17 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 3


Chapter 3
Ada Apa Dengan Masa Lalu?

Lanjutan Dari Chapter 2

Di ruang kelas fakultas teknik.
 “Kakak, mohon maaf mengganggu.” Anggi sedikit menunduk. “Aku Anggi, fakultas ekonomi semester empat.”
Juna dan teman-temannya memperhatikan.
“Ada apa?” tanya Gilang.
“Aku…sepupunya Jihan.”
“Haaa…kukira kau minta foto bersama.” Ledek Kris disambut tawa Danu.
“Kak Juna, aku mewakili Jihan. Aku mohon, maafkanlah dia. Dia memang sedikit mengganggu. Tapi sebenarnya dia itu baik dan cerdas.” Anggi masih merunduk. Kepalanya sesekali mengangguk.
Juna diam saja. Argha memperhatikan Juna, menunggu responnya.
“Kasihanilah dia. Dia kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil. Hidupnya sungguh berat. Aku rasa, dia keras kepala karena dia tidak ingin terlihat lemah dan dikasihani.”
“Kau ke sini disuruh dia?” tanya Argha.
Anggi menggeleng. “Kumohon, jangan beritahu dia. Aku hanya tidak ingin dia mendapat masalah. Aku akan membujuknya agar tidak berurusan lagi dengan Kakak.”
Juna berdiri. Dia melewati Anggi. Teman-teman Juna diam menunggu apa yang akan dilakukan Juna. Anggi merengut, ia merasa telah gagal dan percuma.
“Aku tidak pernah mengaggapnya musuhku. Kalau dia berhenti membuat masalah, aku juga tidak akan mempermasalahkannya.” Juna pergi.
Argha berdiri. Ia berhenti sejenak memandangi Anggi yang masih tertunduk. Argha lalu pergi diikuti ketiga temannya.
“Ada apa dengan Juna?” tanya Danu saat di luar.
“Kenapa?” Kris menimpal.
“Entahlah. Sepertinya, dia bukan Juna yang biasa kukenal. Di terlihat sedikit lemah.” Jawab Gilang sambil berjalan.
“Tidak. Bukan itu. Juna itu laki-laki sejati. Kalian tahu dia itu atlet karate tingkat nasional. Kalau lawannya laki-laki, dia bisa berkelahi habis-habisan. Kali ini ia menghadapi perempuan. Dilawan akan seperti penjahat kelamin. Jadi, Juna hanya menakuti Jihan saja.” Jelas Argha.
“Kau benar juga.”

“Kau tidak bekerja?” tanya Anggi di rumah.
Jihan menggeleng. Ia berbaring di kasurnya.
“Kau masih syok, ya?”
Jihan diam saja.
“Kau sudah mengabari Ibuku?”
Jihan mengangguk.
“Hmh, ya sudahlah. Aku sudah siapkan makan malam. Kalau kau lapar, turunlah. Aku makan duluan.” Anggi keluar seraya menutup pintu.

Di arena basket kampus. Argha sedang bermain basket sendirian. Juna duduk di bangku penonton memainkan ponselnya.
“Hey, Juna!” panggil Argha sambil mendrible bola. “Soal yang tadi siang. Boleh aku bertanya sesuatu padamu?”
Juna diam saja. Ia sedang bermain game balap.
“Sepertinya, kalian sudah lama saling kenal.” Argha memasukkan bola ke dalam ring.
Juna berhenti. Ia memandang Argha beberapa detik lalu kembali sibuk.
“Kenapa Jihan memanggilmu Anak Bisulan? Apa dia pernah mengenalmu?”
Juna diam sejenak. “Iya. Aku pernah bertemu dengannya hampir setiap hari, empat belas tahun yang lalu.”
Argha menahan shootingnya.
“Aku baru tahu itu dia. Aku rasa, dia juga begitu.”
Argha mendengarkan sambil menyudahi permainannya. Ia berjalan membawa bolanya menuju tempat Juna.
“Apa kau merasa kasihan padanya?” tanya Argha sesampainya.
“Kasihan kenapa?”
“Soal orang tuanya.”
Juna tersenyum sedikit. “Di luar sana, ada banyak orang yang tidak punya orang tua. Bukankah aku juga begitu?”
“Kau benar. Jadi, kau mengerti kasihan yang kumaksud itu apa?”
Juna menghela napas. “Aku tahu sejak dulu. Tapi tidak begitu mengerti. Ayahku dulu pernah bertemu dengannya. Aku tahu dari ayahku. Kenapa harus merasa kasihan, bukankah dia sendiri tidak ingin dikasihani. Kalau dia tidak menyebalkan, mungkin aku akan sedikit berbaik hati padanya.”
“Wah, ayahmu juga terlibat?”
“Apa maksudmu?”
Argha hanya tersenyum.
Juna berdiri. “Aku lelah. Aku mau pulang.”
Argha diam sejenak lalu menyusul.
Seseorang mendengarkan pembicaraan Juna dan Argha di sudut tersembunyi. Ia tampak tidak senang.

Pagi hari di kampus. Jihan menunggu seseorang di depan ruang Mahasiswa Pencinta Alam. Cukup lama Jihan di sana. Mondar-mandir menunggu orang datang.
“Kau cari siapa?” sebuah suara menegur Jihan.
Jihan berbalik. “Kak-Kakak…aku…”
“Kau mencariku?” tanya Satria.
“Mm, iya…”
Satria mengeluarkan kunci dari sakunya. Ia membuka pintu dan mempersilahkan Jihan masuk. Juna yang kebetulan lewat melihatnya. Juna diam sejenak lalu pergi.
“Aku…boleh bergabung dengan klub ini?”
Satria diam memandang ke arah Jihan.
“Aku belum pernah mendaki gunung. Tapi aku sangat tertarik untuk itu. Bisakah?”
Satria berbalik. Ia mengambil sesuatu di lemari pojok ruangan. Lemari yang berantakan dan penuh dengan tumpukan kertas.
Jihan memandang berkeliling. Ia mendekati sebuah madding yang koyak. Ia melihat sesuatu yang menarik. Jihan mengambilnya. Sebuah foto. Foto seorang gadis berambut coklat kemerahan bergelombang. Gadis dengan senyum manis memakai almamater kampusnya. Dilihatnya dibalik foto itu, Rinjani. Satria merebut foto itu. Jihan terkejut.
“Ma-maaf, Kak.” Jihan masih terkejut.
Satria tidak berkomentar. Ia menyerahkan secarik kertas pada Jihan. “Isi dan tanda tangani.”
Jihan mengambilnya lalu mengisinya di meja lain. Jihan tidak berkonsentrasi. Ia teringat kata-kata Anggi malam itu. Jihan baru menyadari sesuatu. Ia seperti melihat dirinya pada orang lain. Rinjani sangat mirip dengannya.
“Liburan akhir semester ini, kami akan mengadakan acara pendakian gunung. Sebelum berangkat, kau harus dapat bimbingan dahulu. Kau juga harus melakukan sejumlah tes kesehatan untuk memastikan kau siap mendaki.” kata Satria.
“Benarkah? Kalau seperti itu, aku yakin bisa. Semua pasti aman.”
“Tidak juga.”
“Apa?”
“Kalau kau keras kepala, tidak menurut padaku, kau akan tersesat dan aku tidak bisa menjamin kau akan pulang dengan selamat.”
Jihan termenung. “Mungkin, Rinjani tidak menuruti kata-kata Satria. Itu membuat Satria merasa kehilangan dan bersalah selama ini. Kasihan…tapi aku tidak akan seperti itu.”
“Hm!” Jihan mengagguk dengan semangat. “Aku janji padamu, Kak!”
Satria tersenyum. Jihan ikut tersenyum. “Ya ampun…dia manis sekali…”
Jihan keluar ruangan dengan wajah cerah. Ia berjalan sedikit berayun karena gembira. Jihan melewati fakultas teknik. Juna sedang bersandar di tiang lantai tiga depan ruang kelasnya. Jihan lewat. Wajahnya cerah ceria. Juna memperhatikannya. Argha memperhatikan Juna. Argha melihat ke arah yang Juna lihat. Argha kembali melihat Juna.

Hari ini Jihan tidak pergi ke kampus bersama Anggi. Anggi sedang sibuk mengerjakan tugas kelompok yang membuatnya tidur malam dan bangun siang.
Jihan menunggu bis di sebuah halte dekat dengan kampus. Sebuah motor berhenti.
“Jihan!” Satria membuka helmnya.
Jihan terkejut. Satria tersenyum.
“Mau ikut?” tawar Satria.
Jihan tersenyum mengangguk. “Eh, tapi…apa tidak  apa-apa, Kak?”
“Kenapa?” Satria balik bertanya. “Pacarmu…”
Jihan menggeleng. “Tidak. Maksudku, Kakak…”
Satria tersenyum. “Aku yang mengajakmu. Jadi, mau tidak?”
Jihan tersenyum lalu mengambil posisi.
Jihan senang sekali bisa naik motor bersama Satria. Mungkin saja, Satria menganggapnya spesial sampai mengajaknya pergi ke kampus bersama.
Satria hampir sampai di kampus. Juna datang dan menyalip dengan motor besarnya. Jihan tidak peduli, ia terlalu senang. Juna mengintip di spionnya lalu memacu kecepatan lebih.
“Terima kasih ya, Kak.” Jihan turun dari motor Satria.
 “Hm, baiklah. Aku ke kelas duluan.” Satria mencondongkan tubuhnya pada Jihan. Ia berbisik, “aku belum mengerjakan PR. Aku harus bergegas!”
Jihan tercengang lalu tersenyum. Sedikit terkejut karena Satria mendekatinya tiba-tiba. Satria tersenyum lalu pergi. Jihan masih terpaku memandangi kepergian Satria.
“Ehm!” Juna terbatuk di belakang Jihan. “Apa kau masih lama melamun di tengah jalan begini?”
Jihan berbalik. Ia terkejut Juna di belakangnya. Jihan minggir tanpa komentar. Juna pergi begitu saja. Jihan berjalan perlahan. Dilihatnya Juna dari belakang dengan lekat-lekat. Gaya jalannya, langkah kakinya, kakinya yang panjang, punggungnya yang tegap dan lurus, rambutnya yang hitam pendek dan rapi, bahunya yang kekar juga lehernya yang jenjang. Sangat jauh berbeda dengan Juna kecil yang dikenalnya empat belas tahun lalu. Juna yang kurus, baju kebesaran, bisulan dan merah biang keringat.
“Ahk…kenapa rasanya seperti tidak adil. Dia berubah begitu banyak. Aku tetap begini-begini saja. Tidak cantik dan tidak menarik. Menyedihkan, dipertemukan dengan keadaan seperti ini.” Jihan mengeluh lalu kembali berpisah dari Juna di persimpangan jalan.
Hari ini, Jihan tidak mendapat masalah. Seharian Jihan tidak bertemu Juna. Tidak bertemu Raffi dan masalah-masalah lain. Anggi tidak bisa pulang cepat. Ia ada kegiatan kelompok. Jihan terpaksa pulang sendirian.
Jihan berjalan santai keluar kampus. Rasanya memang agak aneh karena semua orang seperti menganggapnya biasa saja. Seolah tidak pernah terjadi sesuatu.
Terdengar bunyi klakson. Jihan minggir. Sebuah mobil Ford hitam melintas. Di dalamnya Kris dan Danu. Kemudian melintas Mercy hitam. Gilang dan Argha di bangku depan. Jihan kembali berjalan.
Juna lewat dengan motor Hayabusa-nya. Ia tidak membunyikan klakson. Ia sengaja menghindari Jihan. Jihan memperlambat jalannya. Ia memperhatikan Juna. Ia lalu menyindir di belakang Juna sambil melipat tangan di dada. Jihan memperhatikan Juna. Jihan cemberut dengan kesal meniup poninya sendiri lalu kembali berjalan. Juna melirik spionnya. Dilihatnya Jihan masih berjalan.

Sepertinya permohonan Anggi kepada Juna lumayan berhasil. Untuk beberapa waktu lamanya Jihan merasa tenang ke kampus. Tidak bertemu masalah dan tidak didatangi masalah. Ia jarang bertemu Juna dan masalah-masalah lain setiap mereka bertemu. Mungkin juga karena mereka akan menghadapi ujian tengah semester yang harus fokus belajar dan melupakan permusuhan sementara waktu.
Seminggu setelah ujian, Jihan masih belum melihat Juna di kampus. Entah kenapa rasanya aneh. Setiap tiba di parkiran Jihan memandang berkeliling mencari motor Juna. Tapi tidak ada. Jihan juga tidak menemui Satria. Rasanya tidak semangat. Jihan berjalan lesu menuju kelasnya. Dua orang perempuan sedang bercengkrama.
“Kau serius melihat Juna?” tanya temannya.
Temannya mengangguk. “Di sebuah perusahaan dengan setelan jas yang rapi. Meski tanpa dasi dan terlihat santai, rasanya dia tetap mempesona. Dia sangat tampan. Kulitnya yang putih semakin bersinar dan membuat bibirnya terlihat merah.”
“Ouwh…” temannya meringis gemas. “Jadi benar, setelah ayahnya wafat dia jadi harus bekerja sendiri. Dia yatim piatu yang menyedihkan. Tapi kalau seperti itu sih tidak menyedihkan.”
Jihan mendengarkan. Ia tersentak pada pernyataan, ‘ayahnya wafat’, ‘yatim piatu’.
“Pantas dia jarang di kampus. Mengurung diri di kelas lalu pergi bekerja. Tapi apa pekerjaannya?”
Temannya mengangkat bahu. “Kudengar dia hanya salah satu pemegang saham di perusahaan itu.”
Mereka melirik Jihan yang diam mendengarkan. Mereka tampak tidak suka lalu pergi. Jihan menarik napas. Meski dia sudah tidak dalam masalah rumit dengan Juna, tapi pandangan orang terhadapnya tetap saja berarti masalah. Jihan kembali berjalan. Jihan hendak mampir ke toilet. Seseorang membuka pintu toilet pria tiba-tiba. Jihan terkejut dan berhenti mendadak. Juna!
Jihan masih belum berhenti terkejut. Rasanya seperti menderu napas. Mendadak tidak karuan melihat Juna yang hampir dua minggu tidak dilihatnya. Rasanya kikuk dan berdebar kacau. Juna diam saja di tempatnya melihat Jihan yang seperti terbata dan tertahan.
“Kau kenapa?” Juna heran melihat Jihan meremas-remas tasi ranselnya.
“A-aku…aku…” Jihan tidak bisa bicara lancar meski otaknya sudah mengaturnya.
“Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?” Juna melipat tangan di dada.
“A-apa?” Jihan terkejut Juna bertanya kabarnya. “B-baik. Kau sendiri?”
Juna terkekeh. “Kau mau tahu? Sejak kapan? Rasanya aneh. Seperti kita kenal lama dan akrab.”
Jihan manyun. Merasa konyol dan menyesali pertanyaannya. Juna tertawa sambil pergi. Jihan diam dan mengumpat sepuasnya dalam hati. Jihan berbalik, ia melihat Juna.
“Zisss…!” desis Jihan. Jihan berbalik menuju toilet. Kakinya menginjak sesuatu. Sebuah benda. Jihan memungutnya. “Dompet. Dompet siapa?”
Jihan memandang berkeliling. Ia berbalik lagi melihat Juna. Mungkin Juna menjatuhkannya tidak sengaja. Jihan tersenyum sinis. Ia menjatuhkan dompet itu lagi.
“Aku tidak perduli. Kau sial karena meremehkanku pagi ini.” Jihan pergi. Baru beberapa langkah, Jihan berhenti. Dilihatnya dompet itu sekali lagi. Lalu Juna yang sudah meghilang. Jihan memungut dompet itu. Dengan sedikit ragu Jihan membukanya.
“Hhaaff!!!” Jihan terkejut. Diperhatikannya lagi isi dompet itu. Isinya tipis dan banyak jenis kartu di sana. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya. Tapi foto di dalamnya.
“Tidak mungkin Paman Baik Hati itu…Juna…argh!” Jihan frustasi.
Di kelas Juna. Juna sedang menulis di kursi mejanya. Keempat temannya sedang sibuk menggoda gadis-gadis di jendela. Jihan memberanikan diri mendekat. Jihan meletakkan dompet Juna di mejanya. Juna mengangkat kepala.
“Tidak mungkin.” kata Jihan. “Kau tidak mungkin anak paman itu.”
Juna bingung mengangkat alis. Ia mengambil dompetnya dan memeriksa saku belakangnya. “Kau mencurinya?”
“Dasar bodoh. Kau menjatuhkannya di depan toilet. Kalau bukan karena ayahmu, sudah kubiarkan tergeletak di sana dan kau dalam kesulitan.” Jihan sewot. “Dia bukan ayahmu, kan?”
Juna teringat foto ayah dan ibunya di dompet itu. “Kenapa? Kau mengenalnya?”
“Iszh…” desis Jihan perlahan. “Mustahil. Dia sangat baik hati. Sementara kau seorang penjahat. Ini tidak mungkin.”
“Apa maksudmu?” Juna berdiri.
“Ahk.” Jihan berbalik dan akan pergi.
Juna menarik tangan Jihan. “Kenapa jika dia ayahku?”
Jihan memandang sinis Juna. Jihan melepaskan tangan Juna. Mereka berhadapan. “Baiklah. Karena kau anaknya, aku akan memaafkanmu. Mulai hari ini, kita tidak akan bermusuhan lagi. Aku tidak akan menganggumu lagi.”
Juna nyengir. “Memaafkanku? Menggangguku?”
“Hm!” Jihan mengangguk lalu pergi.
Juna menahan senyum sinisnya. Juna nyengir sekali lagi memperhatikan Jihan sampai hilang dari pandangannya. Juna tidak menyangka sepercaya diri itu Jihan, padahal yang harus memaafkan itu Juna, bukan Jihan. Juna duduk di kursinya memeriksa dompetnya. Semua isinya masih lengkap. Juna termenung sejenak lalu memandangi pintu tempat terakhir ia melihat Jihan pergi. Juna tersenyum. Tanpa disadari, Argha memperhatikan Juna di sudut lain.
“Tidak mungkin kalau dia anaknya paman itu…” Jihan berpikir keras sepanjang jalan. Paman Baik Hati yang menghiburnya ketika menangis di balik pohon. Jihan selalu menangis di pohon itu. Pertemuan pertama kalinya dengan orang yang disebutnya Paman Baik Hati yang ternyata ayahnya Juna.
Jihan berhenti. Ia berbalik menghadap lorong menuju kelas Juna. Jihan terlihat sedih. Matanya berkaca-kaca. “Paman, kau sudah…”
Sekali lagi. Paman Baik Hati mendamaikan hati dua orang berseteru. Sejak Jihan tahu Juna anak paman yang selalu diharapkannya menjadi ayahnya kelak, Jihan jadi tidak bisa membenci Juna sepenuh hati. Setiap melihat Juna, Jihan berhenti dan menunggu sampai Juna pergi untuk menghindar.
Seperti itu setiap harinya Jihan. Hanya menghindar dan menghindar. Ia merasa sangat malu dan bersalah pada Juna. Terlebih pada Paman Baik Hati, bahwa Jihan sudah berjanji untuk tidak lagi menyakiti Juna dan akan berteman dengannya. Tapi sekarang bukan masa anak-anak lagi yang dengan gampangnya meminta maaf, melupakan segalanya lalu bermain bersama seolah tidak pernah terjadi seuatu apa pun. Saat ini, adalah saat Jihan bertemu Juna dan memulainya dengan permusuhan lagi. Tidak mudah berbaikan begitu saja.
Satu semester berlalu. Ujian selesai dan segera memasuki masa liburan. Jihan berniat mengisi liburannya untuk ikut pendakian gunung seperti yang diceritakan Satria. Tujuan utamanya adalah dekat dengan Satria.
Jihan sedang mematung membaca baris demi baris berita di papan pengumuman kampus. Ia sendirian lalu tertawa tiba-tiba membaca artikel komedi.
“Konyol. Tertawa sendirian.” Juna tiba-tiba datang.
Jihan terkejut. “Heu? Sejak kapan kau di sini?”
“Kenapa? Kampus ini punyamu? Itu hakku mau dimana saja kapan saja.”
“Isz.” Jihan mencibir. Lalu kembali membaca. Jihan tidak berkonsentrasi membaca karena Juna berdiri di sebelahnya membaca juga.
Jihan teringat Paman Baik Hati. Jihan berpikir apa waktunya tepat jika ia bertanya bagaimana paman meninggal. Jihan melirik Juna. Juna sedang memotret pengumuman tour kampus ke pulau seribu.
“Ayahmu…” Jihan membuka obrolan.
Juna menoleh.
“Boleh aku bertanya soal dia?”
“Kenapa mau tahu?”
“Isz, kau ini…” Jihan mencibir lagi. “Tidak usah, lupakan saja!”
Juna sibuk lagi. Jihan berpura-pura sibuk. Merasa terganggu dan tidak nyaman, Jihan memutuskan untuk pergi.
“Dia meninggal karena kecelakaan.” kata Juna.
Jihan berhenti. Ia mendengarkan.
“Latihan percobaan pesawat baru.”
Jihan berbalik. “Dia pilot?”
“Tujuh tahun lalu.” Juna tersenyum tanpa memandang Jihan. “Menyusul ibuku, satu-satunya perempuan yang pernah menjadi istrinya.”
Jihan menutup mulut. Diam. Juna menarik napas, memasukkan tangan ke saku celana lalu pergi. Jihan hendak menahan tapi urung.
“Kau yatim piatu.” Gumam Jihan. “Mereka bilang itu tidak menyedihkan. Bagiku sama saja. Lalu aku apa? Entah orang tuaku masih hidup atau tidak.”
Jihan berbalik dan pergi dengan mata menggenang air mata. Jihan tersenyum sendu. Juna melakukan hal yang sama di arah yang berlawanan.

Liburan akhir semester tiba. Jihan sudah mendaftarkan diri jauh-jauh untuk ikut acara pendakian gunung bersama kelompok pecinta alam di kampusnya. Tapi Bibi melarangnya karena Jihan pergi sendirian tanpa Anggi. Dengan susah payah Jihan merayu Anggi untuk ikut pergi tapi percuma. Anggi tidak suka petualangan alam. Ia lebih suka tidur atau ke bioskop. Dengan sangat sedih Jihan berniat untuk membatalkan keikutsetaannya.
“Nah, dengar yah. Aku sudah repot dengan mengantarmu sampai ke sini padahal aku sedang libur. Jadi manfaatkan baik-baik.” kata Anggi.
Jihan cemberut. “Apa kau yakin tidak ingin berubah pikiran? Kumohon, Anggi…ikutlah denganku. Sekali ini…saja.”
“Ahk, kau ini merepotkan. Aku tidak mau. Aku tidak mau. Aku tidak mau!” omel Anggi. “Bahkan kalau Juna ikut pun aku tidak akan mau!”
Sesumpah Anggi menyebut Juna, Juna muncul. Juna sedang berjalan di koridor kampus. Anggi terkejut melihat Juna di kampus pada hari libur. Biasanya dia dan teman-temannya berlibur keluar pulau atau keluar negeri. Anggi memperhatikan kemana arah Juna pergi. Dari langkahnya, sepertinya ia menuju gedung ekstrakurikuler. Anggi penasaran.
“Sudah sana, cari Satria. Aku mau berburu cintaku dulu!” Anggi melesat pergi mengikuti Juna.
Jihan mencibir. Ia mengambil ponsel di tasnya lalu mencoba menghubungi Satria. Sibuk. Jihan mengeluh lalu mencoba menelepon kembali.
Di tempat berbeda. Anggi terkejut melihat Juna memasuki ruang sekretariat kelompok pecinta alam. Anggi menunggu. Tidak lama kemudian, Juna keluar membawa secarik kertas. Ia tersenyum memperhatikan kertas itu. Setelah Juna jauh, Anggi masuk ke ruang yang sama. Ia mencari tahu apa yang dilakukan Juna.

“Hm, baiklah. Kubatalkan saja walau tanpa sepengetahuan Satria. Aku sudah berusaha menghubunginya.” Jihan baru akan pergi setelah hampir setengah jam menunggu di parkiran.
Anggi berlari ke arahnya. “Jihan! kau belum membatalkannya, kan?”
“Apa?” Jihan bingung melihat Anggi.
“Ini!” Anggi menunjukkan secarik kertas pendaftaran untuk pendakian. “Aku ikut! Kau selamat! Ayo kita pulang dan belanja!”
“Apa? Belanja?” Jihan belum selesai dengan kebingungannya, Anggi langsung menyeretnya pulang.
“Tentu saja. Aku tidak ingin terlihat tidak cantik bahkan di alam liar sekali pun.”
Jihan jadi pergi mendaki dan bisa berlibur bersama Satria. Bibi mengijinkannya karena Anggi ikut memohon dan ia juga ikut. Jihan masih belum mengerti kenapa Anggi berubah pikiran secepat itu. Tapi Jihan tidak perduli. Ia senang karena akan lebih dekat dengan Satria meski belum tentu.



 Bersambung ke Chapter 4


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya