18 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 7



Chapter 7
Foto Bermasalah

Lanjutan Dari Chapter 6

Argha dan teman-temannya sedang berkumpul di rumah Juna. Juna sedang membuatkan sirup untuk mereka karena pembantunya sedang keluar belanja. Gilang sedang sibuk menelepon. Ibunya baru pulang liburan ke Bali dan minta dijemput di bandara. Gilang berusaha keras menolak dengan berbagai macam alasan. Tiba-tiba ponselnya mati.
“Argh! Low bath!” omel Gilang.
Argha, Kris dan Danu acuh saja dan sibuk bermain play station.
Gilang melihat ponsel Juna di meja. “Juna! Aku pinjam ponselmu! Ponselku mati kehabisan daya. Aku harus menelepon nyonya besar!” teriaknya.
“Pakai saja!” sahut Juna dari dapur.
Gilang menelepon ibunya kembali. Tidak diangkat. “Mungkin ia marah.”
Dicobanya lagi. Masih tidak diangkat. “Ahk, sudahlah.”
“Kenapa?” tanya Argha.
“Ibuku. Dia marah aku tidak bisa menjemputnya di bandara.”
Argha dan teman-temannya tertawa.
“Hm?” Gilang melihat ponsel Juna. “Ngomong-ngomong…Juna masih jomblo yah?”
“Ng?” Argha berpikir.
“Tapi…sudah hampir setahun ini dia memang tidak terlihat bersama perempuan, sih…” pikir Danu.
“Benar juga.” Timpal Kris.
“Coba kulihat isi ponselnya.” Gilang membongkar-bongkar ponsel Juna.
“Hey, hati-hati!” Argha memperingatkan.
“Secara pesan, tidak ada yang mencurigakan.” kata Gilang. Gilang tiba-tiba terkejut melihat folder foto.
“Jihan!” seru Gilang.
Argha dan kedua temannya mendekat.
“Benar. Selain Jihan, memang tidak ada lagi.” Gumam Danu.
“Lihat ini!” Gilang menunjukkan foto Jihan yang sedang mengompol.
Teman-teman Juna tertawa. Mereka menahan diri agar Juna tidak tahu.
“Apa jadinya kalau foto ini tersebar. Bukankah itu lucu?” pikir Gilang.

Sebuah foto tersebar di kampus dan mengegerkan. Foto Jihan dengan celana basah ompol saat di gunung waktu itu. Jihan jadi bahan tertawaan teman-teman sekampus. Jihan malu dan merobek foto itu. Ia marah sambil membendung air mata. Orang yang paling mampu melakukannya dan ikut ke Gunung Gede waktu itu hanya Juna. Ia mencari Juna.
Biasanya Juna ada di taman. Jihan datang terburu-buru, melempar robekan foto itu ke muka Juna. Juna yang sedang asik bermain game di smartphonenya berhenti.
Suasana hening. Gilang, Argha, Danu dan Kris terkejut.
Gilang Si Pemberani berdiri, Juna menahannya. Gilang kembali duduk. Juna berdiri tegak berhadapan dengan Jihan.
Meski Jihan hanya setinggi dadanya Juna, tapi ia tidak gentar. Ia gemetar menahan amarah.
“Kau benar-benar menjijikan. Memalukan dan seorang penjahat kelamin!” maki Jihan.
“Apa maksudmu?” Juna masih santai.
“Apa maksudku?” Jihan mengejek. Ia mengambil robekan foto itu dan menunjukkannya pada Juna. “Kau yang melakukannya kan?”
Juna terkejut. Foto itu memang ia yang mengambilnya dan menyimpannya di ponsel tapi ia tidak menyebarkannya. Itu hanya sebagai senjata pamungkasnya jika Jihan benar-benar akan mengeluarkan foto masa kecilnya Juna yang berhidung merah, biang keringat dan bisul di jidat. Foto itu selalu ada di ponselnya tanpa pernah ia pindahkan atau bahkan melakukan print out.
“Lalu kenapa? Kau mau balas dendam? Bukankah kau punya hal sama yang memalukan tentang aku? Lakukan saja.”
“Kau ini bodoh ya!” Jihan menangis. “Aku tidak punya itu. Mana mungkin seorang anak miskin seperti aku bisa memiliki kamera! Bahkan mana sempat aku memotretmu sementara setiap kita bertemu, itu terjadi sangat cepat. Aku mengerjaimu dan kau pulang sambil menangis, Pria Cengeng!”
Mendengar temannya dihina, Gilang berdiri lalu menyambar Jihan dengan mendorongnya keras-keras. Jihan terjatuh.
“Hey perempuan busuk! Kau ini sok cantik sekali. Aku yang menyebarkannya sebagai hukuman atas sikap sok-mu!”
“Dia bagianku! Kalian tidak usah ikut campur!” Juna justru marah dengan pembelaan temannya.
What?” Gilang heran.
Juna menarik tangan Jihan dan memaksanya berdiri lalu membawanya pergi. Jihan yang belum siap berdiri tersandung-sandung mengikuti Juna.
Di belakang sebuah gedung kampus yang sepi. Juna mendorong Jihan ke tembok dan terpojok. Juna menatapnya dengan tatapan tajam. Juna mengunci kedua bahu Jihan dan mendekatkan kepalanya. Jihan menghindari datangnya wajah Juna.
“Kau memang berani tapi tidak cukup pintar. Sikapmu terlalu beresiko!” kata Juna yang berjarak beberapa centi saja dari wajah Jihan.
“Aku ini laki-laki. Aku menghargai perempuan yang tahu diri. Tapi kalau kau mengandalkan gender perempuanmu untuk mengatakan aku lemah dan menantangku, kau salah! Aku bisa saja memperkosamu lalu membunuhmu kalau aku mau!”
Bulu kuduk Jihan berdiri. Ia berhenti menangis. Sebuah rasa takut singgah di hatinya.
 “Ini pertama kalinya aku memperingatkanmu dengan serius. Aku tidak main-main. Kalau kau berani mempermalukan aku dan teman-temanku lagi, kau akan terima akibatnya. Aku tidak bertangung jawab apa pun yang akan terjadi padamu setelah ini!”
Juna melepas cengkeramanya di bahu Jihan. Ia pergi meninggalkan Jihan yang gemetar ketakutan. Jihan menangis. Ia merosot dan terduduk di tanah.
Tanpa diketahui keduanya, pembicaraan mereka didengar Argha. Argha pergi dan melaporkan apa yang ia ketahui kepada teman-temannya yang lain.
Gilang tersenyum licik. Ia masih tidak mengerti kenapa Juna menahan diri untuk memberi pelajaran pada Jihan. Apa yang dipikirkan Gilang adalah sama dengan yang dipikirkan ketiga temannya yang lain. Mereka lalu sepakat membuat sebuah rencana untuk membuktikan sesuatu.
Beberapa anak kampus berbisik-bisik. Mereka menyebarkan issu berantai bahwa siapa pun yang membahas soal foto itu akan mendapat masalah dari Juna. Serentak issu tersebar dan kampus pun tidak lagi mengejek Jihan. Jihan pulang dengan perasaan aneh. Banyak orang cuek terhadapnya dan tidak mengejeknya lagi. Jihan berusaha biasa saja.
Ketika hendak menunggu bis, sebuah mobil mercy hitam berhenti di depannya. Menghalangi Anggi yang hendak memanggil untuk pulang bersama. Anggi melihat Jihan dipaksa masuk oleh tiga orang yang sangat ia kenal. Tidak berapa lama mobil itu pergi dan Jihan pun tidak ada di tempat. Anggi panik dan berusaha menghubungi ponsel Jihan. Awalnya tersambung tapi tiba-tiba diputus kemudian tidak aktif.
Tiba-tiba Anggi ingat Juna. Setelah kampus ramai dengan foto ompolnya Jihan, mendadak tidak ada yang berani membahasnya setelah Juna turun tangan. Mungkin Juna bukan salah satu dari penghuni mobil mercy hitam tadi. Anggi lalu panik berkeliaran ke seluruh kampus mencari Juna. Sayang, tidak ditemukan bahkan motor besarnya sudah tidak nampak di tempat parkir biasanya.
Anggi lalu menemui salah satu mantannya Juna untuk minta nomor telepon Juna. Setelah dapat, ia langsung menceritakan kejadian sore tadi. Juna tidak berkomentar apa-apa, ia langsung menutup teleponnya. Anggi putus asa. Mungkin Juna salah satu penghuni mobil itu atau malah otak dibalik aksi penculikan tadi. Mungkin Juna masih marah karena Jihan melabraknya pagi tadi. Anggi sedih dan ketakutan. Ia bingung harus memberi tahu siapa.
Di dalam mobil. Jihan dibawa berputar-putar oleh Gilang dan kawan-kawan.
“Kalian mau bawa aku kemana? Cepat lepaskan aku!” kata Jihan sambil meronta. Kedua tangannya dicengkeram kuat oleh Kris dan Danu.
“Kau berisik sekali!” omel Gilang. “Lakukan sesuatu untuk menutup mulutnya!”
Kris mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah tali dan sapu tangan.
“Kalian mau apa? Tidak! Lepaskan aku!”
Kris dan Danu mengikatkan sapu tangan ke mulut Jihan hingga melingkar ke kepala. Mereka juga mengikat kedua tangan Jihan denga tali.
“Nah, begitu lebih baik.” kata Kris.
“Kenapa tidak dari tadi?” Gilang menggerutu.
“Kupikir dia kooperatif.” Jawab Kris asal. Danu dan Gilang tertawa.
Jihan terikat. Ia tidak bisa berbuat lebih. Bahunya ditahan oleh Danu dan Kris. Suaranya pun tidak keluar.
“Kau lama sekali! Sudah dapat tempatnya belum?” Gilang memutar stir lagi.
“Belum.” Jawab Argha yang dari awal fokus pada ponselnya.
“Huh! Aku sudah tidak tahan dengan perempuan ini!” keluh Gilang.
“Bagus!” celetuk Argha bersemangat. “Itu dia!”
Danu, Kris dan Gilang terperanjat. “Bagaimana?”
“Ayo, cari gedung tidak terpakai di dekat sini!” kata Argha.
“Baiklah!” Gilang sangat bersemangat memacu mobilnya.

Di sebuah gedung tidak terpakai dan belum selesai dibangun. Jihan meronta-ronta. Ikatan tangan Jihan dilepas. Kedua tangannya dipegang kuat-kuat oleh Danu dan Kris. Argha duduk memainkan pisau kecilnya di sudut lain.
“Langsung sajalah! Aku sudah tidak sabar!” kata Gilang mendekati Jihan.
Jihan tidak bisa berteriak. Ia berusaha melepaskan diri tapi Danu dan Kris terlalu kuat menahannya. Jihan dipojokkan. Gilang membuka jaketnya dan berjalan mendekati Jihan.
“Apa Juna sudah mengatakan padamu bahwa kami laki-laki dan bisa saja kami memperkosamu lalu membunuhmu?! Bagaimana pendapatmu jika itu benar-benar kami lakukan sekarang?”
Jihan ketakutan. Gilang langsung memaksa Jihan melayaninya. Jihan mengelak dan menjerit. Ia menangis. Kris menarik ikat rambut Jihan dan membuat rambut panjangnya terurai. Gilang menarik lengan baju Jihan dan merobeknya.
“Aku tidak bernafsu dengan perempuan seperti itu.” Argha berbalik dan mengacuhkan ketiga temannya seraya pergi.
Langkah Argha terhenti. Ia terkejut melihat Juna tiba-tiba datang. Tanpa basa-basi, Juna langsung memukul Argha. Argha jatuh terhuyung. Juna langsung menghampiri Gilang dan kawan-kawan. Ia menarik gilang dan memukul wajahnya hingga jatuh dan berdarah. Kemudian memukul Danu dan Kris.
Jihan terduduk. Ia gemetar ketakutan. Dibukanya ikatan di mulut. Jihan menangis dan sesekali memejamkan mata ketika Juna memukul satu per satu temannya di hadapan Jihan.
“Sudah kubilang dia bagianku tapi kalian masih saja mencampuri urusanku!” Juna terlihat sangat marah.
“Kau ini kenapa???” Gilang emosi dan bangkit.
Juna yang masih marah langsung memukul Gilang lagi hingga muntah dan tersungkur.
“Sekali lagi kalian mendekati dan mencampuri urusanku, aku tidak segan-segan mengirim kalian ke kuburan!”
Juna lalu mendekati Jihan yang meringkuk di pojok tembok. Bajunya robek dan sedikit terbuka. Pakaiannya lusuh dan kotor. Tanpa kata-kata Juna menarik tangan Jihan dan membawanya pergi. Juna membiarkan teman-temannya tergeletak kesakitan. Langkah Juna terlalu cepat dan mempersulit Jihan untuk mengimbanginya.
“Lepaskan aku!” Jihan baru buka suara.
Juna diam saja dan terus berjalan menuruni tangga sambil menggandeng Jihan.
“Aku baik-baik saja.”
Juna masih diam. Jihan menyerah. Sebenarnya ia tidak merasa baik juga. Seluruh tubuhnya sakit dan pegal. Ia merasa sangat buruk dan malu pada Juna.
Jihan memberanikan diri memandang wajah Juna. Ia terbayang masa kecilnya dulu. Ia sangat tidak suka melihat bisul kecil yang memerah di jidat Juna. Jidatnya juga dipenuhi biang keringat, bahkan di hidungnya yang membuat hidungnya tampak memerah. Bocah kurus yang selalu membawa makanan dan tidak punya teman. Jihan mengejek dan mendorong Juna hingga jatuh. Juna menangis di tanah. Jihan lalu pergi meninggalkannya. Sebenarnya Jihan merasa bersalah. Tapi karena lapar ia tetap memakannya dengan perasaan bersalah. Setiap hari rasa bersalahnya semakin menumpuk. Tapi itu terus saja terjadi.
Jihan menitikkan air mata. Ia menangis lagi tanpa suara.
“Maafkan aku.” Suaranya lirih.
Juna terus berjalan.
“Maaf.” katanya lagi.
Juna diam saja.
“Maaf.” Jihan mengulang. Ia terus mengatakan itu berkali-kali sambil menangis. Tangisannya semakin menjadi.
“Iya, aku dengar! Dasar cerewet!” Juna membentak Jihan.
Jihan terkejut lalu diam mengikuti Juna.
Sesampainya di bawah. Juna melepaskan tangan Jihan. Ia membuka jaketnya. “Pakai itu! Kau kelihatan kotor.” Juna mengambil helmnya.
Jihan memakai jaket Juna sambil memperhatikan mobil Gilang yang terparkir di depan motor Juna. Pandangan Jihan kembali pada Juna. Tanpa disadari Juna memperhatikannya sejak tadi di balik helmnya.
“Lihat apa? Ayo cepat naik!” kata Juna.
Jihan langsung menuruti Juna. “Tasku ada di mobil itu…”

Di perjalanan, keduanya saling membisu. Angin dengan keras mengibaskan rambut Jihan dan membuatnya kusut. Juna menepi. Ia berhenti di sebuah apotek.
“Tunggu di sini.” Juna meninggalkan Jihan sendirian.
Setelah Juna masuk ke apotek, Jihan merapikan rambutnya yang kusut. Ia menyisir dengan jarinya. Juna kembali. Ia menyodorkan sebuah kantung plastik berisi sesuatu di dalamnya pada Jihan.
“Ambil ini! Bersihkan dirimu. Di sana ada toilet umum.” kata Juna.
Jihan meraihnya lalu pergi ke toilet tanpa banyak bicara. Di perjalanan menuju toilet, Jihan sempat berbalik melihat Juna. Juna tidak memperhatikannya. Ia sedang menenggak air mineral sambil bersandar di motor besarnya. Jihan meneruskan perjalanannya.
Di toilet. Jihan membuka kantong itu. Isinya sepaket perlengkapan P3K, sebotol air mineral dingin, tissue basah, facial foam dan sebuah washlap handuk kecil.
Cukup lama Jihan di toilet. Jihan selesai dan keluar dari toilet. Dilihatnya Juna, masih di tempatnya sambil duduk memangku helm. Jihan berpapasan dengan beberapa orang yang lewat menuju toilet.
“Bagus sekali motornya. Pasti mahal sekali!” celetuk seorang perempuan pada temannya.
“Iya. Sudah punya pacar belum, yah?” sahut temannya.
“Pasti sudah. Motor besar itu membuat pemiliknya besar kepala. Gengsi kalau belum punya pacar.” Jawab temannya. Mereka tertawa sambil berlalu.
Jihan menghampiri Juna. Keadaannya suda lebih baik. Rambutnya diikat, jeans-nya sudah cukup bersih dan ia hanya memakai jaket Juna yang kebesaran. Juna memperhatikan Jihan dari atas ke bawah hingga ke atas lagi.
“Kau…lihat apa?” Jihan merapatkan kerah jaketnya.
“Kau tidak terluka?” tanya Juna.
Jihan menggeleng.
“Kalau begitu, kenapa tadi kubeli P3K.” Juna memutar balik helmnya. “Cepat naik. Kau lama sekali. Perempuan terlalu lama saat di mall dan toilet.”
Juna memakai helmnya. Jihan sudah siap di belakang.
“Berpegangan yang kuat. Aku buru-buru. Ini sudah malam.”
Motor melaju. Jihan terhempas sedikit lalu reflek memeluk Juna.

Sesampainya di rumah Jihan.
“Kau tahu rumahku?” tanya Jihan.
Juna melepas helmnya tanpa menjawab pertanyaan Jihan.
“Bibi-mu pasti khawatir kalau kau tidak bekerja. Sebaiknya segera masuk dan bereskan dirimu.”
Jihan diam sejenak. Ia melihat ke rumah lalu kembali pada Juna. Juna baru akan memakai helmnya.
“Juna…” Jihan merunduk malu sambil merapatkan jaket. “terima kasih, ya. Aku…”
Juna meletakkan helm di pangkuannya. Ia menggaruk-garuk telinganya. “Telingaku gatal.”
Jihan mengangkat kepalanya melihat Juna.
 “Rasanya seperti mendengar sesuatu yang aneh.”
“Barusan aku bilang terima kasih.” kata Jihan agar keras.
“Iya, baiklah. Sudah sana masuk!”
Jihan berbalik tanpa memandang Juna.
“Hey!” Juna memanggil Jihan.
Jihan berhenti dan berbalik.
“Mereka…tidak melakukan sesuatu yang buruk padamu, kan?”
Jihan memperhatikan tubuhnya dari kaki hingga tangan. Ia menggeleng.
“Maksudku…mereka tidak…ummm…”
Jihan menunggu.
“Tidak…” Juna serba salah. “selain merobek bajumu apa yang mereka lakukan padamu?”
“Tidak ada. Kau datang cukup tepat waktu. Aku tidak tahu kalau kau terlambat atau bahkan tidak datang sama sekali. Mungkin mereka sudah menodaiku lalu membunuhku.”
Juna memakai helmnya. Lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa. Jihan mematung memandangi Juna hingga hilang dari pandangan. Jihan lalu masuk dan membersihkan diri.
“Jihan!” Anggi masuk ke kamar Jihan mengejutkan sepupunya. “Kau baik-baik saja? Ada apa denganmu? Aku lihat kau diculik. Aku sangat khawatir.”
“Ng…” Jihan bingung diberondong pertanyaan oleh Anggi.
“Aku minta maaf. Aku bingung harus minta tolong pada siapa. Kalau aku bilang pada Ibu, aku pasti dimarahi karena tidak mengawasimu. Aku sudah berusaha mencari Satria tapi tidak kutemukan. Lalu aku menghubungi Juna.”
“Juna?!” Jihan terkejut. “Jadi kau yang memberi tahu dia?”
Anggi mengangguk. “Iya. Maafkan aku…lalu bagaimana keadaanmu sekarang?”
“Aku baik-baik saja. Sudah sana! Aku mau tidur.”
Anggi manyun. “Ihk, kau ini! Aku sangat mengkhawatirkanmu seperti orang bodoh, kau malah mengacuhkanku.”
“Oh, iya. Sebaiknya jangan ceritakan ini pada Bibi.” Jihan mematikan lampu kamarnya.

 “Rencanamu berhasil.” kata Argha.
Gilang tersenyum. Ia menyalakan mobilnya lalu pergi. Mereka berempat ternyata sudah tiba lebih dulu di rumah Jihan. mereka memantau dengan mobil yang berbeda dari kejauhan.
“Tidak kusangka, Juna sekeras itu memukul kita.” Kris mengelus-elus pipinya yang bonyok.
“Aku bahkan meberikan diri agar dia memukulku dua kali. Karena aku otak rencana ini dan aku pantas dapat lebih dari kalian.” kata Gilang.
“Lho? Bagaimana dengan tas ini?” Danu mengangkat tas punggung Jihan dan menunjukkannya pada ketiga temannya.
“Biar Juna yang memberikannya.” Jawab Argha.

“Untuk kesekian kalinya, aku merasa berhutang padamu.” Jihan memandangi bungkus roti mozzarella di selipan bukunya.
Jihan menutup buku dan mengambil ponsel sambil berjalan menuju kasurnya. Jihan mengirim pesan pada bibi dan membuat alasan sakit karena tidak masuk bekerja. Jihan berbaring di tempat tidurnya sambil memandangi langit-langit kamar sebelum akhirnya ia tertidur.

Juna baru tiba di rumahnya. Ia melihat mobil Gilang di halaman rumahnya. Juna masuk. Gilang dan teman-teman sedang menunggu Juna.
“Kau lama sekali.” Argha duduk di sofa ruang tamu.
Juna diam sejenak. Ia memandangi satu per satu teman-temannya. “Pergilah. Aku sedang lelah.”
“Kau menyukai Jihan, kan?” kata Gilang di sofa lain.
Juna diam.
“Kami sengaja memancingmu. Kami tidak benar-benar berniat melakukan hal buruk padanya. Kau, meskipun bertahun-tahun kita berteman, tapi tetap saja tertutup. Apa susahnya? Kau katakan saja pada kami, kau menyukainya.” kata Kris.
“Kau selalu berurusan dengannya. Itu mengesankan bahwa kita bermusuhan dengannya. Bukankah musuh salah satu dari kita berarti musuh kita bersama? Teman salah satu dari kita adalah juga teman kita bersama?” Danu menimpali.
“Kau malu menarik diri dari permusuhan yang berubah menjadi kisah cinta?” kata Gilang.
Juna nyengir. “Bukankah sudah kukatakan, ini urusanku?”
“Tapi kau membuat kami bingung. Kalau kau berhenti mengerjainya tanpa mengatakan pada kami alasannya, mana kami tahu? Bagi kami dia tetap menyebalkan selama kau tidak bilang berhenti.” Jelas Gilang.
“Hey!” Argha memanggil Juna. Ia melempar ransel Jihan.
Juna menangkapnya.
“Dia meninggalkannya di mobil kami.” Argha merubah posisi duduknya. “Maaf, kami menakutinya. Setidaknya, kami sudah tahu kau menyukainya.”
“Baiklah.” Juna mengambil posisi duduk terpisah di sofa lain. “Aku memang menyukainya.”
Gilang tersenyum. Teman-temannya mengikuti.
“Apa ini lucu?” tanya Juna memandang berkeliling.
“Aku tidak akan bertanya sejak kapan. Aku hanya ingin tahu, apa kau kasihan padanya?” tanya Argha.
“Kasihan?” Juna balik bertanya.
“Tidak ada yang salah dengan kasihan. Seseorang tanpa rasa kasihan hanya akan menjadi iblis. Binatang sekali pun memiliki rasa kasihan.”
“Aku hanya mengerti yang dirasakannya.” Juna bangkit.
“Baiklah. Aku rasa semua sudah selesai. Sisanya biar kami yang bereskan.” Gilang ikut berdiri.
Juna berhenti. Ia memandang Gilang dan mencari tahu maksud kata-katanya barusan.
“Tentu saja kami harus membereskan kesengajaan ini supaya tidak salah paham. Supaya Jihan tidak menganggap kami kriminal dan hubungan kalian bisa lancar.”
“Aku bukan anak kecil. Aku tidak mau kalian terlalu ikut campur.” Juna pergi.
“Oke!” Gilang pergi. Diikuti ketiga temannya.
Argha yang terakhir. Ia sempat berhenti di sebelah Juna. Ia menyentuh bahu Juna.
“Aku…tidak pernah melihatmu seaneh ini sebelumnya. Bisa kuhitung berapa kali kau berpacaran. Tapi tidak serumit dan selama ini.”
“Dia bukan pacarku.”
“Aku tahu.” Argha melepas bahu Juna lalu pergi.

“Jihan! Jihan!” Anggi berlari menaiki tangga sambil berteriak.
Jihan masih tidur di kamarnya. Anggi masuk tanpa mengetuk pintu dan mengguncang-guncang Jihan.
“Juna datang! Juna datang!” kata Anggi.
“Apa…” Jihan mengucek matanya. Ia masih lemas dan mengantuk.
“Juna! Juna ada di bawah. Dia mencarimu!”
“Apa?!!” Jihan terkejut. “Mau apa dia??”
Anggi menggeleng dengan wajah riang. “Aku seperti mimpi. Bisa melihat Juna dari jarak kurang dari satu meter.”
Jihan menyikap selimutnya lalu turun dengan rambut berantakan.
“Dia tampan sekali. Wajahnya mungil dan lehernya terlihat jenjang dengan rambut yang rapi. Dia terlihat sangat tinggi dan kekar…” Anggi memeluk bantal membayangkan Juna.

Jihan membuka pintu. Dilihatnya Juna sedang berdiri membelakangi Jihan.
“Ada apa?” Jihan merapikan rambutnya.
Juna berbalik. Ia memandangi Jihan dari kaki hingga kepala. Ia melirik jam tangannya.
“Kau baru bangun?”
Jihan mengangguk.
“Ini!” Juna memberikan tas ransel Jihan.
Jihan memperhatikan tasnya perlahan. Ia lalu mengambilnya. Ia membuka tasnya dan memeriksa isinya.
“Apa kau akan ke kampus?” tanya Juna.
“Tadinya tidak. Tapi kau mengantar tasku.” Jawab Jihan.
“Mereka menemuiku semalam,” kata Juna. “mereka minta maaf soal itu. Mereka hanya ingin menakutimu saja. Aku jamin, tidak akan terjadi lagi.”
Jihan mengangguk.
“Aku tidak bermaksud menawarkan tumpangan. Lagi pula kau melarangku untuk ikut campur urusanmu. Maaf, ini yang terakhir aku menemuimu dengan sengaja.”
Jihan tersenyum. Sebenarnya hatinya terasa sakit. “Tidak apa-apa. Aku mengerti. Bagus kalau kau masih ingat.”
Juna pergi tanpa pamit. Setelah Juna menghilang, Jihan mendorong pintu hendak masuk ke rumah. Duk!!
“Aduh…” Anggi mengaduh di balik pintu.
“Eh? Kau kenapa?” Jihan bingung.
“Hidungku…oh, hidungku…” Anggi mengerang kesakitan.
“Hmm…kau menguping, ya?”
“Ng?” Anggi berhenti mengaduh. “Aku…aku hanya…mendengar sedikit.”
“Dasar!” Jihan pergi. “Tunggu aku! Aku mandi dulu, aku akan ke kampus.”
“Menunggumu? Ini jam berapa?” Anggi melotot.

 Bersambung ke Chapter 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya