18 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 9



Chapter 9
Ketua Kelompok Misterius yang Mengejutkan

Lanjutan Dari Chapter 8

Di rumah Argha.
“Feni!” teriak Argha yang baru sampai. “Feni!”
Feni turun dari tangga. “Ada apa, Kak?”
Argha jalan terburu-buru ke adiknya. “Sejak kapan kau melakukannya?”
“Ng? Melakukan apa?” Feni bingung.
“Kenapa kau melakukannya??” Argha membentak.
“Kakak! Kakak kasar sekali! Aku tidak mengerti, ada apa, Kak?”
“Ketua kelompok penggemar Juna.”
Feni terbata.
“Kau membuat masalah!” Argha menatapnya marah. “Mulai sekarang berhentilah.”
“Ka-Kakak…”
Argha pergi ke kamar Feni. Feni mengikuti di belakang. Argha mengambil ponsel Feni di kasur. Ia membantingnya ke tembok.
Feni berteriak melihatnya. “Kakak kau jahat sekali!”
“Kau adikku. Aku tidak pernah mengajarimu memfitnah orang lain!”
“Kakak! Itu salah Jihan! Dia merebut Juna dariku!”
“Merebut Juna??”
“Aku menyukainya, Kak. Aku sangat menyukai Juna. Sejak kita satu sekolah, Kak. Tapi kenapa Jihan? Kenapa dia yang baru datang dengan kesombongannya bisa dengan mudah mendekati Juna, Kak? Kenapa?” Feni menangis.
“Baru datang?” Argha memincingkan matanya. “Kau kira begitu?”
Feni sesenggukkan.
“Kau tidak cukup tahu tentang Juna. Kau memang adikku, tapi aku tidak suka cara-cara kotor seperti itu. Hapus kumpulan itu atau aku sendiri yang mengumumkan penghapusan itu besok!” Argha pergi.
Feni menangis di lantai. Ia memunguti puing-puing ponselnya.

Jam setengah sepuluh malam. Jihan keluar dari ruang ganti karyawan. Ia sudah berganti pakaian dan bersiap untuk pulang.
“Jihan!” seorang teman muncul. Ia membawa meja kebersihan lengkap dengan perlengkapannya.
“Kenapa?” Jihan memperhatikan temannya yang aneh.
“Aku sedang sakit perut. Aku tidak tahan untuk ke kamar mandi. Tapi ada tamu yang menunggu untuk kamar 1255 lantai 4. Bisa tolong gantikan aku sebentar?” temannya meringis kesakitan.
“T-tapi aku baru mau pulang…”
“Kumohon, Jihan…”
“Aku sudah berganti pakaian.”
“Tidak apa-apa.” Temannya buang angin.
Jihan menutup hidung.
“Ini kuncinya. Aku sudah tidak kuat lagi!”
“Hey!” Jihan terlambat. Temannya sudah menghilang.
Mau tidak mau, Jihan menggantikan tugas temannya. Tanpa berganti pakaian, Jihan menuju kamar 1255 di lantai 4.
Jihan meletakkan tas dan buku-bukunya di meja sementara ia membereskan ruangan. Setelah hampir selesai, temannya datang.
“Wah! Kau baik sekali!” katanya sambil memandang hasil pekerjaan Jihan.
“Bagus kau sudah datang. Aku harus pulang. Sepupuku menunggu di rumah.” Jihan menyerahkan sebuah lap pada temannya.”
Jihan mengambil tas dan bukunya lalu pergi. Tanpa disadari, sebuah buku Jihan terjatuh dan tertinggal di kamar itu.

Di kampus. Hari yang lebih aneh. Sama seperti kasus foto ompol Jihan. kampus berubah seolah tidak terjadi apa-apa. Tidak ada lagi yang berpandangan aneh dan berbisik-bisik menyindir.
Jihan meninggalkan Anggi di parkiran. Ia pergi ke kelas duluan untuk menghindari pandangan buruk itu lagi.
Juna baru sampai. Anggi salah tingkah melihat Juna datang. Ia sengaja memperlambat diri agar bisa lebih lama dekat dengan Juna. Juna membuka helm dan menaruhnya di atas bodi motor. Juna melihat Anggi. Anggi menahan napas. Ia tertangkap basah mencuri pandang pada Juna.
Juna mendekati Anggi. “Jihan kemana?”
“Hah? Umm…dia…sudah ke kelas sejak tadi.” Anggi gelagapan.
“Ini!” Juna memberikan ponsel Anggi. “Katakan padanya, jangan membahas kelompok aneh itu lagi. Jangan mencoba untuk mencari tahu siapa dan anggap saja tidak pernah ada.”
Anggi menerimanya. Juna pergi.
Anggi meremas ponselnya. “Aku tidak akan mengganti ponselku seumur hidup. Ini bersejarah. Juna meminjamnya dan memegangnya.”

Malam hari di rumah bibi. Jihan tidak bekerja. Ia menghabiskan waktu mendengarkan musik di kamar. Anggi datang.
“Jihan…tolong aku…” Anggi merajuk.
Jihan bingung melihat Anggi yang tiba-tiba datang dan mendadak kolokan. “Kau kenapa?”
Anggi meraih tangan Jihan dan memeluknya. “Kau harus membantuku. Kumohon…hanya kau yang bisa melakukannya…”
“Kau ingin aku melakukan apa?” Jihan terlihat risih di sebelah Anggi.
“Aku memang mengagumi Juna selama ini. Tapi tidak pernah segila ini sebelumnya. Aku begitu sadar diri bahwa tidak mungkin bicara dan melihatnya begitu dekat, apalagi memilikinya. Tapi sejak kau berurusan dengan Juna, bahkan setelah kau berbaikan dengan Juna. Aku jadi lebih sering melihat Juna. Dia tidak lagi abstrak untukku. Tapi dia nyata. Bisa kulihat dengan jarak dekat. Rasanya seperti mimpi. Aku bisa gila, Jihan…” Anggi merengek.
“Ihk, kau ini. Lalu kenapa minta tolong padaku?”
“Kau kan dekat dengannya…kumohon, bujuklah dia agar mau berkencan denganku…”
“Ha??!!!” Jihan terkejut. “Apa kau sudah gila?! Aku tidak mau!!’”
“Iya. Aku sudah gila! Aku ingin menebus segala rasa penasaranku terhadapnya. Aku harus memuaskan hausku terhadapnya. Kalau tidak, aku bisa semakin parah. Kumohon, Jihan…”
Jihan mengernyitkan dahi. “Kalau haus ya minum…memangnya kau drakula, hausmu hanya Juna. Ya gigit saja dia.”
“Kau tidak kasihan padaku? Atau kau lebih mementingkan Feni teman sekelasmu itu?”
“Feni? Ada apa dengannya?”
“Dia juga penggemar Juna. Dia juga ikut perkumpulan penggemar Juna dan kawan-kawannya. Apa kau akan menjodohkan keduanya dan tidak peduli padaku, sepupumu sendiri? Bahwa kita berhubungan darah?”
Jihan memincingkan matanya. “Ihk, kau aneh sekali.”
Angggi merengek dan tampak kacau.
“Aku tidak tahu caranya. Aku juga tidak yakin dia akan setuju? Dia hanya temanku, bukan bawahanku yang bisa kusuruh-suruh.” Jihan manyun.
“Setidaknya kau sudah mencobanya…”
“Hhm…kau ini. Merepotkanku saja. Baik, baik…akan kucoba. Tapi jangan salahkan aku kalau kau kecewa.”
“Ha? Benarkah?” Anggi tampak girang. “Terima kasih. Kau memang satu-satunya sepupuku yang paling baik hati.”
Jihan memonyong-monyongkan bibirnya. Anggi memeluk lengan Jihan dan bersandar dengan imutnya.

Jam istirahat di kampus. Anggi muncul di depan kelas Jihan. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum lalu pergi. Jihan menghela napas. Sebenarnya ia malas menemui Juna dan membujuknya agar mau berkencan dengan Anggi. Tapi ia sudah berjanji.
Jihan berjalan mencari Juna. Di kelasnya, Juna dan teman-teman tidak ada. Jihan berbalik arah. Ia menelusuri setiap koridor kelas.
“Kalau di kantin, tidak mungkin. Juna tidak pernah terlihat ke kantin.” Pikir Jihan. Jihan memandang berkeliling. “Mungkin di taman.”
Jihan pergi ke taman. Tidak ada. Jihan berpikir lagi. Satu tempat lagi yang biasa jadi tongkrongan Juna dan kawan-kawannya. Lapangan basket di GOR. Jihan pergi ke GOR.
“Eh, apa benar?” seorang mahasiswi sedang serius memperhatikan ponsel dengan seorang temannya.
“Benar. Grup itu sudah tidak ada. Kenapa begitu?” temannya berpikir.
Jihan lewat dan sedikit menyimak.
“Sayang sekali. Padahal aku selalu ingin tahu soal Juna.”
“Iya, kau benar.” Mereka mengeluh.
Jihan terus berjalan. Dalam hatinya ia bersyukur kalau grup itu ditutup. Tapi ia masih bingung kenapa.
Beberapa meter mendekati lapangan basket, Jihan melihat Feni. Ia berjalan dengan muka masam dan sedih sambil membawa sebotol air mineral. Jihan berniat untuk memanggilnya tapi urung. Jihan menyusul Feni. Jihan baru sampai di pintu masuk.
Byur!! Feni menyiramkan sebotol air mineral sampai nyaris habis ke kepala Juna. Jihan syok melihatnya.
Argha, Gilang, Kris dan Danu juga terbata dan tidak berbuat apa-apa saking terkejutnya. Juna diam di kursinya.
Argha berdiri. Ia berhasil keluar dari rasa terkejutnya lebih dulu dibanding teman-temannya yang lain. Argha merebut botol air mineral itu dan melemparnya.
“Apa yang kau lakukan??” Argha marah.
Feni menahan tangis. “Apa aku harus menyirammu dengan air seperti pertama saat kau bertemu Jihan?”
Jihan terkejut dan sembunyi di balik tembok.
Argha terkejut. Begitu juga teman-temannya. Juna mengusap wajahnya yang basah.
“Feni, apa kau sudah gila??” Argha menarik tangan Feni untuk menjauh.
Feni menolak dan bertahan. “Katakan padaku! Apa yang harus aku lakukan agar kau bisa menyukaiku?”
Gilang dan teman-temannya terbelalak.
“Apa yang terjadi antara kau dan Jihan, kenapa kalian seperti memiliki ikatan yang tidak kumengerti? Apa itu? Jelaskan padaku?”  Feni akhirnya menangis. “Kenapa harus Jihan? Kita sudah saling kenal sejak satu sekolah. Aku di SMP, kau di SMA. Lalu siapa Jihan? Kenapa harus dia??”
“Feni!!” maki Argha setengah berteriak.
Juna berdiri. Semua diam. Feni menangis menatap Juna yang basah.
“Tidak ada.” Juna balas menatap. “Aku juga tidak akan memperlakukanmu sama seperti Jihan. Aku tidak akan mengerjaimu. Karena bagiku, kau hanya adikku. Sama seperti Argha, kakakmu.”
“Hafh!” Jihan menutup mulut menahan napas.
Argha kakaknya Feni. Sepertinya tidak ada yang tahu soal itu. Mereka terlihat seperti tidak dekat atau hanya sekedar kenal sebagai adik kelas dan kakak kelas saja.
Argha menarik tangan Feni dan membawanya pergi. Feni masih bertahan sebelum akhirnya Argha menggunakan dua tangan untuk menarik Feni. Jihan berlari dan sembunyi di balik tembok.
Feni keluar dibawa Argha dan terburu-buru. Untungnya mereka tidak melihat Jihan.
“Ada apa ini? Aku jadi tidak mengerti.” Gumam Gilang sambil menggaruk kepalanya.
Kris dan Danu mengangkat bahu. Mereka juga tidak kalah bingung dan cemas.
Juna memandangi pintu tempat Argha dan Feni keluar. Tanpa bicara apa-apa, Juna keluar juga.
Jihan keluar dari persembunyian. Ia menghela napas lega sambil memandangi kepergian Feni dan Argha. Juna muncul dan sedikit terkejut melihat Jihan.
Jihan menoleh. Ia terkejut melihat Juna sudah berdiri di depan pintu.
“A-aku…aku…” Jihan terbata mencari alasan tertangkap basah.
Juna menghampirinya. “Sejak kapan kau di sini?”
“A-anu…aku…ummm…” Jihan serba salah menunjuk sembarang arah.
“Kalau kau mendengar semuanya, jangan tanya soal itu dan jangan berpikiran yang aneh-aneh.”
Jihan bungkam. Juna berlalu. Jihan tersentak, ia baru sadar tujuannya mencari Juna. Tapi, apa waktunya tidak tepat? Jihan tetap menyusul Juna.
“Aku memang sedang mencarimu.” Jihan mengekor.
Juna memasukkan kedua tangannya ke saku celana. “Kenapa?”
“Aku mau minta tolong padamu.”
“Apa?”
“Ini soal sepupuku, Anggi.”
“Kenapa dia?”
“Dia sangat menyukaimu…”
“Hah…” Juna menghela napas lelah.
“Sebelum ini dia biasa saja. Karena baginya kau hanya mimpi. Sekalipun ada di tempat yang sama, tapi kau tidak akan menegur atau bicara padanya. Tapi akhir-akhir ini, kau sering menemuinya. Itu membuat dia merasa kau sangat dekat dan nyata.”
Juna nyengir sambil memijit keningnya. “Aku menemuinya untuk mencarimu, bodoh…”
“Dia hampir gila. Dia ingin berkencan denganmu.”
“Apa??” Juna berbalik mendadak.
Bruk! Jihan menubruk Juna sampai terjatuh. Jihan mengaduh.
“Kau ingin aku berkencan dengan Anggi??” Juna mengulang.
Jihan berdiri dan membersihkan jeansnya. “Sekali saja. Hanya memuaskan gilanya.”
“Sekali? Kenapa aku harus memuaskan orang gila?”
“Dia bukan orang gila!”
“Kau sendiri yang mengatakannya. Lalu bagaimana jika dia minta aku mengencaninya lagi??”
“Tidak. Maksudku…itu terserah kau. Terserah kalian. Setidaknya biarkan dia mencobanya. Aku sudah katakan padanya tidak apa-apa jika nanti dia kecewa.”
Juna menatap Jihan. Dari tatapannya ia sedang kesal.
“Kau anggap apa aku ini?” batin Juna. Juna tersenyum meledek lalu pergi.
“Juna…kumohon…” Jihan menyusul.
Juna cuek dan terus berjalan. “Kalian benar-benar aneh. Aku hanya orang biasa. Kenapa sampai seperti itu? Merepotkan sekali!”
“Baiklah. Kalau kau mau mengabulkannya, aku akan jadi pelayanmu selama satu minggu.”
Juna berhenti. Ia berbalik. “Kau bilang apa?”
“Aku akan jadi pelayanmu. Aku akan membawakan pesananmu dari kantin ke kelas. Aku akan mencuci motormu di parkiran. Aku akan membawakan buku-bukumu sampai ke kelas. Asal kau tidak memintaku melakukan hal yang macam-macam.”
Juna melipat tangan di dada. “Kenapa kau sangat ingin aku berkencan dengan Anggi?”
“K-karena…karena dia sepupuku. Dia memohon padaku. Aku tidak tega.”
“Menurutmu kenapa kebanyakan perempuan seperti itu?”
“A-apa?” Jihan bingung. “Aku tidak tahu. Mungkin mereka sangat menyukaimu.”
“Kenapa kau sendiri tidak seperti itu?”
“A-apa?” Jihan makin bingung. “Aku…aku…”
“Kenapa tidak kau saja yang menyukaiku? Mungkin kau tidak akan segila mereka dan merepotkanku!” Juna sedikit marah. Ia menggeleng lalu pergi.
“Di-dia…kenapa?” Jihan masih bingung. Ia memandangi Juna dari kejauhan. Jihan memikirkan pertanyaan Juna barusan. “Kenapa aku sendiri tidak seperti itu? Aku…kenapa…”

Di taman yang jauh dari pusat keramaian kampus.
“Kak, lepaskan aku!” Feni berusaha melepaskan tangannya dari Argha.
Argha melepaskannya. “Kau ini mencari masalah saja! Sudah kubilang jangan ganggu Juna dan berhenti menyebarkan berita soal Jihan!”
“Aku tidak mengganggunya!” Feni menghapus air mata.
“Yang kau lakukan tadi itu apa??”
“Aku menyukai Juna, Kak? Apa itu salah? Aku sangat menyukainya sejak lama. Sejak aku satu sekolah dengan Juna. Aku sudah dewasa, aku berhak menyukai siapa pun!”
“Tapi jangan Juna. Dia hanya mengaggapmu sebagai adik. Kau dengar itu tadi, kan?!”
“Kakak ini kenapa, sih? Kenapa malah membela orang lain? Kenapa malah membela Jihan? Adiknya Kakak itu siapa??”
“Kau tidak mengerti apa-apa.”
“Kalau begitu jelaskan padaku, ada apa?!”
Argha kesal dan serba salah. “Kau itu…”
“Kenapa, Kak? Kenapa Juna dengan Jihan?”
“Aku tidak yakin kau bisa mengerti Juna dan mengerti situasinya.”
“Iya, apa??”
Argha lalu menceritakan siapa Jihan dan bagaimana ia bisa lebih dulu mengenal Juna dari pada Feni bahkan Argha sendiri.
“Aku sendiri belum yakin. Aku hanya sedikit menduga. Karakter Juna bisa memungkinkan itu terjadi.”
Feni diam.
“Berhentilah mengusik Jihan. Juna juga sudah tahu soal koordinator sms berantaimu itu.”
Feni terkejut.
“Juna tidak memberitahuku. Tapi ia menceritakan kecurigaannya terhadap seseorang kepadaku. Itulah sebabnya aku melarangmu dan berhentilah.”
Feni menangis lagi.
“Juna memaafkanmu. Karena dia menyayangimu seolah adiknya sendiri.”

Sore hari. Kelas selesai. Jihan tidak melihat Feni di kelasnya. Mungkin Feni mendadak tidak masuk karena kejadian siang tadi. Jihan berjalan lesu ke parkiran. Anggi sedang menunggunya.
“Hey, cepat sedikit. Kau lambat sekali!” omel Anggi.
Jihan mendekat. Ia bermaksud menceritakan usahanya tadi pagi. Bahwa ia sudah gagal.
“Aku sudah tidak sabar untuk pulang. Aku harus ke salon dan ke toko baju. Kau harus bolos hari ini. Kau harus menemaniku berbelanja.” Anggi memasang helmnya.
“A-apa?” Jihan bingung. “Kau mau kemana?”
“Isz, kau lama sekali. Cepat naik!” Anggi memaksa. “Aku sudah bilang pada Ibu, kau akan menemaniku berkencan. Jadi mau tidak mau dia akan mengijikannya. Dia tidak ingin anak perempuannya pergi sendiri dengan laki-laki.”
“Apa?? Tidak bisa begitu. Aku tidak mau ikut. Lagi pula aku masih tidak mengerti. Kau akan pergi kemana, dengan siapa?”
“Kau ini pura-pura bodoh, ya!” Anggi menyalakan mesin motornya. “Juna menemuiku barusan. Di tempat parkir sebelum dia pulang. Dia bilang, akan menjemputku nanti malam. Kau berhasil! Kau memang sepupuku yang sangat baik dan cerdas!”
“Apa?” gumam Jihan. Padahal Jihan sudah gagal. Tapi kenapa Juna tiba-tiba berubah pikiran?
Jihan diam sepanjang jalan. Ia mengikuti kemana Anggi pergi. Ke mall dan berburu dress cantik. Berkali-kali Anggi keluar-masuk toko dan membeli berbagai baju yang cantik. Ia juga menyempatkan diri ke salon.
Di salon. Jihan setia menunggu. Ia memainkan ponsel Anggi. Ia juga melihat-lihat pesan berantai yang disimpan Anggi soal Juna.
Juna hobi olahraga. Olahraga favoritnya karate. Dia aktif karate sejak SMP dan sering ikut kejuaraan nasional. Bisa dibilang, Juna atlit karate.
Juna suka sekali makan roti Mozarella. Roti di toko Mozarella itu enak dan lembut.
Juna suka bermain balap di ponsel. Bahkan sampai ketiduran.
Juna membalas Jihan yang sok berani dengan mengirim kado ular. Jihan sok jual mahal.
Juna menutup kasus penyebaran foto Jihan Ompol. Tidak sepatah kata pun ucapan terima kasih. Jihan tidak tahu balas budi.
Dan lain-lain…
Jihan terkejut membacanya. Ia benar-benar tidak menyangka, selama ini dia sudah menjadi buah bibir seisi kampus. Anggi tidak pernah menunjukkan itu. Tapi Jihan tahu, Anggi tidak sejahat mereka. Anggi hanya ingin tahu banyak soal Juna.
Soal Juna? Tiba-tiba Jihan merasa sedih. Dilihatnya Anggi. Rambutnya sedang dikeringkan setelah creambath. Tiba-tiba Jihan merasa sedikit iri. Sepupunya cantik. Ia bisa dekat dengan laki-laki mana pun yang ia suka jika ia mau. Tapi tidak Jihan. Ia harus berusaha keras. Jika saja ada seseorang yang mencintainya apa adanya, tidak peduli ia miskin, latar belakang keluarga atau tidak cantik. Pasti menyenangkan dicintai orang yang seperti itu.

“Nah, apa aku sudah cantik?” Anggi berputar-putar di depan cermin di kamarnya.
“Iya. Kau sudah menghabiskan banyak waktu dan uang untuk itu. Kenapa masih tidak percaya diri…” Jihan hampir bosan menunggu.
“Aduh…aku gugup!” Anggi duduk di tepi kasur. “Aku harus ke kamar mandi. Aku gugup sekali!”
Jihan menutup wajahnya dengan bantal. Sudah hampir lima kali Anggi ke kamar kecil.
Tin! Tin! Suara klakson mobil. Jihan bangkit. Ia mengintip di jendela.
“Juna!!” Jihan terkejut. Jihan segera menemui Anggi. “Anggi! Juna sudah sampai. Dia naik mobil!”
“Apa?” Anggi makin panik. “Temui dia dulu. Aku makin gugup!”
“Aku?” Jihan menunjuk hidungnya. Berpikir sejenak. “Selalu, aku korbannya…”
Jihan turun. Ia membuka pintu ruang tamu. Juna bersandar di mobilnya, jauh di pinggir jalan di ujung halaman rumah. Entah darimana datangnya, tiba-tiba Jihan merasa risih. Ia hanya mengenakan piyama. Ia menghampiri Juna yang sangat mewah meski hanya dengan kemeja biru langit dengan lengan digulung dan celana bahan berwarna coklat.
“Kau jadi juga ke sini.” Jihan membuka obrolan.
“Yah, untuk melobi pelayan baru dan gratis.” Juna nyengir sambil melipat tangan di dada seperti gayanya yang biasa.
Jihan tertawa kecil. “Aku titip dia, ya.”
“Hm?”
“Jangan macam-macam dan jangan sakiti dia. Aku tidak akan menjadi pelayanmu tapi akan menjadi penjagalmu kalau kau lakukan itu.”
“Kau!” Juna berdiri tegak. Ia menyentuh kening Jihan, sedikit mendorong dan menahannya. “Cerewet dan membuatku pusing.”
Jihan menarik tangan Juna dari keningnya. “Aku serius!”
Juna kembali bersandar dan melipat tangan. “Aku tidak akan menurut padamu. Aku akan jadi diriku sendiri dan biarkan dia yang memilih. Setelah ini, jangan paksa aku yang aneh-aneh lagi.”
Anggi memperhatikan mereka dari jendela kamarnya. Anggi menggenang air mata. Ia menutup tirai jendelanya. Ia memandang ke langit-langit kamar menahan jatuhnya air mata. Anggi cemburu.
“Kemana sepupumu? Dia lama sekali?”
“Hm?”
“Hey!” Anggi muncul.
“Itu dia!” Jihan tersenyum. Sedetik kemudian senyumnya pudar.
Anggi hanya memakai dress biasa dan make up sederhana. Tidak seperti sebelumnya. Ia tidak memakai sepatu, tas dan dress yang baru dibelinya. Rambutnya pun hanya diikat satu.
“Kau baik-baik saja?” Jihan khawatir.
“Iya!” Anggi tersenyum. “Ayo! Sebelum Ibu pulang dan tahu aku pergi sendiri.”
Jihan memandang khawatir pada Anggi. Juna dan Anggi pergi.

“Roti Mozarella…” Jihan bergumam di kamarnya. Ia memandangi sebuah plastik kosong berukir sebuah merk dagang.
Jihan teringat masa kecilnya dulu. Ia merebut roti dari Juna. Ia membawanya pergi setelah membuat Juna menangis. Jihan kecil menyimpan bungkus roti itu. Ternyata sebuah roti dari toko roti ternama. Jihan menyimpannya agar selalu ingat sesuatu. Sesuatu yang mengingatkan rasa bersalahnya pada Juna. Jihan juga pernah menulis permohonan maafnya untuk Juna,
Anak Bisulan, suatu hari nanti aku akan membuka toko roti yang enak seperti rasa roti ini. Kalau kita bertemu lagi suatu hari nanti, kau boleh datang ke tokoku sesukamu dan makan gratis. Tapi kau harus menghabiskannya di tempat. Aku tidak mau rugi dan bangkrut mendadak. Maaf aku telah jahat padamu.
Jihan memandangi dirinya di cermin. “Cermin, apa aku ini cantik?”
Sunyi.
”Tidak.” Gumam Jihan. Ia mengambil gunting lalu memotong pendek rambutnya hingga lehernya terlihat jenjang. “Kalau begini, mau tidak mau aku harus ke salon.”

Bersambung ke Chapter 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya