Mozarella Cake - Chapter 1
Chapter
1
Mozarella
Cake – Kue Keju yang Membawa Kenangan Lama
“Juna bisul…Juna
bisul…” beberapa anak megikuti Arjuna, delapan tahun, sambil mengejek. Juna
kesal tapi tidak bisa melawan. Tubuhnya kurus dan kecil. Wajahnya merah
dipenuhi biang keringat di kening, hidung dan sekitar mata. Juga timbul
beberapa benjolan merah yang cukup besar. Bisul. Juna terus berjalan sambil
menangis dan membawa roti keju yang belum habis dimakan.
“Hey,
anak-anak!” salah seorang ibu mereka datang. “Ayo pulang! Jangan dekat-dekat
nanti kalian tertular. Ayo cepat!”
Anak-anak itu
bubar meninggalkan Juna. Juna semakin tersedu. Jika saja ia punya ibu dan jika
saja ibunya masih hidup, ia pasti akan dapat pembelaan. Juna menghapus air
matanya. Ia melihat seorang gadis kecil di taman depan rumahnya. Anak itu
sedang bermain ayunan sendirian dan terlihat sangat gembira sambil bernyanyi.
Seorang anak kecil yang biasa dilihatnya setiap hari dari atas balkon rumahnya
yang tepat menghadap ke taman itu. Untuk itulah Juna turun dan berusaha menemuinya.
Juna mendekati anak itu.
Gadis kecil
berambut panjang terurai itu tidak perduli dengan kedatangan Juna. Ia tetap
asyik bermain dan bernyanyi. Juna duduk di tepi kolam pasir memperhatikan anak
itu. Juna diam memperhatikan. Setelah cukup lama Juna di sana dan anak itu sama
sekali tidak terusik, Juna pun menghampirinya. Ia dia sejenak di hadapan Jihan.
“Lihat apa?”
kata anak kecil itu sedikit galak.
“Hey, apa tidak
bisa kau bergantian? Aku juga mau main.” kata Juna.
Anak itu diam
melihat Juna. Ia lalu turun. “Kau siapa? Berisik sekali. Jangan ganggu aku.
Sana pergi, aku tidak mau bergantian!”
Juna justru
tersenyum karena pertanyaannya ditanggapi. Juna tidak menyerah. Ia maju ke
tengah-tengah tepat di hadapan anak itu. Anak itu terpaksa memberhentikan laju
ayunannya. Ia turun dengan kesal.
“Apa maumu?”
tantang anak kecil itu.
“Aku mau main
ayunan.” Jawab Juna santai.
“Aku bilang,
tidak mau!”
Juna menyodorkan
rotinya. “Tukar.”
Anak itu diam.
Ia memperhatikan roti yang disodorkan Juna. Ia kembali melihat Juna yang
tersenyum. Anak itu mengambil roti Juna dan memakannya. Bukannya mengambil alih
ayunan, Juna justru asyik memperhatikan teman barunya. Setelah habis, anak itu
kembali menguasai ayunan. Juna yang kesal menagih janji dan marah. Anak itu
justru lebih galak dan mengelak, ia tidak mengatakan iya atau setuju untuk
bertukar. Juna mendorong anak itu hingga bergeser. Anak itu membalasnya hingga
Juna terjatuh. Juna menangis. Anak itu diam saja melihat Juna. Anak itu
terlihat menyesal tapi ia juga kesal. Ia lalu berlari meninggalkan Juna dengan
mata berkaca-kaca.
Juna tidak jera.
Besok dan seterusnya ia tetap datang dan meminta bermain bersama. Tapi selalu
berakhir menyedihkan. Suatu hari ayahnya yang seorang pilot pulang. Di tengah
perjalanan komplek menuju rumah, mobilnya mogok. Dalam kelelahan berjalan
menuju rumah, ayah berisitirahat sejenak di sebuah pohon besar. Ia mendengar
suara tangisan anak kecil. Ayah berputar dan menemukan gadis kecil menangis di
balik pohon sambil memegang sebuah roti. Terjadi percakapan diantara keduanya.
Ayah yang lapar mendapat potongan roti keju dari gadis kecil yang
memperkenalkan diri sebagai Jihandra.
Sesampainya di
rumah, Juna mengadukan semua yang dialaminya selama ayah tidak di rumah.
Tentang anak-anak tetangga dan gadis kecil pemarah. Ayah kemudian menceritakan
sebuah kisah seorang anak kecil yang baru ditemuinya sore tadi. Anak itu
kelaparan dan terpaksa merebut roti dari seorang teman yang menurutnya baik. Ia
memakannya sambil menangis karena menyesal. Ia takut diperolok dan takut
ditolak jika memintanya meski temannya duluan yang memberikan roti itu. Esok
hari sebelum ayah kembali pergi bekerja, ayah meminta Juna membawa dua buah
roti Mozarella, roti penuh keju dan lezat kesukaan Juna. Ayah berpesan untuk
membagi roti itu untuk anak yang ditemui Juna agar tidak berebut dan berbaikan.
Mungkin mereka bisa berteman dan bermain bersama.
Juna menuruti
pesan ayah. Lama ia menunggu, anak itu tidak kunjung datang. Hampir setengah
hari dan Juna mulai lelah. Kemudian muncul sebuah truk membawa perabot rumah
tangga. Juna memperhatikan lekat-lekat truk itu. Anak yang ditunggunya duduk di
sebelah pengemudi. Anak itu menangis dengan sangat sedih.
“Jihandra…kata
Ayah, mungkin kita bisa berteman…” gumam Juna di tempat.
Empat belas
tahun kemudian.
“Ibu, aku
berjanji akan menjaganya. Dia akan kembali setelah lulus. Bukankah bagus jika
kau punya cucu seorang sarjana?” kata bibi di telepon.
Jihandra dan Anggi,
sepupunya mendengarnya di kedua sisi bibi.
“Iya…aku
mengerti. Kita harusnya bersyukur dia tidak tersesat di kota. Dia sudah bertemu
denganku dan selamat di rumahku. Akan kuurus dia.”
Bibi memonyong-monyongkan
bibirnya. Anggi dan Jihan tertawa menutup mulut.
“Iya, Bu…biarkan
dia tenang dulu di sini. Dia sangat keras kepala, akan repot jika memaksa. Dia
ingin kuliah. Aku sudah membujuknya, tapi dia tetap keras kepala. Bahkan dia
akan bekerja di tempatku bekerja untuk biaya kuliahnya.”
Jihan
mengangguk.
“Baiklah. Ibu
tenang saja. Iya, baik.” Bibi menutup teleponnya.
“Bagaimana, Bi?”
Jihan antusias.
“Hmh, kau nyaris
mengirim nenekmu ke neraka!” Bibi berdiri.
“Tapi Ibu hebat,
bisa membuat nenek tidak datang kemari…” Anggi memuji ibunya.
“Jihan, kau baru
saja melewatkan impian setiap gadis desa. Menikah dengan anak kepala desa, dari
sebuah keluarga terpandang dan terhormat. Kau malah kabur ke sini dan
mengacaukan acara lamaran itu. Kau beruntung mereka tidak lantas memotong leher
nenekmu. Mereka memaafkanmu dan memberimu kesempatan.” kata bibi.
Jihan duduk
memeluk bantal sofa. “Aku masih muda, Bi. Aku ingin kuliah.”
“Kau iri padaku,
kan?” kata Anggi.
“Iya, betul. Anggi
sudah dua tahun kuliah. Padahal aku jauh lebih pintar darinya.”
“Hey, bicara apa
kau?” Anggi tersenyum.
“Hah…wanita
jaman sekarang. Terlalu salah mengartikan emansipasi.” Gumam Bibi seraya
meninggalkan anak dan keponakannya.
Jihandra atau Jihan,
kabur dari desa ke kota, semalam sebelum esoknya diadakan acara lamaran dari
keluarga kepala desa. Dia dilamar secara pribadi oleh kepala desa melalui
neneknya. Neneknya sangat tidak menyangka dan sangat gembira. Tapi Jihan
mengacaukan semuanya.
Jihan kabur ke
kota mencari bibinya. Jihan tinggal di rumah Bibi dan Anggi, sepupunya. Jihan
beralasan ingin kuliah dan tidak ingin menikah di usia terlalu muda. Usianya
baru dua puluh tahun.
Jihan bekerja di
hotel tempat Bibi bekerja. Bibinya bekerja sebagai petugas kebersihan. Jihan
bekerja sebagai roomgirl yang
mengurus kerapihan kamar hotel. Menyesuaikan dengan jadwal kuliah, Jihan masuk
kerja setiap sore hingga malam. Jihan juga mendaftar kuliah di kampus yang sama
dengan Anggi agar mereka bisa pulang dan pergi bersama. Jihan bisa naik motor Anggi
untuk menghemat ongkos kuliah.
Hari pertama
kuliah. Anggi tidak ada kelas pagi, dia sengaja bangun siang. Semalam hujan dan
suasana sangat mendukung untuk bermalas-malasan. Mau tidak mau, Jihan pergi
sendiri ke kampus.
Air menggenang
di beberapa kubangan jalan. Jihan sedang berjalan di jalan menuju gedung kampus.
Tiba-tiba sebuah motor besar berwarna hitam-merah melintas dan menembus sebuah
kubangan.
“Wufs!” Jihan
terkejut dan kesal. Airnya terciprat ke lengan kanan hingga wajah Jihan. Bahkan
ia terbatuk karena airnya masuk ke mulut.
“Hey, kau!!!” Jihan
berteriak memaki Si Pengendara.
Pengendara motor
berhenti. Ia menoleh dan membuka kaca helm fullface-nya.
Jihan berjalan cepat ke arah Si Pengendara.
“Kau yang mencipratkan
air itu ke mukaku, kan??” tanya Jihan dengan emosi.
“Tidak.” Biasa
saja tanpa rasa bersalah
“Tapi tadi kau
yang lewat jalan itu, kan??” dengan geram.
“Iya. Kenapa?”
“Kenapa??” Jihan
mengepal tinjunya. “Buka helmmu!”
Si Pengendara
membuka helmnya.
“Tampan sekali! Ups!” Jihan menggeleng. “Percuma berwajah tampan kalau tidak punya otak!”
“Ada masalah?”
Jihan meraih
botol minumnya di tas, membukanya buru-buru lalu,
Byur!! Jihan
menyiram muka Si Pengendara.
Suasana memang
masih pagi tapi beberapa detik yang lalu orang-orang yang lewat tampak ramai berceloteh
sambil berjalan. Tiba-tiba suasana hening. Beberapa orang terpaku memperhatikan
aksi Jihan menyiram orang dengan sadisnya.
“Pakai matamu
kalau berjalan!!” Jihan pergi meninggalkan si pengendara yang mematung.
“Kau tidak kenal
aku, ya??!” orang itu marah.
“Kenapa? Kau
anak orang kaya pemilik kampus ini? Hah? Aku tidak peduli. Kalau kau merasa
bermasalah, cari saja aku. Jihan! Itu namaku!” Jihan lalu pergi.
Bukan tidak
ingin mengejar atau membalasnya, tapi Si Pengendara merasa mengenalnya. Ia
berbalik memperhatikan Jihan yang pergi. Setelah cukup jauh, tiba-tiba Jihan
tersandung batu dan ia terjatuh. Ia sadar Si Pengendara memperhatikannya.
“Lihat apa??”
katanya galak. Jihan langsung berdiri lalu pergi.
Si Pengendara
melamunkan sesuatu. Ia teringat seseorang. Anak kecil yang menyebalkan, yang
suka merebut makanannya. Ia sering memperhatikan anak kecil itu ketika sedang
bermain ayunan di taman. Anak kecil menyebalkan itu tidak pernah mau bergantian
dan menguasai ayunan.
“Lihat apa??”
kata anak kecil itu dengan galaknya.
Si Pengendara
itu adalah Arjuna, atau Juna. Ia kuliah di kampus yang sama dengan Jihan.
hanya, Juna sudah hampir lulus.
Juna berkedip,
ia mengusap wajahnya yang basah. Seseorang lewat di samping Juna, tanpa melihat
siapa orangnya, Juna menarik kerah baju orang itu. Orang itu ketakutan.
“Kau anak mana?”
tanya Juna dengan sangarnya.
“A-aku Raffi…anak
hukum semester tiga.”
“Kau kenal orang
itu tidak?”
“Di-dia anak
baru. Fakultas hukum.”
Juna melepaskan
cengkeramannya lalu pergi.
Orang itu menghela
napas dan merapikan bajunya.
Di kantin kampus
saat jam istirahat. Jihan sedang asik melahap mie gorengnya. Tiba-tiba Juna
datang dan langsung duduk di depannya. Jihan menghentikan makannya.
Juna menyodorkan
sekotak roti bermerk dan terkenal. Mozarella Cake. Jihan memperhatikan roti
itu.
“Apa maumu?”
tanya Jihan.
Juna membuka
bungkus itu dan mengeluarkan beberapa roti yang merekah dan tampak sangat
menggoda. Dijajarkannya semua roti itu di meja.
“Kau minta aku
mecicipinya?” tanya Jihan dengan ekspresi tidak mengerti. “Kau pasti
meracuniku.”
“Kau tidak suka
roti ini, atau kau sedang tidak kelaparan?”
Jihan memandangi
Juna tidak mengerti.
“Aku punya
banyak roti lezat. Kau tidak berniat merebutnya dariku?”
Jihan merasa
diingatkan sesuatu dan ia mulai tidak suka. Keduanya saling beradu pandangan.
Beberapa orang memperhatikan mereka dengan heran. Kaum hawanya justru iri
melihat Jihan bisa beradu tatap dengan pria tertampan dan terpopuler di kampus.
“Hm? Apa itu?” Jihan
memecah suasana.
“Apa?” Juna
balik bertanya.
“Ada bisul di
jidatmu!”
Juna tersenyum
lalu tertawa. Jihan menenggak jus tomat favoritnya.
“Sudah kuduga,
kau orangnya,” kata Juna. Juna berdiri, mengambil jus tomat yang sedang diminum
Jihan lalu menumpahkannya ke kepala Jihan.
Seisi kantin
syok. Jihan terlalu syok dan tidak bisa mengelak hingga jus itu habis
ditumpahkan Juna ke kepalanya.
“Selamat datang,”
kata Juna sambil meletakkan gelas kosong. “kau akan membayarnya di kampus ini,
sayang kita baru bertemu. Kalau kau datang lebih awal, semua akan lebih
menarik. Aku Juna, mahasiswa semester 7 fakultas teknik, jurusan arsitektur.
Sampai aku lulus nanti, hari-harimu akan menjadi sangat berat.”
Juna pergi.
Jihan berdiri menantang. “Tunggu
Juna berbalik.
Seketika Jihan melempar sepatunya ke arah Juna. Dengan sigap Juna menghindar
dan sepatu itu masuk ke panci rebusan milik penjual makanan di kantin. Seisi
kantin terkejut. Juna memberikan jempol terbalik ke arah Jihan lalu pergi.
“Hey, jangan
pergi, Bocah Bisulan!” teriak Jihan yang berusaha menyusul.
“Hwa!!!”
serentak seisi kantin terkejut dengan sebutan itu untuk Juna.
Langkah Jihan
terhalang, pemilik panci yang kemasukan sepatu Jihan menahannya. Ia marah-marah
dan meminta Jihan mengganti kerugiannya. Akibat sepatu itu, makanannnya tidak
bisa ia jual dan Jihan harus membayarnya.
Kelas bubar. Jihan
merapikan buku-bukunya. Teleponnya bergetar. “Halo?”
Seorang teman
memperhatikannya di belakang kursi Jihan.
“Kau masih ada
kelas? Berapa lama lagi?” Jihan menutup tasnya. “Baiklah. Aku menunggu di
perpustakaan.”
Telepon selesai.
Jihan pergi. Ia tidak bersemangat. Ia sudah meninggalkan kesan buruk di mata
teman-temannya akibat kejadian di kantin tadi siang. Jihan berjalan menuju
perpustakaan sambil menunggu Anggi selesai kelas dan pulang bersama. Ia
berjalan lesu di koridor kelas kampus. Ia sangat ingin membalas Juna. Tapi
bagaimana caranya. Jihan terus berjalan perlahan hingga ia melewati halaman
parkir. Tiba-tiba muncul ide jahilnya.
Jihan tahu motor
yang biasa digunakan Juna ke kampus. Jihan mencarinya. Tidak sulit untuk
menemukannya. Karena hanya Juna yang ia lihat memakai motor seperti itu.
Akhirnya ketemu. Jihan memperhatikan sekelilingnya. Agak sepi. Jihan
mengendap-endap mendekati motor Juna. Ia membuka pentil ban motor Juna.
Kemudian dimasukkannya sebuah kawat yang ia temukan di tanah ke dalam lubang
pentil ban itu. Jihan sengaja mengempiskannya. Ia juga menggores bodi motornya
dengan kunci loker. Jihan lalu puas dan pergi dengan mengendap-endap tanpa
diketahui siapa pun.
Beberapa saat
kemudian Juna datang. Ia marah melihat ban motornya kempis. Ia lebih ingin
marah ketika melihat bodi motornya yang tergores. Teman-temannya mengira ini
perbuatan sengaja. Juna langsung menebak siapa orangnya. Juna pergi ke fakultas
hukum dan mencari Jihan. Menurut teman-temannya, Jihan sudah pulang. Ia tidak
ditemukan di kampus. Juna benar-benar geram dibuatnya.
“Kau mencari
siapa?” seorang teman sekelas Jihan yang tadi memperhatikan Jihan mengur Juna.
“Dimana Jihan?”
tanya Juna dengan emosi.
“Sepertinya dia
di perpustakaan. Dia tidak langsung pulang karena menunggu seseorang.”
Juna langsung
meluncur ke perpustakaan.
“Hey Feni, dia
kenapa?” tanya seorang lain padanya.
Feni mengangkat
bahu lalu pergi.
Di perpustakaan.
Juna menabrak orang yang menghalangi jalannya menghampiri Jihan yang sedang
membaca di meja baca. Juna menarik tangan Jihan dan memaksanya keluar. Buku-buku
Jihan berantakan dan mereka terlibat pertengkaran
“Hey, lepaskan
aku! Kau ini kenapa?” maki Jihan.
“Ikut aku!”
suara Juna tidak kalah keras.
“Kalian berisik
sekali!” kepala perpustakaan memperingati mereka.
Jihan terpaku. Juna
memasukkan sembarang buku-buku Jihan ke dalam ransel Jihan lalu menarik paksa Jihan
keluar. Tidak ada yang berani menolong apalagi bertanya. Sebaliknya, kaum hawa
justru iri melihat Jihan bisa digandeng oleh Juna meski bukan itu maksudnya. Jihan
dibawa ke tempat parkir.
“Ulahmu, kan?” kata
Juna di depan teman-temannya.
“Wah! Kau berani
sekali, Anak Baru!” sahut Gilang, satu dari empat teman Juna.
“Kau tidak kenal
kami rupanya.” kata Argha.
“Harusnya,
kejadian di kantin kau jadikan pelajaran. Kau benar-benar bosan hidup ya?”
lanjut Kris.
“Nasibmu sungguh
sial.” Cela Danu.
“Kau harus
menggantinya!” kata Juna.
“Kenapa aku?”
tanya Jihan pura-pura tidak tahu.
“Kenapa?” Juna
tampak marah. “Baiklah. Langsung pada inti permasalahannya saja. Aku mau kau
mengganti kerusakan motorku!”
“Motormu bagus.
Kau pasti orang kaya. Kau tidak akan langsung jatuh miskin hanya karena
mengeluarkan sedikit uang untuk itu, kan?”
“Apa?? Kau benar-benar
menghinaku ya?” Juna semakin emosi.
“Baiklah.
Kelihatannya kau sedang kesulitan uang, jadi memintaku membayarnya. Berapa kau
butuh?” dengan santainya Jihan menantang. Menurutnya tidak lebih dari satu juta
rupiah.
“Kau
meremehkanku ya? Kau tahu tidak, harga motorku ini?”
“Paling tidak
jauh dari motor matic. Mungkin saja ini
motor biasa yang kau modif.”
“Wah!” teman-teman
Juna terperanjat.
“Ini SUZUKI
HAYABUSA 1300 GSX-R dengan warna hitam merah yang mewah, 342 km per jam bahkan
tanpa limiter!” maki Juna dengan kesal.
“Percuma saja.
Dia tidak akan mengerti.” kata Gilang.
“Itu motor
supersport termahal saat ini. Harganya 400 juta. Kau tidak akan pernah bisa
membelinya meski kau harus jual diri!” kata Danu.
“Mungkin saja
kalian benar, tapi aku hanya punya seratus ribu.” Jihan mengeluarkan selembar
uang dari sakunya. “Nih, mau tidak?”
Juna merebut dan
merobeknya lalu menghamburkannya di wajah Jihan.
Jihan syok. “Kau
tidak menghargai niat tulusku ya? itu uang! Kau bisa membeli sesuatu yang bagus
dengan uang itu, dasar bodoh!” Jihan memunguti sobekan uang itu tapi terasa percuma.
Juna menginjak perlahan
tangan Jihan. Jihan memekik kesakitan. Juna menarik tas punggung Jihan hingga
ia terangkat seperti anak kucing dan tergantung.
“Turunkan aku, Bocah
Tengik!” maki Jihan.
Juna
melepaskannya, Jihan terjatuh. Juna berjongkok agar sama tinggi dengan Jihan.
Ia menarik rambut Jihan memaksa Jihan menengadah menghadapnya.
“Aku sedang
berusaha memaafkanmu, tapi kau memulainya lagi.” bisik Juna dengan emosi. “Kau
akan mendapat masalah!”
Juna mendorong Jihan
hingga terjatuh kedua kalinya lalu pergi dengan motornya. Teman-teman Juna juga
pergi.
“Hey, Bocah
Bisulan!” teriak Jihan. “Itu kan salahmu sendiri, kenapa membeli motor mahal
dan memakainya di jalan umum seperti ini. Kau terlalu pamer!”
Jihan datang ke
kampus lebih pagi dari biasanya. Ia takut dikerjai Juna kalau datang siang dan
terlihat olehnya. Ia sudah lelah terus berbalas-balasan seperti itu. Jihan
menunggu jam belajar dimulai dengan membaca buku di kursinya. Seseorang
tiba-tiba menghampirinya. Ia berdiri tepat di ujung sepatu Jihan.
“Apa lagi ini…” batin Jihan. Dengan
was-was Jihan mengangkat pandang perlahan.
Untunglah, bukan
Juna atau kawan-kawannya. Orang itu tersenyum lalu menyodorkan sebuah amplop
kecil kepada Jihan.
“Apa ini?” tanya
Jihan.
“Aku Raffi. Anak
hukum semester 3. Terimalah.”
Jihan
mengambilnya dengan ragu.
“Terima kasih.
Kumohon datanglah.” Raffi lalu pergi.
Jihan memandangi
Raffi hingga benar-benar pergi.
“Mungkin dia
menyukaimu.” kata Feni. Seorang teman yang belum lama datang ke kelas.
Jihan terkekeh.
Ia membuka amplop itu. Sebuah surat.
“Jaman apa ini?
Masih ada saja surat cinta.” lanjut Feni.
Jihan membaca
surat itu. Di sana Raffi mengemukakan kekagumannya atas keberanian Jihan
melawan Juna dan kawan-kawan. Ia bahkan mengajak bertemu secara pribadi dengan Jihan
di GOR kampus.
“Kau pasti Jihan,”
Feni mendekati Jihan sambil menjulurkan tangan kanannya. “Aku Feni. Kau
langsung tenar akhir-akhir ini.”
Jihan tersenyum.
“Sedikit merepotkan berurusan dengan senior.”
“Kau hebat
sekali. Baru masuk, sudah tenar. Bahkan sekarang kau punya penggemar rahasia.
Kau pasti orang yang menarik, bisa memikat hati orang itu. Ayo, balas!”
“Itu terlalu
konyol.”
“Boleh aku duduk
di sebelahmu? Mungkin kita bisa berteman.”
“Oh, tentu.”
Jihan senang, ia
bisa mempunyai teman sekarang. Paling tidak, ia punya teman diskusi dan semoga
ia tidak termasuk gadis yang menyukai Juna dan kawan-kawan.
Kelas berakhir.
Waktu sudah hampir jam 3 sore. Jihan mendapat semangat baru. Mungkin saja Feni
benar, Jihan punya penggemar rahasia. Maka ia semangat untuk menyambutnya.
“Aku duluan ya!”
pamit Jihan dengan berseri-seri.
Feni mengangguk.
“Semangat ya!”
Jihan
memperlambat jalannya. Langkahnya menemui keraguan. Ia takut dipermainkan tapi
ia juga berharap seperti yang dikatakan Feni.
“Tidak. Apa pun
yang terjadi, anggap saja aku menghargai undangan seorang teman,” Jihan
memantapkan diri memasuki pintu GOR.
Sepi. Kosong. Jihan
semakin dalam memasuki GOR.
Terdengar suara
ponsel berdering. Disusul suara Raffi. Tapi entah dimana ia. Paling tidak, Jihan
semakin yakin ia tidak dikerjai. Raffi ada di GOR, hanya perlu sedikit usaha
untuk menemukannya.
Jihan berjalan
menuju arena renang dimana ia dengar sumber suara tadi. Tapi sepi. Kosong.
“Halo?” sahut Jihan.
Sepi.
“Raffi? Ehm!” Jihan
terbatuk. “Maksudku, Kak Raffi?”
Hening.
Jihan terus
berjalan. Tiba-tiba ia seperti melihat sesuatu. Sebuah benda di tepi kolam blok
C-300 cm. Ia mendekat. Sebuket bunga mawar merah yang cantik tepat di ujung
sepatu Jihan. Jihan menebar pandang. Tidak ada siapa-siapa. mungkinkah itu
kejutan dari Raffi untuknya?
Ada sesuatu
tertulis di sana : UNTUK JIHAN.
Jihan tersipu.
Ia membungkuk dan meraih bunga itu. Diciuminya bunga itu dengan wajah yang merona.
Ketika ia berdiri, tiba-tiba sebuah benda berayun dari belakang Jihan dan
mendorongnya hingga jatuh ke kolam sedalam 3 meter. Jihan tercebur.
Sebuah tepuk
tangan muncul dari ruang ganti. Juna! Dan teman-teman…
Dari sebuket
mawar itu keluar dua ekor tikus putih dan
berenang-renang di sekeliling Jihan. Karena geli, Jihan melemparnya. Ia
menghindari tikus itu sambil berusaha berenang.
“Kau kesulitan
air ya, sampai harus mandi di kampus?” ledek Juna di tepi kolam.
Jihan
memandangnya dengan penuh kebencian. Keempat teman Juna menertawakan Jihan. Juna
menyodorkan sebuah kantong. Dibukanya kantong itu seolah menumpahkan seluruh
isinya ke kolam. Tikus putih!
Jihan menjerit
ketakutan dan geli. Ia semakin menjauh dari sisi kolam. Ia semakin ke tengah. Juna
dan teman-temannya tertawa.
“Kau pelatih
tikus sirkus ya?” ledek Juna lagi. “Nah, selamat melatih…”
Beberapa detik
lamanya Juna memandangi Jihan yang ketakutan dan berusaha keras berenang meraih
tepi kolam tapi gagal karena tikus-tikus itu ikut berenang.
“Ayo kita
pergi!” ajak Gilang.
Jihan kelelahan.
Ia tidak bisa berenang. Ia baru bisa meluncur dan itu pun tidak berani di kolam
yang dalam.
“Hey, sepertinya
mereka menyukaimu. Kalau begitu nikmatilah. Kami permisi, maaf sudah mengganggu
privasimu!” teriak Danu sambil berjalan mundur menjauh dari kolam.
Jihan benar-benar
tidak kuat lagi. “Matilah aku! Ibu,
tolong aku! Paman Baik Hati, tolong aku!” batin Jihan.
Ketika hampir
sampai di pintu arena renang, Juna berhenti. Ia berbalik melihat Jihan.
Terakhir, hanya tangannya yang melambai. Sedetik kemudian, ia lenyap tenggelam.
“Kenapa?” tanya
Argha melihat Juna berhenti.
“Sepertinya dia
tidak bisa berenang.” kata Kris.
Tiba-tiba Juna
melesat. Ia berlari ke arah kolam dan langsung menceburkan diri ke dalamnya.
Keempat temannya terkejut dan berhamburan mendatangi kolam.
“Apa yang dia
lakukan?” tanya Gilang sambil melihat ke dalam kolam. “Kenapa tiba-tiba
menolong bocah itu?”
“Jangan-jangan
bocah itu benar-benar tidak bisa berenang! Kalau dia mati, kita tersangka
tunggal.” duga Danu.
Juna berusaha
meraih tangan Jihan yang semakin merosot ke dasar kolam. Juna berhasil
meraihnya lalu memeluk Jihan dan membawanya ke permukaan.
“Itu dia! Cepat
bantu!” ajak Argha yang langsung membantu Juna mengangkat Jihan ke tepi kolam.
Jihan masih
sadar. Ia terbaring di lantai sisi kolam. Ia terbatuk karena meminum air kolam.
Mata dan hidungnya memerah. Dada dan tenggorokkannya terasa sakit sekali.
Juna berdiri
dengan napas terengah-engah. “Bahkan jika berdiri di dasarnya, kau tetap tidak
akan mencapai permukaan. Kau terlalu pendek dan payah.”
Juna dan
kawan-kawannya meninggalkan Jihan sendirian.
“Hatchi!” Jihan
bersin.
“Aduh…kau ini
ada-ada saja. Berlatih renang itu tidak harus dengan pakaian lengkap.” Bibi
mengompres Jihan sambil ngomel-ngomel.
Hidung Jihan
meler. Kepalanya pusing dan badannya panas.
“Kau tidak
mungkin sebodoh itu belajar berenang sendirian apalagi dengan pakaian lengkap,”
Anggi mencibir di sebalah bibi. “Pasti terjadi sesuatu. Iya, kan?”
Jihan mengigit
termometernya. “Aku bilang aku berenang sendiri. Apa tidak jelas? Itu tidak ada
hubungannya dengan Anak Bisulan itu!”
“Eh? Anak
Bisulan? Kenapa kau memanggilnya begitu? Dia tidak mungkin punya penyakit itu.
kulitnya terlalu mulus dan bersih.”
Jihan mencibir.
“Itu kan sekarang.”
“Sekarang? Apa
kau pernah mengenal Juna sebelumnya? Ceritakan padaku!” Anggi semangat.
“Aku tidak tahu
itu dia. Yang kutahu, dia hanya anak kecil kurus dan cengeng. Dia punya bisul
di jidatnya.” Jihan menunjuk keningnya sendiri.
“Haf!! Tidak
mungkin! Kenapa dia bisa setampan ini sekarang?? Kau pasti berbohong! Ceritakan
padaku selengkapnya, cepat!” Anggi mengguncangkan tubuh Jihan.
“Aku tidak mau!
Aku tidak tahu apa-apa!”
“Ahk,
sudah-sudah! Kalian ini bertengkar terus.” Bibi menengahi. “Jihan, sekarang kau
istirahat. Besok kau harus kuliah lagi. Kalau kau butuh sesuatu panggil saja
aku. Ayo, kita keluar.”
Jihan mengangguk
sambil menarik selimutnya. Anggi dan bibi keluar kamar. Pintu di tutup dan
lampu dimatikan.
“Awas kau Juna!
Tunggu pembalasanku!” gumam Jihan.
Bersambung ke Chapter 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar