Mozarella Cake - Chapter 5
Chapter
5
Teman
Tapi Berlawanan
Lanjutan Dari Chapter 4
“Jihan, kau ini
kenapa?” Juna panik.
Jihan berusaha
membuka matanya tapi berat. Dengan lemasnya Jihan berusaha memegang kepalanya.
“Aku harus bagaimana?
Aku tidak punya apa-apa untuk membantumu? Katakan sesuatu apa yang bisa
membantumu?”
Jihan meringis.
“Jihan, kau
harus tetap terjaga. Aku akan mencari jalan.” Juna mengambil posisi. Ia
mendudukkan Jihan lalu menggendongnya di punggung.
“Ibu…Ibu…” Jihan
mengigau. Telapak tangannya panas.
Juna memantapkan
diri dan terus berjalan. “Kau tidak boleh menyerah. Kau harus selamat. Ini hanya
sebuah gunung, masih bisa kau pijak. Ini bukan lautan yang bisa
menenggelamkanmu.”
Juna membawa Jihan
di punggungnya sambil terus berjalan.
“Katakanlah
sesuatu. Bicaralah agar kau tetap terjaga.” kata Juna.
Jihan tidak
merespon.
“Baiklah. Kalau
kau tidak mau bicara sesuatu, biar aku saja.” kata Juna.
“Dulu, aku cuma
seorang anak kecil yang kurus dan punya banyak bisul, bahkan di wajahku. Jika
satu sembuh, maka akan tumbuh di tempat yang lainnya. Aku tidak punya teman
karena mereka merasa jijik padaku. Mereka mengejek dan menjauhiku. Ibu mereka
bilang, bahwa bisul itu bisa menular.”
Juna berjalan
membelah semak-semak. Ia tidak tahu harus kemana, ia hanya berjalan lurus.
Tidak peduli akan berakhir dimana, Juna terus berjalan.
“Aku hanya
bermain sendiri. Suatu hari, aku sedang main di balkon rumahku. Di sana aku
melihat seorang anak kecil sedang bermain ayunan di taman depan rumahku. Dia
kelihatan sangat senang meski pun hanya seorang diri.”
Jihan bungkam.
“Aku selalau
memperhatikannya dari jauh. Hampir setiap hari dia bermain ke situ dan
sendirian. Suatu hari, aku putuskan untuk mencobanya. Mencoba mendekatinya,
siapa tahu dia mau bermain denganku.”
“Itu aku, kan…” batin Jihan.
“Aku
mendekatinya tanpa ragu. Dia menatapku sejenak. Aku takut dia akan mengejekku.
Tapi dia mengacuhkanku lalu kembali asyik berayun sambil bernyanyi. Aku duduk
di tepi kolam pasir dan mendengarkan nyanyiannya. Cukup lama aku
memperhatikannya. Dia tidak terusik. Aku pun mulai berani menegurnya. Aku
bilang, aku juga mau bermain ayunan dan meminta agar bergantian dengannya.”
Juna tersenyum
dan terus berjalan. Ia menemui sedikit jalan berbatu besar. Juna berbelok
menghindari batu yang menghalangi jalannya. Juna kembali berjalan lurus.
“Dia menolak.
Aku bertanya kenapa, dia malah memarahiku karena mengangganggunya. Aku lalu
berpindah agar berada tepat di hadapannya supaya dia berhenti. Ia memang
berhenti. Ia turun lalu kami berhadapan.”
Juna berhenti.
Dilihatnya matahari yang sudah meninggi. Seingatnya, saat di kamp tenda,
matahari berada di lurus di hadapannya atau sebelah timur. Jika ia berjalan ke
arah sebaliknya, ia yakin akan menemukan kamp tenda itu. Juna melanjutkan
perjalanannya.
“Kembali soal
tadi. Saat kami berhadapan, dia bertanya apa mauku. Aku bilang, aku mau main
ayunan. Dia bilang, bahwa dia sudah mengatakan kalau dia tidak mau bergantian.
Aku lalu menyodorkan roti yang kubawa. Aku bilang agar ia mengambil rotiku
sebagai gantinya. Kulihat dia tergoda. Ia menelan ludah melihat rotiku. Ia lalu
turun, merebut dan memakannya. Bodohnya aku, aku hanya diam berdiri
memperhatikannya menghabiskan sarapanku itu. Ia makan dengan sangat cepat.
Setelah habis, aku tersenyum dan menagih kesepakatan awal yang kutawarkan tadi.
Dia menolak. Dia berkilah bahwa dia tidak mengatakan apa pun atau setuju soal
itu. Aku protes bahwa tadi dia sudah menghabiskan rotiku. Dia bilang, itu
kesalahanku. Karena kesal, aku mendorongnya. Meski secara postur tubuhku kurus
dan lebih kecil darinya saat itu, tapi aku berhasil menjatuhkannya.”
Jihan membisu.
“Dia berdiri.
Dia langsung membalasku. Aku terjatuh dan menangis.”
Sunyi.
“Aku sudah
senang dia mau bicara padaku dan tidak berlari melihatku. Dia juga tidak merasa
jijik memakan roti yang sudah kugigit bahkan menghabiskannya. Aku merasa
mendapatkan teman yang menyenangkan. Tapi aku salah. Aku kecewa. Aku menangis
bukan karena terjatuh. Tapi itu membuatku benar-benar merasa bahwa tidak ada
orang yang mau berteman denganku.”
Dari sudut mata Jihan
yang terpejam mengalir setetes air mata. Menelusuri lekuk pipinya dan hilang
terserap setelah jatuh di jaket Juna.
“Tapi aku tidak
jera. Besoknya, aku datang lebih awal ke tempat itu. Aku bermain ayunan dengan
senang sambil menyanyikan lagu anak itu. Ingatanku sangat baik. Baru sekali aku
mendengarnya bernyanyi, aku langsung hapal. Tidak lama, anak itu datang. Aku
memperlambat laju ayunanku dan berhenti bernyanyi. Dia menatapku tajam lalu
menyuruhku turun. Kubilang bahwa itu bukan miliknya. Dia tidak berkomentar lalu
menarikku untuk turun. Aku menyerah. Aku duduk di tepi kolam pasir, memegangi
rotiku dan menunggunya bosan bermain. Cukup lama dia di sana. Lalu dia turun
dan mendekatiku. Kupikir dia akan memintaku bergantian. Dia malah meminta
rotiku. Agak memaksa. Dia bilang, daripada tidak kumakan lebih baik dia makan.
Aku lalu menggigit rotiku dan menyodorkannya. Kupikir, dia akan jijik atau
nekat memakannya. Kalau dia memakannya, berarti aku berhasil mengerjainya.
Tidak kusangka, dia sama sekali tidak merasa jijik padaku. Dia merebutnya dan
kembali asyik berayun sambil memakan rotiku. Aku memintanya untuk bergantian,
dia malah mengacuhkanku. Berkali-kali kukatakan, dia seperti tidak mendengarku.
Aku kesal lalu pulang sambil menangis.”
Juna menaikkan
posisi Jihan yang agak merosot.
“Hah! Besoknya,
aku kembali. Lebih awal dan membawa roti. Ketika dia datang, dengan sendirinya
aku mundur. Dia meminta rotiku seenaknya. Payahnya, kuberikan saja. Aku diam
saja melihatnya berayun sampai bosan. Lalu dia pergi, aku yang berayun. Tidak
lama, karena ternyata membosankan bermain sendirian. Aku ikut pulang juga.”
Juna berhenti
sejenak. Ia mengumpulkan kekuatannya yang terbuang karena mengangkat beban lima
puluh kilogram di punggungnya sambil bicara.
“Begitulah aku
setiap harinya. Tidak pernah bosan menunggunya berhenti bermain lalu giliranku.
Suatu hari aku tidak tahan dengan rasa laparku dan ketika dia meminta rotiku,
aku menolak. Dia marah dan terus memaksa. Aku tetap menolak. Lalu dia merebut
paksa roti itu dariku. Aku terjatuh karena kalah berebut. Aku menangis. Anak
itu lalu pergi meninggalkan aku.”
Juna sadar
sesuatu. Bahwa Jihan mendengarkannya. Ia tersenyum. Ia kembali berjalan.
“Sore harinya,
ayahku pulang. Kuadukan semuanya pada ayah. Dia hanya tersenyum dan
menceritakan sebuah kisah. Tentang seorang anak yang baru ditemuinya. Kemudian
dia menyuruhku untuk memaafkan anak itu. Dia bahkan berjanji akan memberikan
aku roti yang banyak agar aku bisa membawa dua roti setiap harinya. Satu
untukku, satu lagi untuk anak itu. Di hari pertama aku membawa dua roti itu,
aku tidak menemukannya. Lama ia tidak muncul. Lalu aku melihat sebuah truk
membawa barang-barang rumahan. Di depannya kulihat, anak itu duduk dengan raut
wajah sedih seperti habis menangis. Itu terakhir kalinya aku melihat dia.”
Jihan kembali
menitikkan air mata.
Dalam hati Juna
berkata, “bagaimana aku bisa melupakanmu?
Kau orang pertama yang menganggapku biasa saja. Yang tidak merasa jijik padaku.
Yang tidak takut lalu menjauhi aku. Tidak menghindari aku meski kau juga
mengejekku anak bisulan. Hanya setiap kau marah atau memaksa. Meski pun aku
membenci itu, aku tidak bisa melupakannya. Kau masih lebih baik dari teman
sekolahku saat itu hingga SMA. Yang perempuan jijik padaku, yang laki-laki
hanya memanfaatkan uangku.”
“Juna!!!! Jihan!!!!”
sebuah suara terdengar di ujung jalan.
Juna terperanjat. “Kau dengar itu? Kita akan
selamat. Benar kan, kataku?”
“Juna!!! Jihan!!!”
“Iyaaa!!! Kami di sini!!!!” teriak Juna. Juna
menurunkan Jihan dan menyandarkannya di pohon. “Tunggu sebentar!”
Juna memandang
ke arah sumber suara. “Kami di sini!!!” teriaknya.
“Kau dimana???”
tanya suara itu. Terdengar seperti lebih dari satu orang.
Tiba-tiba
sekelompok orang mucul di balik semak dan pohon di ujung jalan. “Itu Juna!!”
Juna melambaikan
tangannya memberi tanda. “Di sini!!!”
Bibi datang ke
UGD RS. Ia panik. Di sebuah bed Jihan
terbaring.
“Jihan…” Bibi
langsung memeluknya. “Nasibmu kok malang sekali, sih…” Bibi menangis.
“Sudah, sudah.
Aku baik-baik saja. Bibi ini kenapa sih?” Jihan berusaha melepaskan diri.
Anggi datang.
“Hey, dimana Juna?”
“Apa?” Jihan
bingung. Bibi ikut bingung.
“Siapa Juna?”
tanya Bibi.
“Kau berpacaran dengan
Juna, ya?” tanya Anggi dengan manyun.
“Pacaran?” Bibi
kaget. “Kau pacaran diam-diam??”
“Aduh, tidak
seperti itu, Bibi. Kau salah paham.”
“Ibu, Juna itu
salah satu pria-pria kaya yang terkenal di kampus. Waktu Jihan tersesat, Juna
orang pertama yang berlari ke arahku dan mencari Jihan.” jelas Anggi.
“Kau sudah punya
pacar?” Ulang Bibi pada Jihan.
“Hey, dasar
pengacau!” Jihan marah. “Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan anak bisulan
itu!”
Tanpa disadari,
di sebalah bed Jihan, Juna sedang
berbaring. Mereka hanya dibatasi tirai.
“Kau bohong,
ya?” Anggi terus mengorek informasi. “Orang pertama yang pabik dan langsung
pergi mencarimu itu Juna, bukan Satria. Apa itu tidak aneh?”
“Aneh?” Jihan
seolah tidak percaya.
“Kalian ini
bicara apa sih?” Bibi menyela. “Dengar ya, siapa pun dia, dia adalah orang
baik. Dia menemanimu saat kau tersesat dan menjagamu. Tapi kau tidak boleh
pacaran. Kau sudah berjanji setelah kau lulus kuliah, kau akan kembali ke rumah
nenek lalu mempertimbangkan lamaran anak kepala desa itu. Ingat janjimu.”
“Iya, Bibi…aku
tahu.”
Seorang perawat
datang, meminta agar salah satu keluarga Jihan menebus resep ke apotik. Anggi
yang disuruh menebusnya. Tinggallah Bibi dan Jihan berdua.
“Aku merasa
bertanggung jawab atasmu. Aku yang membujuk Nenek agar menyetujui ide gilamu.
Kau memilih kuliah dan bekerja di kota daripada menikah dengan pria mapan di
desa. Kalu terjadi sesuatu padamu, aku bisa dibunuh Nenek dan merasa sangat
berdosa pada ibumu.”
Jihan diam saja.
“Kenapa hidupmu
berat sekali, yah…” Bibi menangis. “Ayahmu sungguh laki-laki tidak bertanggung
jawab, meninggalkan ibu dan adikmu begitu saja. Kelaparan, hidup miskin, tidak
punya rumah. Kalau ia bertanggung jawab, mungkin kau tidak akan ditinggal ibumu
bekerja ke luar negeri dan tidak pernah kembali sampai sekarang tanpa kabar apa
pun.”
“Sudahlah, Bi…”
“Kau juga anak
nakal. Kau ini perempuan. Menikah saja, selesai penderitaanmu. Kenapa memaksakan
diri seperti ini? Kau benar-benar mirip dengan ibumu, keras kepala. Kalau saja
ibumu menuruti kata Nenek dan tidak menikah dengan laki-laki itu, kalian tidak
akan sengsara dan terpisah seperti ini.”
“Bi, kalau Ayah
dan Ibu tidak menikah, maka aku tidak akan lahir.” Jihan manyun. “Anak kepala
desa itu memang mapan. Tapi karena harta ayahnya. Nanti kalau ayahnya sudah
tidak ada, apa dia bisa menghidupiku? Dia tidak cukup pintar, bagaimana aku
bisa menyukainya?”
“Terserah
bagaimana penilaianmu. Kau sudah berjanji untuk kembali setelah kau lulus.”
“Iya, aku
berjanji untuk mempertimbangkannya.”
“Pada akhirnya
kau tetap harus menikah dengannya.”
Jihan diam saja,
“mana bisa dia menungguku. Dia pasti
sudah menikah dengan perempuan lain.”
“Jihan!” Satria
muncul.
Jihan dan Bibi
terkejut.
Satria terlihat
sangat khawatir. “Kau baik-baik saja?”
Jihan
mengangguk. “Maaf ya, Kak. Membuatmu repot.”
“Aku sudah
memperingatkanmu, kan? Jangan pergi sendirian. Aku mencarimu kemana-mana.
Untunglah kau selamat.”
Jihan tersenyum
agak sedih. Ia merasa bersalah karena kejadian itu. Satria pasti merasa
terpukul karena diingatkan kembali dengan kejadian hilangnya Rinjani. Padahal Jihan
sudah berjanji akan menuruti kata-kata Satria dan tidak akan merepotkannya.
“Bibi, ini
Satria. Dia kakak kelasku. Dia ketua perkumpulan mahasiswa pencinta alam.” Jihan
memperkenalkan Satria pada Bibi.
Bibi tersenyum
mengangguk. Satria ikut mengangguk.
“Maafkan Jihan,
ya. Dia memang sedikit nakal.” kata Bibi.
“Bibi…” Jihan
merajuk.
Di kamar, Juna
memandangi potret ayahnya. Ayahnya memakai seragam pilot kebanggaan Juna. Dulu
ayahnya pernah bercerita, ketika ia pulang bekerja, dengan sangat kelelahan dan
kehabisan bensin, ia terpaksa jalan kaki menuju rumahnya. Di perjalanan dekat
rumah, ia beristirahat di sebuah pohon yang rindang. Tiba-tiba ia mendengar
senggukkan seseorang sedang menangis. Ia berputar dan menemukan seorang anak
kecil sedang menangis. Anak itu terkejut. Ayah coba menenangkannya dan
memastikan agar anak itu tidak merasa terusik.
Anak perempuan
itu menangis sambil memakan roti yang kelihatannya sangat lezat. Mereka
terlibat beberapa percakapan. Ternyata, anak itu sangat kelaparan dan terpaksa merebut
makanan temannya dengan kasar karena takut tidak diberi dan malah dicemooh. Ia
menangis karena menyesal dan kasihan, tapi ia terlalu lapar. Ayah bertanya
seperti apa anak tetangga itu. Gadis kecil itu menceritakan ciri-cirinya.
Tiba-tiba perut ayah berbunyi. Ia juga kelaparan. Anak itu membagi dua rotinya
dan memberikannya pada ayah. Sambil tersenyum, ayah menerimanya. Juna bertanya
kenapa seorang ayah yang jujur mau menerima makanan hasil rampasan. Ayah
bilang, karena ia tahu roti itu milik siapa. Ayah bilang roti itu milik Juna.
Gadis itu bernama Jihandra. Ibunya bekerja sebagai tukang cuci di rumah orang.
Adiknya yang masih kecil ikut dengan ibunya. Ia sering merasa lapar jadi ia
terpaksa melakukan itu. Jadi itu sebabnya ayah menyuruh Juna membawa dua
Mozarella Cake dan memberikan satu untuk Jihan.
Tujuh tahun
lalu, ayah meninggal karena kecelakaan saat uji coba pesawat baru di maskapai
penerbangan tempat ia bekerja. Juna tinggal sebatang kara. Sejak itu Juna
berusaha merubah diri menjadi orang yang kuat. Ia tidak ingin dipermainkan lagi.
Ia tidak punya saudara siapa pun. Ia belajar karate untuk bela diri, dan
merubah penampilan agar tidak dianggap culun. Ia masuk SMP dan bertemu Argha.
Lalu bertemu Gilang, Danu dan Kris di SMA. Mereka menjadi akrab hingga sekarang.
Ia bisa bertahan hidup karena harta yang ditinggalkan ayahnya, tabungan dan
klaim asuransi ayahnya. Itu sudah sangat lebih dari cukup untuk hidupnya. Ia
lalu menggunakan uangnya untuk membeli beberapa saham di perusahaan besar
sesuai saran dari teman ayah. Teman ayah itu adalah ayahnya Argha. Dengan itu,
ia tidak perlu pusing bekerja untuk hidup sendiri, apalagi usianya masih sangat
muda.
Jihan pulang ke
rumah naik taksi. Satria mengikutinya dari belakang dengan motor. Bibi menawari
Satria masuk tapi Satria menolak. Ia sedang ada janji jadi tidak bisa mampir.
Di kamar, Jihan
baru saja akan berbaring. Bibi menyerbunya dengan berbagai pertanyaan.
“Apa dia itu
pacarmu?” Bibi menginterogasi.
“Siapa?” Jihan
tidak mengerti.
“Satria. Dia
terlihat sangat perduli padamu.”
Jihan manyun.
“Tidak. Dia bukan pacarku. Dia hanya kakak kelas dan dia memang baik.”
“Oh.” Bibi
menarik selimut untuk menyelimuti Jihan. “Kau jangan pacaran dengannya, ya!”
“Bibi ini kenapa,
sih? Aku kan sudah dewasa, Bi!”
“Hey, kau ini
calon istri anak kepala desa! Jangan lupakan itu!”
Jihan merengut.
“Eh, lalu
seperti apa Juna itu?”
“Apa? Kenapa
Bibi jadi bertanya hal-hal yang aneh?”
“Anggi bilang,
dia yang menemanimu saat tersesat di gunung. Dia juga sangat mengkhawatirkanmu.
Aku ingin tahu seperti apa orangnya.”
“Tanya saja pada
Anggi.”
“Apa dia tinggi?
Tampan?”
“Bibi…aku
lelah.”
“Baiklah,
baiklah.” Bibi berdiri. Ia berjalan menuju pintu. Sebelum ia keluar, “Aku
yakin. Dia pasti orang baik.”
Bibi menutup
pintu kamar Jihan. Jihan menghela napas. Ia memejamkan mata. Yang terlintas
justru Juna. Semua cerita Juna saat di gunung. Semua usaha Juna untuk
menolongnya. Semakin Jihan mengingatnya, Jihan justru semakin tidak nyaman.
Sesuatu bergejolak dan menolak untuk mengikuti pikirannya. Ia tidak berani
terlalu jauh mengingat kebaikan Juna. Ia tidak mau terlalu banyak Juna terlibat
dalam hidupnya. Itu membuatnya tersiksa sesuatu.
Bersambung ke Chapter 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar