Mozarella Cake - Chapter 6
Chapter
6
Kekerasan
Tidak Harus Dilawan Dengan Kekerasan
Lanjutan Dari Chapter 5
“Ayo, cepat!”
teriak Anggi. “Kau lama sekali. Kita bisa terlambat ke kampus.”
Jihan
terengah-engah. “Iya. Aku sedang berusaha. Kau tidak lihat aku membawa banyak
buku?”
“Itu masalahmu.”
Anggi memacu motornya menuju kampus.
Halaman parkir
kampus. Anggi sedang melepas helm dan merapikan diri. Jihan sedang sibuk dengan
buku-bukunya. Juna datang. Ia memarkir motornya di tempat biasa. Anggi dan Jihan
melihatnya.
“Ha, ya ampun…” Anggi
merapikan lagi rambut dan memeriksa bedaknya di spion motor.
Jihan diam
mematung. Ia belum mengatakan terima kasih pada Juna. Tapi dia ingin pura-pura
lupa. Tapi itu akan membuat dirinya terkesan tidak tahu terima kasih. Juna
lewat tepat di depan Jihan. Jihan diam saja. Sementara Anggi senyam-senyum. Setelah
Juna berlalu. Jihan menghela napas. Ia menyesal. Ia merasa sangat buruk dan
tidak tahu balas budi.
Satria datang.
Ia juga baru sampai. “Hey, bagaimana kabarmu?”
Jihan langsung
tersenyum. “Baik, Kak!”
“Nah, sudah ya! Aku
ke kelas dulu.” Anggi pamit.
Satria
tersenyum. Jihan mengangguk.
“Aku senang kau
baik-baik saja.”
“Hm!” Jihan
mengangguk pasti. Ia tersenyum mendapat perhatian dari Satria.
“Ayo kita ke
kelas. Kelas kita searah, kan?” ajak Satria.
“Dengan senang
hati.”
Jam istirahat. Jihan
melihat isi dompetnya. Ia memisahkan uang kuliah dengan uang sehari-hari.
“Berat sebelah.”
Jihan mengeluh. Uang sehari-harinya lebih tipis dari uang kuliahnya. Jihan baru
akan membayar uang semester. Ia bertemu Anggi di perjalanan.
“Hey, apa kau
sudah makan?” tanya Anggi.
Jihan
menggeleng. “Belum. Apa kau akan mentraktirku?”
“Apa?” Anggi
terbelalak. “Tidak. Aku lapar, aku sedang mencari teman. Ayo makan dulu, baru
kita bayar semester.”
“Huh…” Jihan
manyun. “Uangku tidak cukup makan di kantin. Di sana sangat enak tapi termasuk
mahal.”
“Kalau begitu.
Di depan kampus saja. Di sana murah.”
“Benarkah? Apa
di sana enak?”
“Tentu saja.
Ayo!” Anggi menarik tangan Jihan dan pergi.
Jihan dan Anggi
makan mie ayam di sebuah stand sederhana di depan kampus mereka. Di sana cukup
ramai penjual makanan. Tapi Jihan dan Anggi memilih stand yang tidak terlalu
ramai.
“Bagaimana,
enak?” tanya Anggi.
Jihan mengangguk
sambil menyeruput mie ayamnya. “Sangat enak!”
Anggi tersenyum
dan melanjutkan makanan. Di tengah makan, datang segerombolan pria-pria
berpenampilan seperti penagih hutang.
“Hey, mana bayaranmu??”
tanya seorang dari mereka.
Dengan wajah
ketakutan dan memelas Ibu Penjual Mie Ayam menjawab, “maaf. Uangku belum cukup.
Anakku sedang sakit. Dia butuh biaya untuk pengobatannya, jadi kupakai uangnya
sementara.”
“Apa katamu??
Sudah tanggal berapa, ini?? Aku tidak mau tahu, kau harus bayar atau
kuhancurkan gerobakmu!!”
Si Penjual
menangis. “Jangan! Kumohon, jangan. Aku akan membayarnya, beri aku waktu lagi.
Kumohon. Kasihanilah aku…”
Brak! Seorang
lain memukul meja menggeretak. Jihan dan Anggi terkejut. Anggi bahkan tersedak
dan buru-buru minum. Jihan merasa tidak tega tapi ia bingung harus bagaimana.
“Berikan uangnya
sekarang!” orang itu menarik kerah baju Si Penjual.
“Kumohon…beri
aku waktu lagi…”
Seorang yang
lain dengan sigap menggeledah laci gerobaknya dan menemukan beberapa lembar
uang di dalamnya. “Lumayan. Ini baru bunganya saja!”
“Jangan! Kumohon
kembalikan…jangan!!” Si Penjual berontak melepaskan diri. Ia merebut paksa
uangnya.
Si penagih
mendorongnya hingga jatuh dan merebut paksa uangnya kembali. Si Penjual
menangis dan dihalangi untuk merebut kembali uangnya.
Anggi tersedak
lagi. Ia menarik Jihan untuk kabur. “Nanti kita bayar. Sekarang pergi dulu!”
bisik Anggi.
Jihan diam saja.
Ia sangat tidak suka melihat kekerasan itu.
“Hey, kalian!”
seorang lain menegur Jihan dan Anggi. “Cepat habiskan dan bayar sekarang! Agar
dia bisa membayar kami!”
“Apa?” kata Jihan
terkesan menantang. “Tuan-tuan, maaf. Aku sedang makan dan belum selesai. Aku
tidak bisa menikmati makananku jika kalian membuat keributan di sini.”
“Hah??” Anggi
terkejut. Ia tidak percaya Jihan konyol sekali melawan mereka.
“Hey, kau berani
sekali rupanya, ya!” orang itu mendekati meja mereka.
Anggi meletakkan
uang di meja lalu menarik Jihan kabur. Jihan diam di tempat. Anggi akhirnya
kabur sendirian. Orang itu baru akan mengambil uangnya. Jihan merebut duluan.
Orang itu terkejut.
“Kalian tenang
saja. Aku habiskan dulu makananku. Nanti kubayar.” kata Jihan.
“Kau ini bisa
apa, perempuan kerdil!” orang itu menunjuk jidat Jihan.
Jihan
menghalaunya. “Jangan sentuh aku!”
Mereka
menertawakan Jihan.
Anggi tidak
meninggalkan Jihan begitu saja. Ia kabur untuk mencari bantuan. Anggi berlari
kesana – kemari. Ia mencari Satria. Tapi tidak ada yang tahu dimana Satria. Anggi
nyaris menyerah dan ketakutan. Ia mencari Satria bahkan hingga ke toilet. Ia
menangis menunggu seseorang keluar dan bertanya, apa ada Satria di dalam? Ia
sangat mengkhawatirkan Jihan.
Seseorang
keluar. Anggi terperanjat menghampiri. “Juna!!”
Juna terkejut.
Ia diserbu Anggi sambil menangis di depan toilet. “Kegilaan macam apa ini?”
“Tolong aku!
Tolong Jihan! Dia sedang diserang sekelompok preman di depan kampus!”
“Apa?” Juna
tidak mengerti.
“Ayo, cepat! Kau
bisa karate, kan? Kau harus menghajar mereka semua, menolong sepupuku dan Ibu
Penjual Mie Ayam itu.”
Juna belum
menjawab tapi Anggi terus memaksa dan membuat Juna tidak bisa menolak. Juna
setengah berlari mengikuti Anggi. Sesampainya…
Orang-orang
berkumpul membuat lingkaran. Anggi bingung. Ia menerobos kumpulan orang-orang. Jihan
dan Ibu Penjual berpelukan sambil menangis. Juna memperhatikan sekitarnya.
Berantakan. Gerobaknya terguling, mangkuk-mangkuknya pecah dan bahan makanannya
berserakan.
“Jihan! Astaga!”
Anggi mendekati sepupunya. “Kau baik-baik saja?”
“Kemana saja
kau! Dasar tidak setia!” omel Jihan.
Juna muncul. Ia
melihat Jihan.
“Maafkan aku.
Aku berniat mencari bantuan. Aku membawa Juna untuk menghajar mereka. Tapi
terlambat…”
Jihan melihat Juna.
“Mau apa kau kesini?”
“Apa?” Juna
bingung dengan pertanyaan yang terkesan menyudutkan.
“Kau ingin jadi
pahlawan? Kau sangat-sangat kesiangan. Kau terlambat. Kau tidak dibutuhkan di
sini. Pergi saja!” omel Jihan.
“Hey, kau!” Juna
terpancing. “Aku tidak akan kesini kalau sepupumu tidak memaksa! Aku tidak
tertarik menjadi pahlawan seperti katamu!”
“Jihan…ini
salahku. Aku yang meminta tolong padanya.” Mohon Anggi.
“Kau juga!” Jihan
mengomel Anggi juga. “Untuk apa kau bawa dia kesini??”
Anggi menangis.
“Hey, Juna!” Jihan
berdiri. Ia berhadapan dengan Juna. “Mulai sekarang, jangan campuri urusanku.
Jangan berusaha menolongku. Jangan menganggap kita pernah berkenalan. Jangan
melihatku jika kau melihatku. Jangan menegurku. Jangan bicara padaku. Jangan
perduli padaku dan sebaiknya menghindariku!”
“Jadi seperti
ini?” Beberapa detik Juna diam menatap Jihan. “Itu tidak adil. Karena itu
tertuju seolah hanya aku. Kenapa tidak kau berlakukan untuk dirimu sendiri
juga?”
“Kau benar. Aku
akan menjauh darimu!”
Juna diam lagi.
Ia akhirnya pergi tanpa pamit.
Anggi berdiri.
“Kau sangat jahat. Kau jahat sekali padanya!”
“Diamlah. Aku
sudah mebayar hutang ibu ini dengan uang semesterku. Tidak sepertimu yang kabur
dan mengadu pada Juna!”
Anggi menahan
tangis. Satria muncul.
“Jihan!” sahut
Satria. “Kau tidak apa-apa?”
Jihan menghapus
air matanya. Ia mencoba tersenyum. “Aku baik-baik saja.”
Beberapa teman
Satria ikut muncul. Satria menyuruh teman-temannya membereskan sekitar. Satria
ikut sibuk merapikan gerobak yang hancur.
“Kau bilang pada
Juna ingin jadi pahlawan. Padahal kau sendiri yang menginginkan itu.” Anggi
mencibir lalu pergi.
Jihan diam saja.
Ia lalu menitikkan air mata dan tertunduk. “Maafkan aku.” Lirihnya berbisik.
“Aku juga berpikir sama denganmu. Juna pasti bisa
membantuku. Aku marah padanya, kenapa ia lambat sekali. Bukankah ia selalu
menolongku? Kenapa ia lama sekali dan membuatku tersiksa. Dia selalu datang
tanpa kuharapkan, tapi di saat aku berharap, dia malah tidak kunjung datang dan
malah terlambat.”
Jihan memperhatikan sepupunya yang pergi menyusul Juna.
Jihan kembali ke
kampus ditemani Satria. Satria terus menghiburnya. Jihan hanya diam dan
tersenyum.
“Oh, iya.
Kudengar…tadi kau membayar hutang ibu itu dengan uang semestermu. Apa itu
benar?” tanya Satria.
“Ng?” Jihan
bingung. Ia cengengesan.
“Kau jadi
kehabisan uang untuk membayar kuliahmu.” Satria iba. “Nah, pakai saja uangku.”
“Eh? Tidak, Kak.
Tidak usah. Aku akan bekerja lebih giat lagi untuk mengumpulkannya, Kak.”
“Itu kan masih
lama. Kau harus membayar semester segera, kan? Ini, pakai saja!” satria
menyodorkan sebuah kartu kredit.
“Jangan, Kak!” Jihan
menolak lagi.
“Baiklah. Kau
pinjam saja dulu. Kau bisa membayarnya nanti setelah uangmu terkumpul lagi. Kau
tidak usah pusing, bayar saja semampumu.”
Jihan tersenyum.
Ia memang butuh tapi tidak enak. “Kalau…dicicil, bagaimana?”
Satria
tersenyum. “Tentu bisa!”
Jihan tersenyum.
Ia senang sekali. Berkat Satria, ia bisa membayar uang semesternya.
Jihan pulang
kuliah. Ia naik bis untuk ke hotel tempatnya bekerja. Jihan tertidur di mobil lalu
turun tepat pada waktu dan tempatnya. Jihan menyebrang jalan, ia berjalan
menuju hotel. Karena masih mengantuk, Jihan mendengarkan musik dari ponselnya
dan memakai earphone.
Feni kebetulan
lewat. Ia terjebak macet dan mobilnya mogok di jalan. Ia melihat Jihan di ujung
trotoar. Ia memanggil-manggil tapi Jihan tidak mendengar. Feni melihat Jihan
masuk ke hotel. Ia mengikuti Jihan. Feni sempat kehilangan jejak. Feni
celingukan dan mondari-mandir mencari Jihan.
Jihan keluar
dari sebuah ruang. Ia memakai seragam roomgirl
dan memakai apron berenda. Feni tersenyum melihat temannya. Ia mendekati Jihan.
Ia bermaksud menegur.
Seseorang keluar
dari lift di lorong hotel. Pria tua berjas. Ia lalu berbincang dengan Jihan dan
saling melempar senyum. Kemudian keduanya berjalan bersama di lorong. Feni
terus mengikuti dan memperhatikan.
“Hey, sedang apa
kau di sini?” Bibi menegur Feni.
“Ng?” Feni
bingung. “Tidak ada apa-apa.”
Bibi masih
bingung. Feni langsung pergi.
Hari ini Anggi
sakit perut. Ia sedang diare. Ia terpaksa tidak masuk kuliah. Mau tidak mau, Jihan
pergi ke kampus sendirian. Ia terpaksa naik bis. Untuk menuju kampusya, Jihan
harus naik bis dua kali.
Jihan sampai di
halte kedua untuk bis terakhir menuju kampusnya. Jihan menunggu. Ia melihat bis
datang. Jihan berdiri di pinggir halte sendirian. Sebuah motor menyalip bis
itu. Motor Juna. Dari arah berlawanan, sebuah mobil juga menyalip kendaraan
lain. Dengan sigap Juna mengambil jalur kiri, sedikit merapat ke halte untuk
menghindari mobil dari arah berlawanan.
Crat!! Motor Juna
menembus kubangan. Airnya terciprat mengenai Jihan. Jihan syok sementara Juna
terus melaju. Dalam posisinya, Juna tidak bisa berhenti. Lagi pula ia tidak
boleh bertemu Jihan seperti yang dikatakan Jihan kemarin. Jihan marah dan
sangat kesal.
Sesampainya di
kampus, Jihan mencari Juna. Mereka bertemu di lorong kampus. Jihan mendekati Juna
dengan cepat.
“Hey, Juna!” panggil
Jihan.
Juna berhenti. Ia
baru saja meneguk air minum.
“Kau sengaja
membuat masalah lagi??” Jihan menunjuk kepalanya yang basah dan sedikit kotor.
Juna
memperhatikan Jihan sejenak. Juna merogoh sakunya. “Maaf.”
Jihan tertahan.
Ia tersentak melihat Juna menyodorkan sapu tangan dan sebotol air mineral
kepadanya sambil mengatakan maaf.
“Kau bisa
menyiramku. Pakai ini untuk membersihkan dirimu. Ini bersih. Belum kupakai dan
baru kuambil dari lemari.”
Jihan terbata.
Ia bingung harus berkata apa. “Kalau kau
seperti itu, bagaimana aku bisa marah? Aku jadi tidak bisa marah dengan
perasaan benci yang penuh.”
Jihan diam
melihat Juna. Bibirnya kaku. “Lupakan saja!”
Jihan pergi
meninggalkan Juna sendirian. Juna memperhatikan Jihan.
“Ayah benar. Kekerasan tidak harus dilawan kekerasan.” Juna tersenyum.
Pulang kuliah. Jihan
berjalan lesu menuju jalan raya. Lumayan jauh dan melelahkan. Jihan melihat Juna
ia sedang menelepon di pinggir jalan. Jihan ingat, kalau ia bertemu Juna ia
harus menghindar. Tapi jalan itu hanya satu. Jihan memaksakan diri.
“Iya, baiklah.
Nanti kuatur lagi jadwalnya.” kata Juna sambil menelepon.
Jihan berlalu
dan berhasil melewat Juna. Setelah cukup jauh, Jihan menghela napas. Melelahkan
berjalan setelah lelah kuliah seharian.
“Hey!” Satria
muncul.
Jihan gembira
melihat Satria. Mungkin Satria yang sangat perhatian itu akan mengajaknya
pulang bersama. Dengan kata lain, Jihan tidak usah berlelah-lelah untuk sampai
ke jalan raya.
“Jihan kau lihat
temanku?” tanya Satria.
“Tidak.
Maksudku, siapa?” Jihan bingung.
“Satria!”
seseorang memanggil.
Jihan dan Satria
menoleh. Seseorang berlari mendekati mereka. “Maaf aku lama.”
“Oh, aku hampir
meninggalkanmu. Ayo!” kata Satria. “Nah, Jihan. Sampai ketemu nanti!”
Satria dan
seorang temannya pergi. Jihan lesu. Ia salah berharap. Satria sudah punya janji
dengan orang lain. Meski orang itu laki-laki, tapi rasanya tetap cemburu.
Harusnya Satria mendahulukan dirinya. Dilihatnya Juna.Juna menutup telepon.
Memakai helm dan pergi. Juna melewati Jihan.
Jihan semakin
lesu dan terpaksa meneruskan perjalanan yang terasa seperti perjalanan panjang
menuju barat untuk mengambil kitab suci. Akhirnya sampai. Jihan naik bis.
Untungnya ia masih dapat tempat duduk.
“Hey!” seseorang
menepuk bahunya.
“Feni?” Jihan
terkejut.
“Boleh aku duduk
di sebelahmu?”
Jihan
mengangguk. “Kemarilah.”
“Kau biasa naik
bis ini?” tanya Feni membuka obrolan.
“He-em. Kau
sendiri?”
“Mobilku mogok.
Aku terpaksa naik bis.”
“Ooh…”
“Oh iya.
Kudengar kau sempat hilang saat di gunung. Bahkan Juna menolongmu. Bagaimana
ceritanya?”
“Ng?” Jihan
diingatkan kembali. “Aku…tidak begitu ingat.”
“Oh, sayang
sekali.” Feni tidak bersemangat. “Padahal pasti menyenangkan bisa bersama Juna
dalam waktu yang lama.”
Feni nyengir. Jihan
menggaruk kepalanya.
“Iyah…begitulah
yang kudengar. Dia menolongmu dan menemanimu selama kau tersesat.”
“Aku tidak
ingat.” Jihan berpura-pura.
“Iya. Mungkin
kau lupa. Karena, kudengar saat ditemukan kau sedang pinsan. Apa kau sakit?”
“He-em.” Jihan
mengangguk. “Aku…tidak bisa membicarakan Juna.”
“Ng? kenapa?”
“Aku tidak
mengenalnya jadi tidak akan bersambut dengan obrolanmu.”
“Hm..begitu.”
Feni tersenyum. “Baiklah.”
Bersambung ke Chapter 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar