Mozarella Cake - Chapter 9
Chapter
9
Ketua
Kelompok Misterius yang Mengejutkan
Lanjutan Dari Chapter 8
Di rumah Argha.
“Feni!” teriak
Argha yang baru sampai. “Feni!”
Feni turun dari
tangga. “Ada apa, Kak?”
Argha jalan
terburu-buru ke adiknya. “Sejak kapan kau melakukannya?”
“Ng? Melakukan
apa?” Feni bingung.
“Kenapa kau
melakukannya??” Argha membentak.
“Kakak! Kakak
kasar sekali! Aku tidak mengerti, ada apa, Kak?”
“Ketua kelompok
penggemar Juna.”
Feni terbata.
“Kau membuat
masalah!” Argha menatapnya marah. “Mulai sekarang berhentilah.”
“Ka-Kakak…”
Argha pergi ke
kamar Feni. Feni mengikuti di belakang. Argha mengambil ponsel Feni di kasur.
Ia membantingnya ke tembok.
Feni berteriak
melihatnya. “Kakak kau jahat sekali!”
“Kau adikku. Aku
tidak pernah mengajarimu memfitnah orang lain!”
“Kakak! Itu
salah Jihan! Dia merebut Juna dariku!”
“Merebut Juna??”
“Aku
menyukainya, Kak. Aku sangat menyukai Juna. Sejak kita satu sekolah, Kak. Tapi
kenapa Jihan? Kenapa dia yang baru datang dengan kesombongannya bisa dengan
mudah mendekati Juna, Kak? Kenapa?” Feni menangis.
“Baru datang?”
Argha memincingkan matanya. “Kau kira begitu?”
Feni
sesenggukkan.
“Kau tidak cukup
tahu tentang Juna. Kau memang adikku, tapi aku tidak suka cara-cara kotor
seperti itu. Hapus kumpulan itu atau aku sendiri yang mengumumkan penghapusan
itu besok!” Argha pergi.
Feni menangis di
lantai. Ia memunguti puing-puing ponselnya.
Jam setengah
sepuluh malam. Jihan keluar dari ruang ganti karyawan. Ia sudah berganti
pakaian dan bersiap untuk pulang.
“Jihan!” seorang
teman muncul. Ia membawa meja kebersihan lengkap dengan perlengkapannya.
“Kenapa?” Jihan
memperhatikan temannya yang aneh.
“Aku sedang
sakit perut. Aku tidak tahan untuk ke kamar mandi. Tapi ada tamu yang menunggu
untuk kamar 1255 lantai 4. Bisa tolong gantikan aku sebentar?” temannya
meringis kesakitan.
“T-tapi aku baru
mau pulang…”
“Kumohon, Jihan…”
“Aku sudah
berganti pakaian.”
“Tidak apa-apa.”
Temannya buang angin.
Jihan menutup
hidung.
“Ini kuncinya.
Aku sudah tidak kuat lagi!”
“Hey!” Jihan
terlambat. Temannya sudah menghilang.
Mau tidak mau, Jihan
menggantikan tugas temannya. Tanpa berganti pakaian, Jihan menuju kamar 1255 di
lantai 4.
Jihan meletakkan
tas dan buku-bukunya di meja sementara ia membereskan ruangan. Setelah hampir
selesai, temannya datang.
“Wah! Kau baik
sekali!” katanya sambil memandang hasil pekerjaan Jihan.
“Bagus kau sudah
datang. Aku harus pulang. Sepupuku menunggu di rumah.” Jihan menyerahkan sebuah
lap pada temannya.”
Jihan mengambil
tas dan bukunya lalu pergi. Tanpa disadari, sebuah buku Jihan terjatuh dan
tertinggal di kamar itu.
Di kampus. Hari
yang lebih aneh. Sama seperti kasus foto ompol Jihan. kampus berubah seolah
tidak terjadi apa-apa. Tidak ada lagi yang berpandangan aneh dan berbisik-bisik
menyindir.
Jihan
meninggalkan Anggi di parkiran. Ia pergi ke kelas duluan untuk menghindari
pandangan buruk itu lagi.
Juna baru
sampai. Anggi salah tingkah melihat Juna datang. Ia sengaja memperlambat diri
agar bisa lebih lama dekat dengan Juna. Juna membuka helm dan menaruhnya di
atas bodi motor. Juna melihat Anggi. Anggi menahan napas. Ia tertangkap basah
mencuri pandang pada Juna.
Juna mendekati Anggi.
“Jihan kemana?”
“Hah?
Umm…dia…sudah ke kelas sejak tadi.” Anggi gelagapan.
“Ini!” Juna
memberikan ponsel Anggi. “Katakan padanya, jangan membahas kelompok aneh itu
lagi. Jangan mencoba untuk mencari tahu siapa dan anggap saja tidak pernah
ada.”
Anggi
menerimanya. Juna pergi.
Anggi meremas
ponselnya. “Aku tidak akan mengganti ponselku seumur hidup. Ini bersejarah. Juna
meminjamnya dan memegangnya.”
Malam hari di
rumah bibi. Jihan tidak bekerja. Ia menghabiskan waktu mendengarkan musik di
kamar. Anggi datang.
“Jihan…tolong
aku…” Anggi merajuk.
Jihan bingung
melihat Anggi yang tiba-tiba datang dan mendadak kolokan. “Kau kenapa?”
Anggi meraih
tangan Jihan dan memeluknya. “Kau harus membantuku. Kumohon…hanya kau yang bisa
melakukannya…”
“Kau ingin aku
melakukan apa?” Jihan terlihat risih di sebelah Anggi.
“Aku memang
mengagumi Juna selama ini. Tapi tidak pernah segila ini sebelumnya. Aku begitu
sadar diri bahwa tidak mungkin bicara dan melihatnya begitu dekat, apalagi
memilikinya. Tapi sejak kau berurusan dengan Juna, bahkan setelah kau berbaikan
dengan Juna. Aku jadi lebih sering melihat Juna. Dia tidak lagi abstrak
untukku. Tapi dia nyata. Bisa kulihat dengan jarak dekat. Rasanya seperti
mimpi. Aku bisa gila, Jihan…” Anggi merengek.
“Ihk, kau ini.
Lalu kenapa minta tolong padaku?”
“Kau kan dekat
dengannya…kumohon, bujuklah dia agar mau berkencan denganku…”
“Ha??!!!” Jihan
terkejut. “Apa kau sudah gila?! Aku tidak mau!!’”
“Iya. Aku sudah
gila! Aku ingin menebus segala rasa penasaranku terhadapnya. Aku harus
memuaskan hausku terhadapnya. Kalau tidak, aku bisa semakin parah. Kumohon, Jihan…”
Jihan
mengernyitkan dahi. “Kalau haus ya minum…memangnya kau drakula, hausmu hanya Juna.
Ya gigit saja dia.”
“Kau tidak
kasihan padaku? Atau kau lebih mementingkan Feni teman sekelasmu itu?”
“Feni? Ada apa
dengannya?”
“Dia juga
penggemar Juna. Dia juga ikut perkumpulan penggemar Juna dan kawan-kawannya.
Apa kau akan menjodohkan keduanya dan tidak peduli padaku, sepupumu sendiri?
Bahwa kita berhubungan darah?”
Jihan
memincingkan matanya. “Ihk, kau aneh sekali.”
Angggi merengek
dan tampak kacau.
“Aku tidak tahu
caranya. Aku juga tidak yakin dia akan setuju? Dia hanya temanku, bukan
bawahanku yang bisa kusuruh-suruh.” Jihan manyun.
“Setidaknya kau
sudah mencobanya…”
“Hhm…kau ini.
Merepotkanku saja. Baik, baik…akan kucoba. Tapi jangan salahkan aku kalau kau
kecewa.”
“Ha? Benarkah?” Anggi
tampak girang. “Terima kasih. Kau memang satu-satunya sepupuku yang paling baik
hati.”
Jihan
memonyong-monyongkan bibirnya. Anggi memeluk lengan Jihan dan bersandar dengan
imutnya.
Jam istirahat di
kampus. Anggi muncul di depan kelas Jihan. Ia melambaikan tangan sambil
tersenyum lalu pergi. Jihan menghela napas. Sebenarnya ia malas menemui Juna
dan membujuknya agar mau berkencan dengan Anggi. Tapi ia sudah berjanji.
Jihan berjalan
mencari Juna. Di kelasnya, Juna dan teman-teman tidak ada. Jihan berbalik arah.
Ia menelusuri setiap koridor kelas.
“Kalau di
kantin, tidak mungkin. Juna tidak pernah terlihat ke kantin.” Pikir Jihan. Jihan
memandang berkeliling. “Mungkin di taman.”
Jihan pergi ke
taman. Tidak ada. Jihan berpikir lagi. Satu tempat lagi yang biasa jadi
tongkrongan Juna dan kawan-kawannya. Lapangan basket di GOR. Jihan pergi ke
GOR.
“Eh, apa benar?”
seorang mahasiswi sedang serius memperhatikan ponsel dengan seorang temannya.
“Benar. Grup itu
sudah tidak ada. Kenapa begitu?” temannya berpikir.
Jihan lewat dan
sedikit menyimak.
“Sayang sekali.
Padahal aku selalu ingin tahu soal Juna.”
“Iya, kau
benar.” Mereka mengeluh.
Jihan terus
berjalan. Dalam hatinya ia bersyukur kalau grup itu ditutup. Tapi ia masih
bingung kenapa.
Beberapa meter
mendekati lapangan basket, Jihan melihat Feni. Ia berjalan dengan muka masam
dan sedih sambil membawa sebotol air mineral. Jihan berniat untuk memanggilnya
tapi urung. Jihan menyusul Feni. Jihan baru sampai di pintu masuk.
Byur!! Feni
menyiramkan sebotol air mineral sampai nyaris habis ke kepala Juna. Jihan syok
melihatnya.
Argha, Gilang,
Kris dan Danu juga terbata dan tidak berbuat apa-apa saking terkejutnya. Juna
diam di kursinya.
Argha berdiri.
Ia berhasil keluar dari rasa terkejutnya lebih dulu dibanding teman-temannya
yang lain. Argha merebut botol air mineral itu dan melemparnya.
“Apa yang kau
lakukan??” Argha marah.
Feni menahan tangis.
“Apa aku harus menyirammu dengan air seperti pertama saat kau bertemu Jihan?”
Jihan terkejut
dan sembunyi di balik tembok.
Argha terkejut.
Begitu juga teman-temannya. Juna mengusap wajahnya yang basah.
“Feni, apa kau
sudah gila??” Argha menarik tangan Feni untuk menjauh.
Feni menolak dan
bertahan. “Katakan padaku! Apa yang harus aku lakukan agar kau bisa
menyukaiku?”
Gilang dan
teman-temannya terbelalak.
“Apa yang
terjadi antara kau dan Jihan, kenapa kalian seperti memiliki ikatan yang tidak
kumengerti? Apa itu? Jelaskan padaku?”
Feni akhirnya menangis. “Kenapa harus Jihan? Kita sudah saling kenal
sejak satu sekolah. Aku di SMP, kau di SMA. Lalu siapa Jihan? Kenapa harus
dia??”
“Feni!!” maki
Argha setengah berteriak.
Juna berdiri.
Semua diam. Feni menangis menatap Juna yang basah.
“Tidak ada.” Juna
balas menatap. “Aku juga tidak akan memperlakukanmu sama seperti Jihan. Aku
tidak akan mengerjaimu. Karena bagiku, kau hanya adikku. Sama seperti Argha,
kakakmu.”
“Hafh!” Jihan
menutup mulut menahan napas.
Argha kakaknya
Feni. Sepertinya tidak ada yang tahu soal itu. Mereka terlihat seperti tidak
dekat atau hanya sekedar kenal sebagai adik kelas dan kakak kelas saja.
Argha menarik
tangan Feni dan membawanya pergi. Feni masih bertahan sebelum akhirnya Argha
menggunakan dua tangan untuk menarik Feni. Jihan berlari dan sembunyi di balik
tembok.
Feni keluar
dibawa Argha dan terburu-buru. Untungnya mereka tidak melihat Jihan.
“Ada apa ini?
Aku jadi tidak mengerti.” Gumam Gilang sambil menggaruk kepalanya.
Kris dan Danu
mengangkat bahu. Mereka juga tidak kalah bingung dan cemas.
Juna memandangi
pintu tempat Argha dan Feni keluar. Tanpa bicara apa-apa, Juna keluar juga.
Jihan keluar
dari persembunyian. Ia menghela napas lega sambil memandangi kepergian Feni dan
Argha. Juna muncul dan sedikit terkejut melihat Jihan.
Jihan menoleh.
Ia terkejut melihat Juna sudah berdiri di depan pintu.
“A-aku…aku…” Jihan
terbata mencari alasan tertangkap basah.
Juna
menghampirinya. “Sejak kapan kau di sini?”
“A-anu…aku…ummm…”
Jihan serba salah menunjuk sembarang arah.
“Kalau kau
mendengar semuanya, jangan tanya soal itu dan jangan berpikiran yang
aneh-aneh.”
Jihan bungkam. Juna
berlalu. Jihan tersentak, ia baru sadar tujuannya mencari Juna. Tapi, apa
waktunya tidak tepat? Jihan tetap menyusul Juna.
“Aku memang
sedang mencarimu.” Jihan mengekor.
Juna memasukkan
kedua tangannya ke saku celana. “Kenapa?”
“Aku mau minta
tolong padamu.”
“Apa?”
“Ini soal
sepupuku, Anggi.”
“Kenapa dia?”
“Dia sangat
menyukaimu…”
“Hah…” Juna
menghela napas lelah.
“Sebelum ini dia
biasa saja. Karena baginya kau hanya mimpi. Sekalipun ada di tempat yang sama,
tapi kau tidak akan menegur atau bicara padanya. Tapi akhir-akhir ini, kau
sering menemuinya. Itu membuat dia merasa kau sangat dekat dan nyata.”
Juna nyengir
sambil memijit keningnya. “Aku menemuinya
untuk mencarimu, bodoh…”
“Dia hampir
gila. Dia ingin berkencan denganmu.”
“Apa??” Juna
berbalik mendadak.
Bruk! Jihan
menubruk Juna sampai terjatuh. Jihan mengaduh.
“Kau ingin aku
berkencan dengan Anggi??” Juna mengulang.
Jihan berdiri
dan membersihkan jeansnya. “Sekali saja. Hanya memuaskan gilanya.”
“Sekali? Kenapa
aku harus memuaskan orang gila?”
“Dia bukan orang
gila!”
“Kau sendiri
yang mengatakannya. Lalu bagaimana jika dia minta aku mengencaninya lagi??”
“Tidak.
Maksudku…itu terserah kau. Terserah kalian. Setidaknya biarkan dia mencobanya.
Aku sudah katakan padanya tidak apa-apa jika nanti dia kecewa.”
Juna menatap Jihan.
Dari tatapannya ia sedang kesal.
“Kau anggap apa aku ini?” batin Juna. Juna tersenyum meledek lalu pergi.
“Juna…kumohon…” Jihan
menyusul.
Juna cuek dan
terus berjalan. “Kalian benar-benar aneh.
Aku hanya orang biasa. Kenapa sampai seperti itu? Merepotkan sekali!”
“Baiklah. Kalau kau
mau mengabulkannya, aku akan jadi pelayanmu selama satu minggu.”
Juna berhenti.
Ia berbalik. “Kau bilang apa?”
“Aku akan jadi
pelayanmu. Aku akan membawakan pesananmu dari kantin ke kelas. Aku akan mencuci
motormu di parkiran. Aku akan membawakan buku-bukumu sampai ke kelas. Asal kau
tidak memintaku melakukan hal yang macam-macam.”
Juna melipat
tangan di dada. “Kenapa kau sangat ingin aku berkencan dengan Anggi?”
“K-karena…karena
dia sepupuku. Dia memohon padaku. Aku tidak tega.”
“Menurutmu
kenapa kebanyakan perempuan seperti itu?”
“A-apa?” Jihan
bingung. “Aku tidak tahu. Mungkin mereka sangat menyukaimu.”
“Kenapa kau
sendiri tidak seperti itu?”
“A-apa?” Jihan
makin bingung. “Aku…aku…”
“Kenapa tidak
kau saja yang menyukaiku? Mungkin kau tidak akan segila mereka dan
merepotkanku!” Juna sedikit marah. Ia menggeleng lalu pergi.
“Di-dia…kenapa?”
Jihan masih bingung. Ia memandangi Juna dari kejauhan. Jihan memikirkan
pertanyaan Juna barusan. “Kenapa aku
sendiri tidak seperti itu? Aku…kenapa…”
Di taman yang
jauh dari pusat keramaian kampus.
“Kak, lepaskan
aku!” Feni berusaha melepaskan tangannya dari Argha.
Argha
melepaskannya. “Kau ini mencari masalah saja! Sudah kubilang jangan ganggu Juna
dan berhenti menyebarkan berita soal Jihan!”
“Aku tidak
mengganggunya!” Feni menghapus air mata.
“Yang kau
lakukan tadi itu apa??”
“Aku menyukai Juna,
Kak? Apa itu salah? Aku sangat menyukainya sejak lama. Sejak aku satu sekolah
dengan Juna. Aku sudah dewasa, aku berhak menyukai siapa pun!”
“Tapi jangan Juna.
Dia hanya mengaggapmu sebagai adik. Kau dengar itu tadi, kan?!”
“Kakak ini
kenapa, sih? Kenapa malah membela orang lain? Kenapa malah membela Jihan?
Adiknya Kakak itu siapa??”
“Kau tidak
mengerti apa-apa.”
“Kalau begitu
jelaskan padaku, ada apa?!”
Argha kesal dan
serba salah. “Kau itu…”
“Kenapa, Kak?
Kenapa Juna dengan Jihan?”
“Aku tidak yakin
kau bisa mengerti Juna dan mengerti situasinya.”
“Iya, apa??”
Argha lalu
menceritakan siapa Jihan dan bagaimana ia bisa lebih dulu mengenal Juna dari
pada Feni bahkan Argha sendiri.
“Aku sendiri
belum yakin. Aku hanya sedikit menduga. Karakter Juna bisa memungkinkan itu terjadi.”
Feni diam.
“Berhentilah
mengusik Jihan. Juna juga sudah tahu soal koordinator sms berantaimu itu.”
Feni terkejut.
“Juna tidak
memberitahuku. Tapi ia menceritakan kecurigaannya terhadap seseorang kepadaku.
Itulah sebabnya aku melarangmu dan berhentilah.”
Feni menangis
lagi.
“Juna
memaafkanmu. Karena dia menyayangimu seolah adiknya sendiri.”
Sore hari. Kelas
selesai. Jihan tidak melihat Feni di kelasnya. Mungkin Feni mendadak tidak
masuk karena kejadian siang tadi. Jihan berjalan lesu ke parkiran. Anggi sedang
menunggunya.
“Hey, cepat
sedikit. Kau lambat sekali!” omel Anggi.
Jihan mendekat.
Ia bermaksud menceritakan usahanya tadi pagi. Bahwa ia sudah gagal.
“Aku sudah tidak
sabar untuk pulang. Aku harus ke salon dan ke toko baju. Kau harus bolos hari
ini. Kau harus menemaniku berbelanja.” Anggi memasang helmnya.
“A-apa?” Jihan
bingung. “Kau mau kemana?”
“Isz, kau lama
sekali. Cepat naik!” Anggi memaksa. “Aku sudah bilang pada Ibu, kau akan
menemaniku berkencan. Jadi mau tidak mau dia akan mengijikannya. Dia tidak
ingin anak perempuannya pergi sendiri dengan laki-laki.”
“Apa?? Tidak
bisa begitu. Aku tidak mau ikut. Lagi pula aku masih tidak mengerti. Kau akan
pergi kemana, dengan siapa?”
“Kau ini
pura-pura bodoh, ya!” Anggi menyalakan mesin motornya. “Juna menemuiku barusan.
Di tempat parkir sebelum dia pulang. Dia bilang, akan menjemputku nanti malam.
Kau berhasil! Kau memang sepupuku yang sangat baik dan cerdas!”
“Apa?” gumam Jihan.
Padahal Jihan sudah gagal. Tapi kenapa Juna tiba-tiba berubah pikiran?
Jihan diam
sepanjang jalan. Ia mengikuti kemana Anggi pergi. Ke mall dan berburu dress
cantik. Berkali-kali Anggi keluar-masuk toko dan membeli berbagai baju yang
cantik. Ia juga menyempatkan diri ke salon.
Di salon. Jihan
setia menunggu. Ia memainkan ponsel Anggi. Ia juga melihat-lihat pesan berantai
yang disimpan Anggi soal Juna.
Juna hobi olahraga. Olahraga favoritnya karate. Dia
aktif karate sejak SMP dan sering ikut kejuaraan nasional. Bisa dibilang, Juna
atlit karate.
Juna suka sekali makan roti Mozarella. Roti di toko
Mozarella itu enak dan lembut.
Juna suka bermain balap di ponsel. Bahkan sampai
ketiduran.
…
Juna membalas Jihan yang sok berani dengan mengirim
kado ular. Jihan sok jual mahal.
Juna menutup kasus penyebaran foto Jihan Ompol. Tidak
sepatah kata pun ucapan terima kasih. Jihan tidak tahu balas budi.
…
Dan lain-lain…
Jihan terkejut
membacanya. Ia benar-benar tidak menyangka, selama ini dia sudah menjadi buah
bibir seisi kampus. Anggi tidak pernah menunjukkan itu. Tapi Jihan tahu, Anggi
tidak sejahat mereka. Anggi hanya ingin tahu banyak soal Juna.
Soal Juna?
Tiba-tiba Jihan merasa sedih. Dilihatnya Anggi. Rambutnya sedang dikeringkan
setelah creambath. Tiba-tiba Jihan merasa sedikit iri. Sepupunya cantik. Ia
bisa dekat dengan laki-laki mana pun yang ia suka jika ia mau. Tapi tidak Jihan.
Ia harus berusaha keras. Jika saja ada seseorang yang mencintainya apa adanya,
tidak peduli ia miskin, latar belakang keluarga atau tidak cantik. Pasti
menyenangkan dicintai orang yang seperti itu.
“Nah, apa aku
sudah cantik?” Anggi berputar-putar di depan cermin di kamarnya.
“Iya. Kau sudah
menghabiskan banyak waktu dan uang untuk itu. Kenapa masih tidak percaya diri…”
Jihan hampir bosan menunggu.
“Aduh…aku
gugup!” Anggi duduk di tepi kasur. “Aku harus ke kamar mandi. Aku gugup
sekali!”
Jihan menutup
wajahnya dengan bantal. Sudah hampir lima kali Anggi ke kamar kecil.
Tin! Tin! Suara
klakson mobil. Jihan bangkit. Ia mengintip di jendela.
“Juna!!” Jihan
terkejut. Jihan segera menemui Anggi. “Anggi! Juna sudah sampai. Dia naik
mobil!”
“Apa?” Anggi
makin panik. “Temui dia dulu. Aku makin gugup!”
“Aku?” Jihan
menunjuk hidungnya. Berpikir sejenak. “Selalu, aku korbannya…”
Jihan turun. Ia
membuka pintu ruang tamu. Juna bersandar di mobilnya, jauh di pinggir jalan di
ujung halaman rumah. Entah darimana datangnya, tiba-tiba Jihan merasa risih. Ia
hanya mengenakan piyama. Ia menghampiri Juna yang sangat mewah meski hanya
dengan kemeja biru langit dengan lengan digulung dan celana bahan berwarna coklat.
“Kau jadi juga
ke sini.” Jihan membuka obrolan.
“Yah, untuk
melobi pelayan baru dan gratis.” Juna nyengir sambil melipat tangan di dada
seperti gayanya yang biasa.
Jihan tertawa
kecil. “Aku titip dia, ya.”
“Hm?”
“Jangan
macam-macam dan jangan sakiti dia. Aku tidak akan menjadi pelayanmu tapi akan
menjadi penjagalmu kalau kau lakukan itu.”
“Kau!” Juna
berdiri tegak. Ia menyentuh kening Jihan, sedikit mendorong dan menahannya.
“Cerewet dan membuatku pusing.”
Jihan menarik
tangan Juna dari keningnya. “Aku serius!”
Juna kembali
bersandar dan melipat tangan. “Aku tidak akan menurut padamu. Aku akan jadi
diriku sendiri dan biarkan dia yang memilih. Setelah ini, jangan paksa aku yang
aneh-aneh lagi.”
Anggi
memperhatikan mereka dari jendela kamarnya. Anggi menggenang air mata. Ia
menutup tirai jendelanya. Ia memandang ke langit-langit kamar menahan jatuhnya
air mata. Anggi cemburu.
“Kemana
sepupumu? Dia lama sekali?”
“Hm?”
“Hey!” Anggi
muncul.
“Itu dia!” Jihan
tersenyum. Sedetik kemudian senyumnya pudar.
Anggi hanya
memakai dress biasa dan make up sederhana. Tidak seperti sebelumnya. Ia tidak
memakai sepatu, tas dan dress yang baru dibelinya. Rambutnya pun hanya diikat
satu.
“Kau baik-baik
saja?” Jihan khawatir.
“Iya!” Anggi
tersenyum. “Ayo! Sebelum Ibu pulang dan tahu aku pergi sendiri.”
Jihan memandang
khawatir pada Anggi. Juna dan Anggi pergi.
“Roti
Mozarella…” Jihan bergumam di kamarnya. Ia memandangi sebuah plastik kosong
berukir sebuah merk dagang.
Jihan teringat
masa kecilnya dulu. Ia merebut roti dari Juna. Ia membawanya pergi setelah
membuat Juna menangis. Jihan kecil menyimpan bungkus roti itu. Ternyata sebuah
roti dari toko roti ternama. Jihan menyimpannya agar selalu ingat sesuatu.
Sesuatu yang mengingatkan rasa bersalahnya pada Juna. Jihan juga pernah menulis
permohonan maafnya untuk Juna,
Anak Bisulan, suatu hari nanti aku akan membuka toko
roti yang enak seperti rasa roti ini. Kalau kita bertemu lagi suatu hari nanti,
kau boleh datang ke tokoku sesukamu dan makan gratis. Tapi kau harus
menghabiskannya di tempat. Aku tidak mau rugi dan bangkrut mendadak. Maaf aku
telah jahat padamu.
Jihan memandangi
dirinya di cermin. “Cermin, apa aku ini cantik?”
Sunyi.
”Tidak.” Gumam
Jihan. Ia mengambil gunting lalu memotong pendek rambutnya hingga lehernya
terlihat jenjang. “Kalau begini, mau tidak mau aku harus ke salon.”
Bersambung ke Chapter 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar