Mozarella Cake - Chapter 7
Chapter
7
Foto
Bermasalah
Lanjutan Dari Chapter 6
Argha dan
teman-temannya sedang berkumpul di rumah Juna. Juna sedang membuatkan sirup
untuk mereka karena pembantunya sedang keluar belanja. Gilang sedang sibuk
menelepon. Ibunya baru pulang liburan ke Bali dan minta dijemput di bandara.
Gilang berusaha keras menolak dengan berbagai macam alasan. Tiba-tiba ponselnya
mati.
“Argh! Low bath!” omel Gilang.
Argha, Kris dan
Danu acuh saja dan sibuk bermain play
station.
Gilang melihat
ponsel Juna di meja. “Juna! Aku pinjam ponselmu! Ponselku mati kehabisan daya.
Aku harus menelepon nyonya besar!” teriaknya.
“Pakai saja!”
sahut Juna dari dapur.
Gilang menelepon
ibunya kembali. Tidak diangkat. “Mungkin ia marah.”
Dicobanya lagi.
Masih tidak diangkat. “Ahk, sudahlah.”
“Kenapa?” tanya
Argha.
“Ibuku. Dia
marah aku tidak bisa menjemputnya di bandara.”
Argha dan teman-temannya
tertawa.
“Hm?” Gilang
melihat ponsel Juna. “Ngomong-ngomong…Juna masih jomblo yah?”
“Ng?” Argha
berpikir.
“Tapi…sudah
hampir setahun ini dia memang tidak terlihat bersama perempuan, sih…” pikir
Danu.
“Benar juga.”
Timpal Kris.
“Coba kulihat
isi ponselnya.” Gilang membongkar-bongkar ponsel Juna.
“Hey,
hati-hati!” Argha memperingatkan.
“Secara pesan,
tidak ada yang mencurigakan.” kata Gilang. Gilang tiba-tiba terkejut melihat
folder foto.
“Jihan!” seru
Gilang.
Argha dan kedua temannya
mendekat.
“Benar. Selain Jihan,
memang tidak ada lagi.” Gumam Danu.
“Lihat ini!”
Gilang menunjukkan foto Jihan yang sedang mengompol.
Teman-teman Juna
tertawa. Mereka menahan diri agar Juna tidak tahu.
“Apa jadinya
kalau foto ini tersebar. Bukankah itu lucu?” pikir Gilang.
Sebuah foto
tersebar di kampus dan mengegerkan. Foto Jihan dengan celana basah ompol saat
di gunung waktu itu. Jihan jadi bahan tertawaan teman-teman sekampus. Jihan
malu dan merobek foto itu. Ia marah sambil membendung air mata. Orang yang
paling mampu melakukannya dan ikut ke Gunung Gede waktu itu hanya Juna. Ia
mencari Juna.
Biasanya Juna
ada di taman. Jihan datang terburu-buru, melempar robekan foto itu ke muka Juna.
Juna yang sedang asik bermain game di
smartphonenya berhenti.
Suasana hening.
Gilang, Argha, Danu dan Kris terkejut.
Gilang Si Pemberani
berdiri, Juna menahannya. Gilang kembali duduk. Juna berdiri tegak berhadapan
dengan Jihan.
Meski Jihan
hanya setinggi dadanya Juna, tapi ia tidak gentar. Ia gemetar menahan amarah.
“Kau benar-benar
menjijikan. Memalukan dan seorang penjahat kelamin!” maki Jihan.
“Apa maksudmu?” Juna
masih santai.
“Apa maksudku?” Jihan
mengejek. Ia mengambil robekan foto itu dan menunjukkannya pada Juna. “Kau yang
melakukannya kan?”
Juna terkejut.
Foto itu memang ia yang mengambilnya dan menyimpannya di ponsel tapi ia tidak
menyebarkannya. Itu hanya sebagai senjata pamungkasnya jika Jihan benar-benar
akan mengeluarkan foto masa kecilnya Juna yang berhidung merah, biang keringat
dan bisul di jidat. Foto itu selalu ada di ponselnya tanpa pernah ia pindahkan
atau bahkan melakukan print out.
“Lalu kenapa?
Kau mau balas dendam? Bukankah kau punya hal sama yang memalukan tentang aku?
Lakukan saja.”
“Kau ini bodoh
ya!” Jihan menangis. “Aku tidak punya itu. Mana mungkin seorang anak miskin seperti
aku bisa memiliki kamera! Bahkan mana sempat aku memotretmu sementara setiap
kita bertemu, itu terjadi sangat cepat. Aku mengerjaimu dan kau pulang sambil
menangis, Pria Cengeng!”
Mendengar
temannya dihina, Gilang berdiri lalu menyambar Jihan dengan mendorongnya
keras-keras. Jihan terjatuh.
“Hey perempuan
busuk! Kau ini sok cantik sekali. Aku yang menyebarkannya sebagai hukuman atas
sikap sok-mu!”
“Dia bagianku!
Kalian tidak usah ikut campur!” Juna justru marah dengan pembelaan temannya.
“What?” Gilang heran.
Juna menarik
tangan Jihan dan memaksanya berdiri lalu membawanya pergi. Jihan yang belum
siap berdiri tersandung-sandung mengikuti Juna.
Di belakang
sebuah gedung kampus yang sepi. Juna mendorong Jihan ke tembok dan terpojok. Juna
menatapnya dengan tatapan tajam. Juna mengunci kedua bahu Jihan dan mendekatkan
kepalanya. Jihan menghindari datangnya wajah Juna.
“Kau memang
berani tapi tidak cukup pintar. Sikapmu terlalu beresiko!” kata Juna yang
berjarak beberapa centi saja dari wajah Jihan.
“Aku ini
laki-laki. Aku menghargai perempuan yang tahu diri. Tapi kalau kau mengandalkan
gender perempuanmu untuk mengatakan aku lemah dan menantangku, kau salah! Aku
bisa saja memperkosamu lalu membunuhmu kalau aku mau!”
Bulu kuduk Jihan
berdiri. Ia berhenti menangis. Sebuah rasa takut singgah di hatinya.
“Ini pertama kalinya aku memperingatkanmu
dengan serius. Aku tidak main-main. Kalau kau berani mempermalukan aku dan
teman-temanku lagi, kau akan terima akibatnya. Aku tidak bertangung jawab apa
pun yang akan terjadi padamu setelah ini!”
Juna melepas
cengkeramanya di bahu Jihan. Ia pergi meninggalkan Jihan yang gemetar
ketakutan. Jihan menangis. Ia merosot dan terduduk di tanah.
Tanpa diketahui
keduanya, pembicaraan mereka didengar Argha. Argha pergi dan melaporkan apa
yang ia ketahui kepada teman-temannya yang lain.
Gilang tersenyum
licik. Ia masih tidak mengerti kenapa Juna menahan diri untuk memberi pelajaran
pada Jihan. Apa yang dipikirkan Gilang adalah sama dengan yang dipikirkan
ketiga temannya yang lain. Mereka lalu sepakat membuat sebuah rencana untuk
membuktikan sesuatu.
Beberapa anak
kampus berbisik-bisik. Mereka menyebarkan issu berantai bahwa siapa pun yang
membahas soal foto itu akan mendapat masalah dari Juna. Serentak issu tersebar
dan kampus pun tidak lagi mengejek Jihan. Jihan pulang dengan perasaan aneh.
Banyak orang cuek terhadapnya dan tidak mengejeknya lagi. Jihan berusaha biasa
saja.
Ketika hendak
menunggu bis, sebuah mobil mercy hitam berhenti di depannya. Menghalangi Anggi
yang hendak memanggil untuk pulang bersama. Anggi melihat Jihan dipaksa masuk
oleh tiga orang yang sangat ia kenal. Tidak berapa lama mobil itu pergi dan Jihan
pun tidak ada di tempat. Anggi panik dan berusaha menghubungi ponsel Jihan.
Awalnya tersambung tapi tiba-tiba diputus kemudian tidak aktif.
Tiba-tiba Anggi
ingat Juna. Setelah kampus ramai dengan foto ompolnya Jihan, mendadak tidak ada
yang berani membahasnya setelah Juna turun tangan. Mungkin Juna bukan salah
satu dari penghuni mobil mercy hitam tadi. Anggi lalu panik berkeliaran ke
seluruh kampus mencari Juna. Sayang, tidak ditemukan bahkan motor besarnya
sudah tidak nampak di tempat parkir biasanya.
Anggi lalu
menemui salah satu mantannya Juna untuk minta nomor telepon Juna. Setelah
dapat, ia langsung menceritakan kejadian sore tadi. Juna tidak berkomentar
apa-apa, ia langsung menutup teleponnya. Anggi putus asa. Mungkin Juna salah satu
penghuni mobil itu atau malah otak dibalik aksi penculikan tadi. Mungkin Juna
masih marah karena Jihan melabraknya pagi tadi. Anggi sedih dan ketakutan. Ia
bingung harus memberi tahu siapa.
Di dalam mobil. Jihan
dibawa berputar-putar oleh Gilang dan kawan-kawan.
“Kalian mau bawa
aku kemana? Cepat lepaskan aku!” kata Jihan sambil meronta. Kedua tangannya
dicengkeram kuat oleh Kris dan Danu.
“Kau berisik
sekali!” omel Gilang. “Lakukan sesuatu untuk menutup mulutnya!”
Kris
mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah tali dan sapu tangan.
“Kalian mau apa?
Tidak! Lepaskan aku!”
Kris dan Danu
mengikatkan sapu tangan ke mulut Jihan hingga melingkar ke kepala. Mereka juga
mengikat kedua tangan Jihan denga tali.
“Nah, begitu
lebih baik.” kata Kris.
“Kenapa tidak
dari tadi?” Gilang menggerutu.
“Kupikir dia
kooperatif.” Jawab Kris asal. Danu dan Gilang tertawa.
Jihan terikat.
Ia tidak bisa berbuat lebih. Bahunya ditahan oleh Danu dan Kris. Suaranya pun
tidak keluar.
“Kau lama
sekali! Sudah dapat tempatnya belum?” Gilang memutar stir lagi.
“Belum.” Jawab
Argha yang dari awal fokus pada ponselnya.
“Huh! Aku sudah
tidak tahan dengan perempuan ini!” keluh Gilang.
“Bagus!” celetuk
Argha bersemangat. “Itu dia!”
Danu, Kris dan
Gilang terperanjat. “Bagaimana?”
“Ayo, cari
gedung tidak terpakai di dekat sini!” kata Argha.
“Baiklah!”
Gilang sangat bersemangat memacu mobilnya.
Di sebuah gedung
tidak terpakai dan belum selesai dibangun. Jihan meronta-ronta. Ikatan tangan Jihan
dilepas. Kedua tangannya dipegang kuat-kuat oleh Danu dan Kris. Argha duduk
memainkan pisau kecilnya di sudut lain.
“Langsung
sajalah! Aku sudah tidak sabar!” kata Gilang mendekati Jihan.
Jihan tidak bisa
berteriak. Ia berusaha melepaskan diri tapi Danu dan Kris terlalu kuat
menahannya. Jihan dipojokkan. Gilang membuka jaketnya dan berjalan mendekati Jihan.
“Apa Juna sudah
mengatakan padamu bahwa kami laki-laki dan bisa saja kami memperkosamu lalu
membunuhmu?! Bagaimana pendapatmu jika itu benar-benar kami lakukan sekarang?”
Jihan ketakutan.
Gilang langsung memaksa Jihan melayaninya. Jihan mengelak dan menjerit. Ia
menangis. Kris menarik ikat rambut Jihan dan membuat rambut panjangnya terurai.
Gilang menarik lengan baju Jihan dan merobeknya.
“Aku tidak
bernafsu dengan perempuan seperti itu.” Argha berbalik dan mengacuhkan ketiga
temannya seraya pergi.
Langkah Argha
terhenti. Ia terkejut melihat Juna tiba-tiba datang. Tanpa basa-basi, Juna
langsung memukul Argha. Argha jatuh terhuyung. Juna langsung menghampiri Gilang
dan kawan-kawan. Ia menarik gilang dan memukul wajahnya hingga jatuh dan
berdarah. Kemudian memukul Danu dan Kris.
Jihan terduduk.
Ia gemetar ketakutan. Dibukanya ikatan di mulut. Jihan menangis dan sesekali
memejamkan mata ketika Juna memukul satu per satu temannya di hadapan Jihan.
“Sudah kubilang
dia bagianku tapi kalian masih saja mencampuri urusanku!” Juna terlihat sangat
marah.
“Kau ini kenapa???”
Gilang emosi dan bangkit.
Juna yang masih
marah langsung memukul Gilang lagi hingga muntah dan tersungkur.
“Sekali lagi
kalian mendekati dan mencampuri urusanku, aku tidak segan-segan mengirim kalian
ke kuburan!”
Juna lalu
mendekati Jihan yang meringkuk di pojok tembok. Bajunya robek dan sedikit
terbuka. Pakaiannya lusuh dan kotor. Tanpa kata-kata Juna menarik tangan Jihan
dan membawanya pergi. Juna membiarkan teman-temannya tergeletak kesakitan. Langkah
Juna terlalu cepat dan mempersulit Jihan untuk mengimbanginya.
“Lepaskan aku!” Jihan
baru buka suara.
Juna diam saja
dan terus berjalan menuruni tangga sambil menggandeng Jihan.
“Aku baik-baik
saja.”
Juna masih diam.
Jihan menyerah. Sebenarnya ia tidak merasa baik juga. Seluruh tubuhnya sakit
dan pegal. Ia merasa sangat buruk dan malu pada Juna.
Jihan
memberanikan diri memandang wajah Juna. Ia terbayang masa kecilnya dulu. Ia
sangat tidak suka melihat bisul kecil yang memerah di jidat Juna. Jidatnya juga
dipenuhi biang keringat, bahkan di hidungnya yang membuat hidungnya tampak
memerah. Bocah kurus yang selalu membawa makanan dan tidak punya teman. Jihan
mengejek dan mendorong Juna hingga jatuh. Juna menangis di tanah. Jihan lalu
pergi meninggalkannya. Sebenarnya Jihan merasa bersalah. Tapi karena lapar ia tetap
memakannya dengan perasaan bersalah. Setiap hari rasa bersalahnya semakin
menumpuk. Tapi itu terus saja terjadi.
Jihan menitikkan
air mata. Ia menangis lagi tanpa suara.
“Maafkan aku.”
Suaranya lirih.
Juna terus
berjalan.
“Maaf.” katanya
lagi.
Juna diam saja.
“Maaf.” Jihan
mengulang. Ia terus mengatakan itu berkali-kali sambil menangis. Tangisannya
semakin menjadi.
“Iya, aku dengar!
Dasar cerewet!” Juna membentak Jihan.
Jihan terkejut
lalu diam mengikuti Juna.
Sesampainya di
bawah. Juna melepaskan tangan Jihan. Ia membuka jaketnya. “Pakai itu! Kau
kelihatan kotor.” Juna mengambil helmnya.
Jihan memakai
jaket Juna sambil memperhatikan mobil Gilang yang terparkir di depan motor Juna.
Pandangan Jihan kembali pada Juna. Tanpa disadari Juna memperhatikannya sejak
tadi di balik helmnya.
“Lihat apa? Ayo
cepat naik!” kata Juna.
Jihan langsung
menuruti Juna. “Tasku ada di mobil itu…”
Di perjalanan,
keduanya saling membisu. Angin dengan keras mengibaskan rambut Jihan dan
membuatnya kusut. Juna menepi. Ia berhenti di sebuah apotek.
“Tunggu di
sini.” Juna meninggalkan Jihan sendirian.
Setelah Juna
masuk ke apotek, Jihan merapikan rambutnya yang kusut. Ia menyisir dengan
jarinya. Juna kembali. Ia menyodorkan sebuah kantung plastik berisi sesuatu di
dalamnya pada Jihan.
“Ambil ini!
Bersihkan dirimu. Di sana ada toilet umum.” kata Juna.
Jihan meraihnya
lalu pergi ke toilet tanpa banyak bicara. Di perjalanan menuju toilet, Jihan
sempat berbalik melihat Juna. Juna tidak memperhatikannya. Ia sedang menenggak
air mineral sambil bersandar di motor besarnya. Jihan meneruskan perjalanannya.
Di toilet. Jihan
membuka kantong itu. Isinya sepaket perlengkapan P3K, sebotol air mineral
dingin, tissue basah, facial foam dan
sebuah washlap handuk kecil.
Cukup lama Jihan
di toilet. Jihan selesai dan keluar dari toilet. Dilihatnya Juna, masih di
tempatnya sambil duduk memangku helm. Jihan berpapasan dengan beberapa orang
yang lewat menuju toilet.
“Bagus sekali
motornya. Pasti mahal sekali!” celetuk seorang perempuan pada temannya.
“Iya. Sudah
punya pacar belum, yah?” sahut temannya.
“Pasti sudah.
Motor besar itu membuat pemiliknya besar kepala. Gengsi kalau belum punya
pacar.” Jawab temannya. Mereka tertawa sambil berlalu.
Jihan
menghampiri Juna. Keadaannya suda lebih baik. Rambutnya diikat, jeans-nya sudah
cukup bersih dan ia hanya memakai jaket Juna yang kebesaran. Juna memperhatikan
Jihan dari atas ke bawah hingga ke atas lagi.
“Kau…lihat apa?”
Jihan merapatkan kerah jaketnya.
“Kau tidak
terluka?” tanya Juna.
Jihan
menggeleng.
“Kalau begitu, kenapa
tadi kubeli P3K.” Juna memutar balik helmnya. “Cepat naik. Kau lama sekali.
Perempuan terlalu lama saat di mall dan toilet.”
Juna memakai
helmnya. Jihan sudah siap di belakang.
“Berpegangan
yang kuat. Aku buru-buru. Ini sudah malam.”
Motor melaju. Jihan
terhempas sedikit lalu reflek memeluk Juna.
Sesampainya di
rumah Jihan.
“Kau tahu
rumahku?” tanya Jihan.
Juna melepas
helmnya tanpa menjawab pertanyaan Jihan.
“Bibi-mu pasti
khawatir kalau kau tidak bekerja. Sebaiknya segera masuk dan bereskan dirimu.”
Jihan diam
sejenak. Ia melihat ke rumah lalu kembali pada Juna. Juna baru akan memakai
helmnya.
“Juna…” Jihan merunduk
malu sambil merapatkan jaket. “terima kasih, ya. Aku…”
Juna meletakkan
helm di pangkuannya. Ia menggaruk-garuk telinganya. “Telingaku gatal.”
Jihan mengangkat
kepalanya melihat Juna.
“Rasanya seperti mendengar sesuatu yang aneh.”
“Barusan aku
bilang terima kasih.” kata Jihan agar keras.
“Iya, baiklah. Sudah
sana masuk!”
Jihan berbalik
tanpa memandang Juna.
“Hey!” Juna memanggil
Jihan.
Jihan berhenti
dan berbalik.
“Mereka…tidak
melakukan sesuatu yang buruk padamu, kan?”
Jihan
memperhatikan tubuhnya dari kaki hingga tangan. Ia menggeleng.
“Maksudku…mereka
tidak…ummm…”
Jihan menunggu.
“Tidak…” Juna
serba salah. “selain merobek bajumu apa yang mereka lakukan padamu?”
“Tidak ada. Kau
datang cukup tepat waktu. Aku tidak tahu kalau kau terlambat atau bahkan tidak
datang sama sekali. Mungkin mereka sudah menodaiku lalu membunuhku.”
Juna memakai
helmnya. Lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa. Jihan mematung memandangi Juna
hingga hilang dari pandangan. Jihan lalu masuk dan membersihkan diri.
“Jihan!” Anggi
masuk ke kamar Jihan mengejutkan sepupunya. “Kau baik-baik saja? Ada apa
denganmu? Aku lihat kau diculik. Aku sangat khawatir.”
“Ng…” Jihan
bingung diberondong pertanyaan oleh Anggi.
“Aku minta maaf.
Aku bingung harus minta tolong pada siapa. Kalau aku bilang pada Ibu, aku pasti
dimarahi karena tidak mengawasimu. Aku sudah berusaha mencari Satria tapi tidak
kutemukan. Lalu aku menghubungi Juna.”
“Juna?!” Jihan
terkejut. “Jadi kau yang memberi tahu dia?”
Anggi
mengangguk. “Iya. Maafkan aku…lalu bagaimana keadaanmu sekarang?”
“Aku baik-baik
saja. Sudah sana! Aku mau tidur.”
Anggi manyun.
“Ihk, kau ini! Aku sangat mengkhawatirkanmu seperti orang bodoh, kau malah
mengacuhkanku.”
“Oh, iya.
Sebaiknya jangan ceritakan ini pada Bibi.” Jihan mematikan lampu kamarnya.
“Rencanamu berhasil.” kata Argha.
Gilang tersenyum.
Ia menyalakan mobilnya lalu pergi. Mereka berempat ternyata sudah tiba lebih
dulu di rumah Jihan. mereka memantau dengan mobil yang berbeda dari kejauhan.
“Tidak kusangka,
Juna sekeras itu memukul kita.” Kris mengelus-elus pipinya yang bonyok.
“Aku bahkan
meberikan diri agar dia memukulku dua kali. Karena aku otak rencana ini dan aku
pantas dapat lebih dari kalian.” kata Gilang.
“Lho? Bagaimana
dengan tas ini?” Danu mengangkat tas punggung Jihan dan menunjukkannya pada
ketiga temannya.
“Biar Juna yang
memberikannya.” Jawab Argha.
“Untuk kesekian
kalinya, aku merasa berhutang padamu.” Jihan memandangi bungkus roti mozzarella
di selipan bukunya.
Jihan menutup
buku dan mengambil ponsel sambil berjalan menuju kasurnya. Jihan mengirim pesan
pada bibi dan membuat alasan sakit karena tidak masuk bekerja. Jihan berbaring
di tempat tidurnya sambil memandangi langit-langit kamar sebelum akhirnya ia
tertidur.
Juna baru tiba
di rumahnya. Ia melihat mobil Gilang di halaman rumahnya. Juna masuk. Gilang
dan teman-teman sedang menunggu Juna.
“Kau lama
sekali.” Argha duduk di sofa ruang tamu.
Juna diam
sejenak. Ia memandangi satu per satu teman-temannya. “Pergilah. Aku sedang
lelah.”
“Kau menyukai Jihan,
kan?” kata Gilang di sofa lain.
Juna diam.
“Kami sengaja
memancingmu. Kami tidak benar-benar berniat melakukan hal buruk padanya. Kau,
meskipun bertahun-tahun kita berteman, tapi tetap saja tertutup. Apa susahnya? Kau
katakan saja pada kami, kau menyukainya.” kata Kris.
“Kau selalu
berurusan dengannya. Itu mengesankan bahwa kita bermusuhan dengannya. Bukankah
musuh salah satu dari kita berarti musuh kita bersama? Teman salah satu dari
kita adalah juga teman kita bersama?” Danu menimpali.
“Kau malu
menarik diri dari permusuhan yang berubah menjadi kisah cinta?” kata Gilang.
Juna nyengir.
“Bukankah sudah kukatakan, ini urusanku?”
“Tapi kau
membuat kami bingung. Kalau kau berhenti mengerjainya tanpa mengatakan pada
kami alasannya, mana kami tahu? Bagi kami dia tetap menyebalkan selama kau
tidak bilang berhenti.” Jelas Gilang.
“Hey!” Argha memanggil
Juna. Ia melempar ransel Jihan.
Juna
menangkapnya.
“Dia
meninggalkannya di mobil kami.” Argha merubah posisi duduknya. “Maaf, kami
menakutinya. Setidaknya, kami sudah tahu kau menyukainya.”
“Baiklah.” Juna
mengambil posisi duduk terpisah di sofa lain. “Aku memang menyukainya.”
Gilang
tersenyum. Teman-temannya mengikuti.
“Apa ini lucu?”
tanya Juna memandang berkeliling.
“Aku tidak akan
bertanya sejak kapan. Aku hanya ingin tahu, apa kau kasihan padanya?” tanya
Argha.
“Kasihan?” Juna
balik bertanya.
“Tidak ada yang
salah dengan kasihan. Seseorang tanpa rasa kasihan hanya akan menjadi iblis.
Binatang sekali pun memiliki rasa kasihan.”
“Aku hanya
mengerti yang dirasakannya.” Juna bangkit.
“Baiklah. Aku
rasa semua sudah selesai. Sisanya biar kami yang bereskan.” Gilang ikut
berdiri.
Juna berhenti.
Ia memandang Gilang dan mencari tahu maksud kata-katanya barusan.
“Tentu saja kami
harus membereskan kesengajaan ini supaya tidak salah paham. Supaya Jihan tidak
menganggap kami kriminal dan hubungan kalian bisa lancar.”
“Aku bukan anak
kecil. Aku tidak mau kalian terlalu ikut campur.” Juna pergi.
“Oke!” Gilang
pergi. Diikuti ketiga temannya.
Argha yang
terakhir. Ia sempat berhenti di sebelah Juna. Ia menyentuh bahu Juna.
“Aku…tidak
pernah melihatmu seaneh ini sebelumnya. Bisa kuhitung berapa kali kau
berpacaran. Tapi tidak serumit dan selama ini.”
“Dia bukan
pacarku.”
“Aku tahu.”
Argha melepas bahu Juna lalu pergi.
“Jihan! Jihan!” Anggi
berlari menaiki tangga sambil berteriak.
Jihan masih
tidur di kamarnya. Anggi masuk tanpa mengetuk pintu dan mengguncang-guncang Jihan.
“Juna datang! Juna
datang!” kata Anggi.
“Apa…” Jihan
mengucek matanya. Ia masih lemas dan mengantuk.
“Juna! Juna ada
di bawah. Dia mencarimu!”
“Apa?!!” Jihan
terkejut. “Mau apa dia??”
Anggi menggeleng
dengan wajah riang. “Aku seperti mimpi. Bisa melihat Juna dari jarak kurang
dari satu meter.”
Jihan menyikap
selimutnya lalu turun dengan rambut berantakan.
“Dia tampan
sekali. Wajahnya mungil dan lehernya terlihat jenjang dengan rambut yang rapi.
Dia terlihat sangat tinggi dan kekar…” Anggi memeluk bantal membayangkan Juna.
Jihan membuka
pintu. Dilihatnya Juna sedang berdiri membelakangi Jihan.
“Ada apa?” Jihan
merapikan rambutnya.
Juna berbalik.
Ia memandangi Jihan dari kaki hingga kepala. Ia melirik jam tangannya.
“Kau baru
bangun?”
Jihan
mengangguk.
“Ini!” Juna
memberikan tas ransel Jihan.
Jihan
memperhatikan tasnya perlahan. Ia lalu mengambilnya. Ia membuka tasnya dan
memeriksa isinya.
“Apa kau akan ke
kampus?” tanya Juna.
“Tadinya tidak.
Tapi kau mengantar tasku.” Jawab Jihan.
“Mereka
menemuiku semalam,” kata Juna. “mereka minta maaf soal itu. Mereka hanya ingin
menakutimu saja. Aku jamin, tidak akan terjadi lagi.”
Jihan
mengangguk.
“Aku tidak
bermaksud menawarkan tumpangan. Lagi pula kau melarangku untuk ikut campur
urusanmu. Maaf, ini yang terakhir aku menemuimu dengan sengaja.”
Jihan tersenyum.
Sebenarnya hatinya terasa sakit. “Tidak apa-apa. Aku mengerti. Bagus kalau kau
masih ingat.”
Juna pergi tanpa
pamit. Setelah Juna menghilang, Jihan mendorong pintu hendak masuk ke rumah. Duk!!
“Aduh…” Anggi
mengaduh di balik pintu.
“Eh? Kau
kenapa?” Jihan bingung.
“Hidungku…oh,
hidungku…” Anggi mengerang kesakitan.
“Hmm…kau
menguping, ya?”
“Ng?” Anggi
berhenti mengaduh. “Aku…aku hanya…mendengar sedikit.”
“Dasar!” Jihan
pergi. “Tunggu aku! Aku mandi dulu, aku akan ke kampus.”
“Menunggumu? Ini
jam berapa?” Anggi melotot.
Bersambung ke Chapter 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar