Mozarella Cake - Chapter 8
Chapter
8
Ayo
Kita Berteman!
Lanjutan Dari Chapter 7
Jihan ke kampus.
Ia membawa beberapa buku tugas kuliahnya yang tidak muat ke dalam tas. Ia
berjalan menaiki anak tangga menuju kelasnya di lantai tiga. Baru berhasil
melewati satu lantai. Jihan menyiapkan tenaga lagi. Terdengar suara langkah
seseorang turun. Jihan berhenti sejenak. Jihan terkejut. Ternyata Raffi. Raffi
juga terkejut. Jihan berniat untuk kabur. Ia baru berbalik menghindar.
“Eh, tunggu!”
Raffi menarik ransel Jihan.
Jihan tertahan.
“E-e-eh…”
“Nah, akhirnya
kita bertemu juga!” Raffi celingukan memandang berkeliling. Sepi.
“Kau mau apa?
Lepaskan aku!” Jihan mengguncang punggungnya melepaskan diri.
“Hey, Perempuan
Jalang!” Raffi mendorong buku-buku Jihan hingga jatuh berantakan.
“Hha!!” Jihan
syok.
Buku-buku Jihan
jatuh berantakan dan berguling menuruni anak tangga. Salah satu bukunya sampai
di lantai satu. Jatuh tepat di ujung sepatu seseorang.
Juna memungut
buku itu. Tertulis di tepian buku, JIHANDRA. Juna memandang ke atas tangga
dimana terdengar suara keributan.
“Hey, kau!”
Raffi menarik kerah sweater Jihan
mendekatkannya lalu mendorongnya ke tembok.
“Hey!” Jihan
meraih tangan Raffi dan berusaha melepaskan diri.
“Aku benar-benar
ingin kau hancur dan menderita!” Raffi mengangkat tangannya.
Jihan takut dan
terpejam sambil mencengkram tangan Raffi.
Byur!! Raffi
menyiramkan minumannnya ke kepala Jihan.
Jihan membuka
mata. Dingin dan lengket. Jihan syok tidak bisa menghindar. Untuk pertama
kalinya Jihan merasa tidak bisa membalas. Ia merasa sangat lemah dan sendirian.
Jihan berusaha untuk tidak menangis tapi tetap saja tumpah.
Raffi tiba-tiba
berhenti. Pegangannya melemah. Raffi melepas tangannya. Raffi terlihat
ketakutan melihat ke sebuah arah. Jihan menoleh ke arah yang Raffi lihat. Juna!
Juna berdiri
tanpa ekspresi di ujung lantai. Di tangannya buku Jihan yang terjatuh. Raffi
gelagapan. Juna bergerak. Raffi mundur beberapa langkah. Tidak disangka, Juna
justru cuek dan terus berjalan seolah tidak melihat apa-apa. Juna berlalu.
Raffi tersenyum.
Ia melihat mangsanya yang terlihat konyol dan basah.
“Kau lihat itu?”
kata Raffi. “Kau sangat menjijikan! Tidak ada yang akan peduli dan menolongmu
lagi! Kalau kau tukang adu, adukan aku pada Satria. Hari ini dia tidak masuk.
Kalau besok, dia akan mengiramu tukang adu domba!”
Raffi menendang
buku Jihan di lantai hingga ke pojok tembok. Ia lalu pergi.
Jihan merunduk.
Sekuat tenaga ia menahan tangis. Ia merasa sangat lemah dan konyol. Sangat
menyedihkan dan memalukan. Sangat bodoh dan payah. Jihan memunguti satu per
satu buku-bukunya sambil menangis. Rasanya tidak tahan lagi. Jihan membiarkan
air matanya mengalir.
Di anak tangga
lain, Juna menunggunya. Ia diam berjaga kalau-kalau terjadi sesuatu di luar
kendali.
Jihan hampir
selesai dengan buku dan tangisannya. Ia mencari satu buku lainnya. Ia ingat
buku itu dibawa Juna. Jihan menaiki anak tangga sambil menghapus sisa-sisa air
mata. Jihan berhenti di tiga anak tangga menuju atas.
Juna sedang
berdiri di ujung anak tangga. Satu tangannya dimasukkan ke saku celana. Satu
tangannya memegang buku yang Jihan cari. Juna menyodorkan buku Jihan.
Jihan menaiki
anak tangga lagi. Ia menghampiri Juna. “Aku tidak bisa mengambilnya. Bisa kau
taruh di tumpukan teratasnya?”
Juna menuruti.
Ia menambahkan sebuah sapu tangan di atasnya. “Sebaiknya kau bersihkan dirimu
sebelum masuk ke kelas.”
Jihan
memperhatikan sapu tangan itu. Juna berbalik dan menginjakkan kaki di satu anak
tangga.
“Aku…” Jihan
masih ingin menangis. “Sangat memalukan dan menjijikan, ya?”
Juna berhenti
mendengarkan.
“Aku…berpikir
bahwa ini tidak adil. Karena dia, aku merasa sangat lemah dan konyol.”
Juna tersenyum
sinis.
“Aku jadi
teringat seseorang.” Jihan menangis lagi. “Tidak apa-apa. Karena aku juga
pernah melakukannya pada seseorang dan aku pantas mendapatkannya sekarang. Aku
sudah menyerah dan aku tidak akan melawan lagi.”
Juna berbalik.
Ia memperhatikan Jihan yang sedang menangis dan merunduk.
“Maafkan aku.” Jihan
berusaha tersenyum tapi tetap ingin menangis. “Maafkan aku, ya!”
Jihan mengangkat
kepala dan menemukan Juna sedang menatapnya serius.
“Aku tidak bisa
memperbaikinya juga sulit meminta maaf padamu. Aku tidak tahu harus bagaimana.
Mulai sekarang aku tidak akan menganggapmu musuhku. Kalau kau masih membenciku
dan kau menyiramku atau mengerjaiku dengan ular lagi aku tidak akan
membalasnya. Aku memang tidak seharusnya membalas. Kau justru membantuku dan
menolongku terlalu sering.”
“Apa itu sebuah
diplomasi perdamaian?” tanya Juna.
Jihan diam
sesaat. “Tidak. Aku hanya ingin menjadi orang biasa yang tidak punya musuh.”
“Apa kau akan
memintaku menjadi temanmu?”
Jihan tersenyum
meledek dirinya sendiri. “Entahlah. Aku takut kau menolaknya dan berpikir aku
sangat tidak punya malu.”
“Kalau begitu
cobalah.” Juna mengambil sebagian buku-buku Jihan dan sapu tangan di atasnya.
“A-aku…” Jihan
bingung.
Juna menunggu.
Melihat ekspresi Juna yang baik-baik saja, Jihan merasa tidak apa-apa
mengatakannya sekarang.
“Aku ingin kita
berdamai. Atau berteman. Kau boleh menolongku atau sedikit mencampuri urusanku
dalam batas wajar…”
“Maaf.
Menolongmu?” Juna mengulang.
“Yah,
maksudku…aku boleh meminta tolong padamu dan kalau kau tidak keberatan, kau
akan bersedia membantuku.”
Juna tersenyum.
Senyum yang dalam beberapa detik singkat membuat getaran aneh di jantung Jihan.
Juna menjulurkan tangannya pada Jihan.
“Ayo bersalaman!”
ajak Juna.
Jihan
memperhatikan tangan Juna. Ia lalu melihat senyum itu lagi. Jihan tersenyum
seraya menyambut tangan Juna. Juna mengguncangkan jabatannya.
“Hey…apa ini?” Juna
mengambil sesuatu di rambut Jihan. “Hah, orang itu benar-benar keterlaluan.”
“Tidak apa-apa. Aku
akan membersihkannya segera.”
Juna meletakkan
sapu tangan di atas kepala Jihan yang basah. Jihan tersenyum.
“Oh, iya. Aku
ada tugas. Aku sengaja datang pagi-pagi untuk berdiskusi.” Juna menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. Juna lalu meletakkan kembali buku-buku yang
diambilnya ke tumpukan buku di tangan Jihan seperti semula. “Nah, berusahalah!”
“Ng?” Jihan
kebingungan.
Juna pergi
begitu saja.
“He-hey!” Jihan
menyerah. Juna tetap pergi mengacuhkannya. Jihan meniup ujung sapu tangan Juna
yang sedikit menutupi keningnya.
“Tidak kusangka,
kau baik juga. Seandainya sejak dulu kita berteman.” Gumam Jihan lalu pergi.
Seseorang
bersembunyi di bawah tangga. Ia mendengar percakapan Juna-Jihan sejak tadi. Ia
seperti tidak suka dan cemburu.
Jihan sok cantik padahal tidak. Dia memperalat Satria
untuk perlindungan saja. Sekarang dia memperalat Juna. Semoga Juna tidak
terpengaruh dengan rayuan busuknya. Dia memang pintar bersilat lidah!
Sebuah pesan
berantai tersebar di kelompok penggemar Juna dan kawan-kawan. Semua orang syok.
Jihan baru
keluar dari toilet setelah membersihkan diri. Beberapa orang memperhatikannya
dengan sinis. Jihan bingung dengan tatapan aneh mereka. Jihan cuek dan terus
berjalan ke kelasnya. Jihan masih bingung, bahkan di kelas semua orang
memandang aneh padanya. Jihan duduk di kursinya dan mendekati Feni yang sedang
menulis di sebelahnya.
“Hey, apa aku
terlihat aneh?” bisik Jihan pada Feni.
“Hm?” Feni
memperhatikan. “Tidak. Kenapa?”
“Kenapa semua
orang seperti menghakimiku?”
Feni tertawa. Ia
menunjukkan pesan berantai di ponselnya pada Jihan.
“Tidak mungkin.
Mereka jahat sekali!” Jihan syok. “Apa benar-benar tidak bisa dilacak siapa
koordinator klub itu?”
Feni menggeleng.
“Setahuku, kelompok itu baru ada tahun ini. Mungkin untuk menyamarkan siapa
pelaku utamanya karena akan ada banyak mahasiswa baru yang masuk. Menurutmu?”
Jihan
mengernyitkan dahi. Ia sedang berpikir. “Mungkin saja. Sepertinya dia bukan
anak baru, karena dia tahu banyak sekali soal Juna.”
Feni tersenyum.
“Lumayan. Ini menarik bukan?”
“Menarik?” alis Jihan
meninggi. “Aku tidak perduli mereka menggilai Juna, Argha atau siapa pun
diantara mereka berlima. Aku hanya tidak mengerti kenapa mereka melibatkan aku
di dalamnya?”
Feni mengangkat
bahu lalu kembali menulis.
Jam istirahat. Jihan
masih merasa sangat terusik dengan tatapan para gadis terhadapnya kemana pun ia
pergi.
Jihan bekerja di hotel. Berangkat setelah pulang
kuliah dan pulang jam sepuluh malam. Karyawan yang sangat spesial. Tidak pernah
kena shift malam dan shift pagi. Kira-kira bagaiamana caranya?
Anggi terbelalak
membaca pesan berantai itu. Ia sedang di taman dan mendiskusikan pesan yang
hari ini semua tertuju pada Jihan dengan teman-temannya.
Bekerja sebagai roomgirl
hanya kedok. Ia memang spesial karena sebenarnya bukan roomgirl biasa. Ia disewa pada jam-jam itu untuk para tamu
istimewa!
Anggi menahan
napas. Ia terkejut. Pesan itu cepat sekali berganti. Beritanya bahkan sangat
jahat.
“Jihan tidak
seperti itu. Dia sepupuku…” kata Anggi.
Teman-temannya
memandang ke arah Anggi. “Karena dia sepupumu, apa itu benar?”
“Tidak. Itu
tidak benar sama sekali!”
“Atau karena kau
sepupunya, jadi kau melindunginya?”
“Hm?” Anggi
menggeleng. “Jihan sepupuku yang baik. Dia rajin belajar dan giat bekerja.
Meski kami miskin, tapi kami tidak akan seperti itu.”
Pandangan
teman-temannya justru mencurigai.
“Percayalah…”
Juna yang
kebetulan lewat mendengarkan sejenak.
“Kalian tidak
mengenal Jihan. hidupnya memang sulit tapi dia tidak akan serendah itu.”
Semakin Anggi
menjelaskan, justru teman-temannya semakin tidak percaya.
“Dia bekerja di
hotel yang sama dengan ibuku. Kepala bagian di divisi ibuku adalah teman baik
ibuku, ia menerima Jihan karena Ibu memintanya. Lagi pula Jihan tidak menerima
gaji penuh seperti karyawan lain yang bekerja satu shift penuh. Dia hanya part time, karena itulah ia bekerja
sangat giat…”
Juna lalu pergi.
Di perjalanan menuju kelasnya, Juna bertemu Jihan yang sedang menendang-nendang
mesin minuman.
“Ayo, keluarkan
minumanku…” Jihan memperhatikan mesin itu. “Kau ini kenapa? Kau sudah mengambil
uangku, kenapa kau tidak mengeluarkan minumannya?”
“Apa yang kau
lakukan?” tanya Juna.
“Ng?” Jihan
melihat Juna. “Ooh…mesin ini mengesalkan. Aku sudah memasukkan koin tapi dia
tidak mengeluarkan minumannya.”
“Kenapa tidak
kau beli saja di kantin?” Juna mendekat.
“Aku tidak mau
ke sana.” Jihan mengintip bagian bawah mesin itu.
“Kenapa?”
“Di sana terlalu
ramai.” Jihan berdiri dan mengeluh.
“Bukan karena
kau sedang dalam masalah?”
“Ng?” Jihan
terbelalak. “Kau…sudah tahu?”
“Ada apa?” tanya
Juna.
“Bukankah kau
sudah tahu, kenapa bertanya?”
“Aku ingin tahu
darimu.”
“Tidak usah.
Nanti kau malah berpikiran sama dengan mereka.”
Tuk! Juna
memukulkan gulungan kertas ke kepala Jihan.
“Ng?” Jihan
bengong melihat Juna. Ia tidak percaya Juna begitu memaksa.
“Justru aku
harus dengar darimu langsung supaya tidak salah paham. Jelaskan padaku!”
Jihan mengusap
kepalanya. “Baiklah. Jangan salahkan aku kalau kau jadi berpikiran negative.
Aku tidak ingin menceritakannya padamu karena aku takut kau akan menganggapnya
benar.”
“Cepat
ceritakan!”
“Izs, kau ini!” Jihan
merengut. “Sepertinya tembok pun bisa mendengarku di kampus ini. Entah dari
mana, mereka sepertinya tahu kalau kita sudah berdamai. Lalu muncul pesan
berantai yang mengatakan bahwa aku hanya memanfaatkanmu setelah Satria. Mereka
berpikir aku hanya mencari perlindungan.”
“Apa kau
berpikir mereka benar?”
“Apa?” Jihan
bengong lagi. “Tentu saja tidak. Itu terserah padamu, kau mau percaya atau
tidak. Aku hanya ingin hidup tenang seperti orang biasa yang tidak punya musuh.
Kau ingat itu, kan?”
“Lalu kenapa kau
di sini??” Juna setengah membentak.
“Eh, kenapa kau
marah-marah?” Jihan manyun.
“Kalau itu tidak
benar, kenapa kau menghindar? Biarkan saja mereka, tidak usah melarikan diri.
Kalau kau seperti ini, mereka semakin yakin kalau itu benar!” Juna meraih
tangan Jihan. “Ikut aku!”
“Eh? Kemana?”
Jihan meraih tangan Juna dan berusaha melepaskannya.
Juna tidak
perduli, ia menarik tangan Jihan dan membawanya pergi.
“Tunggu, kau mau
bawa aku kemana?” Jihan terseok mengikuti Juna.
“Ke kantin!”
“Tidak, jangan!”
Jihan menahan pegangan Juna. “Kalau aku ke sana bersamamu, mereka akan semakin
percaya aku hanya memanfaatkanmu!”
“Apa? Lalu
sampai kapan kau akan seperti ini?”
Feni muncul. Ia
berhenti dan menghampiri Juna. “Kakak??”
Juna menengok. Jihan
dengan sigap bersembunyi di balik tubuh Juna. Dibandingkan Juna, berbobot 68 Kg
dan tinggi 184 cm, Jihan yang hanya setinggi 150 cm dengan berat 50 Kg, merasa
aman bersembunyi
“Kakak sedang
apa?” tanya Feni.
Di belakang Jihan
berusaha melepaskan tangannya dari pegangan Juna. Feni melihat lengan Juna
bergoyang. Ia melongok ke belakang.
“Ng? Jihan?”
Feni sedikit terkejut. “Kau sedang apa?”
Jihan nyengir
lalu keluar. Feni melihat tangan Juna yang memegang pergelangan tangan Jihan.
Feni tersenyum.
“Apa kau juga
pengikut kelompok penggemar…apa itu?” Juna bertanya sambil berpura-pura
berpikir.
Feni melihat Juna
dan tersenyum. “Iya, Kak! Kakak sangat terkenal!”
“Kau gadis yang
sangat cerdas. Pasti kau tahu siapa dalangnya?”
“Ng? Dalang?”
Feni bingung.
“Tidak, Juna!
Dia sama sepertiku, dia tidak tahu.” potong Jihan. “Kau benar, Feni sangat
cerdas. Dia bilang, klub itu baru ada tahun ini. Tidak mungkin kalau anak baru.
Dia pasti orang lama yang sangat mengenalmu, karena dia banyak tahu tentangmu.
Kata Feni, mungkin dia sengaja supaya tersamarkan karena bersamaan dengan penerimaan
mahasiswa baru.”
Feni memandang Jihan.
Juna juga melihatnya.
“Mmm…apa aku
salah?” Jihan melihat berkeliling, Juna lalu Feni.
“Kalau kau
sendiri tidak tahu, kenapa perduli dengan itu? Anggap saja dia tidak ada!” Juna
menarik Jihan pergi.
“H-hey!” Jihan
terpaksa mengikuti.
Feni tersenyum
memperhatikan keduanya.
Di kantin. Jihan
sedang makan satu meja dengan Juna. Juna tidak makan. Ia melipat tangan
menunggui Jihan di hadapannya. Juna fokus pada Jihan. Tidak bergeming dengan
pandangan orang yang memperhatikan mereka.
Jihan makan
tidak tenang. Meski perutnya lapar ia masih saja tidak nyaman. Sesekali Jihan
celingukan.
Duk! Juna
menendang kaki meja. Ia mengejutkan Jihan.
“Makan yang
benar! Untuk apa memperhatikan orang lain??” omel Juna.
Jihan menghela
napas lalu fokus pada makanannya.
Jihan kembali ke
kelas. Tiba-tiba ia diserbu banyak mata yang seolah ingin membakarnya
hidup-hidup. Jihan merasa sedikit ketakutan. Jihan duduk di kursinya. Feni diam
memainkan ponselnya.
“Feni, ada apa
lagi ini?” bisik Jihan.
Feni tidak
berkomentar. Ia menyodorkan ponselnya menunjukkan pesan baru.
Ini bukti Jihan adalah wanita perusak rumah tangga
orang. Perayu ulung. Penggadai harga diri!
Pesan berantai
itu muncul kembali. Bahkan mengirimkan MMS foto Jihan sedang bersama laki-laki
berumur di lorong hotel. Masih dengan orang yang sama dalam foto, Jihan sedang
dibukakan pintu salah satu kamar oleh laki-laki itu. Di foto yang lain, Jihan
sedang menerima amplop dari orang yang sama.
Jihan menutup
mulut. Ia tidak percaya sampai sejauh itu. “Mereka jahat sekali! Feni, kau
tidak percaya ini, kan??”
Feni menggeleng.
“Aku tidak percaya kau seperti itu.”
Tatapan Feni
berbeda. Ia sepertinya terpengaruh. Jihan menahan emosi. Ia kesal dan tidak
tahu harus bagaimana. Feni mengambil ponselnya. Ia memainkannya tanpa
memperdulikan Jihan.
Feni menunjukkan
ponselnya lagi. “Ini yang terbaru.”
Jihan semakin
syok. Air matanya menggenang. Feni menunjukkan foto Bibi, Jihan dan seorang
pria yang lain. Dengan tulisan…
Bahkan Bibinya menjadi penjaja Jihan pada tuan-tuan
hidung belang.
Foto berikutnya,
di sebuah kamar hotel. Jihan sedang berpelukan dengan seorang pria tua di atas
ranjang.
Jihan menggeleng.
Ia menangis. “Ini fitnah! Ini tidak benar!”
Seisi kelas
memperhatikan Jihan.
“Apa salahku
pada kalian, kenapa kalian seperti ini padaku?” Jihan menangis di depan kelas.
Anggi datang. Ia
terengah-engah karena berlari. Ia terkejut melihat Jihan menangis di depan
kelas. “Apa aku terlambat? Apa kau sudah tahu?” Anggi masih mengatur napas.
“Katakan padaku
siapa ketua kalian??” teriak Jihan dengan emosi. Seisi kelas terdiam.
“Jihan,
tenanglah.” Feni berdiri menenangkan Jihan dan menyuruhnya duduk. “Mungkin
mereka tidak suka kau mendekati Juna, jadi mereka seperti itu…”
Jihan melepaskan
tangan Feni. “Aku bilang, aku tidak perduli! Aku tidak perduli segila apa
kalian menyukai Juna! Aku tidak ada hubungannya dengan itu, kenapa kalian
memfitnah aku??”
Anggi semakin panik.
Ia berpikir untuk menemui Juna. Sekejap mata Anggi mengambil langkah seribu dan
mencari Juna.
“Aku melihatmu…”
kata Argha. “Aku melihatmu di kantin. Makan bersama dengan Jihan.”
Juna diam saja
di kursinya.
“Tidak kusangka
kau secepat itu.” kata Gilang.
“Menurutku, dia
juga menyukaimu.” Timpal Danu.
“Benar. Kupikir
juga begitu.” Kris ikut nimbrung.
“Kakak! Juna!”
teriak Anggi. Ia mengejutkan seisi kelas. Anggi menghampiri Juna sambil
mengatur napas.
“Kau ini
kenapa?” Gilang cemas.
Anggi tidak bisa
bercerita. Ia langsung menunjukkan pesan-pesan itu pada Juna. Juna membacanya.
Ekspresinya berubah.
Juna berdiri.
“Dimana dia?”
Anggi menelan
ludah. Ia menunjuk arah kelas Jihan. Juna pergi tanpa komentar. Argha mengambil
ponsel Anggi dan membacanya bersama ketiga temannya. Mereka semua terkejut.
Juna sampai di
kelas Jihan. Sepi meski banyak orang di sana. Jihan tidak ada di kelas. Juna
mencari Feni. Feni juga tidak ada. Juna menghalangi langkah seseorang.
“Dimana Jihan?”
tanya Juna.
“Di-di..di
perpus dengan Feni.”
Juna langsung
pergi.
Di perpustakaan.
Jihan menangis di sudut ruang. Ia duduk menghabiskan banyak tissue. Feni di
sebelahnya menghibur. Juna datang.
“Kenapa kau
menangis?” tanya Juna dengan ekspresi kesal.
“Kakak??” Feni
terkejut.
“Pergilah. Aku
tidak ingin kau ke sini.” kata Jihan.
“Zss! Dasar
bodoh!” Juna mendesis. “Sudah kubilang, kalau itu tidak benar tidak usah kau
perdulikan.”
“Bagaimana aku
tidak perduli?? Mereka mefitnahku!” Jihan semakin menangis. “Ini semua karenamu!”
“Apa? Karena
aku?”
“Aku tidak
perduli! Aku benar-benar tidak perduli segila apa mereka menyukaimu. Aku tidak
ada hubungannya denganmu. Apa salahku??”
Perpustakaan
yang dikenal sepi mendadak semakin sepi dan hanya Jihan-Juna yang bersuara.
Semua pandangan tertuju pada mereka.
“Kalau begitu
ikut aku!” Juna menarik tangan Jihan dan membawanya pergi. Sama seperti
beberapa waktu lalu ketika Juna menarik tangan Jihan keluar dari perpustakaan,
membuat iri para kaum hawa.
Feni
diam memperhatikan.
Juna menemui Anggi
yang masih di kelas Juna. Anggi terkejut. Juna menyita ponsel Anggi.
“Aku akan
mencarinya. Sementara berhentilah memikirkannya.” Juna melihat Anggi. “Kupinjam
ponselmu!”
Anggi mengangguk
tidak kuasa menolak.
“Kau awasi
sepupumu yang bodoh ini. Dia cengeng dan merepotkan!”
Anggi melotot.
Lalu mengangguk dengan cepat. Anggi berdiri di sebelah Jihan. memegang tangan
sepupunya dan mengajak pergi. Jihan diam memperhatikan Juna.
“Aku tidak ingin
kau ikut campur. Mereka pasti akan melakukan yang lebih parah dari ini.” kata Jihan.
“Kau bilang ini
gara-gara aku!” Juna mendekatkan kepalanya ke wajah Jihan. Ia mengincar mata Jihan.
Jihan mundur. Anggi
menarik Jihan keluar.
“Hah…apa lagi
ini.” Gilang merebahkan diri di kursinya.
Di rumah. Juna
menghabiskan waktunya membaca pesan-pesan berantai itu. Nomor pengirim tidak
bisa dihubungi. Ia juga tidak merespon telepon dari banyak nomor. Juna ikut
bergabung pun ditolak. Juna melakukan penyelidikan tentang foto itu. Dari
sebuah software canggih, Juna bisa
melihat foto terakhir soal di kamar hotel itu palsu dan hasil editan.
Juna sedikit
bingung. Siapa orang dibalik ini semua. Juna kembali membaca pesan-pesan itu
yang terdahulu.
Juna suka sekali olahraga. Olahraga favoritnya sepak
bola. Tapi dia selalu jatuh terkilir jadi dia tidak bermain sepak bola lagi.
Juna suka karate. Dia sangat berbakat. Bahkan dia
sering ikut kejuaraan nasional. Hanya saja dia tidak terlalu menekuninya. Bisa
dibilang, Juna atlet karate.
Juna memang keren. Dia sudah terkenal sejak SMP.
Juna berpikir
lagi. Sepertinya orang itu sangat tahu banyak soal Juna. Hanya saja, ada
sesuatu yang kurang. Kenapa orang itu tahu banyak masa-masa kebaikan Juna?
Kenapa tidak tahu betapa menderitanya Juna saat kecil? Orang itu pasti
perempuan. Juna semakin berpikir. Siapa orang yang dekat dengan mereka dan tahu
banyak soal mereka. Selama ini, Juna hanya berteman dengan keempat temannya
yang semuanya adalah laki-laki. Juna pusing. Ia meletakkan ponsel Anggi di meja
lalu ke dapur untuk minum. Ia berhenti di depan lemari hias. Dipandanginya
foto-foto Juna saat SMP hingga terkini. Dahinya mengernyit. Tiba-tiba ponsel
Juna berbunyi. Argha menelepon.
“Halo?” Juna
mengangkat telepon.
“Hey, kau sibuk
sekali. Tidak membalas pesan kami. Kami akan main futsal. Kau mau ikut tidak?
Walau aku tahu kau tidak suka sepak bola, tapi kau bisa menonton kami, kan?”
kata Argha.
Juna diam.
“Juna?”
“Aku…” Juna
menceritakan apa yang dipikirkannya.
“Aku minta
maaf.” Argha menutup telepon.
“Ng?” Gilang
bingung.
“Aku tidak bisa
ikut dengan kalian. Aku ada sedikit keperluan.”
Teman-temannya
heran melihat Argha yang langsung pergi.
Bersambung ke Chapter 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar