Mozarella Cake - Chapter 3
Chapter
3
Ada
Apa Dengan Masa Lalu?
Lanjutan Dari Chapter 2
Di ruang kelas
fakultas teknik.
“Kakak, mohon maaf mengganggu.” Anggi sedikit
menunduk. “Aku Anggi, fakultas ekonomi semester empat.”
Juna dan
teman-temannya memperhatikan.
“Ada apa?” tanya
Gilang.
“Aku…sepupunya Jihan.”
“Haaa…kukira kau
minta foto bersama.” Ledek Kris disambut tawa Danu.
“Kak Juna, aku
mewakili Jihan. Aku mohon, maafkanlah dia. Dia memang sedikit mengganggu. Tapi
sebenarnya dia itu baik dan cerdas.” Anggi masih merunduk. Kepalanya sesekali
mengangguk.
Juna diam saja.
Argha memperhatikan Juna, menunggu responnya.
“Kasihanilah
dia. Dia kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil. Hidupnya sungguh berat. Aku
rasa, dia keras kepala karena dia tidak ingin terlihat lemah dan dikasihani.”
“Kau ke sini
disuruh dia?” tanya Argha.
Anggi
menggeleng. “Kumohon, jangan beritahu dia. Aku hanya tidak ingin dia mendapat
masalah. Aku akan membujuknya agar tidak berurusan lagi dengan Kakak.”
Juna berdiri.
Dia melewati Anggi. Teman-teman Juna diam menunggu apa yang akan dilakukan Juna.
Anggi merengut, ia merasa telah gagal dan percuma.
“Aku tidak
pernah mengaggapnya musuhku. Kalau dia berhenti membuat masalah, aku juga tidak
akan mempermasalahkannya.” Juna pergi.
Argha berdiri.
Ia berhenti sejenak memandangi Anggi yang masih tertunduk. Argha lalu pergi
diikuti ketiga temannya.
“Ada apa dengan Juna?”
tanya Danu saat di luar.
“Kenapa?” Kris
menimpal.
“Entahlah.
Sepertinya, dia bukan Juna yang biasa kukenal. Di terlihat sedikit lemah.”
Jawab Gilang sambil berjalan.
“Tidak. Bukan
itu. Juna itu laki-laki sejati. Kalian tahu dia itu atlet karate tingkat
nasional. Kalau lawannya laki-laki, dia bisa berkelahi habis-habisan. Kali ini
ia menghadapi perempuan. Dilawan akan seperti penjahat kelamin. Jadi, Juna
hanya menakuti Jihan saja.” Jelas Argha.
“Kau benar
juga.”
“Kau tidak
bekerja?” tanya Anggi di rumah.
Jihan menggeleng.
Ia berbaring di kasurnya.
“Kau masih syok,
ya?”
Jihan diam saja.
“Kau sudah
mengabari Ibuku?”
Jihan
mengangguk.
“Hmh, ya
sudahlah. Aku sudah siapkan makan malam. Kalau kau lapar, turunlah. Aku makan
duluan.” Anggi keluar seraya menutup pintu.
Di arena basket
kampus. Argha sedang bermain basket sendirian. Juna duduk di bangku penonton
memainkan ponselnya.
“Hey, Juna!” panggil
Argha sambil mendrible bola. “Soal yang tadi siang. Boleh aku bertanya sesuatu
padamu?”
Juna diam saja.
Ia sedang bermain game balap.
“Sepertinya, kalian
sudah lama saling kenal.” Argha memasukkan bola ke dalam ring.
Juna berhenti.
Ia memandang Argha beberapa detik lalu kembali sibuk.
“Kenapa Jihan memanggilmu
Anak Bisulan? Apa dia pernah mengenalmu?”
Juna diam
sejenak. “Iya. Aku pernah bertemu dengannya hampir setiap hari, empat belas
tahun yang lalu.”
Argha menahan shootingnya.
“Aku baru tahu
itu dia. Aku rasa, dia juga begitu.”
Argha
mendengarkan sambil menyudahi permainannya. Ia berjalan membawa bolanya menuju
tempat Juna.
“Apa kau merasa
kasihan padanya?” tanya Argha sesampainya.
“Kasihan
kenapa?”
“Soal orang
tuanya.”
Juna tersenyum
sedikit. “Di luar sana, ada banyak orang yang tidak punya orang tua. Bukankah
aku juga begitu?”
“Kau benar.
Jadi, kau mengerti kasihan yang kumaksud itu apa?”
Juna menghela
napas. “Aku tahu sejak dulu. Tapi tidak begitu mengerti. Ayahku dulu pernah bertemu
dengannya. Aku tahu dari ayahku. Kenapa harus merasa kasihan, bukankah dia
sendiri tidak ingin dikasihani. Kalau dia tidak menyebalkan, mungkin aku akan
sedikit berbaik hati padanya.”
“Wah, ayahmu
juga terlibat?”
“Apa maksudmu?”
Argha hanya
tersenyum.
Juna berdiri.
“Aku lelah. Aku mau pulang.”
Argha diam sejenak
lalu menyusul.
Seseorang mendengarkan
pembicaraan Juna dan Argha di sudut tersembunyi. Ia tampak tidak senang.
Pagi hari di
kampus. Jihan menunggu seseorang di depan ruang Mahasiswa Pencinta Alam. Cukup
lama Jihan di sana. Mondar-mandir menunggu orang datang.
“Kau cari
siapa?” sebuah suara menegur Jihan.
Jihan berbalik.
“Kak-Kakak…aku…”
“Kau mencariku?”
tanya Satria.
“Mm, iya…”
Satria mengeluarkan
kunci dari sakunya. Ia membuka pintu dan mempersilahkan Jihan masuk. Juna yang
kebetulan lewat melihatnya. Juna diam sejenak lalu pergi.
“Aku…boleh
bergabung dengan klub ini?”
Satria diam
memandang ke arah Jihan.
“Aku belum
pernah mendaki gunung. Tapi aku sangat tertarik untuk itu. Bisakah?”
Satria berbalik.
Ia mengambil sesuatu di lemari pojok ruangan. Lemari yang berantakan dan penuh
dengan tumpukan kertas.
Jihan memandang
berkeliling. Ia mendekati sebuah madding yang koyak. Ia melihat sesuatu yang
menarik. Jihan mengambilnya. Sebuah foto. Foto seorang gadis berambut coklat kemerahan
bergelombang. Gadis dengan senyum manis memakai almamater kampusnya. Dilihatnya
dibalik foto itu, Rinjani. Satria merebut foto itu. Jihan terkejut.
“Ma-maaf, Kak.” Jihan
masih terkejut.
Satria tidak
berkomentar. Ia menyerahkan secarik kertas pada Jihan. “Isi dan tanda tangani.”
Jihan
mengambilnya lalu mengisinya di meja lain. Jihan tidak berkonsentrasi. Ia
teringat kata-kata Anggi malam itu. Jihan baru menyadari sesuatu. Ia seperti
melihat dirinya pada orang lain. Rinjani sangat mirip dengannya.
“Liburan akhir
semester ini, kami akan mengadakan acara pendakian gunung. Sebelum berangkat,
kau harus dapat bimbingan dahulu. Kau juga harus melakukan sejumlah tes
kesehatan untuk memastikan kau siap mendaki.” kata Satria.
“Benarkah? Kalau
seperti itu, aku yakin bisa. Semua pasti aman.”
“Tidak juga.”
“Apa?”
“Kalau kau keras
kepala, tidak menurut padaku, kau akan tersesat dan aku tidak bisa menjamin kau
akan pulang dengan selamat.”
Jihan termenung.
“Mungkin, Rinjani tidak menuruti
kata-kata Satria. Itu membuat Satria merasa kehilangan dan bersalah selama ini.
Kasihan…tapi aku tidak akan seperti itu.”
“Hm!” Jihan
mengagguk dengan semangat. “Aku janji padamu, Kak!”
Satria
tersenyum. Jihan ikut tersenyum. “Ya
ampun…dia manis sekali…”
Jihan keluar
ruangan dengan wajah cerah. Ia berjalan sedikit berayun karena gembira. Jihan
melewati fakultas teknik. Juna sedang bersandar di tiang lantai tiga depan
ruang kelasnya. Jihan lewat. Wajahnya cerah ceria. Juna memperhatikannya. Argha
memperhatikan Juna. Argha melihat ke arah yang Juna lihat. Argha kembali
melihat Juna.
Hari ini Jihan
tidak pergi ke kampus bersama Anggi. Anggi sedang sibuk mengerjakan tugas
kelompok yang membuatnya tidur malam dan bangun siang.
Jihan menunggu
bis di sebuah halte dekat dengan kampus. Sebuah motor berhenti.
“Jihan!” Satria membuka
helmnya.
Jihan terkejut.
Satria tersenyum.
“Mau ikut?”
tawar Satria.
Jihan tersenyum
mengangguk. “Eh, tapi…apa tidak apa-apa,
Kak?”
“Kenapa?” Satria
balik bertanya. “Pacarmu…”
Jihan
menggeleng. “Tidak. Maksudku, Kakak…”
Satria
tersenyum. “Aku yang mengajakmu. Jadi, mau tidak?”
Jihan tersenyum
lalu mengambil posisi.
Jihan senang
sekali bisa naik motor bersama Satria. Mungkin saja, Satria menganggapnya spesial
sampai mengajaknya pergi ke kampus bersama.
Satria hampir
sampai di kampus. Juna datang dan menyalip dengan motor besarnya. Jihan tidak
peduli, ia terlalu senang. Juna mengintip di spionnya lalu memacu kecepatan
lebih.
“Terima kasih
ya, Kak.” Jihan turun dari motor Satria.
“Hm, baiklah. Aku ke kelas duluan.” Satria
mencondongkan tubuhnya pada Jihan. Ia berbisik, “aku belum mengerjakan PR. Aku
harus bergegas!”
Jihan tercengang
lalu tersenyum. Sedikit terkejut karena Satria mendekatinya tiba-tiba. Satria
tersenyum lalu pergi. Jihan masih terpaku memandangi kepergian Satria.
“Ehm!” Juna
terbatuk di belakang Jihan. “Apa kau masih lama melamun di tengah jalan
begini?”
Jihan berbalik.
Ia terkejut Juna di belakangnya. Jihan minggir tanpa komentar. Juna pergi
begitu saja. Jihan berjalan perlahan. Dilihatnya Juna dari belakang dengan
lekat-lekat. Gaya jalannya, langkah kakinya, kakinya yang panjang, punggungnya
yang tegap dan lurus, rambutnya yang hitam pendek dan rapi, bahunya yang kekar juga
lehernya yang jenjang. Sangat jauh berbeda dengan Juna kecil yang dikenalnya
empat belas tahun lalu. Juna yang kurus, baju kebesaran, bisulan dan merah
biang keringat.
“Ahk…kenapa
rasanya seperti tidak adil. Dia berubah begitu banyak. Aku tetap begini-begini
saja. Tidak cantik dan tidak menarik. Menyedihkan, dipertemukan dengan keadaan
seperti ini.” Jihan mengeluh lalu kembali berpisah dari Juna di persimpangan
jalan.
Hari ini, Jihan
tidak mendapat masalah. Seharian Jihan tidak bertemu Juna. Tidak bertemu Raffi
dan masalah-masalah lain. Anggi tidak bisa pulang cepat. Ia ada kegiatan
kelompok. Jihan terpaksa pulang sendirian.
Jihan berjalan
santai keluar kampus. Rasanya memang agak aneh karena semua orang seperti
menganggapnya biasa saja. Seolah tidak pernah terjadi sesuatu.
Terdengar bunyi
klakson. Jihan minggir. Sebuah mobil Ford hitam melintas. Di dalamnya Kris dan
Danu. Kemudian melintas Mercy hitam. Gilang dan Argha di bangku depan. Jihan
kembali berjalan.
Juna lewat
dengan motor Hayabusa-nya. Ia tidak membunyikan klakson. Ia sengaja menghindari
Jihan. Jihan memperlambat jalannya. Ia memperhatikan Juna. Ia lalu menyindir di
belakang Juna sambil melipat tangan di dada. Jihan memperhatikan Juna. Jihan
cemberut dengan kesal meniup poninya sendiri lalu kembali berjalan. Juna melirik
spionnya. Dilihatnya Jihan masih berjalan.
Sepertinya
permohonan Anggi kepada Juna lumayan berhasil. Untuk beberapa waktu lamanya Jihan
merasa tenang ke kampus. Tidak bertemu masalah dan tidak didatangi masalah. Ia
jarang bertemu Juna dan masalah-masalah lain setiap mereka bertemu. Mungkin
juga karena mereka akan menghadapi ujian tengah semester yang harus fokus
belajar dan melupakan permusuhan sementara waktu.
Seminggu setelah
ujian, Jihan masih belum melihat Juna di kampus. Entah kenapa rasanya aneh.
Setiap tiba di parkiran Jihan memandang berkeliling mencari motor Juna. Tapi
tidak ada. Jihan juga tidak menemui Satria. Rasanya tidak semangat. Jihan
berjalan lesu menuju kelasnya. Dua orang perempuan sedang bercengkrama.
“Kau serius
melihat Juna?” tanya temannya.
Temannya
mengangguk. “Di sebuah perusahaan dengan setelan jas yang rapi. Meski tanpa
dasi dan terlihat santai, rasanya dia tetap mempesona. Dia sangat tampan.
Kulitnya yang putih semakin bersinar dan membuat bibirnya terlihat merah.”
“Ouwh…” temannya
meringis gemas. “Jadi benar, setelah ayahnya wafat dia jadi harus bekerja
sendiri. Dia yatim piatu yang menyedihkan. Tapi kalau seperti itu sih tidak
menyedihkan.”
Jihan
mendengarkan. Ia tersentak pada pernyataan, ‘ayahnya wafat’, ‘yatim piatu’.
“Pantas dia
jarang di kampus. Mengurung diri di kelas lalu pergi bekerja. Tapi apa
pekerjaannya?”
Temannya
mengangkat bahu. “Kudengar dia hanya salah satu pemegang saham di perusahaan
itu.”
Mereka melirik Jihan
yang diam mendengarkan. Mereka tampak tidak suka lalu pergi. Jihan menarik
napas. Meski dia sudah tidak dalam masalah rumit dengan Juna, tapi pandangan
orang terhadapnya tetap saja berarti masalah. Jihan kembali berjalan. Jihan
hendak mampir ke toilet. Seseorang membuka pintu toilet pria tiba-tiba. Jihan
terkejut dan berhenti mendadak. Juna!
Jihan masih
belum berhenti terkejut. Rasanya seperti menderu napas. Mendadak tidak karuan
melihat Juna yang hampir dua minggu tidak dilihatnya. Rasanya kikuk dan
berdebar kacau. Juna diam saja di tempatnya melihat Jihan yang seperti terbata
dan tertahan.
“Kau kenapa?” Juna
heran melihat Jihan meremas-remas tasi ranselnya.
“A-aku…aku…” Jihan
tidak bisa bicara lancar meski otaknya sudah mengaturnya.
“Lama tidak
bertemu. Bagaimana kabarmu?” Juna melipat tangan di dada.
“A-apa?” Jihan
terkejut Juna bertanya kabarnya. “B-baik. Kau sendiri?”
Juna terkekeh.
“Kau mau tahu? Sejak kapan? Rasanya aneh. Seperti kita kenal lama dan akrab.”
Jihan manyun.
Merasa konyol dan menyesali pertanyaannya. Juna tertawa sambil pergi. Jihan
diam dan mengumpat sepuasnya dalam hati. Jihan berbalik, ia melihat Juna.
“Zisss…!” desis Jihan.
Jihan berbalik menuju toilet. Kakinya menginjak sesuatu. Sebuah benda. Jihan
memungutnya. “Dompet. Dompet siapa?”
Jihan memandang
berkeliling. Ia berbalik lagi melihat Juna. Mungkin Juna menjatuhkannya tidak
sengaja. Jihan tersenyum sinis. Ia menjatuhkan dompet itu lagi.
“Aku tidak
perduli. Kau sial karena meremehkanku pagi ini.” Jihan pergi. Baru beberapa
langkah, Jihan berhenti. Dilihatnya dompet itu sekali lagi. Lalu Juna yang
sudah meghilang. Jihan memungut dompet itu. Dengan sedikit ragu Jihan
membukanya.
“Hhaaff!!!” Jihan
terkejut. Diperhatikannya lagi isi dompet itu. Isinya tipis dan banyak jenis
kartu di sana. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya. Tapi foto di dalamnya.
“Tidak mungkin
Paman Baik Hati itu…Juna…argh!” Jihan frustasi.
Di kelas Juna. Juna
sedang menulis di kursi mejanya. Keempat temannya sedang sibuk menggoda
gadis-gadis di jendela. Jihan memberanikan diri mendekat. Jihan meletakkan
dompet Juna di mejanya. Juna mengangkat kepala.
“Tidak mungkin.”
kata Jihan. “Kau tidak mungkin anak paman itu.”
Juna bingung
mengangkat alis. Ia mengambil dompetnya dan memeriksa saku belakangnya. “Kau
mencurinya?”
“Dasar bodoh.
Kau menjatuhkannya di depan toilet. Kalau bukan karena ayahmu, sudah kubiarkan
tergeletak di sana dan kau dalam kesulitan.” Jihan sewot. “Dia bukan ayahmu,
kan?”
Juna teringat
foto ayah dan ibunya di dompet itu. “Kenapa? Kau mengenalnya?”
“Iszh…” desis Jihan
perlahan. “Mustahil. Dia sangat baik hati. Sementara kau seorang penjahat. Ini
tidak mungkin.”
“Apa maksudmu?” Juna
berdiri.
“Ahk.” Jihan
berbalik dan akan pergi.
Juna menarik
tangan Jihan. “Kenapa jika dia ayahku?”
Jihan memandang
sinis Juna. Jihan melepaskan tangan Juna. Mereka berhadapan. “Baiklah. Karena
kau anaknya, aku akan memaafkanmu. Mulai hari ini, kita tidak akan bermusuhan
lagi. Aku tidak akan menganggumu lagi.”
Juna nyengir.
“Memaafkanku? Menggangguku?”
“Hm!” Jihan
mengangguk lalu pergi.
Juna menahan
senyum sinisnya. Juna nyengir sekali lagi memperhatikan Jihan sampai hilang
dari pandangannya. Juna tidak menyangka sepercaya diri itu Jihan, padahal yang
harus memaafkan itu Juna, bukan Jihan. Juna duduk di kursinya memeriksa
dompetnya. Semua isinya masih lengkap. Juna termenung sejenak lalu memandangi
pintu tempat terakhir ia melihat Jihan pergi. Juna tersenyum. Tanpa disadari,
Argha memperhatikan Juna di sudut lain.
“Tidak mungkin kalau dia anaknya paman itu…” Jihan berpikir keras sepanjang jalan. Paman Baik Hati
yang menghiburnya ketika menangis di balik pohon. Jihan selalu menangis di
pohon itu. Pertemuan pertama kalinya dengan orang yang disebutnya Paman Baik
Hati yang ternyata ayahnya Juna.
Jihan berhenti.
Ia berbalik menghadap lorong menuju kelas Juna. Jihan terlihat sedih. Matanya
berkaca-kaca. “Paman, kau sudah…”
Sekali lagi.
Paman Baik Hati mendamaikan hati dua orang berseteru. Sejak Jihan tahu Juna
anak paman yang selalu diharapkannya menjadi ayahnya kelak, Jihan jadi tidak
bisa membenci Juna sepenuh hati. Setiap melihat Juna, Jihan berhenti dan
menunggu sampai Juna pergi untuk menghindar.
Seperti itu
setiap harinya Jihan. Hanya menghindar dan menghindar. Ia merasa sangat malu
dan bersalah pada Juna. Terlebih pada Paman Baik Hati, bahwa Jihan sudah
berjanji untuk tidak lagi menyakiti Juna dan akan berteman dengannya. Tapi
sekarang bukan masa anak-anak lagi yang dengan gampangnya meminta maaf,
melupakan segalanya lalu bermain bersama seolah tidak pernah terjadi seuatu apa
pun. Saat ini, adalah saat Jihan bertemu Juna dan memulainya dengan permusuhan
lagi. Tidak mudah berbaikan begitu saja.
Satu semester
berlalu. Ujian selesai dan segera memasuki masa liburan. Jihan berniat mengisi
liburannya untuk ikut pendakian gunung seperti yang diceritakan Satria. Tujuan
utamanya adalah dekat dengan Satria.
Jihan sedang
mematung membaca baris demi baris berita di papan pengumuman kampus. Ia
sendirian lalu tertawa tiba-tiba membaca artikel komedi.
“Konyol. Tertawa
sendirian.” Juna tiba-tiba datang.
Jihan terkejut.
“Heu? Sejak kapan kau di sini?”
“Kenapa? Kampus
ini punyamu? Itu hakku mau dimana saja kapan saja.”
“Isz.” Jihan
mencibir. Lalu kembali membaca. Jihan tidak berkonsentrasi membaca karena Juna
berdiri di sebelahnya membaca juga.
Jihan teringat
Paman Baik Hati. Jihan berpikir apa waktunya tepat jika ia bertanya bagaimana
paman meninggal. Jihan melirik Juna. Juna sedang memotret pengumuman tour
kampus ke pulau seribu.
“Ayahmu…” Jihan
membuka obrolan.
Juna menoleh.
“Boleh aku
bertanya soal dia?”
“Kenapa mau
tahu?”
“Isz, kau ini…” Jihan
mencibir lagi. “Tidak usah, lupakan saja!”
Juna sibuk lagi.
Jihan berpura-pura sibuk. Merasa terganggu dan tidak nyaman, Jihan memutuskan
untuk pergi.
“Dia meninggal
karena kecelakaan.” kata Juna.
Jihan berhenti.
Ia mendengarkan.
“Latihan
percobaan pesawat baru.”
Jihan berbalik.
“Dia pilot?”
“Tujuh tahun
lalu.” Juna tersenyum tanpa memandang Jihan. “Menyusul ibuku, satu-satunya
perempuan yang pernah menjadi istrinya.”
Jihan menutup
mulut. Diam. Juna menarik napas, memasukkan tangan ke saku celana lalu pergi. Jihan
hendak menahan tapi urung.
“Kau yatim
piatu.” Gumam Jihan. “Mereka bilang itu tidak menyedihkan. Bagiku sama saja.
Lalu aku apa? Entah orang tuaku masih hidup atau tidak.”
Jihan berbalik
dan pergi dengan mata menggenang air mata. Jihan tersenyum sendu. Juna
melakukan hal yang sama di arah yang berlawanan.
Liburan akhir
semester tiba. Jihan sudah mendaftarkan diri jauh-jauh untuk ikut acara
pendakian gunung bersama kelompok pecinta alam di kampusnya. Tapi Bibi
melarangnya karena Jihan pergi sendirian tanpa Anggi. Dengan susah payah Jihan
merayu Anggi untuk ikut pergi tapi percuma. Anggi tidak suka petualangan alam.
Ia lebih suka tidur atau ke bioskop. Dengan sangat sedih Jihan berniat untuk
membatalkan keikutsetaannya.
“Nah, dengar
yah. Aku sudah repot dengan mengantarmu sampai ke sini padahal aku sedang
libur. Jadi manfaatkan baik-baik.” kata Anggi.
Jihan cemberut.
“Apa kau yakin tidak ingin berubah pikiran? Kumohon, Anggi…ikutlah denganku.
Sekali ini…saja.”
“Ahk, kau ini
merepotkan. Aku tidak mau. Aku tidak mau. Aku tidak mau!” omel Anggi. “Bahkan
kalau Juna ikut pun aku tidak akan mau!”
Sesumpah Anggi
menyebut Juna, Juna muncul. Juna sedang berjalan di koridor kampus. Anggi
terkejut melihat Juna di kampus pada hari libur. Biasanya dia dan
teman-temannya berlibur keluar pulau atau keluar negeri. Anggi memperhatikan
kemana arah Juna pergi. Dari langkahnya, sepertinya ia menuju gedung
ekstrakurikuler. Anggi penasaran.
“Sudah sana,
cari Satria. Aku mau berburu cintaku dulu!” Anggi melesat pergi mengikuti Juna.
Jihan mencibir.
Ia mengambil ponsel di tasnya lalu mencoba menghubungi Satria. Sibuk. Jihan
mengeluh lalu mencoba menelepon kembali.
Di tempat
berbeda. Anggi terkejut melihat Juna memasuki ruang sekretariat kelompok
pecinta alam. Anggi menunggu. Tidak lama kemudian, Juna keluar membawa secarik
kertas. Ia tersenyum memperhatikan kertas itu. Setelah Juna jauh, Anggi masuk
ke ruang yang sama. Ia mencari tahu apa yang dilakukan Juna.
“Hm, baiklah.
Kubatalkan saja walau tanpa sepengetahuan Satria. Aku sudah berusaha
menghubunginya.” Jihan baru akan pergi setelah hampir setengah jam menunggu di
parkiran.
Anggi berlari ke
arahnya. “Jihan! kau belum membatalkannya, kan?”
“Apa?” Jihan
bingung melihat Anggi.
“Ini!” Anggi
menunjukkan secarik kertas pendaftaran untuk pendakian. “Aku ikut! Kau selamat!
Ayo kita pulang dan belanja!”
“Apa? Belanja?” Jihan
belum selesai dengan kebingungannya, Anggi langsung menyeretnya pulang.
“Tentu saja. Aku
tidak ingin terlihat tidak cantik bahkan di alam liar sekali pun.”
Jihan jadi pergi
mendaki dan bisa berlibur bersama Satria. Bibi mengijinkannya karena Anggi ikut
memohon dan ia juga ikut. Jihan masih belum mengerti kenapa Anggi berubah
pikiran secepat itu. Tapi Jihan tidak perduli. Ia senang karena akan lebih
dekat dengan Satria meski belum tentu.
Bersambung ke Chapter 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar