17 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 1


Chapter 1
Mozarella Cake – Kue Keju yang Membawa Kenangan Lama

“Juna bisul…Juna bisul…” beberapa anak megikuti Arjuna, delapan tahun, sambil mengejek. Juna kesal tapi tidak bisa melawan. Tubuhnya kurus dan kecil. Wajahnya merah dipenuhi biang keringat di kening, hidung dan sekitar mata. Juga timbul beberapa benjolan merah yang cukup besar. Bisul. Juna terus berjalan sambil menangis dan membawa roti keju yang belum habis dimakan.
“Hey, anak-anak!” salah seorang ibu mereka datang. “Ayo pulang! Jangan dekat-dekat nanti kalian tertular. Ayo cepat!”
Anak-anak itu bubar meninggalkan Juna. Juna semakin tersedu. Jika saja ia punya ibu dan jika saja ibunya masih hidup, ia pasti akan dapat pembelaan. Juna menghapus air matanya. Ia melihat seorang gadis kecil di taman depan rumahnya. Anak itu sedang bermain ayunan sendirian dan terlihat sangat gembira sambil bernyanyi. Seorang anak kecil yang biasa dilihatnya setiap hari dari atas balkon rumahnya yang tepat menghadap ke taman itu. Untuk itulah Juna turun dan berusaha menemuinya. Juna mendekati anak itu.
Gadis kecil berambut panjang terurai itu tidak perduli dengan kedatangan Juna. Ia tetap asyik bermain dan bernyanyi. Juna duduk di tepi kolam pasir memperhatikan anak itu. Juna diam memperhatikan. Setelah cukup lama Juna di sana dan anak itu sama sekali tidak terusik, Juna pun menghampirinya. Ia dia sejenak di hadapan Jihan.
“Lihat apa?” kata anak kecil itu sedikit galak.
“Hey, apa tidak bisa kau bergantian? Aku juga mau main.” kata Juna.
Anak itu diam melihat Juna. Ia lalu turun. “Kau siapa? Berisik sekali. Jangan ganggu aku. Sana pergi, aku tidak mau bergantian!”
Juna justru tersenyum karena pertanyaannya ditanggapi. Juna tidak menyerah. Ia maju ke tengah-tengah tepat di hadapan anak itu. Anak itu terpaksa memberhentikan laju ayunannya. Ia turun dengan kesal.
“Apa maumu?” tantang anak kecil itu.
“Aku mau main ayunan.” Jawab Juna santai.
“Aku bilang, tidak mau!”
Juna menyodorkan rotinya. “Tukar.”
Anak itu diam. Ia memperhatikan roti yang disodorkan Juna. Ia kembali melihat Juna yang tersenyum. Anak itu mengambil roti Juna dan memakannya. Bukannya mengambil alih ayunan, Juna justru asyik memperhatikan teman barunya. Setelah habis, anak itu kembali menguasai ayunan. Juna yang kesal menagih janji dan marah. Anak itu justru lebih galak dan mengelak, ia tidak mengatakan iya atau setuju untuk bertukar. Juna mendorong anak itu hingga bergeser. Anak itu membalasnya hingga Juna terjatuh. Juna menangis. Anak itu diam saja melihat Juna. Anak itu terlihat menyesal tapi ia juga kesal. Ia lalu berlari meninggalkan Juna dengan mata berkaca-kaca.
Juna tidak jera. Besok dan seterusnya ia tetap datang dan meminta bermain bersama. Tapi selalu berakhir menyedihkan. Suatu hari ayahnya yang seorang pilot pulang. Di tengah perjalanan komplek menuju rumah, mobilnya mogok. Dalam kelelahan berjalan menuju rumah, ayah berisitirahat sejenak di sebuah pohon besar. Ia mendengar suara tangisan anak kecil. Ayah berputar dan menemukan gadis kecil menangis di balik pohon sambil memegang sebuah roti. Terjadi percakapan diantara keduanya. Ayah yang lapar mendapat potongan roti keju dari gadis kecil yang memperkenalkan diri sebagai Jihandra.
Sesampainya di rumah, Juna mengadukan semua yang dialaminya selama ayah tidak di rumah. Tentang anak-anak tetangga dan gadis kecil pemarah. Ayah kemudian menceritakan sebuah kisah seorang anak kecil yang baru ditemuinya sore tadi. Anak itu kelaparan dan terpaksa merebut roti dari seorang teman yang menurutnya baik. Ia memakannya sambil menangis karena menyesal. Ia takut diperolok dan takut ditolak jika memintanya meski temannya duluan yang memberikan roti itu. Esok hari sebelum ayah kembali pergi bekerja, ayah meminta Juna membawa dua buah roti Mozarella, roti penuh keju dan lezat kesukaan Juna. Ayah berpesan untuk membagi roti itu untuk anak yang ditemui Juna agar tidak berebut dan berbaikan. Mungkin mereka bisa berteman dan bermain bersama.
Juna menuruti pesan ayah. Lama ia menunggu, anak itu tidak kunjung datang. Hampir setengah hari dan Juna mulai lelah. Kemudian muncul sebuah truk membawa perabot rumah tangga. Juna memperhatikan lekat-lekat truk itu. Anak yang ditunggunya duduk di sebelah pengemudi. Anak itu menangis dengan sangat sedih.
“Jihandra…kata Ayah, mungkin kita bisa berteman…” gumam Juna di tempat.
Empat belas tahun kemudian.
“Ibu, aku berjanji akan menjaganya. Dia akan kembali setelah lulus. Bukankah bagus jika kau punya cucu seorang sarjana?” kata bibi di telepon.
Jihandra dan Anggi, sepupunya mendengarnya di kedua sisi bibi.
“Iya…aku mengerti. Kita harusnya bersyukur dia tidak tersesat di kota. Dia sudah bertemu denganku dan selamat di rumahku. Akan kuurus dia.”
Bibi memonyong-monyongkan bibirnya. Anggi dan Jihan tertawa menutup mulut.
“Iya, Bu…biarkan dia tenang dulu di sini. Dia sangat keras kepala, akan repot jika memaksa. Dia ingin kuliah. Aku sudah membujuknya, tapi dia tetap keras kepala. Bahkan dia akan bekerja di tempatku bekerja untuk biaya kuliahnya.”
Jihan mengangguk.
“Baiklah. Ibu tenang saja. Iya, baik.” Bibi menutup teleponnya.
“Bagaimana, Bi?” Jihan antusias.
“Hmh, kau nyaris mengirim nenekmu ke neraka!” Bibi berdiri.
“Tapi Ibu hebat, bisa membuat nenek tidak datang kemari…” Anggi memuji ibunya.
“Jihan, kau baru saja melewatkan impian setiap gadis desa. Menikah dengan anak kepala desa, dari sebuah keluarga terpandang dan terhormat. Kau malah kabur ke sini dan mengacaukan acara lamaran itu. Kau beruntung mereka tidak lantas memotong leher nenekmu. Mereka memaafkanmu dan memberimu kesempatan.” kata bibi.
Jihan duduk memeluk bantal sofa. “Aku masih muda, Bi. Aku ingin kuliah.”
“Kau iri padaku, kan?” kata Anggi.
“Iya, betul. Anggi sudah dua tahun kuliah. Padahal aku jauh lebih pintar darinya.”
“Hey, bicara apa kau?” Anggi tersenyum.
“Hah…wanita jaman sekarang. Terlalu salah mengartikan emansipasi.” Gumam Bibi seraya meninggalkan anak dan keponakannya.
Jihandra atau Jihan, kabur dari desa ke kota, semalam sebelum esoknya diadakan acara lamaran dari keluarga kepala desa. Dia dilamar secara pribadi oleh kepala desa melalui neneknya. Neneknya sangat tidak menyangka dan sangat gembira. Tapi Jihan mengacaukan semuanya.
Jihan kabur ke kota mencari bibinya. Jihan tinggal di rumah Bibi dan Anggi, sepupunya. Jihan beralasan ingin kuliah dan tidak ingin menikah di usia terlalu muda. Usianya baru dua puluh tahun.
Jihan bekerja di hotel tempat Bibi bekerja. Bibinya bekerja sebagai petugas kebersihan. Jihan bekerja sebagai roomgirl yang mengurus kerapihan kamar hotel. Menyesuaikan dengan jadwal kuliah, Jihan masuk kerja setiap sore hingga malam. Jihan juga mendaftar kuliah di kampus yang sama dengan Anggi agar mereka bisa pulang dan pergi bersama. Jihan bisa naik motor Anggi untuk menghemat ongkos kuliah.

Hari pertama kuliah. Anggi tidak ada kelas pagi, dia sengaja bangun siang. Semalam hujan dan suasana sangat mendukung untuk bermalas-malasan. Mau tidak mau, Jihan pergi sendiri ke kampus.
Air menggenang di beberapa kubangan jalan. Jihan sedang berjalan di jalan menuju gedung kampus. Tiba-tiba sebuah motor besar berwarna hitam-merah melintas dan menembus sebuah kubangan.
“Wufs!” Jihan terkejut dan kesal. Airnya terciprat ke lengan kanan hingga wajah Jihan. Bahkan ia terbatuk karena airnya masuk ke mulut.
“Hey, kau!!!” Jihan berteriak memaki Si Pengendara.
Pengendara motor berhenti. Ia menoleh dan membuka kaca helm fullface-nya. Jihan berjalan cepat ke arah Si Pengendara.
“Kau yang mencipratkan air itu ke mukaku, kan??” tanya Jihan dengan emosi.
“Tidak.” Biasa saja tanpa rasa bersalah
“Tapi tadi kau yang lewat jalan itu, kan??” dengan geram.
“Iya. Kenapa?”
“Kenapa??” Jihan mengepal tinjunya. “Buka helmmu!”
Si Pengendara membuka helmnya.
“Tampan sekali! Ups!” Jihan menggeleng. “Percuma berwajah tampan kalau tidak punya otak!”
“Ada masalah?”
Jihan meraih botol minumnya di tas, membukanya buru-buru lalu,
Byur!! Jihan menyiram muka Si Pengendara.
Suasana memang masih pagi tapi beberapa detik yang lalu orang-orang yang lewat tampak ramai berceloteh sambil berjalan. Tiba-tiba suasana hening. Beberapa orang terpaku memperhatikan aksi Jihan menyiram orang dengan sadisnya.
“Pakai matamu kalau berjalan!!” Jihan pergi meninggalkan si pengendara yang mematung.
“Kau tidak kenal aku, ya??!” orang itu marah.
“Kenapa? Kau anak orang kaya pemilik kampus ini? Hah? Aku tidak peduli. Kalau kau merasa bermasalah, cari saja aku. Jihan! Itu namaku!” Jihan lalu pergi.
Bukan tidak ingin mengejar atau membalasnya, tapi Si Pengendara merasa mengenalnya. Ia berbalik memperhatikan Jihan yang pergi. Setelah cukup jauh, tiba-tiba Jihan tersandung batu dan ia terjatuh. Ia sadar Si Pengendara memperhatikannya.
“Lihat apa??” katanya galak. Jihan langsung berdiri lalu pergi.
Si Pengendara melamunkan sesuatu. Ia teringat seseorang. Anak kecil yang menyebalkan, yang suka merebut makanannya. Ia sering memperhatikan anak kecil itu ketika sedang bermain ayunan di taman. Anak kecil menyebalkan itu tidak pernah mau bergantian dan menguasai ayunan.
“Lihat apa??” kata anak kecil itu dengan galaknya.
Si Pengendara itu adalah Arjuna, atau Juna. Ia kuliah di kampus yang sama dengan Jihan. hanya, Juna sudah hampir lulus.
Juna berkedip, ia mengusap wajahnya yang basah. Seseorang lewat di samping Juna, tanpa melihat siapa orangnya, Juna menarik kerah baju orang itu. Orang itu ketakutan.
“Kau anak mana?” tanya Juna dengan sangarnya.
“A-aku Raffi…anak hukum semester tiga.”
“Kau kenal orang itu tidak?”
“Di-dia anak baru. Fakultas hukum.”
Juna melepaskan cengkeramannya lalu pergi.
Orang itu menghela napas dan merapikan bajunya.

Di kantin kampus saat jam istirahat. Jihan sedang asik melahap mie gorengnya. Tiba-tiba Juna datang dan langsung duduk di depannya. Jihan menghentikan makannya.
Juna menyodorkan sekotak roti bermerk dan terkenal. Mozarella Cake. Jihan memperhatikan roti itu.
“Apa maumu?” tanya Jihan.
Juna membuka bungkus itu dan mengeluarkan beberapa roti yang merekah dan tampak sangat menggoda. Dijajarkannya semua roti itu di meja.
“Kau minta aku mecicipinya?” tanya Jihan dengan ekspresi tidak mengerti. “Kau pasti meracuniku.”
“Kau tidak suka roti ini, atau kau sedang tidak kelaparan?”
Jihan memandangi Juna tidak mengerti.
“Aku punya banyak roti lezat. Kau tidak berniat merebutnya dariku?”
Jihan merasa diingatkan sesuatu dan ia mulai tidak suka. Keduanya saling beradu pandangan. Beberapa orang memperhatikan mereka dengan heran. Kaum hawanya justru iri melihat Jihan bisa beradu tatap dengan pria tertampan dan terpopuler di kampus.
“Hm? Apa itu?” Jihan memecah suasana.
“Apa?” Juna balik bertanya.
“Ada bisul di jidatmu!”
Juna tersenyum lalu tertawa. Jihan menenggak jus tomat favoritnya.
“Sudah kuduga, kau orangnya,” kata Juna. Juna berdiri, mengambil jus tomat yang sedang diminum Jihan lalu menumpahkannya ke kepala Jihan.
Seisi kantin syok. Jihan terlalu syok dan tidak bisa mengelak hingga jus itu habis ditumpahkan Juna ke kepalanya.
“Selamat datang,” kata Juna sambil meletakkan gelas kosong. “kau akan membayarnya di kampus ini, sayang kita baru bertemu. Kalau kau datang lebih awal, semua akan lebih menarik. Aku Juna, mahasiswa semester 7 fakultas teknik, jurusan arsitektur. Sampai aku lulus nanti, hari-harimu akan menjadi sangat berat.”
Juna pergi. Jihan berdiri menantang. “Tunggu
Juna berbalik. Seketika Jihan melempar sepatunya ke arah Juna. Dengan sigap Juna menghindar dan sepatu itu masuk ke panci rebusan milik penjual makanan di kantin. Seisi kantin terkejut. Juna memberikan jempol terbalik ke arah Jihan lalu pergi.
“Hey, jangan pergi, Bocah Bisulan!” teriak Jihan yang berusaha menyusul.
“Hwa!!!” serentak seisi kantin terkejut dengan sebutan itu untuk Juna.
Langkah Jihan terhalang, pemilik panci yang kemasukan sepatu Jihan menahannya. Ia marah-marah dan meminta Jihan mengganti kerugiannya. Akibat sepatu itu, makanannnya tidak bisa ia jual dan Jihan harus membayarnya.

Kelas bubar. Jihan merapikan buku-bukunya. Teleponnya bergetar. “Halo?”
Seorang teman memperhatikannya di belakang kursi Jihan.
“Kau masih ada kelas? Berapa lama lagi?” Jihan menutup tasnya. “Baiklah. Aku menunggu di perpustakaan.”
Telepon selesai. Jihan pergi. Ia tidak bersemangat. Ia sudah meninggalkan kesan buruk di mata teman-temannya akibat kejadian di kantin tadi siang. Jihan berjalan menuju perpustakaan sambil menunggu Anggi selesai kelas dan pulang bersama. Ia berjalan lesu di koridor kelas kampus. Ia sangat ingin membalas Juna. Tapi bagaimana caranya. Jihan terus berjalan perlahan hingga ia melewati halaman parkir. Tiba-tiba muncul ide jahilnya.
Jihan tahu motor yang biasa digunakan Juna ke kampus. Jihan mencarinya. Tidak sulit untuk menemukannya. Karena hanya Juna yang ia lihat memakai motor seperti itu. Akhirnya ketemu. Jihan memperhatikan sekelilingnya. Agak sepi. Jihan mengendap-endap mendekati motor Juna. Ia membuka pentil ban motor Juna. Kemudian dimasukkannya sebuah kawat yang ia temukan di tanah ke dalam lubang pentil ban itu. Jihan sengaja mengempiskannya. Ia juga menggores bodi motornya dengan kunci loker. Jihan lalu puas dan pergi dengan mengendap-endap tanpa diketahui siapa pun.
Beberapa saat kemudian Juna datang. Ia marah melihat ban motornya kempis. Ia lebih ingin marah ketika melihat bodi motornya yang tergores. Teman-temannya mengira ini perbuatan sengaja. Juna langsung menebak siapa orangnya. Juna pergi ke fakultas hukum dan mencari Jihan. Menurut teman-temannya, Jihan sudah pulang. Ia tidak ditemukan di kampus. Juna benar-benar geram dibuatnya.
“Kau mencari siapa?” seorang teman sekelas Jihan yang tadi memperhatikan Jihan mengur Juna.
“Dimana Jihan?” tanya Juna dengan emosi.
“Sepertinya dia di perpustakaan. Dia tidak langsung pulang karena menunggu seseorang.”
Juna langsung meluncur ke perpustakaan.
“Hey Feni, dia kenapa?” tanya seorang lain padanya.
Feni mengangkat bahu lalu pergi.

Di perpustakaan. Juna menabrak orang yang menghalangi jalannya menghampiri Jihan yang sedang membaca di meja baca. Juna menarik tangan Jihan dan memaksanya keluar. Buku-buku Jihan berantakan dan mereka terlibat pertengkaran
“Hey, lepaskan aku! Kau ini kenapa?” maki Jihan.
“Ikut aku!” suara Juna tidak kalah keras.
“Kalian berisik sekali!” kepala perpustakaan memperingati mereka.
Jihan terpaku. Juna memasukkan sembarang buku-buku Jihan ke dalam ransel Jihan lalu menarik paksa Jihan keluar. Tidak ada yang berani menolong apalagi bertanya. Sebaliknya, kaum hawa justru iri melihat Jihan bisa digandeng oleh Juna meski bukan itu maksudnya. Jihan dibawa ke tempat parkir.
“Ulahmu, kan?” kata Juna di depan teman-temannya.
“Wah! Kau berani sekali, Anak Baru!” sahut Gilang, satu dari empat teman Juna.
“Kau tidak kenal kami rupanya.” kata Argha.
“Harusnya, kejadian di kantin kau jadikan pelajaran. Kau benar-benar bosan hidup ya?” lanjut Kris.
“Nasibmu sungguh sial.” Cela Danu.
“Kau harus menggantinya!” kata Juna.
“Kenapa aku?” tanya Jihan pura-pura tidak tahu.
“Kenapa?” Juna tampak marah. “Baiklah. Langsung pada inti permasalahannya saja. Aku mau kau mengganti kerusakan motorku!”
“Motormu bagus. Kau pasti orang kaya. Kau tidak akan langsung jatuh miskin hanya karena mengeluarkan sedikit uang untuk itu, kan?”
“Apa?? Kau benar-benar menghinaku ya?” Juna semakin emosi.
“Baiklah. Kelihatannya kau sedang kesulitan uang, jadi memintaku membayarnya. Berapa kau butuh?” dengan santainya Jihan menantang. Menurutnya tidak lebih dari satu juta rupiah.
“Kau meremehkanku ya? Kau tahu tidak, harga motorku ini?”
“Paling tidak jauh dari motor matic. Mungkin saja ini  motor biasa yang kau modif.”
“Wah!” teman-teman Juna terperanjat.
“Ini SUZUKI HAYABUSA 1300 GSX-R dengan warna hitam merah yang mewah, 342 km per jam bahkan tanpa limiter!” maki Juna dengan kesal.
“Percuma saja. Dia tidak akan mengerti.” kata Gilang.
“Itu motor supersport termahal saat ini. Harganya 400 juta. Kau tidak akan pernah bisa membelinya meski kau harus jual diri!” kata Danu.
“Mungkin saja kalian benar, tapi aku hanya punya seratus ribu.” Jihan mengeluarkan selembar uang dari sakunya. “Nih, mau tidak?”
Juna merebut dan merobeknya lalu menghamburkannya di wajah Jihan.
Jihan syok. “Kau tidak menghargai niat tulusku ya? itu uang! Kau bisa membeli sesuatu yang bagus dengan uang itu, dasar bodoh!” Jihan memunguti sobekan uang itu tapi terasa percuma.
Juna menginjak perlahan tangan Jihan. Jihan memekik kesakitan. Juna menarik tas punggung Jihan hingga ia terangkat seperti anak kucing dan tergantung.
“Turunkan aku, Bocah Tengik!” maki Jihan.
Juna melepaskannya, Jihan terjatuh. Juna berjongkok agar sama tinggi dengan Jihan. Ia menarik rambut Jihan memaksa Jihan menengadah menghadapnya.
“Aku sedang berusaha memaafkanmu, tapi kau memulainya lagi.” bisik Juna dengan emosi. “Kau akan mendapat masalah!”
Juna mendorong Jihan hingga terjatuh kedua kalinya lalu pergi dengan motornya. Teman-teman Juna juga pergi.
“Hey, Bocah Bisulan!” teriak Jihan. “Itu kan salahmu sendiri, kenapa membeli motor mahal dan memakainya di jalan umum seperti ini. Kau terlalu pamer!”

Jihan datang ke kampus lebih pagi dari biasanya. Ia takut dikerjai Juna kalau datang siang dan terlihat olehnya. Ia sudah lelah terus berbalas-balasan seperti itu. Jihan menunggu jam belajar dimulai dengan membaca buku di kursinya. Seseorang tiba-tiba menghampirinya. Ia berdiri tepat di ujung sepatu Jihan.
Apa lagi ini…” batin Jihan. Dengan was-was Jihan mengangkat pandang perlahan.
Untunglah, bukan Juna atau kawan-kawannya. Orang itu tersenyum lalu menyodorkan sebuah amplop kecil kepada Jihan.
“Apa ini?” tanya Jihan.
“Aku Raffi. Anak hukum semester 3. Terimalah.”
Jihan mengambilnya dengan ragu.
“Terima kasih. Kumohon datanglah.” Raffi lalu pergi.
Jihan memandangi Raffi hingga benar-benar pergi.
“Mungkin dia menyukaimu.” kata Feni. Seorang teman yang belum lama datang ke kelas.
Jihan terkekeh. Ia membuka amplop itu. Sebuah surat.
“Jaman apa ini? Masih ada saja surat cinta.” lanjut Feni.
Jihan membaca surat itu. Di sana Raffi mengemukakan kekagumannya atas keberanian Jihan melawan Juna dan kawan-kawan. Ia bahkan mengajak bertemu secara pribadi dengan Jihan di GOR kampus.
“Kau pasti Jihan,” Feni mendekati Jihan sambil menjulurkan tangan kanannya. “Aku Feni. Kau langsung tenar akhir-akhir ini.”
Jihan tersenyum. “Sedikit merepotkan berurusan dengan senior.”
“Kau hebat sekali. Baru masuk, sudah tenar. Bahkan sekarang kau punya penggemar rahasia. Kau pasti orang yang menarik, bisa memikat hati orang itu. Ayo, balas!”
“Itu terlalu konyol.”
“Boleh aku duduk di sebelahmu? Mungkin kita bisa berteman.”
“Oh, tentu.”
Jihan senang, ia bisa mempunyai teman sekarang. Paling tidak, ia punya teman diskusi dan semoga ia tidak termasuk gadis yang menyukai Juna dan kawan-kawan.
Kelas berakhir. Waktu sudah hampir jam 3 sore. Jihan mendapat semangat baru. Mungkin saja Feni benar, Jihan punya penggemar rahasia. Maka ia semangat untuk menyambutnya.
“Aku duluan ya!” pamit Jihan dengan berseri-seri.
Feni mengangguk. “Semangat ya!”
Jihan memperlambat jalannya. Langkahnya menemui keraguan. Ia takut dipermainkan tapi ia juga berharap seperti yang dikatakan Feni.
“Tidak. Apa pun yang terjadi, anggap saja aku menghargai undangan seorang teman,” Jihan memantapkan diri memasuki pintu GOR.
Sepi. Kosong. Jihan semakin dalam memasuki GOR.
Terdengar suara ponsel berdering. Disusul suara Raffi. Tapi entah dimana ia. Paling tidak, Jihan semakin yakin ia tidak dikerjai. Raffi ada di GOR, hanya perlu sedikit usaha untuk menemukannya.
Jihan berjalan menuju arena renang dimana ia dengar sumber suara tadi. Tapi sepi. Kosong.
“Halo?” sahut Jihan. Sepi.
“Raffi? Ehm!” Jihan terbatuk. “Maksudku, Kak Raffi?”
Hening.
Jihan terus berjalan. Tiba-tiba ia seperti melihat sesuatu. Sebuah benda di tepi kolam blok C-300 cm. Ia mendekat. Sebuket bunga mawar merah yang cantik tepat di ujung sepatu Jihan. Jihan menebar pandang. Tidak ada siapa-siapa. mungkinkah itu kejutan dari Raffi untuknya?
Ada sesuatu tertulis di sana : UNTUK JIHAN.
Jihan tersipu. Ia membungkuk dan meraih bunga itu. Diciuminya bunga itu dengan wajah yang merona. Ketika ia berdiri, tiba-tiba sebuah benda berayun dari belakang Jihan dan mendorongnya hingga jatuh ke kolam sedalam 3 meter. Jihan tercebur.
Sebuah tepuk tangan muncul dari ruang ganti. Juna! Dan teman-teman…
Dari sebuket mawar itu keluar dua ekor tikus putih dan  berenang-renang di sekeliling Jihan. Karena geli, Jihan melemparnya. Ia menghindari tikus itu sambil berusaha berenang.
“Kau kesulitan air ya, sampai harus mandi di kampus?” ledek Juna di tepi kolam.
Jihan memandangnya dengan penuh kebencian. Keempat teman Juna menertawakan Jihan. Juna menyodorkan sebuah kantong. Dibukanya kantong itu seolah menumpahkan seluruh isinya ke kolam. Tikus putih!
Jihan menjerit ketakutan dan geli. Ia semakin menjauh dari sisi kolam. Ia semakin ke tengah. Juna dan teman-temannya tertawa.
“Kau pelatih tikus sirkus ya?” ledek Juna lagi. “Nah, selamat melatih…”
Beberapa detik lamanya Juna memandangi Jihan yang ketakutan dan berusaha keras berenang meraih tepi kolam tapi gagal karena tikus-tikus itu ikut berenang.
“Ayo kita pergi!” ajak Gilang.
Jihan kelelahan. Ia tidak bisa berenang. Ia baru bisa meluncur dan itu pun tidak berani di kolam yang dalam.
“Hey, sepertinya mereka menyukaimu. Kalau begitu nikmatilah. Kami permisi, maaf sudah mengganggu privasimu!” teriak Danu sambil berjalan mundur menjauh dari kolam.
Jihan benar-benar tidak kuat lagi. “Matilah aku! Ibu, tolong aku! Paman Baik Hati, tolong aku!” batin Jihan.
Ketika hampir sampai di pintu arena renang, Juna berhenti. Ia berbalik melihat Jihan. Terakhir, hanya tangannya yang melambai. Sedetik kemudian, ia lenyap tenggelam.
“Kenapa?” tanya Argha melihat Juna berhenti.
“Sepertinya dia tidak bisa berenang.” kata Kris.
Tiba-tiba Juna melesat. Ia berlari ke arah kolam dan langsung menceburkan diri ke dalamnya. Keempat temannya terkejut dan berhamburan mendatangi kolam.
“Apa yang dia lakukan?” tanya Gilang sambil melihat ke dalam kolam. “Kenapa tiba-tiba menolong bocah itu?”
“Jangan-jangan bocah itu benar-benar tidak bisa berenang! Kalau dia mati, kita tersangka tunggal.” duga Danu.
Juna berusaha meraih tangan Jihan yang semakin merosot ke dasar kolam. Juna berhasil meraihnya lalu memeluk Jihan dan membawanya ke permukaan.
“Itu dia! Cepat bantu!” ajak Argha yang langsung membantu Juna mengangkat Jihan ke tepi kolam.
Jihan masih sadar. Ia terbaring di lantai sisi kolam. Ia terbatuk karena meminum air kolam. Mata dan hidungnya memerah. Dada dan tenggorokkannya terasa sakit sekali.
Juna berdiri dengan napas terengah-engah. “Bahkan jika berdiri di dasarnya, kau tetap tidak akan mencapai permukaan. Kau terlalu pendek dan payah.”
Juna dan kawan-kawannya meninggalkan Jihan sendirian.

“Hatchi!” Jihan bersin.
“Aduh…kau ini ada-ada saja. Berlatih renang itu tidak harus dengan pakaian lengkap.” Bibi mengompres Jihan sambil ngomel-ngomel.
Hidung Jihan meler. Kepalanya pusing dan badannya panas.
“Kau tidak mungkin sebodoh itu belajar berenang sendirian apalagi dengan pakaian lengkap,” Anggi mencibir di sebalah bibi. “Pasti terjadi sesuatu. Iya, kan?”
Jihan mengigit termometernya. “Aku bilang aku berenang sendiri. Apa tidak jelas? Itu tidak ada hubungannya dengan Anak Bisulan itu!”
“Eh? Anak Bisulan? Kenapa kau memanggilnya begitu? Dia tidak mungkin punya penyakit itu. kulitnya terlalu mulus dan bersih.”
Jihan mencibir. “Itu kan sekarang.”
“Sekarang? Apa kau pernah mengenal Juna sebelumnya? Ceritakan padaku!” Anggi semangat.
“Aku tidak tahu itu dia. Yang kutahu, dia hanya anak kecil kurus dan cengeng. Dia punya bisul di jidatnya.” Jihan menunjuk keningnya sendiri.
“Haf!! Tidak mungkin! Kenapa dia bisa setampan ini sekarang?? Kau pasti berbohong! Ceritakan padaku selengkapnya, cepat!” Anggi mengguncangkan tubuh Jihan.
“Aku tidak mau! Aku tidak tahu apa-apa!”
“Ahk, sudah-sudah! Kalian ini bertengkar terus.” Bibi menengahi. “Jihan, sekarang kau istirahat. Besok kau harus kuliah lagi. Kalau kau butuh sesuatu panggil saja aku. Ayo, kita keluar.”
Jihan mengangguk sambil menarik selimutnya. Anggi dan bibi keluar kamar. Pintu di tutup dan lampu dimatikan.
“Awas kau Juna! Tunggu pembalasanku!” gumam Jihan.



 Bersambung ke Chapter 2















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya