18 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 8



Chapter 8
Ayo Kita Berteman!

Lanjutan Dari Chapter 7

Jihan ke kampus. Ia membawa beberapa buku tugas kuliahnya yang tidak muat ke dalam tas. Ia berjalan menaiki anak tangga menuju kelasnya di lantai tiga. Baru berhasil melewati satu lantai. Jihan menyiapkan tenaga lagi. Terdengar suara langkah seseorang turun. Jihan berhenti sejenak. Jihan terkejut. Ternyata Raffi. Raffi juga terkejut. Jihan berniat untuk kabur. Ia baru berbalik menghindar.
“Eh, tunggu!” Raffi menarik ransel Jihan.
Jihan tertahan. “E-e-eh…”
“Nah, akhirnya kita bertemu juga!” Raffi celingukan memandang berkeliling. Sepi.
“Kau mau apa? Lepaskan aku!” Jihan mengguncang punggungnya melepaskan diri.
“Hey, Perempuan Jalang!” Raffi mendorong buku-buku Jihan hingga jatuh berantakan.
“Hha!!” Jihan syok.
Buku-buku Jihan jatuh berantakan dan berguling menuruni anak tangga. Salah satu bukunya sampai di lantai satu. Jatuh tepat di ujung sepatu seseorang.
Juna memungut buku itu. Tertulis di tepian buku, JIHANDRA. Juna memandang ke atas tangga dimana terdengar suara keributan.
“Hey, kau!” Raffi menarik kerah sweater Jihan mendekatkannya lalu mendorongnya ke tembok.
“Hey!” Jihan meraih tangan Raffi dan berusaha melepaskan diri.
“Aku benar-benar ingin kau hancur dan menderita!” Raffi mengangkat tangannya.
Jihan takut dan terpejam sambil mencengkram tangan Raffi.
Byur!! Raffi menyiramkan minumannnya ke kepala Jihan.
Jihan membuka mata. Dingin dan lengket. Jihan syok tidak bisa menghindar. Untuk pertama kalinya Jihan merasa tidak bisa membalas. Ia merasa sangat lemah dan sendirian. Jihan berusaha untuk tidak menangis tapi tetap saja tumpah.
Raffi tiba-tiba berhenti. Pegangannya melemah. Raffi melepas tangannya. Raffi terlihat ketakutan melihat ke sebuah arah. Jihan menoleh ke arah yang Raffi lihat. Juna!
Juna berdiri tanpa ekspresi di ujung lantai. Di tangannya buku Jihan yang terjatuh. Raffi gelagapan. Juna bergerak. Raffi mundur beberapa langkah. Tidak disangka, Juna justru cuek dan terus berjalan seolah tidak melihat apa-apa. Juna berlalu.
Raffi tersenyum. Ia melihat mangsanya yang terlihat konyol dan basah.
“Kau lihat itu?” kata Raffi. “Kau sangat menjijikan! Tidak ada yang akan peduli dan menolongmu lagi! Kalau kau tukang adu, adukan aku pada Satria. Hari ini dia tidak masuk. Kalau besok, dia akan mengiramu tukang adu domba!”
Raffi menendang buku Jihan di lantai hingga ke pojok tembok. Ia lalu pergi.
Jihan merunduk. Sekuat tenaga ia menahan tangis. Ia merasa sangat lemah dan konyol. Sangat menyedihkan dan memalukan. Sangat bodoh dan payah. Jihan memunguti satu per satu buku-bukunya sambil menangis. Rasanya tidak tahan lagi. Jihan membiarkan air matanya mengalir.
Di anak tangga lain, Juna menunggunya. Ia diam berjaga kalau-kalau terjadi sesuatu di luar kendali.
Jihan hampir selesai dengan buku dan tangisannya. Ia mencari satu buku lainnya. Ia ingat buku itu dibawa Juna. Jihan menaiki anak tangga sambil menghapus sisa-sisa air mata. Jihan berhenti di tiga anak tangga menuju atas.
Juna sedang berdiri di ujung anak tangga. Satu tangannya dimasukkan ke saku celana. Satu tangannya memegang buku yang Jihan cari. Juna menyodorkan buku Jihan.
Jihan menaiki anak tangga lagi. Ia menghampiri Juna. “Aku tidak bisa mengambilnya. Bisa kau taruh di tumpukan teratasnya?”
Juna menuruti. Ia menambahkan sebuah sapu tangan di atasnya. “Sebaiknya kau bersihkan dirimu sebelum masuk ke kelas.”
Jihan memperhatikan sapu tangan itu. Juna berbalik dan menginjakkan kaki di satu anak tangga.
“Aku…” Jihan masih ingin menangis. “Sangat memalukan dan menjijikan, ya?”
Juna berhenti mendengarkan.
“Aku…berpikir bahwa ini tidak adil. Karena dia, aku merasa sangat lemah dan konyol.”
Juna tersenyum sinis.
“Aku jadi teringat seseorang.” Jihan menangis lagi. “Tidak apa-apa. Karena aku juga pernah melakukannya pada seseorang dan aku pantas mendapatkannya sekarang. Aku sudah menyerah dan aku tidak akan melawan lagi.”
Juna berbalik. Ia memperhatikan Jihan yang sedang menangis dan merunduk.
“Maafkan aku.” Jihan berusaha tersenyum tapi tetap ingin menangis. “Maafkan aku, ya!”
Jihan mengangkat kepala dan menemukan Juna sedang menatapnya serius.
“Aku tidak bisa memperbaikinya juga sulit meminta maaf padamu. Aku tidak tahu harus bagaimana. Mulai sekarang aku tidak akan menganggapmu musuhku. Kalau kau masih membenciku dan kau menyiramku atau mengerjaiku dengan ular lagi aku tidak akan membalasnya. Aku memang tidak seharusnya membalas. Kau justru membantuku dan menolongku terlalu sering.”
“Apa itu sebuah diplomasi perdamaian?” tanya Juna.
Jihan diam sesaat. “Tidak. Aku hanya ingin menjadi orang biasa yang tidak punya musuh.”
“Apa kau akan memintaku menjadi temanmu?”
Jihan tersenyum meledek dirinya sendiri. “Entahlah. Aku takut kau menolaknya dan berpikir aku sangat tidak punya malu.”
“Kalau begitu cobalah.” Juna mengambil sebagian buku-buku Jihan dan sapu tangan di atasnya.
“A-aku…” Jihan bingung.
Juna menunggu. Melihat ekspresi Juna yang baik-baik saja, Jihan merasa tidak apa-apa mengatakannya sekarang.
“Aku ingin kita berdamai. Atau berteman. Kau boleh menolongku atau sedikit mencampuri urusanku dalam batas wajar…”
“Maaf. Menolongmu?” Juna mengulang.
“Yah, maksudku…aku boleh meminta tolong padamu dan kalau kau tidak keberatan, kau akan bersedia membantuku.”
Juna tersenyum. Senyum yang dalam beberapa detik singkat membuat getaran aneh di jantung Jihan. Juna menjulurkan tangannya pada Jihan.
“Ayo bersalaman!” ajak Juna.
Jihan memperhatikan tangan Juna. Ia lalu melihat senyum itu lagi. Jihan tersenyum seraya menyambut tangan Juna. Juna mengguncangkan jabatannya.
“Hey…apa ini?” Juna mengambil sesuatu di rambut Jihan. “Hah, orang itu benar-benar keterlaluan.”
“Tidak apa-apa. Aku akan membersihkannya segera.”
Juna meletakkan sapu tangan di atas kepala Jihan yang basah. Jihan tersenyum.
“Oh, iya. Aku ada tugas. Aku sengaja datang pagi-pagi untuk berdiskusi.” Juna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Juna lalu meletakkan kembali buku-buku yang diambilnya ke tumpukan buku di tangan Jihan seperti semula. “Nah, berusahalah!”
“Ng?” Jihan kebingungan.
Juna pergi begitu saja.
“He-hey!” Jihan menyerah. Juna tetap pergi mengacuhkannya. Jihan meniup ujung sapu tangan Juna yang sedikit menutupi keningnya.
“Tidak kusangka, kau baik juga. Seandainya sejak dulu kita berteman.” Gumam Jihan lalu pergi.
Seseorang bersembunyi di bawah tangga. Ia mendengar percakapan Juna-Jihan sejak tadi. Ia seperti tidak suka dan cemburu.

Jihan sok cantik padahal tidak. Dia memperalat Satria untuk perlindungan saja. Sekarang dia memperalat Juna. Semoga Juna tidak terpengaruh dengan rayuan busuknya. Dia memang pintar bersilat lidah!
Sebuah pesan berantai tersebar di kelompok penggemar Juna dan kawan-kawan. Semua orang syok.
Jihan baru keluar dari toilet setelah membersihkan diri. Beberapa orang memperhatikannya dengan sinis. Jihan bingung dengan tatapan aneh mereka. Jihan cuek dan terus berjalan ke kelasnya. Jihan masih bingung, bahkan di kelas semua orang memandang aneh padanya. Jihan duduk di kursinya dan mendekati Feni yang sedang menulis di sebelahnya.
“Hey, apa aku terlihat aneh?” bisik Jihan pada Feni.
“Hm?” Feni memperhatikan. “Tidak. Kenapa?”
“Kenapa semua orang seperti menghakimiku?”
Feni tertawa. Ia menunjukkan pesan berantai di ponselnya pada Jihan.
“Tidak mungkin. Mereka jahat sekali!” Jihan syok. “Apa benar-benar tidak bisa dilacak siapa koordinator klub itu?”
Feni menggeleng. “Setahuku, kelompok itu baru ada tahun ini. Mungkin untuk menyamarkan siapa pelaku utamanya karena akan ada banyak mahasiswa baru yang masuk. Menurutmu?”
Jihan mengernyitkan dahi. Ia sedang berpikir. “Mungkin saja. Sepertinya dia bukan anak baru, karena dia tahu banyak sekali soal Juna.”
Feni tersenyum. “Lumayan. Ini menarik bukan?”
“Menarik?” alis Jihan meninggi. “Aku tidak perduli mereka menggilai Juna, Argha atau siapa pun diantara mereka berlima. Aku hanya tidak mengerti kenapa mereka melibatkan aku di dalamnya?”
Feni mengangkat bahu lalu kembali menulis.

Jam istirahat. Jihan masih merasa sangat terusik dengan tatapan para gadis terhadapnya kemana pun ia pergi.
Jihan bekerja di hotel. Berangkat setelah pulang kuliah dan pulang jam sepuluh malam. Karyawan yang sangat spesial. Tidak pernah kena shift malam dan shift pagi. Kira-kira bagaiamana caranya?
Anggi terbelalak membaca pesan berantai itu. Ia sedang di taman dan mendiskusikan pesan yang hari ini semua tertuju pada Jihan dengan teman-temannya.
Bekerja sebagai roomgirl hanya kedok. Ia memang spesial karena sebenarnya bukan roomgirl biasa. Ia disewa pada jam-jam itu untuk para tamu istimewa!
Anggi menahan napas. Ia terkejut. Pesan itu cepat sekali berganti. Beritanya bahkan sangat jahat.
“Jihan tidak seperti itu. Dia sepupuku…” kata Anggi.
Teman-temannya memandang ke arah Anggi. “Karena dia sepupumu, apa itu benar?”
“Tidak. Itu tidak benar sama sekali!”
“Atau karena kau sepupunya, jadi kau melindunginya?”
“Hm?” Anggi menggeleng. “Jihan sepupuku yang baik. Dia rajin belajar dan giat bekerja. Meski kami miskin, tapi kami tidak akan seperti itu.”
Pandangan teman-temannya justru mencurigai.
“Percayalah…”
Juna yang kebetulan lewat mendengarkan sejenak.
“Kalian tidak mengenal Jihan. hidupnya memang sulit tapi dia tidak akan serendah itu.”
Semakin Anggi menjelaskan, justru teman-temannya semakin tidak percaya.
“Dia bekerja di hotel yang sama dengan ibuku. Kepala bagian di divisi ibuku adalah teman baik ibuku, ia menerima Jihan karena Ibu memintanya. Lagi pula Jihan tidak menerima gaji penuh seperti karyawan lain yang bekerja satu shift penuh. Dia hanya part time, karena itulah ia bekerja sangat giat…”
Juna lalu pergi. Di perjalanan menuju kelasnya, Juna bertemu Jihan yang sedang menendang-nendang mesin minuman.
“Ayo, keluarkan minumanku…” Jihan memperhatikan mesin itu. “Kau ini kenapa? Kau sudah mengambil uangku, kenapa kau tidak mengeluarkan minumannya?”
“Apa yang kau lakukan?” tanya Juna.
“Ng?” Jihan melihat Juna. “Ooh…mesin ini mengesalkan. Aku sudah memasukkan koin tapi dia tidak mengeluarkan minumannya.”
“Kenapa tidak kau beli saja di kantin?” Juna mendekat.
“Aku tidak mau ke sana.” Jihan mengintip bagian bawah mesin itu.
“Kenapa?”
“Di sana terlalu ramai.” Jihan berdiri dan mengeluh.
“Bukan karena kau sedang dalam masalah?”
“Ng?” Jihan terbelalak. “Kau…sudah tahu?”
“Ada apa?” tanya Juna.
“Bukankah kau sudah tahu, kenapa bertanya?”
“Aku ingin tahu darimu.”
“Tidak usah. Nanti kau malah berpikiran sama dengan mereka.”
Tuk! Juna memukulkan gulungan kertas ke kepala Jihan.
“Ng?” Jihan bengong melihat Juna. Ia tidak percaya Juna begitu memaksa.
“Justru aku harus dengar darimu langsung supaya tidak salah paham. Jelaskan padaku!”
Jihan mengusap kepalanya. “Baiklah. Jangan salahkan aku kalau kau jadi berpikiran negative. Aku tidak ingin menceritakannya padamu karena aku takut kau akan menganggapnya benar.”
“Cepat ceritakan!”
“Izs, kau ini!” Jihan merengut. “Sepertinya tembok pun bisa mendengarku di kampus ini. Entah dari mana, mereka sepertinya tahu kalau kita sudah berdamai. Lalu muncul pesan berantai yang mengatakan bahwa aku hanya memanfaatkanmu setelah Satria. Mereka berpikir aku hanya mencari perlindungan.”
“Apa kau berpikir mereka benar?”
“Apa?” Jihan bengong lagi. “Tentu saja tidak. Itu terserah padamu, kau mau percaya atau tidak. Aku hanya ingin hidup tenang seperti orang biasa yang tidak punya musuh. Kau ingat itu, kan?”
“Lalu kenapa kau di sini??” Juna setengah membentak.
“Eh, kenapa kau marah-marah?” Jihan manyun.
“Kalau itu tidak benar, kenapa kau menghindar? Biarkan saja mereka, tidak usah melarikan diri. Kalau kau seperti ini, mereka semakin yakin kalau itu benar!” Juna meraih tangan Jihan. “Ikut aku!”
“Eh? Kemana?” Jihan meraih tangan Juna dan berusaha melepaskannya.
Juna tidak perduli, ia menarik tangan Jihan dan membawanya pergi.
“Tunggu, kau mau bawa aku kemana?” Jihan terseok mengikuti Juna.
“Ke kantin!”
“Tidak, jangan!” Jihan menahan pegangan Juna. “Kalau aku ke sana bersamamu, mereka akan semakin percaya aku hanya memanfaatkanmu!”
“Apa? Lalu sampai kapan kau akan seperti ini?”
Feni muncul. Ia berhenti dan menghampiri Juna. “Kakak??”
Juna menengok. Jihan dengan sigap bersembunyi di balik tubuh Juna. Dibandingkan Juna, berbobot 68 Kg dan tinggi 184 cm, Jihan yang hanya setinggi 150 cm dengan berat 50 Kg, merasa aman bersembunyi
“Kakak sedang apa?” tanya Feni.
Di belakang Jihan berusaha melepaskan tangannya dari pegangan Juna. Feni melihat lengan Juna bergoyang. Ia melongok ke belakang.
“Ng? Jihan?” Feni sedikit terkejut. “Kau sedang apa?”
Jihan nyengir lalu keluar. Feni melihat tangan Juna yang memegang pergelangan tangan Jihan. Feni tersenyum.
“Apa kau juga pengikut kelompok penggemar…apa itu?” Juna bertanya sambil berpura-pura berpikir.
Feni melihat Juna dan tersenyum. “Iya, Kak! Kakak sangat terkenal!”
“Kau gadis yang sangat cerdas. Pasti kau tahu siapa dalangnya?”
“Ng? Dalang?” Feni bingung.
“Tidak, Juna! Dia sama sepertiku, dia tidak tahu.” potong Jihan. “Kau benar, Feni sangat cerdas. Dia bilang, klub itu baru ada tahun ini. Tidak mungkin kalau anak baru. Dia pasti orang lama yang sangat mengenalmu, karena dia banyak tahu tentangmu. Kata Feni, mungkin dia sengaja supaya tersamarkan karena bersamaan dengan penerimaan mahasiswa baru.”
Feni memandang Jihan. Juna juga melihatnya.
“Mmm…apa aku salah?” Jihan melihat berkeliling, Juna lalu Feni.
“Kalau kau sendiri tidak tahu, kenapa perduli dengan itu? Anggap saja dia tidak ada!” Juna menarik Jihan pergi.
“H-hey!” Jihan terpaksa mengikuti.
Feni tersenyum memperhatikan keduanya.

Di kantin. Jihan sedang makan satu meja dengan Juna. Juna tidak makan. Ia melipat tangan menunggui Jihan di hadapannya. Juna fokus pada Jihan. Tidak bergeming dengan pandangan orang yang memperhatikan mereka.
Jihan makan tidak tenang. Meski perutnya lapar ia masih saja tidak nyaman. Sesekali Jihan celingukan.
Duk! Juna menendang kaki meja. Ia mengejutkan Jihan.
“Makan yang benar! Untuk apa memperhatikan orang lain??” omel Juna.
Jihan menghela napas lalu fokus pada makanannya.

Jihan kembali ke kelas. Tiba-tiba ia diserbu banyak mata yang seolah ingin membakarnya hidup-hidup. Jihan merasa sedikit ketakutan. Jihan duduk di kursinya. Feni diam memainkan ponselnya.
“Feni, ada apa lagi ini?” bisik Jihan.
Feni tidak berkomentar. Ia menyodorkan ponselnya menunjukkan pesan baru.
Ini bukti Jihan adalah wanita perusak rumah tangga orang. Perayu ulung. Penggadai harga diri!
Pesan berantai itu muncul kembali. Bahkan mengirimkan MMS foto Jihan sedang bersama laki-laki berumur di lorong hotel. Masih dengan orang yang sama dalam foto, Jihan sedang dibukakan pintu salah satu kamar oleh laki-laki itu. Di foto yang lain, Jihan sedang menerima amplop dari orang yang sama.
Jihan menutup mulut. Ia tidak percaya sampai sejauh itu. “Mereka jahat sekali! Feni, kau tidak percaya ini, kan??”
Feni menggeleng. “Aku tidak percaya kau seperti itu.”
Tatapan Feni berbeda. Ia sepertinya terpengaruh. Jihan menahan emosi. Ia kesal dan tidak tahu harus bagaimana. Feni mengambil ponselnya. Ia memainkannya tanpa memperdulikan Jihan.
Feni menunjukkan ponselnya lagi. “Ini yang terbaru.”
Jihan semakin syok. Air matanya menggenang. Feni menunjukkan foto Bibi, Jihan dan seorang pria yang lain. Dengan tulisan…
Bahkan Bibinya menjadi penjaja Jihan pada tuan-tuan hidung belang.
Foto berikutnya, di sebuah kamar hotel. Jihan sedang berpelukan dengan seorang pria tua di atas ranjang.
Jihan menggeleng. Ia menangis. “Ini fitnah! Ini tidak benar!”
Seisi kelas memperhatikan Jihan.
“Apa salahku pada kalian, kenapa kalian seperti ini padaku?” Jihan menangis di depan kelas.
Anggi datang. Ia terengah-engah karena berlari. Ia terkejut melihat Jihan menangis di depan kelas. “Apa aku terlambat? Apa kau sudah tahu?” Anggi masih mengatur napas.
“Katakan padaku siapa ketua kalian??” teriak Jihan dengan emosi. Seisi kelas terdiam.
“Jihan, tenanglah.” Feni berdiri menenangkan Jihan dan menyuruhnya duduk. “Mungkin mereka tidak suka kau mendekati Juna, jadi mereka seperti itu…”
Jihan melepaskan tangan Feni. “Aku bilang, aku tidak perduli! Aku tidak perduli segila apa kalian menyukai Juna! Aku tidak ada hubungannya dengan itu, kenapa kalian memfitnah aku??”
Anggi semakin panik. Ia berpikir untuk menemui Juna. Sekejap mata Anggi mengambil langkah seribu dan mencari Juna.

“Aku melihatmu…” kata Argha. “Aku melihatmu di kantin. Makan bersama dengan Jihan.”
Juna diam saja di kursinya.
“Tidak kusangka kau secepat itu.” kata Gilang.
“Menurutku, dia juga menyukaimu.” Timpal Danu.
“Benar. Kupikir juga begitu.” Kris ikut nimbrung.
“Kakak! Juna!” teriak Anggi. Ia mengejutkan seisi kelas. Anggi menghampiri Juna sambil mengatur napas.
“Kau ini kenapa?” Gilang cemas.
Anggi tidak bisa bercerita. Ia langsung menunjukkan pesan-pesan itu pada Juna. Juna membacanya. Ekspresinya berubah.
Juna berdiri. “Dimana dia?”
Anggi menelan ludah. Ia menunjuk arah kelas Jihan. Juna pergi tanpa komentar. Argha mengambil ponsel Anggi dan membacanya bersama ketiga temannya. Mereka semua terkejut.

Juna sampai di kelas Jihan. Sepi meski banyak orang di sana. Jihan tidak ada di kelas. Juna mencari Feni. Feni juga tidak ada. Juna menghalangi langkah seseorang.
“Dimana Jihan?” tanya Juna.
“Di-di..di perpus dengan Feni.”
Juna langsung pergi.

Di perpustakaan. Jihan menangis di sudut ruang. Ia duduk menghabiskan banyak tissue. Feni di sebelahnya menghibur. Juna datang.
“Kenapa kau menangis?” tanya Juna dengan ekspresi kesal.
“Kakak??” Feni terkejut.
“Pergilah. Aku tidak ingin kau ke sini.” kata Jihan.
“Zss! Dasar bodoh!” Juna mendesis. “Sudah kubilang, kalau itu tidak benar tidak usah kau perdulikan.”
“Bagaimana aku tidak perduli?? Mereka mefitnahku!” Jihan semakin menangis. “Ini semua karenamu!”
“Apa? Karena aku?”
“Aku tidak perduli! Aku benar-benar tidak perduli segila apa mereka menyukaimu. Aku tidak ada hubungannya denganmu. Apa salahku??”
Perpustakaan yang dikenal sepi mendadak semakin sepi dan hanya Jihan-Juna yang bersuara. Semua pandangan tertuju pada mereka.
“Kalau begitu ikut aku!” Juna menarik tangan Jihan dan membawanya pergi. Sama seperti beberapa waktu lalu ketika Juna menarik tangan Jihan keluar dari perpustakaan, membuat iri para kaum hawa.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   Feni diam memperhatikan.

Juna menemui Anggi yang masih di kelas Juna. Anggi terkejut. Juna menyita ponsel Anggi.
“Aku akan mencarinya. Sementara berhentilah memikirkannya.” Juna melihat Anggi. “Kupinjam ponselmu!”
Anggi mengangguk tidak kuasa menolak.
“Kau awasi sepupumu yang bodoh ini. Dia cengeng dan merepotkan!”
Anggi melotot. Lalu mengangguk dengan cepat. Anggi berdiri di sebelah Jihan. memegang tangan sepupunya dan mengajak pergi. Jihan diam memperhatikan Juna.
“Aku tidak ingin kau ikut campur. Mereka pasti akan melakukan yang lebih parah dari ini.” kata Jihan.
“Kau bilang ini gara-gara aku!” Juna mendekatkan kepalanya ke wajah Jihan. Ia mengincar mata Jihan.
Jihan mundur. Anggi menarik Jihan keluar.
“Hah…apa lagi ini.” Gilang merebahkan diri di kursinya.

Di rumah. Juna menghabiskan waktunya membaca pesan-pesan berantai itu. Nomor pengirim tidak bisa dihubungi. Ia juga tidak merespon telepon dari banyak nomor. Juna ikut bergabung pun ditolak. Juna melakukan penyelidikan tentang foto itu. Dari sebuah software canggih, Juna bisa melihat foto terakhir soal di kamar hotel itu palsu dan hasil editan.
Juna sedikit bingung. Siapa orang dibalik ini semua. Juna kembali membaca pesan-pesan itu yang terdahulu.
Juna suka sekali olahraga. Olahraga favoritnya sepak bola. Tapi dia selalu jatuh terkilir jadi dia tidak bermain sepak bola lagi.
Juna suka karate. Dia sangat berbakat. Bahkan dia sering ikut kejuaraan nasional. Hanya saja dia tidak terlalu menekuninya. Bisa dibilang, Juna atlet karate.
Juna memang keren. Dia sudah terkenal sejak SMP.
Juna berpikir lagi. Sepertinya orang itu sangat tahu banyak soal Juna. Hanya saja, ada sesuatu yang kurang. Kenapa orang itu tahu banyak masa-masa kebaikan Juna? Kenapa tidak tahu betapa menderitanya Juna saat kecil? Orang itu pasti perempuan. Juna semakin berpikir. Siapa orang yang dekat dengan mereka dan tahu banyak soal mereka. Selama ini, Juna hanya berteman dengan keempat temannya yang semuanya adalah laki-laki. Juna pusing. Ia meletakkan ponsel Anggi di meja lalu ke dapur untuk minum. Ia berhenti di depan lemari hias. Dipandanginya foto-foto Juna saat SMP hingga terkini. Dahinya mengernyit. Tiba-tiba ponsel Juna berbunyi. Argha menelepon.
“Halo?” Juna mengangkat telepon.
“Hey, kau sibuk sekali. Tidak membalas pesan kami. Kami akan main futsal. Kau mau ikut tidak? Walau aku tahu kau tidak suka sepak bola, tapi kau bisa menonton kami, kan?” kata Argha.
Juna diam.
“Juna?”
“Aku…” Juna menceritakan apa yang dipikirkannya.
“Aku minta maaf.” Argha menutup telepon.
“Ng?” Gilang bingung.
“Aku tidak bisa ikut dengan kalian. Aku ada sedikit keperluan.”
Teman-temannya heran melihat Argha yang langsung pergi.


 Bersambung ke Chapter 9





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya