Mozarella Cake - Chapter 10
Chapter
10
Rahasia
Juna
Lanjutan Dari Chapter 9
Di sebuah cafe. Alunan musik jazz terdengar
hambar. Anggi dan Juna sedang duduk satu meja di tepi kolam renang. Juna sedang
santai melahap steaknya. Anggi tidak lagi gugup. Ia hanya sedang menyesali
sesuatu yang belum jelas.
Juna tidak
pernah memulai obrolan. Ia banyak diam dan hanya bicara jika ditanya. Anggi
merasa Juna tidak menyukainya. Sangat berbeda dengan yang sehari-hari bertemu
dengan Juna.
Sebuah pesan
masuk ke ponsel Anggi : SEMANGAT!!
Jihan mengirim
pesan memberi semangat pada Anggi. Anggi tersenyum kecut. Ia merasa tidak bisa
semangat dan ingin menyerah. Tapi Jihan sudah berusaha. Ia tidak bisa
menyia-nyiakan usaha Jihan.
“Juna…” Anggi
buka obrolan. “Aku boleh bicara sesuatu?”
Juna mengunyah
steak dan mengangguk pada Anggi. “Bicara apa?”
“Kau…tidak
menyukaiku, ya?”
Juna
memperlambat kunyahannya. Ia meneguk air putih. “Tidak bisa dikatakan seperti
itu juga.”
“Aku…merasa
dekat dan berteman baik denganmu akhir-akhir ini.”
Juna menunggu.
“Aku baru sadar
sesuatu. Setiap kita bertemu, kau menanyakan Jihan.”
Juna berhenti
mengunyah.
“Kau…” Anggi
ragu-ragu. “Jihan pernah bercerita padaku soal kalian waktu kecil. Aku ingin
dengar seperti apa ceritanya darimu?”
Juna tertawa
kecil. “Kenapa ingin tahu?”
“Tidak boleh,
ya?”
“Tidak,” Juna
mengambil lap dan membersihkan mulut. “hanya terdengar sedikit aneh.”
Anggi menunggu.
“Aku tidak tahu
namanya. Mungkin dia juga begitu. Aku baru tahu setelah dia bertemu dengan
ayahku secara tidak sengaja. Setelah itu, begitu saja. Tidak pernah bertemu
lagi. Tidak pernah berteman dan tidak pernah akrab.”
Juna tertawa. Anggi
ikut tertawa.
“Soal
Mozarella.”
Juna diam.
“Jihan menyimpan
bungkusnya.”
“Apa?” Juna
tidak percaya. Sedetik kemudian Juna tertawa. “Semua orang bisa membelinya,
kan? Tidak ada yang istimewa dengan itu. Aneka roti keju terkenal.”
“Apa kau
menyukai Jihan?”
Juna bungkam.
“Maksudku, pasti
terjadi sesuatu yang membuat dua orang yang bermusuhan jadi bisa bersahabat.”
Juna
mencondongkan tubuhnya. Ia memberi isyarat pada Anggi untuk mendekat. Anggi
menurut. “Kau bisa pegang rahasia?” bisik Juna.
Sedikit ragu, Anggi
mengangguk. Juna menceritakan betapa jeleknya ia waktu kecil. Betapa
menjijikannya ia waktu itu. Juna juga bercerita ia sempat pindah sekolah karena
jadi korban bullying. Di sana ia
bertemu Argha. Mereka anak orang punya yang dimanfaatkan teman yang lain.
Anak-anak perempuannya merasa jijik pada Juna. Setelah lulus SD, Juna mulai
sembuh dan benar-benar tidak kambuh total. Mereka mulai digilai banyak gadis.
Terparah saat SMA, dan bergabungnya Gilang, Kris dan Danu. Semakin banyak gadis
yang menyukai mereka. Bahkan salah satunya adalah teman SD Juna dahulu.
Sampai pada satu
kesimpulan. Jihan tidak merasa jijik pada Juna di saat orang-orang
menganggapnya menularkan penyakit. Jihan juga tidak tergila-gila padanya ketika
banyak gadis bermimpi menjadi kekasihnya.
“Apa kau tidak curiga?
Apa sepupumu itu normal?” tanya Juna.
Pertanyaan
terakhir Juna membuat Anggi merasa ia telah salah dan sesuatu benar telah
terjadi. Anggi menggenang air mata.
“Apa kita sudah
selesai?” Anggi merunduk menyembunyikan kesedihannya.
“Kenapa?”
“Aku baru ingat,
aku punya tugas kuliah. Bisa kita pulang sekarang?”
“Aku tidak bisa
memaksa.” Juna berdiri. “Baiklah. Ayo kita pulang!”
Pintu rumah diketuk.
Jihan baru pulang dari salon merapikan rambutnya yang sengaja dipotong pendek
dan sedang asik menonton televisi. Jihan bangun dan membukakan pintu. Anggi langsung masuk tanpa
berkomentar apa-apa. Jihan bingung.
“Kenapa dia?”
gumam Jihan. Jihan melihat keluar. Mobil Juna masih di depan rumah. Jihan
mendatangi Juna yang masih di dalam mobil. Jihan mengetuk kaca jendelanya.
Jendela dibuka.
“Ada apa?” tanya
Juna di bangku kemudi.
Jihan membungkuk.
“Kalian baik-baik saja?”
Juna sedikit
terkejut melihat rambut Jihan yang pendek. Juna mengernyitkan dahi. “Tidak ada
masalah. Kenapa?”
“Apa kau
mengatakan hal buruk padanya?”
Juna berpikir
sejenak. “Aku rasa tidak. Ada apa?”
“Kenapa dia
terlihat tidak bahagia?”
Juna nyengir.
“Bukankah sudah kukatakan? Aku akan jadi diriku sendiri. Tidak mau menurut
padamu. Lagi pula dia sendiri sudah bilang padamu, kan? Dia tidak peduli akan
kecewa atau tidak.”
Jihan berdiri
tegak. Ia melipat tangan lalu memainkan dagunya. Ia berpikir.
Juna melongok.
“Kau akan tetap jadi pelayan gratisku, kan?”
“Hm?” alis Jihan
meninggi. “Ini tidak sesuai harapanku.”
Jihan berbalik
dan pergi.
“Apa katamu?”
gumam Juna. Juna bergegas keluar. “Hey, tunggu!”
“Kenapa?” Jihan
berbalik.
Juna mendekat.
“Kau tidak bisa memegang janji, ya?”
“Bisa. Hanya
saja aku merasa ada tindakan sengaja. Kau sengaja membuat sepupuku kecewa dan
memanfaatkan aku menjadi pelayan gratisanmu, kan?”
“Tindakan
sengaja bagaimana maksudmu?”
“Nanti saja aku
putuskan, aku harus tahu bagaimana kencan kalian tadi dari Anggi.” Jihan
berbalik dan pulang.
Juna menarik
tangan Jihan. “Hey!”
Anggi melihat
mereka dari jendela kamarnya. Juna melihat sesuatu di jendela tempat Anggi
mengintip. Anggi menutup tirai.
“Kenapa?” tanya Jihan.
“Tidak. Lupakan
saja.” Juna melepaskan tangan Jihan. Ia lalu pergi.
Jihan tidak
mengerti. Ia melihat ke atas dimana tadi Juna sempat melihat ke arah sana.
Kamar Anggi. Jihan masih tidak mengerti. Ia mengiringi kepergian Juna dengan
tatapan bingung. Jihan masuk ke rumah. Mengunci pintu dan menuju kamar Anggi.
Pintunya tertutup. Jihan memberanikan diri mengetuknya. Anggi membukanya dengan
diam lalu kembali berbaring di kasur.
“Kau kenapa?”
tanya Jihan mendekati sepupunya. “Bagaimana kencanmu? Ayo ceritakan padaku!”
“Entahlah. Aku
hanya merasa pihak ketiga dan aku terlambat.” Anggi merengut sambil memeluk
bantal.
“Eh, kenapa?
Terlambat bagaimana? Apa Juna sudah punya pacar? Tapi dia tidak pernah terlihat
dekat dengan seorang perempuan.”
Anggi memandang Jihan.
Ia memincingkan mata. “Kapan kau ke salon dan potong rambut?”
“Ooh..ini. Aku
hanya ingin suasana baru. Ahk, sudah ceritakan padaku bagaimana kencanmu?”
Anggi mencoba
menelaah ekspresi Jihan. “Pernah tidak kau menyadari seseorang menyukaimu?”
“Apa?” Jihan
bingung. “Kenapa aku?”
“Hah…sudahlah.
Lupakan saja. Kau sepupuku yang paling baik dibanding Nira. Kita bukan hanya
sebagai sepupu. Kita seperti adik-kakak bahkan teman yang sangat akrab.”
Tuk! Jihan
memukulkan boneka ke kepala Anggi. “Bicaramau ngelantur. Jelaskan saja ada
apa??”
Anggi
terbelalak. “Tapi aku serius…”
“Kalau begitu
jelaskan kenapa?”
“Kenapa?” Anggi
manyun menggelembungkan kedua pipinya. “Kau yang harusnya kenapa?”
“Aku kenapa?”
“Kenapa kau
tidak bilang padaku bahwa kalian sudah saling kenal sejak lama? Aku merasa
seperti parasit.”
“Aku kenal
dengan siapa?”
“Juna! Kita
sedang membahas Juna!”
“Aku sudah
pernah menceritakannya padamu kenapa aku menyebutnya anak bisulan.”
“Tapi kau tidak
menceritakannya secara detail?”
“Lalu apa? Tidak
ada yang istimewa. Kenapa harus detail?”
“Kenapa kau
menyimpan bungkus roti mozzarella itu?”
“A-apa?” Jihan
bingung. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Aku melihatmu
menyimpannya di selipan sebuah buku. Di sana juga ada secarik kertas. Kau
menulis permohonan maafmu pada Si Anak Bisulan itu.”
Jihan terbata.
“A-aku…t-tapi itu tidak...”
“Aku tidak
mengerti ada apa. Aku hanya merasa terjadi sesuatu sejak dulu dan aku tidak
bisa mengakumulasi waktu dalam sekali kencan.”
“Apa maksudmu?”
“Kadang aku
berpikir, apa Juna menyukaimu? Atau kau pernah menyukai Juna hanya kau berhasil
lolos dari rasa itu. Jadi kau tidak terlihat seperti orang yang menyukai Juna. Kau
ini normal tidak, kenapa kau sama sekali tidak suka pada Juna. Bukankah dia nyaris
sempurna? Atau karena kau sedang dekat dengan Satria?”
“Satria?” Jihan
semakin bingung.
“Jadi siapa yang
kau sukai? Juna atau Satria?”
“Kenapa ada Juna?”
“Jawab saja
dengan hati kecilmu. Siapa?”
Jihan diam
berpikir. “Aku tidak akan sama sepertimu dan gadis-gadis lain di kampus. Aku punya
masa lalu yang buruk terhadap Juna. Jika aku menyukai Juna, betapa tidak tahu
dirinya aku. Kalau aku tidak pernah mengenal Juna sebelumnya mungkin aku akan
menyukainya sama sepertimu. Aku lebih baik menyukai Satria. Realitanya, tidak
selamanya cinta itu manis. Suatu saat akan ada pertengkaran, pada saat itu akan
ada kemungkinan terungkitnya kembali masa lalu yang buruk. Kalau itu terjadi,
aku akan sangat lemah di hadapannya.”
“Jadi secara
logika kau memilih Satria. Tapi kau mengakui dirimu menyukai Juna juga, kan?”
Jihan diam. Ia
merasa Anggi sudah salah paham. Tapi ia sendiri bingung bagaimana
menjelaskannya.
“Kenapa diam?”
“Aku…tidak
bergitu mengerti maksudmu,” Jihan murung menjauh dari Anggi. “aku memang pernah
bertemu Juna empat belas tahun lalu. Tapi itu sesuatu yang tidak ingin kuingat
lagi. Karena terlalu rumit. Aku merasa sangat jahat pada banyak orang waktu
itu.”
Anggi
mendengarkan. Mata Jihan berkaca-kaca.
“Pada Ibu, pada
Ayah, Nira dan Juna.” Jihan menitikkan air mata. “Aku terlalu mudah mengucapkan
kata-kata yang tidak kupikirkan dan itu menyakiti hati orang lain. Bahkan
menciptakan musibah. Aku menyakiti Juna dengan memperoloknya, mendorongnya
bahkan aku merebut makanannya.”
Anggi merasa
kasihan. Ia ikut sedih. Ia melihat Jihan yang tertunduk sambil menahan tangis
yang tetap saja tumpah.
“Itu tidak bisa
dikatakan suka. Aku membenci diriku atas itu semua. Aku membenci masa kecilku
yang jahat dan menyedihkan. Aku ingin menghapusnya. Bagaimana aku bisa menyukai
Juna yang dulu lemah dan kusakiti? Harusnya aku malu pada diriku sendiri. Kau
benar, Juna memang nyaris sempurna dan banyak gadis menyukainya. Tapi aku
berusaha untuk tidak seperti itu.”
Anggi mendekati Jihan.
Ia memeluk sepupunya dan ikut menangis.
“Aku harus tahu
diri. Aku sangat malu setiap bertemu Juna dan teringat kenakalanku padanya
waktu itu. Aku merasa seperti sedang dihukum Tuhan. Dihantui rasa bersalah.
Dipermalukan karena takdir berputar seratus delapan puluh derajat. Dimana
sekarang, aku yang lemah dan wajar jika Juna mengerjaiku atau memperolokku
sebagai balasan waktu itu. Tapi aku malah masih berusaha membalasnya.”
Anggi menghapus
air mata sepupunya. “Maafkan, aku…”
“Waktu aku tahu Juna
tidak benar-benar mengerjaiku, bahkan dia hampir selalu membantuku entah
sengaja atau tidak, aku justru merasa sedih dan semakin bersalah. Aku merasa
berhutang. Aku tidak menganggap ia menyukaiku. Jika aku berpikir Juna
menyukaiku, itu akan membuatku berharap dan lupa diri. Aku akan sangat tidak
tahu malu jika aku mengiranya begitu.”
“Maafkan aku,
aku tidak akan menuduhmu lagi. Maafkan aku, aku tidak akan memintamu melakukan
hal yang bertentangan denganmu lagi. Aku janji.” Anggi meghapus air matanya.
“Kau juga tidak boleh membenci masa kecilmu dan menghapusnya. Karena di masa
itu kau sangat berjasa padaku. Kau selalu membelaku, melindungiku bahkan
menyediakan diri untuk dipukul nenek atas kesalahanku yang kau akui ulahmu.”
Jihan menghapus
air matanya. Anggi menyentuh rambut baru Jihan. Ia tersenyum. “ Seperti helm,
tidak ada belahan. Tapi kau terlihat lebih segar dan muda. Kau terlihat mungil
dan manis.”
Jihan memandangi
bungkus roti Mozarella di meja belajarnya. Ia teringat pertemuan pertamanya
dengan Juna setelah empat belas tahun berlalu. Kesan pertama saat itu, Juna
memang tampan. Kalau saja itu bukan Juna Si Anak Bisulan dan orang biasa
seperti Satria, mungkin Jihan bisa saja menyukainya dan mendekatinya seperti ia
mendekati Satria.
Anggi berbaring
di kasurnya. Memiringkan tubuh ke pinggir kasur dan memainkan lampu meja.
Dimatikan. Dinyalakan kembali.
Anggi teringat
masa kecilnya di desa bersama Jihan dan Nira. Jihan sering dimarahi ibu dan
neneknya. Bahkan saking nakalnya, Jihan pernah dipukul nenek. Seringnya, Jihan
melindungi Anggi yang lebih nakal dari Jihan. Jihan selalu menyediakan diri
untuk dipukul nenek.
Jihan sudah
melalui masa kecil yang menurutnya buruk dan ingin dilupakan. Ia kehilangan
kedua orang tuanya dan hidup tidak bahagia karena aturan nenek yang otoriter. Dimusuhi
adiknya sendiri dan tidak pernah terlihat didekati laki-laki. Kenapa Anggi
memikirkan dirinya sendiri dan melupakan betapa kasihannya Jihan?
“Bagaimana jika firasatku benar, Juna menyukai Jihan?” pikir Anggi. “Apa
Jihan akan menerimanya jika Juna berterus terang?”
Feni sedang
memandangi bulan sambil memainkan kaki yang terendam di tepi kolam renang
rumahnya. Ia teringat Juna. Pertama kali bertemu Juna adalah ketika ia masuk
SMP yang satu gedung dengan SMA tempat Argha dan Juna sekolah. Feni langsung
menaruh hati dan mengagumi Juna diam-diam. Ayahnya berteman baik dengan almarhum ayah Juna.
Mereka sama-sama pilot di maskapai penerbangan yang sama. Ayahnya juga yang
mengusulkan agar seluruh uang peninggalan ayah Juna dibelikan saham investasi
hingga Juna tetap bisa membiayai hidupnya tanpa harus bekerja keras sebelum
saatnya.
Feni juga
teringat Jihan. awalnya ia sangat bingung kenapa Jihan mengatai Juna, Anak
Bisulan. Padahal Juna tidak pernah terlihat memiliki masalah dengan bisul.
Kulitnya mulus dan bersih. Bagaimana Jihan bisa mengatai Juna seperti itu? Ia
baru tahu setelah kakaknya bercerita, bahwa Jihan pernah bertemu dengan Juna
empat belas tahun lalu. Juga diceritakan bahwa Juna tidak punya teman, mereka
semua jijik dengan bisul Juna di wajahnya. Jihan adalah satu-satunya orang
asing yang tidak seperti itu.
Selama ini, Feni
merasa sangat unggul karena ia mengenal Juna sejak SMP dibanding gadis-gadis
lain. Selain itu, ikatan pertemanan ayahnya menjadi nilai lebih lain yang
membuat ia merasa sangat pantas menjadi kekasih Juna.
Ternyata Feni
salah. Ada Jihan yang lebih dulu mengenal Juna. Meski ia tidak tahu detailnya
seperti apa. Tapi ada satu hal yang diketahui Jihan dan tidak diketahui orang
lain. Ada satu hal yang diterima Jihan ketika orang lain tidak dan yang tidak
dilakukan Jihan ketika orang lain melakukannya.
Pagi hari di
kampus. Juna sedang memeriksa kondisi ban motornya di parkiran.
“Sudah tinggalkan!”
Jihan berdiri di parkiran. “Biar aku yang mencuci motormu.”
Juna berhenti
sejenak lalu berpindah ke ban yang lain tanpa menghiraukan Jihan.
“Aku sudah
putuskan akan menjadi pelayan gratismu selama seminggu ini.” kata Jihan.
“Tidak usah. Aku
tidak terlalu membutuhkannya.”
“Apa? Kau sedang
mempermainkan aku ya?”
“Tidak.” Juna
berdiri. Ia selesai dengan ban motornya. “Aku hanya tidak terlalu membutuhkan
seorang pelayan. Aku juga tidak akan memanfaatkanmu untuk itu.”
Juna pergi
meninggalkan Jihan yang bingung. Jihan berbalik melihat kepergian Juna.
“Kau benar-benar
sulit ditebak. Kau bilang tidak ingin berkencan lalu muncul dengan pamer mobil
mewahmu. Semalam kau menagih janji, sekarang malah berlagak tidak butuh. Hhha!”
Jihan ikut pergi.
Jihan sedang
berjalan menyusuri koridor menuju kelasnya. Tiba-tiba ia berhenti. Ia melihat
Satria sedang berjalan lesu di trotoar taman kampus. Sepertinya Satria sedang
sakit. Jihan diam memperhatikannya.
Tidak lama,
Satria sampai di koridor kelas. Jihan mendekatinya.
“Kak, apa kau
baik-baik saja?” tanya Jihan dengan cemas.
“Hm?” Satria
bingung ia hampir tidak mengenali Jihan karena potongan rambutnya yang baru. Ia
lalu tersenyum. “Aku baik-baik saja. Aku hanya…sedikit lelah, mengantuk dan
tidak berselera.”
“Ooh…” Jihan
mengangguk. “Apa kau sedang melakukan olahraga berat?”
Satria tertawa.
“Tidak. Aku berencana untuk bolos kelas. Aku akan tidur di GOR. Sampai rasa
kantukku hilang, aku baru akan masuk kelas. Kalau kau butuh sesuatu kau bisa
mencariku ke sana.”
Jihan mengangguk
lagi. “Hm! Baiklah!”
Satria pergi. Jihan
masih di tempat mengiringi kepergian Satria. Tiba-tiba Satria berhenti dan
berbalik. Jihan masih diam di tempatnya.
“Rambutmu bagus.
Kau terlihat lebih fresh dan mungil.
Aku suka itu.” Satria mengedipkan sebelah matanya lalu pergi.
Jihan memerah
semu dan tersenyum merunduk.
Bersambung ke Chapter 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar