam.
Lurus memandang.
“Baiklah,
baiklah…” Jihan menyerah dan menceritakan semuanya. Bahwa ia memang sengaja
karena Raffi menjebaknya ke arena renang dan membuat ia hampir mati tenggelam.
Jihan keluar
ruangan. Ia berhenti sejenak lalu memandangi pintu ruang itu. Tidak lama, Jihan
tersenyum.
“Satria Abimanyu. Dia tampan juga. Semoga dia baik dan
menyenangkan,” Jihan
melangkah sambil tersenyum. “Aku akan
ikut perkumpulan itu. Mungkin saja aku bisa dekat dengannya.”
Jihan berjalan
menuju kelasnya. Ia melihat Juna dan teman-temannya di ujung koridor. Jihan
memperlambat jalannya. Ia baru saja membalas Raffi tapi belum mempersiapkan
pembalasan untuk Juna dan teman-temannya.
“Ibu, tolong aku. Jangan biarkan aku bertemu dengan
orang itu sekarang. Aku baru saja merasa senang, semoga tidak secepat kilat
runtuh.” Jihan membatin.
Mereka terus
berjalan. Jantung Jihan berdegup semakin kencang. Jarak antara keduanya semakin
dekat. Jari-jari Jihan gemetar.
“Hey, kau!!”
Raffi tiba-tiba muncul di hadapan Jihan.
Jihan masih syok
dan tidak ada persiapan.
Raffi memegang
tempat sampah dan siap melemparnya ke arah Jihan.
“Aaa!!” Jihan
memekik. Jihan reflek menutup wajahnya.
Sepi. Tidak
terjadi apa-apa. Jihan membuka wajahnya. “Hhaa!!” Jihan syok.
Semua orang yang
melihat kejadian itu syok. Juna memegang tangan Raffi. Ternyata dengan sangat
bodohnya Raffi lupa kalau tempat sampah itu terbuka dan isinya mudah terlempar
kemana saja. Sebelum Raffi sempat melemparnya ke arah Jihan, isinya terkuras ke
belakang ketika Raffi mengayun untuk melemparnya. Parahnya, Juna dan
teman-temannya menjadi korban. Paling parah Juna.
“O-o…” Jihan
berbalik. Ia menahan tawa dan bersiap kabur.
“Hey, kau!
Jangan kabur!” teriak Raffi dengan tangan masih dipegang Juna.
“Kau yang jangan
kabur, bodoh!!” maki Juna langsung menjitak kepala Raffi.
Jihan berlari
sambil tertawa. “Tuhan membalasmu, Juna!” gumam Jihan sambil tertawa.
Sesampainya di
kelas. Jihan duduk di kursinya dengan lelah.
“Kau darimana?”
tanya Feni.
Jihan nyengir.
“Olahraga.”
“Kau pasti
membuat masalah lagi.”
“Tidak. Ini
benar-benar lucu. Kau mau dengar tidak?” Jihan lalu menceritakan kejadian pagi
ini.
Feni
senyam-senyum. “Kau keterlaluan.”
“Kenapa aku? Kau
ini temanku atau teman mereka, sih?”
Feni tersenyum.
“Hati-hati. Di kampus ini, ada sebuah grup yang koordinatornya tidak diketahui.
Mereka berkumpul dengan satu alasan.”
“Hm? Apa?”
“Perkumpulan
penggemar Juna dan kawan-kawan.”
Jihan tertawa.
“Aku serius.”
Jihan
mendengarkan.
“Mereka seolah
bisa mendengar dan melihatmu kapan saja. Mereka selalu update aktivitas terbaru Juna dan kawan-kawannya. Apa pun itu.
Gossip, berita fakta atau hal-hal pribadi mereka.”
“Sungguh? Mereka
bukan artis.”
“Memang. Tapi
kau setuju kan, kalau Juna sangat tampan? Juna itu mirip Hyun Bin waktu di
serial Secret Garden. Argha mirip Lee Jong-Suk di drama Doctor Stranger.”
Jihan
mengernyitkan dahinya. “Siapa mereka?”
“Kau tidak tahu
mereka?”
Jihan
menggeleng. Feni lalu menjelaskan mereka satu per satu bahkan menunjukkan foto
mereka dengan melakukan searching di smartphone-nya.
“Ooh…itu,” Jihan
baru mengerti. “Aku tidak pernah melihat mereka di tv. Satu-satunya drama korea
yang kutonton saat itu hanya serial Boys Before Flower.”
“Huh…kau kurang update.”
Jihan nyengir. Menurutnya
Feni tidak benar juga. Karena Jihan baru bertemu orang tampan dan baik hari
ini, Satria Abimanyu. Kalau dibandingkan Juna dan teman-temannya seperti artis
Korea, Satria itu mirip Lee Min Ho di drama Boys Before Flower.
Jihan tersenyum.
“Lalu kenapa aku harus hati-hati?”
Ponsel Feni
berbunyi. “Kau lihat ini! Ini pasti pesan berantai dari grup itu.”
Jihan
mencondongkan tubuhnya.
Juna memberi pelajaran pada Raffi karena membuat Juna
dan teman-temannya kotor. Raffi tidak sengaja karena tujuan utamanya Jihan,
anak baru yang sok berani dan sok cantik!
“Hhaff!” Jihan
terkejut. “Mereka jahat sekali! Aku tidak ada hubungannya di grup itu!”
Feni tersenyum.
“Apa kau mau ikut bergabung?”
“Hm? Aku?” Jihan
membusungkan dada. “Tidak!”
“Kau perlu
mengklarifikasi berita seputar dirimu yang dikaitkan dengan Juna melalui grup
ini.”
Jihan berpikir.
“Tapi ponselku, ponsel murah. Tidak ada fasilitas chat seperti itu.”
“Kenapa tidak
kau ganti saja?”
“Aku tidak punya
cukup uang. Ahk, sudahlah. Aku tidak peduli.”
Jihan pulang
kuliah. Ia sengaja lewat depan ruang sekretariat mahasiswa pecinta alam. Ia
berharap bisa melihat Satria. Jihan mengintip-ngintip sambil berjalan.
Sepertinya ia tidak menemukan Satria. Jihan menghela lesu.
Di tempat lain, Juna
kebetulan melihat aksi Jihan yang seperti mengendap-endap. Juna memperhatikan Jihan.
Juna melihat Jihan seperti kecewa tidak mendapati sesuatu.
“Hey, kau kenal
Satria Abimanyu?” tanya Jihan pada Anggi di kamarnya.
“Kenal. Kenapa?”
Anggi sedang sibuk melumuri masker di wajahnya.
“Dia…seperti
apa?”
Anggi berhenti.
Ia menoleh pada Jihan. “Kau bertemu dengannya?”
Jihan
mengangguk. “Dia menolongku dari kejaran Raffi.”
Anggi kembali
sibuk dengan maskernya. “Dia kakak kelas. Dulu dia sangat aktif organisasi.
Bisa dibilang, dia cukup tenar seperti Juna dan teman-temannya. Hanya saja…”
Jihan menyimak.
“Dua tahun yang
lalu, kelompok pecinta alam melakukan acara pendakian gunung ke Sumatera. Dua
orang anggota mereka hilang. Mereka seangkatan denganku. Adik kelasnya Satria.
Sampai saat ini, keduanya belum ditemukan hidup atau mati. Sejak saat itu,
kepercayaan mahasiswa berkurang tentang keamanan kelompok pecinta alam. Satria
yang tadinya aktif dan sering muncul di acara kemahasiswaan, jadi tertutup dan
pendiam. Dia seperti hilang dari permukaan. Sulit untuk mencarinya.”
Jihan bergidik.
“Salah satu
mahasiswi yang hilang itu bernama Rinjani. Satu-satunya anggota perempuan yang
ikut pendakian waktu itu.”
“Siapa Rinjani?”
“Entahlah.
Gossip yang beredar, Rinjani menyukai Satria dan sengaja ikut kelompok itu.
Satria yang cuek tidak tahu atau tidak menanggapi. Tapi ada juga yang bilang,
mereka sepasang kekasih.”
“Kau kenal
Rinjani?”
“Secara langsung
sih, tidak. Yang aku tahu, dia masuk kuliah bersamaan dengan aku masuk kuliah.”
“Ummm…” Jihan
bergumam.
Anggi berbalik.
Dilihatnya Jihan lekat-lekat. Ia mengernyitkan dahi.
“Kenapa?” Jihan
bingung. “Kenapa melihatku seperti itu?”
“Kau…” Anggi
berpikir serius. “Kau pernah melihat foto Rinjani?”
Jihan
menggeleng.
“Ya Tuhan…” Anggi
berpindah dan duduk di sebelah Jihan. “Aku baru ingat!”
“Hm?”
“Kau mirip
sekali dengan Rinjani!”
“Aha, kau pasti
bercanda.”
“Aku tidak
begitu yakin, tapi foto mereka sempat dipampang di pengumuman kampus sebagai
berita duka dan diadakan acara do’a bersama untuk keselamatan mereka.”
“Kau menakuti
aku, ya? Kau ini sepupuku, kau pasti lebih hapal wajahku daripada Rinjani.
Kenapa kau baru bilang sekarang?”
“Aku serius.
Hanya saja, Rinjani memiliki hidung yang lebih mancung dan senyum yang sangat
manis. Rambutnya pirang bergelombang. Dia cantik dan mulus.”
Jihan menjitak
kepala Anggi. “Itu artinya tidak mirip, dasar bodoh!”
Anggi mengaduh. “Aku
serius…” gumam Anggi sambil mengusap-usap kepalanya.
Jihan pergi. Tiba-tiba
Anggi merinding. Ia merasakan hawa kamarnya mendadak dingin. Ia mengusap kedua
lengannya. Ia bergidik. Ia mengusap tengkuknya dan memandang berkeliling.
“Aku pasti salah
bicara…”
Di kampus saat
jam istirahat. Jihan sedang antri membeli makan siang di kantin. Seseorang
muncul menerobos antrian.
“Bi, ada pesanan
untuk Juna dan teman-temannya!” orang itu memberikan secarik kertas.
Bibi penjual makanan
mengambilnya. Ia membacanya. “Tapi tidak ada orang yang mengantar…”
“Aduh, aku juga
lapar. Tapi mereka ingin cepat-cepat. Kalau begitu kutunggu saja, aku cari
makanan dulu.” kata orang itu lalu pergi.
Bibi menunjukkan
ekspresi kebingungan. Jihan tersenyum. Ide jahilnya muncul kembali.
“Bibi, kalau kau
kerepotan biar aku yang menunggu di sini, kau antar saja. Mungkin aku bisa
membantumu.” Tawar Jihan.
“Be-benarkah?”
Bibi tampak ragu.
“Tenang saja,
gratis!” Jihan berkedip sebelah mata.
Bibi menerima
tawaran Jihan dengan senang hati. Ia lalu mengajarkan Jihan cara menyiapkan
pesanan Juna dan teman-temannya. Setelah hampir siap, Jihan menyuruh Bibi
bersiap-siap. Selagi Bibi bersiap-siap, Jihan menaruh bubuk lada, garam dan
cabai yang banyak ke mangkuk pesanan Juna dan teman-temannya tanpa
sepengetahuan Bibi. Bibi kembali, Jihan tersenyum menyerahkan pesanan Juna.
“Terima kasih.
Kau sangat membantu. Aku titip kiosku sebentar, ya!” Bibi beranjak pergi.
Jihan memandangi
bibi dari belakang. Tiba-tiba Jihan terkejut teringat sesuatu. “Ya ampun, kalau
Juna marah, nanti Bibi itu yang kena!”
“Hey, Bibi!” Si
Pengantar Pesanan datang. “Biar aku saja. Tadi kan sudah kukatakan, kalau sudah
selesai cari aku. Nanti mereka bisa marah kalau aku tidak mengatarkannya. Ini
ambilah uangnya. Ahk, merepotkan sekali. Sudah menyuruh, pakai uangku dulu
pula.”
Orang itu
mengambil pesanan Juna dan membawanya. Bibi diam saja. Jihan bernapas lega,
kalau terjadi sesuatu Bibi tidak akan langsung kena marah. Lagi pula, di sana
disediakan pula botol bubuk garam, lada dan cabai. Jadi kalau Juna marah pada
Bibi Penjual Makanan, Jihan akan membela bahwa itu kesalahan Juna sendiri.
Mungkin saja, tanpa setahu Bibi, Juna menambahkan banyak ketiga bubuk itu lalu
menyalahkan Bibi supaya makan gratis. Jihan nyengir.
Di ruang kelas Juna.
“Nah, itu dia!”
sahut Gilang. “Kau lama sekali. Tidak tahu ya, kami sangat lapar!”
Danu dan Kris
mengambil pesanannya. Gilang mengikuti. Juna dan teman-temannya mengaduk
makanan. Argha mengambil uang dari sakunya untuk membayar. Si Pengantar masih
berdiri menunggu bayaran untuk Si Bibi.
Juna melahap
makanannya. Ia terbatuk. Rasanya tidak karuan. Menusuk hidung dan
tenggorokannya. Danu, Kris dan Gilang menyusul.
Juna berdiri. Ia
marah dan menarik kerah baju Si Pengantar. “Kau meracuni kami, ya!!”
“A-apa maksudmu?
Aku…aku tidak mengerti.”
Argha mencicipi
makanannya. Ia meludah. Ketiga temannya meminum minuman pesanan mereka. Mereka
kembali memekik. Rasanya sangat asam. Argha juga mencicipi minumannya. Juna
mendorong orang itu hingga terjatuh.
“Ma-maafkan aku.
Aku tidak tahu apa-apa.”
“Apa kau melihat
orang yang mencurigakan di sana?” tanya Argha menyelidik.
Juna melirik
Argha.
“A-aku tidak mengerti.
Sungguh! Aku hanya memberikan catatan kalian lalu mengantarnya.”
“Apa kau
meninggalkannya?”
“Ti-tidak.”
Orang itu ketakutan.
“Kau pasti
berbohong!” Juna kembali menarik kerah baju orang itu.
“Maksudku…Bibi
itu kerepotan dan aku juga lapar.”
“Kau kenal Jihan?”
tanya Argha.
“Jihan?” orang
itu berpikir.
“Pasti ada orang
lain di sana. Kau meninggalkannya.” Juna melepaskan cengkeramannya.
“Hanya ada
seorang perempuan yang sedang menunggu pesanan. Tapi aku tidak tahu siapa.”
“Jihan.” gumam Juna.
Jihan sedang di
kelas membaca buku di kursinya. Tiba-tiba suasana kelas menjadi gaduh. Mereka
berlarian menuju kursi masing-masing. Beberapa memastikan kegaduhan dengan
mengintip dari jendela. Jihan tidak memperhatikan.
Juna dan
kawan-kawannya masuk ke kelas Jihan. Hening mendadak. Merasa ada yang aneh, Jihan
menyelesaikan aktifitas membacanya. Jihan terkejut melihat Juna dan
teman-temannya. Mereka membawa atribut pesta kejutan. Memakai topi kerucut,
meniupkan terompet kecil, membawa cup
cake kecil dengan lilin di atasnya, dan membawa kado berukuran besar.
“Happy birthday to you…happy birthday to you…”
Gilang memberi isyarat kelas untuk bersama-sama bernyanyi.
Kelas menjadi
ramai. Beberapa orang di luar kelas melihat melalui jendela dan pintu. Juna
menuju Jihan membawa kado dengan pita merah. Argha mendekatkan cup cake itu pada Jihan.
Jihan bingung.
Ia tidak merasa sedang ulang tahun. “Ini
pasti jebakan lagi!”
Danu dan Kris
memberi isyarat agar kelas diam.
“Selamat ulang
tahun, adik kelas…” Argha memasang senyum super imutnya. Para gadis meringis
gemas.
Jihan
menghindar. “Aku tidak sedang berulang tahun. Kalian pasti menjebakku.”
“Wah, yang benar
saja. Kami mendapat informasi ini dari kampus. Kau bercanda atau terkejut?”
kata Danu.
“Hargailah niat baik kami. Kami sudah
mengaturnya khusus buatmu.” Sahut Gilang.
“Ayo, tiup!”
Argha menyodorkan cup cake dengan
lilin menyala pada Jihan. “Tidak akan meledak. Percayalah!”
“Aku tidak mau!”
Jihan berdiri.
Juna menahan Jihan
dan mendudukkan Jihan kembali ke kursinya. “Setidaknya terimalah ini.”
Juna diam
memegang kadonya. Jihan mengawasi. Juna meletakkan kadonya di meja Jihan. Jihan
diam saja mengadu pandang dengan Juna. “Aku berbaik hati, akan membukakannya
untukmu,” Juna menarik salah satu tali pitanya. “Surprise!!”
“Aaaaaaaakkkk!!!!”
Jihan berteriak. Ia berontak dan berusaha menghindar. Tapi karena meja dan
kursinya menyatu, Jihan terjatuh bersama dengan kursinya.
Kadonya tumpah.
Seisi kelas berteriak. “Ulaaar!!!!”
Mereka
berhamburan kabur keluar kelas. Gilang dan teman-temannya tertawa. Kecuali Juna.
Jihan berhasil lepas dari kursinya. Ular berukuran besar melingkar di leher dan
punggung Jihan. Jihan ketakutan. Ia menendang ular yang meski besar tapi
terlihat malas. Jihan menangis ketakutan. Ia berjalan merangkak ke pojok
ruangan. Jihan mendekap kedua kakinya. Ia gemetar dan bergidik ngeri.
Ular itu
mendesis melingkarkan diri di kursi Jihan. Buku dan seluruh isi tas Jihan
berantakan. Kelas berantakan karena orang-orang berebut paksa keluar dan
menabrak benda apa saja di sekitarnya.
Juna melihat Jihan
ketakutan. Ia memungut ular itu dan melingkarkan di lehernya. “Kukira kau
pemberani. Ternyata cengeng juga.”
Juna berbalik
dan pergi. Keempat temannya mengikuti. Jihan masih menangis di pojok. Ia masih
gemetar ketakutan. Feni masuk ke kelas dan menyuruh teman-temannya merapikan
ruangan sebelum ada dosen yang masuk. Feni merapikan kursi dan buku-buku Jihan.
Kemudian ia mendekati Jihan.
“Tidak apa-apa.
Ular memang mengerikan. Tapi mereka hanya menakutimu. Ular itu tidak berbisa.
Ayo bangun!” Feni menuntun Jihan.
“Aku tidak ikut
kelas.” Jihan mengambil tasnya lalu pergi.
Feni mematung
memperhatikan Jihan.
Jihan di ruang
perawatan dan pemeliharaan kesehatan kampus. Ia menyeruput teh manis hangat
yang dibuatkan Anggi.
“Hah, kau selalu
membuat masalah.” kata Anggi. “Aku sudah curiga sejak kau pulang basah kuyup
malam itu.”
Jihan diam saja.
“Sudahlah,
jangan berurusan lagi dengan Juna. Mereka itu laki-laki. Kau harus hati-hati.”
Jihan berbaring.
“Ibu
menitipkanmu padaku. Kupikir tidak masalah karena kita seusia dan kau bukan
anak kecil lagi yang harus kuawasi setiap saat. Tapi aku salah.”
“Aku tidak akan
memulainya duluan kalau mereka tidak memulainya.” kata Jihan.
“Iya, tapi kalau
kau tidak membalasnya dan memasang wajah memelas, mereka juga tidak akan terus
mengerjaimu.”
“Aku tidak suka mengemis
pada mereka.”
“Aku tidak meminta
kau mengemis. Aku hanya ingin kau minta maaf saja lalu menjauhi mereka,” Anggi
sesungut kesal. “lagi pula kau ini aneh sekali. Sepanjang aku kuliah di sini,
tidak pernah ada kasus sepertimu. Berurusan dengan senior sampai
berlarut-larut. Selama ini semua damai. Normalnya, para gadis sangat
mengidolakan Juna dan teman-temannya. Apa matamu sudah tidak normal? Juna itu
sangat tampan. Keren!”
Jihan melirik Anggi
yang berlebihan berekspresi.
“Lihat apa?” Anggi
tertangkap basah sedang hiperbola. “Itu wajar, kan?”
“Dasar aneh.”
“Hey, Jihan. Aku
serius soal minta maaf. Apa kau tidak lelah tidak pernah akur dengan
seseorang?”
“Aku lelah. Tapi
aku kesal.”
Anggi berdiri.
“Ya sudah. Kau istirahat saja di sini. Nanti sore kujemput.”
Anggi
meninggalkan Jihan. Ia sedang memikirkan sesuatu. Terbesit olehnya untuk
memohon sendiri pada Juna untuk memaafkan Jihan dan melupakan perseteruan
diantara mereka. Anggi terus berjalan hingga ke ruang kelas Juna.
Bersambung ke Chapter 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar