18 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 10



Chapter 10
Rahasia Juna

Lanjutan Dari Chapter 9

Di sebuah cafe. Alunan musik jazz terdengar hambar. Anggi dan Juna sedang duduk satu meja di tepi kolam renang. Juna sedang santai melahap steaknya. Anggi tidak lagi gugup. Ia hanya sedang menyesali sesuatu yang belum jelas.
Juna tidak pernah memulai obrolan. Ia banyak diam dan hanya bicara jika ditanya. Anggi merasa Juna tidak menyukainya. Sangat berbeda dengan yang sehari-hari bertemu dengan Juna.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Anggi : SEMANGAT!!
Jihan mengirim pesan memberi semangat pada Anggi. Anggi tersenyum kecut. Ia merasa tidak bisa semangat dan ingin menyerah. Tapi Jihan sudah berusaha. Ia tidak bisa menyia-nyiakan usaha Jihan.
“Juna…” Anggi buka obrolan. “Aku boleh bicara sesuatu?”
Juna mengunyah steak dan mengangguk pada Anggi. “Bicara apa?”
“Kau…tidak menyukaiku, ya?”
Juna memperlambat kunyahannya. Ia meneguk air putih. “Tidak bisa dikatakan seperti itu juga.”
“Aku…merasa dekat dan berteman baik denganmu akhir-akhir ini.”
Juna menunggu.
“Aku baru sadar sesuatu. Setiap kita bertemu, kau menanyakan Jihan.”
Juna berhenti mengunyah.
“Kau…” Anggi ragu-ragu. “Jihan pernah bercerita padaku soal kalian waktu kecil. Aku ingin dengar seperti apa ceritanya darimu?”
Juna tertawa kecil. “Kenapa ingin tahu?”
“Tidak boleh, ya?”
“Tidak,” Juna mengambil lap dan membersihkan mulut. “hanya terdengar sedikit aneh.”
Anggi menunggu.
“Aku tidak tahu namanya. Mungkin dia juga begitu. Aku baru tahu setelah dia bertemu dengan ayahku secara tidak sengaja. Setelah itu, begitu saja. Tidak pernah bertemu lagi. Tidak pernah berteman dan tidak pernah akrab.”
Juna tertawa. Anggi ikut tertawa.
“Soal Mozarella.”
Juna diam.
“Jihan menyimpan bungkusnya.”
“Apa?” Juna tidak percaya. Sedetik kemudian Juna tertawa. “Semua orang bisa membelinya, kan? Tidak ada yang istimewa dengan itu. Aneka roti keju terkenal.”
“Apa kau menyukai Jihan?”
Juna bungkam.
“Maksudku, pasti terjadi sesuatu yang membuat dua orang yang bermusuhan jadi bisa bersahabat.”
Juna mencondongkan tubuhnya. Ia memberi isyarat pada Anggi untuk mendekat. Anggi menurut. “Kau bisa pegang rahasia?” bisik Juna.
Sedikit ragu, Anggi mengangguk. Juna menceritakan betapa jeleknya ia waktu kecil. Betapa menjijikannya ia waktu itu. Juna juga bercerita ia sempat pindah sekolah karena jadi korban bullying. Di sana ia bertemu Argha. Mereka anak orang punya yang dimanfaatkan teman yang lain. Anak-anak perempuannya merasa jijik pada Juna. Setelah lulus SD, Juna mulai sembuh dan benar-benar tidak kambuh total. Mereka mulai digilai banyak gadis. Terparah saat SMA, dan bergabungnya Gilang, Kris dan Danu. Semakin banyak gadis yang menyukai mereka. Bahkan salah satunya adalah teman SD  Juna dahulu.
Sampai pada satu kesimpulan. Jihan tidak merasa jijik pada Juna di saat orang-orang menganggapnya menularkan penyakit. Jihan juga tidak tergila-gila padanya ketika banyak gadis bermimpi menjadi kekasihnya.
“Apa kau tidak curiga? Apa sepupumu itu normal?” tanya Juna.
Pertanyaan terakhir Juna membuat Anggi merasa ia telah salah dan sesuatu benar telah terjadi. Anggi menggenang air mata.
“Apa kita sudah selesai?” Anggi merunduk menyembunyikan kesedihannya.
“Kenapa?”
“Aku baru ingat, aku punya tugas kuliah. Bisa kita pulang sekarang?”
“Aku tidak bisa memaksa.” Juna berdiri. “Baiklah. Ayo kita pulang!”

Pintu rumah diketuk. Jihan baru pulang dari salon merapikan rambutnya yang sengaja dipotong pendek dan sedang asik menonton televisi. Jihan bangun dan  membukakan pintu. Anggi langsung masuk tanpa berkomentar apa-apa. Jihan bingung.
“Kenapa dia?” gumam Jihan. Jihan melihat keluar. Mobil Juna masih di depan rumah. Jihan mendatangi Juna yang masih di dalam mobil. Jihan mengetuk kaca jendelanya. Jendela dibuka.
“Ada apa?” tanya Juna di bangku kemudi.
Jihan membungkuk. “Kalian baik-baik saja?”
Juna sedikit terkejut melihat rambut Jihan yang pendek. Juna mengernyitkan dahi. “Tidak ada masalah. Kenapa?”
“Apa kau mengatakan hal buruk padanya?”
Juna berpikir sejenak. “Aku rasa tidak. Ada apa?”
“Kenapa dia terlihat tidak bahagia?”
Juna nyengir. “Bukankah sudah kukatakan? Aku akan jadi diriku sendiri. Tidak mau menurut padamu. Lagi pula dia sendiri sudah bilang padamu, kan? Dia tidak peduli akan kecewa atau tidak.”
Jihan berdiri tegak. Ia melipat tangan lalu memainkan dagunya. Ia berpikir.
Juna melongok. “Kau akan tetap jadi pelayan gratisku, kan?”
“Hm?” alis Jihan meninggi. “Ini tidak sesuai harapanku.”
Jihan berbalik dan pergi.
“Apa katamu?” gumam Juna. Juna bergegas keluar. “Hey, tunggu!”
“Kenapa?” Jihan berbalik.
Juna mendekat. “Kau tidak bisa memegang janji, ya?”
“Bisa. Hanya saja aku merasa ada tindakan sengaja. Kau sengaja membuat sepupuku kecewa dan memanfaatkan aku menjadi pelayan gratisanmu, kan?”
“Tindakan sengaja bagaimana maksudmu?”
“Nanti saja aku putuskan, aku harus tahu bagaimana kencan kalian tadi dari Anggi.” Jihan berbalik dan pulang.
Juna menarik tangan Jihan. “Hey!”
Anggi melihat mereka dari jendela kamarnya. Juna melihat sesuatu di jendela tempat Anggi mengintip. Anggi menutup tirai.
“Kenapa?” tanya Jihan.
“Tidak. Lupakan saja.” Juna melepaskan tangan Jihan. Ia lalu pergi.
Jihan tidak mengerti. Ia melihat ke atas dimana tadi Juna sempat melihat ke arah sana. Kamar Anggi. Jihan masih tidak mengerti. Ia mengiringi kepergian Juna dengan tatapan bingung. Jihan masuk ke rumah. Mengunci pintu dan menuju kamar Anggi. Pintunya tertutup. Jihan memberanikan diri mengetuknya. Anggi membukanya dengan diam lalu kembali berbaring di kasur.
“Kau kenapa?” tanya Jihan mendekati sepupunya. “Bagaimana kencanmu? Ayo ceritakan padaku!”
“Entahlah. Aku hanya merasa pihak ketiga dan aku terlambat.” Anggi merengut sambil memeluk bantal.
“Eh, kenapa? Terlambat bagaimana? Apa Juna sudah punya pacar? Tapi dia tidak pernah terlihat dekat dengan seorang perempuan.”
Anggi memandang Jihan. Ia memincingkan mata. “Kapan kau ke salon dan potong rambut?”
“Ooh..ini. Aku hanya ingin suasana baru. Ahk, sudah ceritakan padaku bagaimana kencanmu?”
Anggi mencoba menelaah ekspresi Jihan. “Pernah tidak kau menyadari seseorang menyukaimu?”
“Apa?” Jihan bingung. “Kenapa aku?”
“Hah…sudahlah. Lupakan saja. Kau sepupuku yang paling baik dibanding Nira. Kita bukan hanya sebagai sepupu. Kita seperti adik-kakak bahkan teman yang sangat akrab.”
Tuk! Jihan memukulkan boneka ke kepala Anggi. “Bicaramau ngelantur. Jelaskan saja ada apa??”
Anggi terbelalak. “Tapi aku serius…”
“Kalau begitu jelaskan kenapa?”
“Kenapa?” Anggi manyun menggelembungkan kedua pipinya. “Kau yang harusnya kenapa?”
“Aku kenapa?”
“Kenapa kau tidak bilang padaku bahwa kalian sudah saling kenal sejak lama? Aku merasa seperti parasit.”
“Aku kenal dengan siapa?”
“Juna! Kita sedang membahas Juna!”
“Aku sudah pernah menceritakannya padamu kenapa aku menyebutnya anak bisulan.”
“Tapi kau tidak menceritakannya secara detail?”
“Lalu apa? Tidak ada yang istimewa. Kenapa harus detail?”
“Kenapa kau menyimpan bungkus roti mozzarella itu?”
“A-apa?” Jihan bingung. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Aku melihatmu menyimpannya di selipan sebuah buku. Di sana juga ada secarik kertas. Kau menulis permohonan maafmu pada Si Anak Bisulan itu.”
Jihan terbata. “A-aku…t-tapi itu tidak...”
“Aku tidak mengerti ada apa. Aku hanya merasa terjadi sesuatu sejak dulu dan aku tidak bisa mengakumulasi waktu dalam sekali kencan.”
“Apa maksudmu?”
“Kadang aku berpikir, apa Juna menyukaimu? Atau kau pernah menyukai Juna hanya kau berhasil lolos dari rasa itu. Jadi kau tidak terlihat seperti orang yang menyukai Juna. Kau ini normal tidak, kenapa kau sama sekali tidak suka pada Juna. Bukankah dia nyaris sempurna? Atau karena kau sedang dekat dengan Satria?”
“Satria?” Jihan semakin bingung.
“Jadi siapa yang kau sukai? Juna atau Satria?”
“Kenapa ada Juna?”
“Jawab saja dengan hati kecilmu. Siapa?”
Jihan diam berpikir. “Aku tidak akan sama sepertimu dan gadis-gadis lain di kampus. Aku punya masa lalu yang buruk terhadap Juna. Jika aku menyukai Juna, betapa tidak tahu dirinya aku. Kalau aku tidak pernah mengenal Juna sebelumnya mungkin aku akan menyukainya sama sepertimu. Aku lebih baik menyukai Satria. Realitanya, tidak selamanya cinta itu manis. Suatu saat akan ada pertengkaran, pada saat itu akan ada kemungkinan terungkitnya kembali masa lalu yang buruk. Kalau itu terjadi, aku akan sangat lemah di hadapannya.”
“Jadi secara logika kau memilih Satria. Tapi kau mengakui dirimu menyukai Juna juga, kan?”
Jihan diam. Ia merasa Anggi sudah salah paham. Tapi ia sendiri bingung bagaimana menjelaskannya.
“Kenapa diam?”
“Aku…tidak bergitu mengerti maksudmu,” Jihan murung menjauh dari Anggi. “aku memang pernah bertemu Juna empat belas tahun lalu. Tapi itu sesuatu yang tidak ingin kuingat lagi. Karena terlalu rumit. Aku merasa sangat jahat pada banyak orang waktu itu.”
Anggi mendengarkan. Mata Jihan berkaca-kaca.
“Pada Ibu, pada Ayah, Nira dan Juna.” Jihan menitikkan air mata. “Aku terlalu mudah mengucapkan kata-kata yang tidak kupikirkan dan itu menyakiti hati orang lain. Bahkan menciptakan musibah. Aku menyakiti Juna dengan memperoloknya, mendorongnya bahkan aku merebut makanannya.”
Anggi merasa kasihan. Ia ikut sedih. Ia melihat Jihan yang tertunduk sambil menahan tangis yang tetap saja tumpah.
“Itu tidak bisa dikatakan suka. Aku membenci diriku atas itu semua. Aku membenci masa kecilku yang jahat dan menyedihkan. Aku ingin menghapusnya. Bagaimana aku bisa menyukai Juna yang dulu lemah dan kusakiti? Harusnya aku malu pada diriku sendiri. Kau benar, Juna memang nyaris sempurna dan banyak gadis menyukainya. Tapi aku berusaha untuk tidak seperti itu.”
Anggi mendekati Jihan. Ia memeluk sepupunya dan ikut menangis.
“Aku harus tahu diri. Aku sangat malu setiap bertemu Juna dan teringat kenakalanku padanya waktu itu. Aku merasa seperti sedang dihukum Tuhan. Dihantui rasa bersalah. Dipermalukan karena takdir berputar seratus delapan puluh derajat. Dimana sekarang, aku yang lemah dan wajar jika Juna mengerjaiku atau memperolokku sebagai balasan waktu itu. Tapi aku malah masih berusaha membalasnya.”
Anggi menghapus air mata sepupunya. “Maafkan, aku…”
“Waktu aku tahu Juna tidak benar-benar mengerjaiku, bahkan dia hampir selalu membantuku entah sengaja atau tidak, aku justru merasa sedih dan semakin bersalah. Aku merasa berhutang. Aku tidak menganggap ia menyukaiku. Jika aku berpikir Juna menyukaiku, itu akan membuatku berharap dan lupa diri. Aku akan sangat tidak tahu malu jika aku mengiranya begitu.”
“Maafkan aku, aku tidak akan menuduhmu lagi. Maafkan aku, aku tidak akan memintamu melakukan hal yang bertentangan denganmu lagi. Aku janji.” Anggi meghapus air matanya. “Kau juga tidak boleh membenci masa kecilmu dan menghapusnya. Karena di masa itu kau sangat berjasa padaku. Kau selalu membelaku, melindungiku bahkan menyediakan diri untuk dipukul nenek atas kesalahanku yang kau akui ulahmu.”
Jihan menghapus air matanya. Anggi menyentuh rambut baru Jihan. Ia tersenyum. “ Seperti helm, tidak ada belahan. Tapi kau terlihat lebih segar dan muda. Kau terlihat mungil dan manis.”

Jihan memandangi bungkus roti Mozarella di meja belajarnya. Ia teringat pertemuan pertamanya dengan Juna setelah empat belas tahun berlalu. Kesan pertama saat itu, Juna memang tampan. Kalau saja itu bukan Juna Si Anak Bisulan dan orang biasa seperti Satria, mungkin Jihan bisa saja menyukainya dan mendekatinya seperti ia mendekati Satria.
Anggi berbaring di kasurnya. Memiringkan tubuh ke pinggir kasur dan memainkan lampu meja. Dimatikan. Dinyalakan kembali.
Anggi teringat masa kecilnya di desa bersama Jihan dan Nira. Jihan sering dimarahi ibu dan neneknya. Bahkan saking nakalnya, Jihan pernah dipukul nenek. Seringnya, Jihan melindungi Anggi yang lebih nakal dari Jihan. Jihan selalu menyediakan diri untuk dipukul nenek.
Jihan sudah melalui masa kecil yang menurutnya buruk dan ingin dilupakan. Ia kehilangan kedua orang tuanya dan hidup tidak bahagia karena aturan nenek yang otoriter. Dimusuhi adiknya sendiri dan tidak pernah terlihat didekati laki-laki. Kenapa Anggi memikirkan dirinya sendiri dan melupakan betapa kasihannya Jihan?
“Bagaimana jika firasatku benar, Juna menyukai Jihan?” pikir Anggi. “Apa Jihan akan menerimanya jika Juna berterus terang?”
Feni sedang memandangi bulan sambil memainkan kaki yang terendam di tepi kolam renang rumahnya. Ia teringat Juna. Pertama kali bertemu Juna adalah ketika ia masuk SMP yang satu gedung dengan SMA tempat Argha dan Juna sekolah. Feni langsung menaruh hati dan mengagumi Juna diam-diam.  Ayahnya berteman baik dengan almarhum ayah Juna. Mereka sama-sama pilot di maskapai penerbangan yang sama. Ayahnya juga yang mengusulkan agar seluruh uang peninggalan ayah Juna dibelikan saham investasi hingga Juna tetap bisa membiayai hidupnya tanpa harus bekerja keras sebelum saatnya.
Feni juga teringat Jihan. awalnya ia sangat bingung kenapa Jihan mengatai Juna, Anak Bisulan. Padahal Juna tidak pernah terlihat memiliki masalah dengan bisul. Kulitnya mulus dan bersih. Bagaimana Jihan bisa mengatai Juna seperti itu? Ia baru tahu setelah kakaknya bercerita, bahwa Jihan pernah bertemu dengan Juna empat belas tahun lalu. Juga diceritakan bahwa Juna tidak punya teman, mereka semua jijik dengan bisul Juna di wajahnya. Jihan adalah satu-satunya orang asing yang tidak seperti itu.
Selama ini, Feni merasa sangat unggul karena ia mengenal Juna sejak SMP dibanding gadis-gadis lain. Selain itu, ikatan pertemanan ayahnya menjadi nilai lebih lain yang membuat ia merasa sangat pantas menjadi kekasih Juna.
Ternyata Feni salah. Ada Jihan yang lebih dulu mengenal Juna. Meski ia tidak tahu detailnya seperti apa. Tapi ada satu hal yang diketahui Jihan dan tidak diketahui orang lain. Ada satu hal yang diterima Jihan ketika orang lain tidak dan yang tidak dilakukan Jihan ketika orang lain melakukannya.

Pagi hari di kampus. Juna sedang memeriksa kondisi ban motornya di parkiran.
“Sudah tinggalkan!” Jihan berdiri di parkiran. “Biar aku yang mencuci motormu.”
Juna berhenti sejenak lalu berpindah ke ban yang lain tanpa menghiraukan Jihan.
“Aku sudah putuskan akan menjadi pelayan gratismu selama seminggu ini.” kata Jihan.
“Tidak usah. Aku tidak terlalu membutuhkannya.”
“Apa? Kau sedang mempermainkan aku ya?”
“Tidak.” Juna berdiri. Ia selesai dengan ban motornya. “Aku hanya tidak terlalu membutuhkan seorang pelayan. Aku juga tidak akan memanfaatkanmu untuk itu.”
Juna pergi meninggalkan Jihan yang bingung. Jihan berbalik melihat kepergian Juna.
“Kau benar-benar sulit ditebak. Kau bilang tidak ingin berkencan lalu muncul dengan pamer mobil mewahmu. Semalam kau menagih janji, sekarang malah berlagak tidak butuh. Hhha!” Jihan ikut pergi.
Jihan sedang berjalan menyusuri koridor menuju kelasnya. Tiba-tiba ia berhenti. Ia melihat Satria sedang berjalan lesu di trotoar taman kampus. Sepertinya Satria sedang sakit. Jihan diam memperhatikannya.
Tidak lama, Satria sampai di koridor kelas. Jihan mendekatinya.
“Kak, apa kau baik-baik saja?” tanya Jihan dengan cemas.
“Hm?” Satria bingung ia hampir tidak mengenali Jihan karena potongan rambutnya yang baru. Ia lalu tersenyum. “Aku baik-baik saja. Aku hanya…sedikit lelah, mengantuk dan tidak berselera.”
“Ooh…” Jihan mengangguk. “Apa kau sedang melakukan olahraga berat?”
Satria tertawa. “Tidak. Aku berencana untuk bolos kelas. Aku akan tidur di GOR. Sampai rasa kantukku hilang, aku baru akan masuk kelas. Kalau kau butuh sesuatu kau bisa mencariku ke sana.”
Jihan mengangguk lagi. “Hm! Baiklah!”
Satria pergi. Jihan masih di tempat mengiringi kepergian Satria. Tiba-tiba Satria berhenti dan berbalik. Jihan masih diam di tempatnya.
“Rambutmu bagus. Kau terlihat lebih fresh dan mungil. Aku suka itu.” Satria mengedipkan sebelah matanya lalu pergi.
Jihan memerah semu dan tersenyum merunduk.


Bersambung ke Chapter 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya