18 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 5



Chapter 5
Teman Tapi Berlawanan


Lanjutan Dari Chapter 4

“Jihan, kau ini kenapa?” Juna panik.
Jihan berusaha membuka matanya tapi berat. Dengan lemasnya Jihan berusaha memegang kepalanya.
“Aku harus bagaimana? Aku tidak punya apa-apa untuk membantumu? Katakan sesuatu apa yang bisa membantumu?”
Jihan meringis.
“Jihan, kau harus tetap terjaga. Aku akan mencari jalan.” Juna mengambil posisi. Ia mendudukkan Jihan lalu menggendongnya di punggung.
“Ibu…Ibu…” Jihan mengigau. Telapak tangannya panas.
Juna memantapkan diri dan terus berjalan. “Kau tidak boleh menyerah. Kau harus selamat. Ini hanya sebuah gunung, masih bisa kau pijak. Ini bukan lautan yang bisa menenggelamkanmu.”
Juna membawa Jihan di punggungnya sambil terus berjalan.
“Katakanlah sesuatu. Bicaralah agar kau tetap terjaga.” kata Juna.
Jihan tidak merespon.
“Baiklah. Kalau kau tidak mau bicara sesuatu, biar aku saja.” kata Juna.
“Dulu, aku cuma seorang anak kecil yang kurus dan punya banyak bisul, bahkan di wajahku. Jika satu sembuh, maka akan tumbuh di tempat yang lainnya. Aku tidak punya teman karena mereka merasa jijik padaku. Mereka mengejek dan menjauhiku. Ibu mereka bilang, bahwa bisul itu bisa menular.”
Juna berjalan membelah semak-semak. Ia tidak tahu harus kemana, ia hanya berjalan lurus. Tidak peduli akan berakhir dimana, Juna terus berjalan.
“Aku hanya bermain sendiri. Suatu hari, aku sedang main di balkon rumahku. Di sana aku melihat seorang anak kecil sedang bermain ayunan di taman depan rumahku. Dia kelihatan sangat senang meski pun hanya seorang diri.”
Jihan bungkam.
“Aku selalau memperhatikannya dari jauh. Hampir setiap hari dia bermain ke situ dan sendirian. Suatu hari, aku putuskan untuk mencobanya. Mencoba mendekatinya, siapa tahu dia mau bermain denganku.”
“Itu aku, kan…” batin Jihan.
“Aku mendekatinya tanpa ragu. Dia menatapku sejenak. Aku takut dia akan mengejekku. Tapi dia mengacuhkanku lalu kembali asyik berayun sambil bernyanyi. Aku duduk di tepi kolam pasir dan mendengarkan nyanyiannya. Cukup lama aku memperhatikannya. Dia tidak terusik. Aku pun mulai berani menegurnya. Aku bilang, aku juga mau bermain ayunan dan meminta agar bergantian dengannya.”
Juna tersenyum dan terus berjalan. Ia menemui sedikit jalan berbatu besar. Juna berbelok menghindari batu yang menghalangi jalannya. Juna kembali berjalan lurus.
“Dia menolak. Aku bertanya kenapa, dia malah memarahiku karena mengangganggunya. Aku lalu berpindah agar berada tepat di hadapannya supaya dia berhenti. Ia memang berhenti. Ia turun lalu kami berhadapan.”
Juna berhenti. Dilihatnya matahari yang sudah meninggi. Seingatnya, saat di kamp tenda, matahari berada di lurus di hadapannya atau sebelah timur. Jika ia berjalan ke arah sebaliknya, ia yakin akan menemukan kamp tenda itu. Juna melanjutkan perjalanannya.
“Kembali soal tadi. Saat kami berhadapan, dia bertanya apa mauku. Aku bilang, aku mau main ayunan. Dia bilang, bahwa dia sudah mengatakan kalau dia tidak mau bergantian. Aku lalu menyodorkan roti yang kubawa. Aku bilang agar ia mengambil rotiku sebagai gantinya. Kulihat dia tergoda. Ia menelan ludah melihat rotiku. Ia lalu turun, merebut dan memakannya. Bodohnya aku, aku hanya diam berdiri memperhatikannya menghabiskan sarapanku itu. Ia makan dengan sangat cepat. Setelah habis, aku tersenyum dan menagih kesepakatan awal yang kutawarkan tadi. Dia menolak. Dia berkilah bahwa dia tidak mengatakan apa pun atau setuju soal itu. Aku protes bahwa tadi dia sudah menghabiskan rotiku. Dia bilang, itu kesalahanku. Karena kesal, aku mendorongnya. Meski secara postur tubuhku kurus dan lebih kecil darinya saat itu, tapi aku berhasil menjatuhkannya.”
Jihan membisu.
“Dia berdiri. Dia langsung membalasku. Aku terjatuh dan menangis.”
Sunyi.
“Aku sudah senang dia mau bicara padaku dan tidak berlari melihatku. Dia juga tidak merasa jijik memakan roti yang sudah kugigit bahkan menghabiskannya. Aku merasa mendapatkan teman yang menyenangkan. Tapi aku salah. Aku kecewa. Aku menangis bukan karena terjatuh. Tapi itu membuatku benar-benar merasa bahwa tidak ada orang yang mau berteman denganku.”
Dari sudut mata Jihan yang terpejam mengalir setetes air mata. Menelusuri lekuk pipinya dan hilang terserap setelah jatuh di jaket Juna.
“Tapi aku tidak jera. Besoknya, aku datang lebih awal ke tempat itu. Aku bermain ayunan dengan senang sambil menyanyikan lagu anak itu. Ingatanku sangat baik. Baru sekali aku mendengarnya bernyanyi, aku langsung hapal. Tidak lama, anak itu datang. Aku memperlambat laju ayunanku dan berhenti bernyanyi. Dia menatapku tajam lalu menyuruhku turun. Kubilang bahwa itu bukan miliknya. Dia tidak berkomentar lalu menarikku untuk turun. Aku menyerah. Aku duduk di tepi kolam pasir, memegangi rotiku dan menunggunya bosan bermain. Cukup lama dia di sana. Lalu dia turun dan mendekatiku. Kupikir dia akan memintaku bergantian. Dia malah meminta rotiku. Agak memaksa. Dia bilang, daripada tidak kumakan lebih baik dia makan. Aku lalu menggigit rotiku dan menyodorkannya. Kupikir, dia akan jijik atau nekat memakannya. Kalau dia memakannya, berarti aku berhasil mengerjainya. Tidak kusangka, dia sama sekali tidak merasa jijik padaku. Dia merebutnya dan kembali asyik berayun sambil memakan rotiku. Aku memintanya untuk bergantian, dia malah mengacuhkanku. Berkali-kali kukatakan, dia seperti tidak mendengarku. Aku kesal lalu pulang sambil menangis.”
Juna menaikkan posisi Jihan yang agak merosot.
“Hah! Besoknya, aku kembali. Lebih awal dan membawa roti. Ketika dia datang, dengan sendirinya aku mundur. Dia meminta rotiku seenaknya. Payahnya, kuberikan saja. Aku diam saja melihatnya berayun sampai bosan. Lalu dia pergi, aku yang berayun. Tidak lama, karena ternyata membosankan bermain sendirian. Aku ikut pulang juga.”
Juna berhenti sejenak. Ia mengumpulkan kekuatannya yang terbuang karena mengangkat beban lima puluh kilogram di punggungnya sambil bicara.
“Begitulah aku setiap harinya. Tidak pernah bosan menunggunya berhenti bermain lalu giliranku. Suatu hari aku tidak tahan dengan rasa laparku dan ketika dia meminta rotiku, aku menolak. Dia marah dan terus memaksa. Aku tetap menolak. Lalu dia merebut paksa roti itu dariku. Aku terjatuh karena kalah berebut. Aku menangis. Anak itu lalu pergi meninggalkan aku.”
Juna sadar sesuatu. Bahwa Jihan mendengarkannya. Ia tersenyum. Ia kembali berjalan.
“Sore harinya, ayahku pulang. Kuadukan semuanya pada ayah. Dia hanya tersenyum dan menceritakan sebuah kisah. Tentang seorang anak yang baru ditemuinya. Kemudian dia menyuruhku untuk memaafkan anak itu. Dia bahkan berjanji akan memberikan aku roti yang banyak agar aku bisa membawa dua roti setiap harinya. Satu untukku, satu lagi untuk anak itu. Di hari pertama aku membawa dua roti itu, aku tidak menemukannya. Lama ia tidak muncul. Lalu aku melihat sebuah truk membawa barang-barang rumahan. Di depannya kulihat, anak itu duduk dengan raut wajah sedih seperti habis menangis. Itu terakhir kalinya aku melihat dia.”
Jihan kembali menitikkan air mata.
Dalam hati Juna berkata, “bagaimana aku bisa melupakanmu? Kau orang pertama yang menganggapku biasa saja. Yang tidak merasa jijik padaku. Yang tidak takut lalu menjauhi aku. Tidak menghindari aku meski kau juga mengejekku anak bisulan. Hanya setiap kau marah atau memaksa. Meski pun aku membenci itu, aku tidak bisa melupakannya. Kau masih lebih baik dari teman sekolahku saat itu hingga SMA. Yang perempuan jijik padaku, yang laki-laki hanya memanfaatkan uangku.”
“Juna!!!! Jihan!!!!” sebuah suara terdengar di ujung jalan.
 Juna terperanjat. “Kau dengar itu? Kita akan selamat. Benar kan, kataku?”
“Juna!!! Jihan!!!”
 “Iyaaa!!! Kami di sini!!!!” teriak Juna. Juna menurunkan Jihan dan menyandarkannya di pohon. “Tunggu sebentar!”
Juna memandang ke arah sumber suara. “Kami di sini!!!” teriaknya.
“Kau dimana???” tanya suara itu. Terdengar seperti lebih dari satu orang.
Tiba-tiba sekelompok orang mucul di balik semak dan pohon di ujung jalan. “Itu Juna!!”
Juna melambaikan tangannya memberi tanda. “Di sini!!!”

Bibi datang ke UGD RS. Ia panik. Di sebuah bed Jihan terbaring.
“Jihan…” Bibi langsung memeluknya. “Nasibmu kok malang sekali, sih…” Bibi menangis.
“Sudah, sudah. Aku baik-baik saja. Bibi ini kenapa sih?” Jihan berusaha melepaskan diri.
Anggi datang. “Hey, dimana Juna?”
“Apa?” Jihan bingung. Bibi ikut bingung.
“Siapa Juna?” tanya Bibi.
“Kau berpacaran dengan Juna, ya?” tanya Anggi dengan manyun.
“Pacaran?” Bibi kaget. “Kau pacaran diam-diam??”
“Aduh, tidak seperti itu, Bibi. Kau salah paham.”
“Ibu, Juna itu salah satu pria-pria kaya yang terkenal di kampus. Waktu Jihan tersesat, Juna orang pertama yang berlari ke arahku dan mencari Jihan.” jelas Anggi.
“Kau sudah punya pacar?” Ulang Bibi pada Jihan.
“Hey, dasar pengacau!” Jihan marah. “Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan anak bisulan itu!”
Tanpa disadari, di sebalah bed Jihan, Juna sedang berbaring. Mereka hanya dibatasi tirai.
“Kau bohong, ya?” Anggi terus mengorek informasi. “Orang pertama yang pabik dan langsung pergi mencarimu itu Juna, bukan Satria. Apa itu tidak aneh?”
“Aneh?” Jihan seolah tidak percaya.
“Kalian ini bicara apa sih?” Bibi menyela. “Dengar ya, siapa pun dia, dia adalah orang baik. Dia menemanimu saat kau tersesat dan menjagamu. Tapi kau tidak boleh pacaran. Kau sudah berjanji setelah kau lulus kuliah, kau akan kembali ke rumah nenek lalu mempertimbangkan lamaran anak kepala desa itu. Ingat janjimu.”
“Iya, Bibi…aku tahu.”
Seorang perawat datang, meminta agar salah satu keluarga Jihan menebus resep ke apotik. Anggi yang disuruh menebusnya. Tinggallah Bibi dan Jihan berdua.
“Aku merasa bertanggung jawab atasmu. Aku yang membujuk Nenek agar menyetujui ide gilamu. Kau memilih kuliah dan bekerja di kota daripada menikah dengan pria mapan di desa. Kalu terjadi sesuatu padamu, aku bisa dibunuh Nenek dan merasa sangat berdosa pada ibumu.”
Jihan diam saja.
“Kenapa hidupmu berat sekali, yah…” Bibi menangis. “Ayahmu sungguh laki-laki tidak bertanggung jawab, meninggalkan ibu dan adikmu begitu saja. Kelaparan, hidup miskin, tidak punya rumah. Kalau ia bertanggung jawab, mungkin kau tidak akan ditinggal ibumu bekerja ke luar negeri dan tidak pernah kembali sampai sekarang tanpa kabar apa pun.”
“Sudahlah, Bi…”
“Kau juga anak nakal. Kau ini perempuan. Menikah saja, selesai penderitaanmu. Kenapa memaksakan diri seperti ini? Kau benar-benar mirip dengan ibumu, keras kepala. Kalau saja ibumu menuruti kata Nenek dan tidak menikah dengan laki-laki itu, kalian tidak akan sengsara dan terpisah seperti ini.”
“Bi, kalau Ayah dan Ibu tidak menikah, maka aku tidak akan lahir.” Jihan manyun. “Anak kepala desa itu memang mapan. Tapi karena harta ayahnya. Nanti kalau ayahnya sudah tidak ada, apa dia bisa menghidupiku? Dia tidak cukup pintar, bagaimana aku bisa menyukainya?”
“Terserah bagaimana penilaianmu. Kau sudah berjanji untuk kembali setelah kau lulus.”
“Iya, aku berjanji untuk mempertimbangkannya.”
“Pada akhirnya kau tetap harus menikah dengannya.”
Jihan diam saja, “mana bisa dia menungguku. Dia pasti sudah menikah dengan perempuan lain.”
“Jihan!” Satria muncul.
Jihan dan Bibi terkejut.
Satria terlihat sangat khawatir. “Kau baik-baik saja?”
Jihan mengangguk. “Maaf ya, Kak. Membuatmu repot.”
“Aku sudah memperingatkanmu, kan? Jangan pergi sendirian. Aku mencarimu kemana-mana. Untunglah kau selamat.”
Jihan tersenyum agak sedih. Ia merasa bersalah karena kejadian itu. Satria pasti merasa terpukul karena diingatkan kembali dengan kejadian hilangnya Rinjani. Padahal Jihan sudah berjanji akan menuruti kata-kata Satria dan tidak akan merepotkannya.
“Bibi, ini Satria. Dia kakak kelasku. Dia ketua perkumpulan mahasiswa pencinta alam.” Jihan memperkenalkan Satria pada Bibi.
Bibi tersenyum mengangguk. Satria ikut mengangguk.
“Maafkan Jihan, ya. Dia memang sedikit nakal.” kata Bibi.
“Bibi…” Jihan merajuk.

Di kamar, Juna memandangi potret ayahnya. Ayahnya memakai seragam pilot kebanggaan Juna. Dulu ayahnya pernah bercerita, ketika ia pulang bekerja, dengan sangat kelelahan dan kehabisan bensin, ia terpaksa jalan kaki menuju rumahnya. Di perjalanan dekat rumah, ia beristirahat di sebuah pohon yang rindang. Tiba-tiba ia mendengar senggukkan seseorang sedang menangis. Ia berputar dan menemukan seorang anak kecil sedang menangis. Anak itu terkejut. Ayah coba menenangkannya dan memastikan agar anak itu tidak merasa terusik.
Anak perempuan itu menangis sambil memakan roti yang kelihatannya sangat lezat. Mereka terlibat beberapa percakapan. Ternyata, anak itu sangat kelaparan dan terpaksa merebut makanan temannya dengan kasar karena takut tidak diberi dan malah dicemooh. Ia menangis karena menyesal dan kasihan, tapi ia terlalu lapar. Ayah bertanya seperti apa anak tetangga itu. Gadis kecil itu menceritakan ciri-cirinya. Tiba-tiba perut ayah berbunyi. Ia juga kelaparan. Anak itu membagi dua rotinya dan memberikannya pada ayah. Sambil tersenyum, ayah menerimanya. Juna bertanya kenapa seorang ayah yang jujur mau menerima makanan hasil rampasan. Ayah bilang, karena ia tahu roti itu milik siapa. Ayah bilang roti itu milik Juna. Gadis itu bernama Jihandra. Ibunya bekerja sebagai tukang cuci di rumah orang. Adiknya yang masih kecil ikut dengan ibunya. Ia sering merasa lapar jadi ia terpaksa melakukan itu. Jadi itu sebabnya ayah menyuruh Juna membawa dua Mozarella Cake dan memberikan satu untuk Jihan.
Tujuh tahun lalu, ayah meninggal karena kecelakaan saat uji coba pesawat baru di maskapai penerbangan tempat ia bekerja. Juna tinggal sebatang kara. Sejak itu Juna berusaha merubah diri menjadi orang yang kuat. Ia tidak ingin dipermainkan lagi. Ia tidak punya saudara siapa pun. Ia belajar karate untuk bela diri, dan merubah penampilan agar tidak dianggap culun. Ia masuk SMP dan bertemu Argha. Lalu bertemu Gilang, Danu dan Kris di SMA. Mereka menjadi akrab hingga sekarang. Ia bisa bertahan hidup karena harta yang ditinggalkan ayahnya, tabungan dan klaim asuransi ayahnya. Itu sudah sangat lebih dari cukup untuk hidupnya. Ia lalu menggunakan uangnya untuk membeli beberapa saham di perusahaan besar sesuai saran dari teman ayah. Teman ayah itu adalah ayahnya Argha. Dengan itu, ia tidak perlu pusing bekerja untuk hidup sendiri, apalagi usianya masih sangat muda.

Jihan pulang ke rumah naik taksi. Satria mengikutinya dari belakang dengan motor. Bibi menawari Satria masuk tapi Satria menolak. Ia sedang ada janji jadi tidak bisa mampir.
Di kamar, Jihan baru saja akan berbaring. Bibi menyerbunya dengan berbagai pertanyaan.
“Apa dia itu pacarmu?” Bibi menginterogasi.
“Siapa?” Jihan tidak mengerti.
“Satria. Dia terlihat sangat perduli padamu.”
Jihan manyun. “Tidak. Dia bukan pacarku. Dia hanya kakak kelas dan dia memang baik.”
“Oh.” Bibi menarik selimut untuk menyelimuti Jihan. “Kau jangan pacaran dengannya, ya!”
“Bibi ini kenapa, sih? Aku kan sudah dewasa, Bi!”
“Hey, kau ini calon istri anak kepala desa! Jangan lupakan itu!”
Jihan merengut.
“Eh, lalu seperti apa Juna itu?”
“Apa? Kenapa Bibi jadi bertanya hal-hal yang aneh?”
“Anggi bilang, dia yang menemanimu saat tersesat di gunung. Dia juga sangat mengkhawatirkanmu. Aku ingin tahu seperti apa orangnya.”
“Tanya saja pada Anggi.”
“Apa dia tinggi? Tampan?”
“Bibi…aku lelah.”
“Baiklah, baiklah.” Bibi berdiri. Ia berjalan menuju pintu. Sebelum ia keluar, “Aku yakin. Dia pasti orang baik.”
Bibi menutup pintu kamar Jihan. Jihan menghela napas. Ia memejamkan mata. Yang terlintas justru Juna. Semua cerita Juna saat di gunung. Semua usaha Juna untuk menolongnya. Semakin Jihan mengingatnya, Jihan justru semakin tidak nyaman. Sesuatu bergejolak dan menolak untuk mengikuti pikirannya. Ia tidak berani terlalu jauh mengingat kebaikan Juna. Ia tidak mau terlalu banyak Juna terlibat dalam hidupnya. Itu membuatnya tersiksa sesuatu.

Bersambung ke Chapter 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya