18 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 6



Chapter 6
Kekerasan Tidak Harus Dilawan Dengan Kekerasan

Lanjutan Dari Chapter 5

“Ayo, cepat!” teriak Anggi. “Kau lama sekali. Kita bisa terlambat ke kampus.”
Jihan terengah-engah. “Iya. Aku sedang berusaha. Kau tidak lihat aku membawa banyak buku?”
“Itu masalahmu.” Anggi memacu motornya menuju kampus.

Halaman parkir kampus. Anggi sedang melepas helm dan merapikan diri. Jihan sedang sibuk dengan buku-bukunya. Juna datang. Ia memarkir motornya di tempat biasa. Anggi dan Jihan melihatnya.
“Ha, ya ampun…” Anggi merapikan lagi rambut dan memeriksa bedaknya di spion motor.
Jihan diam mematung. Ia belum mengatakan terima kasih pada Juna. Tapi dia ingin pura-pura lupa. Tapi itu akan membuat dirinya terkesan tidak tahu terima kasih. Juna lewat tepat di depan Jihan. Jihan diam saja. Sementara Anggi senyam-senyum. Setelah Juna berlalu. Jihan menghela napas. Ia menyesal. Ia merasa sangat buruk dan tidak tahu balas budi.
Satria datang. Ia juga baru sampai. “Hey, bagaimana kabarmu?”
Jihan langsung tersenyum. “Baik, Kak!”
“Nah, sudah ya! Aku ke kelas dulu.” Anggi pamit.
Satria tersenyum. Jihan mengangguk.
“Aku senang kau baik-baik saja.”
“Hm!” Jihan mengangguk pasti. Ia tersenyum mendapat perhatian dari Satria.
“Ayo kita ke kelas. Kelas kita searah, kan?” ajak Satria.
“Dengan senang hati.”

Jam istirahat. Jihan melihat isi dompetnya. Ia memisahkan uang kuliah dengan uang sehari-hari.
“Berat sebelah.” Jihan mengeluh. Uang sehari-harinya lebih tipis dari uang kuliahnya. Jihan baru akan membayar uang semester. Ia bertemu Anggi di perjalanan.
“Hey, apa kau sudah makan?” tanya Anggi.
Jihan menggeleng. “Belum. Apa kau akan mentraktirku?”
“Apa?” Anggi terbelalak. “Tidak. Aku lapar, aku sedang mencari teman. Ayo makan dulu, baru kita bayar semester.”
“Huh…” Jihan manyun. “Uangku tidak cukup makan di kantin. Di sana sangat enak tapi termasuk mahal.”
“Kalau begitu. Di depan kampus saja. Di sana murah.”
“Benarkah? Apa di sana enak?”
“Tentu saja. Ayo!” Anggi menarik tangan Jihan dan pergi.
Jihan dan Anggi makan mie ayam di sebuah stand sederhana di depan kampus mereka. Di sana cukup ramai penjual makanan. Tapi Jihan dan Anggi memilih stand yang tidak terlalu ramai.
“Bagaimana, enak?” tanya Anggi.
Jihan mengangguk sambil menyeruput mie ayamnya. “Sangat enak!”
Anggi tersenyum dan melanjutkan makanan. Di tengah makan, datang segerombolan pria-pria berpenampilan seperti penagih hutang.
“Hey, mana bayaranmu??” tanya seorang dari mereka.
Dengan wajah ketakutan dan memelas Ibu Penjual Mie Ayam menjawab, “maaf. Uangku belum cukup. Anakku sedang sakit. Dia butuh biaya untuk pengobatannya, jadi kupakai uangnya sementara.”
“Apa katamu?? Sudah tanggal berapa, ini?? Aku tidak mau tahu, kau harus bayar atau kuhancurkan gerobakmu!!”
Si Penjual menangis. “Jangan! Kumohon, jangan. Aku akan membayarnya, beri aku waktu lagi. Kumohon. Kasihanilah aku…”
Brak! Seorang lain memukul meja menggeretak. Jihan dan Anggi terkejut. Anggi bahkan tersedak dan buru-buru minum. Jihan merasa tidak tega tapi ia bingung harus bagaimana.
“Berikan uangnya sekarang!” orang itu menarik kerah baju Si Penjual.
“Kumohon…beri aku waktu lagi…”
Seorang yang lain dengan sigap menggeledah laci gerobaknya dan menemukan beberapa lembar uang di dalamnya. “Lumayan. Ini baru bunganya saja!”
“Jangan! Kumohon kembalikan…jangan!!” Si Penjual berontak melepaskan diri. Ia merebut paksa uangnya.
Si penagih mendorongnya hingga jatuh dan merebut paksa uangnya kembali. Si Penjual menangis dan dihalangi untuk merebut kembali uangnya.
Anggi tersedak lagi. Ia menarik Jihan untuk kabur. “Nanti kita bayar. Sekarang pergi dulu!” bisik Anggi.
Jihan diam saja. Ia sangat tidak suka melihat kekerasan itu.
“Hey, kalian!” seorang lain menegur Jihan dan Anggi. “Cepat habiskan dan bayar sekarang! Agar dia bisa membayar kami!”
“Apa?” kata Jihan terkesan menantang. “Tuan-tuan, maaf. Aku sedang makan dan belum selesai. Aku tidak bisa menikmati makananku jika kalian membuat keributan di sini.”
“Hah??” Anggi terkejut. Ia tidak percaya Jihan konyol sekali melawan mereka.
“Hey, kau berani sekali rupanya, ya!” orang itu mendekati meja mereka.
Anggi meletakkan uang di meja lalu menarik Jihan kabur. Jihan diam di tempat. Anggi akhirnya kabur sendirian. Orang itu baru akan mengambil uangnya. Jihan merebut duluan. Orang itu terkejut.
“Kalian tenang saja. Aku habiskan dulu makananku. Nanti kubayar.” kata Jihan.
“Kau ini bisa apa, perempuan kerdil!” orang itu menunjuk jidat Jihan.
Jihan menghalaunya. “Jangan sentuh aku!”
Mereka menertawakan Jihan.

Anggi tidak meninggalkan Jihan begitu saja. Ia kabur untuk mencari bantuan. Anggi berlari kesana – kemari. Ia mencari Satria. Tapi tidak ada yang tahu dimana Satria. Anggi nyaris menyerah dan ketakutan. Ia mencari Satria bahkan hingga ke toilet. Ia menangis menunggu seseorang keluar dan bertanya, apa ada Satria di dalam? Ia sangat mengkhawatirkan Jihan.
Seseorang keluar. Anggi terperanjat menghampiri. “Juna!!”
Juna terkejut. Ia diserbu Anggi sambil menangis di depan toilet. “Kegilaan macam apa ini?”
“Tolong aku! Tolong Jihan! Dia sedang diserang sekelompok preman di depan kampus!”
“Apa?” Juna tidak mengerti.
“Ayo, cepat! Kau bisa karate, kan? Kau harus menghajar mereka semua, menolong sepupuku dan Ibu Penjual Mie Ayam itu.”
Juna belum menjawab tapi Anggi terus memaksa dan membuat Juna tidak bisa menolak. Juna setengah berlari mengikuti Anggi. Sesampainya…
Orang-orang berkumpul membuat lingkaran. Anggi bingung. Ia menerobos kumpulan orang-orang. Jihan dan Ibu Penjual berpelukan sambil menangis. Juna memperhatikan sekitarnya. Berantakan. Gerobaknya terguling, mangkuk-mangkuknya pecah dan bahan makanannya berserakan.
“Jihan! Astaga!” Anggi mendekati sepupunya. “Kau baik-baik saja?”
“Kemana saja kau! Dasar tidak setia!” omel Jihan.
Juna muncul. Ia melihat Jihan.
“Maafkan aku. Aku berniat mencari bantuan. Aku membawa Juna untuk menghajar mereka. Tapi terlambat…”
Jihan melihat Juna. “Mau apa kau kesini?”
“Apa?” Juna bingung dengan pertanyaan yang terkesan menyudutkan.
“Kau ingin jadi pahlawan? Kau sangat-sangat kesiangan. Kau terlambat. Kau tidak dibutuhkan di sini. Pergi saja!” omel Jihan.
“Hey, kau!” Juna terpancing. “Aku tidak akan kesini kalau sepupumu tidak memaksa! Aku tidak tertarik menjadi pahlawan seperti katamu!”
“Jihan…ini salahku. Aku yang meminta tolong padanya.” Mohon Anggi.
“Kau juga!” Jihan mengomel Anggi juga. “Untuk apa kau bawa dia kesini??”
Anggi menangis.
“Hey, Juna!” Jihan berdiri. Ia berhadapan dengan Juna. “Mulai sekarang, jangan campuri urusanku. Jangan berusaha menolongku. Jangan menganggap kita pernah berkenalan. Jangan melihatku jika kau melihatku. Jangan menegurku. Jangan bicara padaku. Jangan perduli padaku dan sebaiknya menghindariku!”
“Jadi seperti ini?” Beberapa detik Juna diam menatap Jihan. “Itu tidak adil. Karena itu tertuju seolah hanya aku. Kenapa tidak kau berlakukan untuk dirimu sendiri juga?”
“Kau benar. Aku akan menjauh darimu!”
Juna diam lagi. Ia akhirnya pergi tanpa pamit.
Anggi berdiri. “Kau sangat jahat. Kau jahat sekali padanya!”
“Diamlah. Aku sudah mebayar hutang ibu ini dengan uang semesterku. Tidak sepertimu yang kabur dan mengadu pada Juna!”
Anggi menahan tangis. Satria muncul.
“Jihan!” sahut Satria. “Kau tidak apa-apa?”
Jihan menghapus air matanya. Ia mencoba tersenyum. “Aku baik-baik saja.”
Beberapa teman Satria ikut muncul. Satria menyuruh teman-temannya membereskan sekitar. Satria ikut sibuk merapikan gerobak yang hancur.
“Kau bilang pada Juna ingin jadi pahlawan. Padahal kau sendiri yang menginginkan itu.” Anggi mencibir lalu pergi.
Jihan diam saja. Ia lalu menitikkan air mata dan tertunduk. “Maafkan aku.” Lirihnya berbisik.
“Aku juga berpikir sama denganmu. Juna pasti bisa membantuku. Aku marah padanya, kenapa ia lambat sekali. Bukankah ia selalu menolongku? Kenapa ia lama sekali dan membuatku tersiksa. Dia selalu datang tanpa kuharapkan, tapi di saat aku berharap, dia malah tidak kunjung datang dan malah terlambat.” Jihan memperhatikan sepupunya yang pergi menyusul Juna.

Jihan kembali ke kampus ditemani Satria. Satria terus menghiburnya. Jihan hanya diam dan tersenyum.
“Oh, iya. Kudengar…tadi kau membayar hutang ibu itu dengan uang semestermu. Apa itu benar?” tanya Satria.
“Ng?” Jihan bingung. Ia cengengesan.
“Kau jadi kehabisan uang untuk membayar kuliahmu.” Satria iba. “Nah, pakai saja uangku.”
“Eh? Tidak, Kak. Tidak usah. Aku akan bekerja lebih giat lagi untuk mengumpulkannya, Kak.”
“Itu kan masih lama. Kau harus membayar semester segera, kan? Ini, pakai saja!” satria menyodorkan sebuah kartu kredit.
“Jangan, Kak!” Jihan menolak lagi.
“Baiklah. Kau pinjam saja dulu. Kau bisa membayarnya nanti setelah uangmu terkumpul lagi. Kau tidak usah pusing, bayar saja semampumu.”
Jihan tersenyum. Ia memang butuh tapi tidak enak. “Kalau…dicicil, bagaimana?”
Satria tersenyum. “Tentu bisa!”
Jihan tersenyum. Ia senang sekali. Berkat Satria, ia bisa membayar uang semesternya.

Jihan pulang kuliah. Ia naik bis untuk ke hotel tempatnya bekerja. Jihan tertidur di mobil lalu turun tepat pada waktu dan tempatnya. Jihan menyebrang jalan, ia berjalan menuju hotel. Karena masih mengantuk, Jihan mendengarkan musik dari ponselnya dan memakai earphone.
Feni kebetulan lewat. Ia terjebak macet dan mobilnya mogok di jalan. Ia melihat Jihan di ujung trotoar. Ia memanggil-manggil tapi Jihan tidak mendengar. Feni melihat Jihan masuk ke hotel. Ia mengikuti Jihan. Feni sempat kehilangan jejak. Feni celingukan dan mondari-mandir mencari Jihan.
Jihan keluar dari sebuah ruang. Ia memakai seragam roomgirl dan memakai apron berenda. Feni tersenyum melihat temannya. Ia mendekati Jihan. Ia bermaksud menegur.
Seseorang keluar dari lift di lorong hotel. Pria tua berjas. Ia lalu berbincang dengan Jihan dan saling melempar senyum. Kemudian keduanya berjalan bersama di lorong. Feni terus mengikuti dan memperhatikan.
“Hey, sedang apa kau di sini?” Bibi menegur Feni.
“Ng?” Feni bingung. “Tidak ada apa-apa.”
Bibi masih bingung. Feni langsung pergi.

Hari ini Anggi sakit perut. Ia sedang diare. Ia terpaksa tidak masuk kuliah. Mau tidak mau, Jihan pergi ke kampus sendirian. Ia terpaksa naik bis. Untuk menuju kampusya, Jihan harus naik bis dua kali.
Jihan sampai di halte kedua untuk bis terakhir menuju kampusnya. Jihan menunggu. Ia melihat bis datang. Jihan berdiri di pinggir halte sendirian. Sebuah motor menyalip bis itu. Motor Juna. Dari arah berlawanan, sebuah mobil juga menyalip kendaraan lain. Dengan sigap Juna mengambil jalur kiri, sedikit merapat ke halte untuk menghindari mobil dari arah berlawanan.
Crat!! Motor Juna menembus kubangan. Airnya terciprat mengenai Jihan. Jihan syok sementara Juna terus melaju. Dalam posisinya, Juna tidak bisa berhenti. Lagi pula ia tidak boleh bertemu Jihan seperti yang dikatakan Jihan kemarin. Jihan marah dan sangat kesal.
Sesampainya di kampus, Jihan mencari Juna. Mereka bertemu di lorong kampus. Jihan mendekati Juna dengan cepat.
“Hey, Juna!” panggil Jihan.
Juna berhenti. Ia baru saja meneguk air minum.
“Kau sengaja membuat masalah lagi??” Jihan menunjuk kepalanya yang basah dan sedikit kotor.
Juna memperhatikan Jihan sejenak. Juna merogoh sakunya. “Maaf.”
Jihan tertahan. Ia tersentak melihat Juna menyodorkan sapu tangan dan sebotol air mineral kepadanya sambil mengatakan maaf.
“Kau bisa menyiramku. Pakai ini untuk membersihkan dirimu. Ini bersih. Belum kupakai dan baru kuambil dari lemari.”
Jihan terbata. Ia bingung harus berkata apa. “Kalau kau seperti itu, bagaimana aku bisa marah? Aku jadi tidak bisa marah dengan perasaan benci yang penuh.”
Jihan diam melihat Juna. Bibirnya kaku. “Lupakan saja!”
Jihan pergi meninggalkan Juna sendirian. Juna memperhatikan Jihan.
“Ayah benar. Kekerasan tidak harus dilawan kekerasan.” Juna tersenyum.

Pulang kuliah. Jihan berjalan lesu menuju jalan raya. Lumayan jauh dan melelahkan. Jihan melihat Juna ia sedang menelepon di pinggir jalan. Jihan ingat, kalau ia bertemu Juna ia harus menghindar. Tapi jalan itu hanya satu. Jihan memaksakan diri.
“Iya, baiklah. Nanti kuatur lagi jadwalnya.” kata Juna sambil menelepon.
Jihan berlalu dan berhasil melewat Juna. Setelah cukup jauh, Jihan menghela napas. Melelahkan berjalan setelah lelah kuliah seharian.
“Hey!” Satria muncul.
Jihan gembira melihat Satria. Mungkin Satria yang sangat perhatian itu akan mengajaknya pulang bersama. Dengan kata lain, Jihan tidak usah berlelah-lelah untuk sampai ke jalan raya.
“Jihan kau lihat temanku?” tanya Satria.
“Tidak. Maksudku, siapa?” Jihan bingung.
“Satria!” seseorang memanggil.
Jihan dan Satria menoleh. Seseorang berlari mendekati mereka. “Maaf aku lama.”
“Oh, aku hampir meninggalkanmu. Ayo!” kata Satria. “Nah, Jihan. Sampai ketemu nanti!”
Satria dan seorang temannya pergi. Jihan lesu. Ia salah berharap. Satria sudah punya janji dengan orang lain. Meski orang itu laki-laki, tapi rasanya tetap cemburu. Harusnya Satria mendahulukan dirinya. Dilihatnya Juna.Juna menutup telepon. Memakai helm dan pergi. Juna melewati Jihan.
Jihan semakin lesu dan terpaksa meneruskan perjalanan yang terasa seperti perjalanan panjang menuju barat untuk mengambil kitab suci. Akhirnya sampai. Jihan naik bis. Untungnya ia masih dapat tempat duduk.
“Hey!” seseorang menepuk bahunya.
“Feni?” Jihan terkejut.
“Boleh aku duduk di sebelahmu?”
Jihan mengangguk. “Kemarilah.”
“Kau biasa naik bis ini?” tanya Feni membuka obrolan.
“He-em. Kau sendiri?”
“Mobilku mogok. Aku terpaksa naik bis.”
“Ooh…”
“Oh iya. Kudengar kau sempat hilang saat di gunung. Bahkan Juna menolongmu. Bagaimana ceritanya?”
“Ng?” Jihan diingatkan kembali. “Aku…tidak begitu ingat.”
“Oh, sayang sekali.” Feni tidak bersemangat. “Padahal pasti menyenangkan bisa bersama Juna dalam waktu yang lama.”
Feni nyengir. Jihan menggaruk kepalanya.
“Iyah…begitulah yang kudengar. Dia menolongmu dan menemanimu selama kau tersesat.”
“Aku tidak ingat.” Jihan berpura-pura.
“Iya. Mungkin kau lupa. Karena, kudengar saat ditemukan kau sedang pinsan. Apa kau sakit?”
“He-em.” Jihan mengangguk. “Aku…tidak bisa membicarakan Juna.”
“Ng? kenapa?”
“Aku tidak mengenalnya jadi tidak akan bersambut dengan obrolanmu.”
“Hm..begitu.” Feni tersenyum. “Baiklah.”

 Bersambung ke Chapter 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya