Mozarella Cake - Chapter 4
Chapter
4
Ketika
Juna Bersama Jihan
Lanjutan Dari Chapter 3
Di kaki Gunung
Gede Pangrango, Bogor. Delapan orang laki-laki dan lima orang perempuan
termasuk Jihan dan Anggi. Jihan sedang melamun memperhatikan Satria memberi
arahan pada peserta.
“Jadi kau ikut
acara ini karena dia?” Juna tiba-tiba mengejutkan dan membuyarkan lamunan Jihan.
Jihan terkejut.
Tenyata Juna juga ikut acara pendakian gunung itu. Tapi sejak berkumpul di
kampus Jihan tidak melihat Juna. Bagaimana bisa?
“Kenapa kau bisa
ada di sini?” tanya Jihan.
“Hah! Juna!!” Anggi nyaris melompat
kegirangan.
“Kenapa?” Juna
berlagak santai menanggapi pertanyaan Jihan. “Tidak ada yang melarangku, kan?”
Jihan memandang
berkeliling. “Kemana teman-temanmu?”
“Mereka liburan
ke luar negeri.”
Jihan hanya
mencibir. “Dengar, ya! Sebaiknya kau jangan mengacau. Atau…”
“Atau apa?” Juna
menantang.
Anggi melempar
pandang pada Jihan. Ia penasaran ingin tahu apa ancaman Jihan untuk Juna.
“Kau pasti tahu
kalau hampir semua perempuan di kampus sangat menyukaimu. Mereka menganggapmu
sempurna. Bagaimana jika mereka tahu seperti apa masa kecilmu?”
Juna menarik
ekspresinya. Ia terlihat tidak suka.
“Aku punya
potretmu waktu itu. Tidak sengaja kutemukan di antara rongsokan mainanku yang
sudah usang. Aku ingin tahu apa mereka akan tetap menyukaimu atau pamormu akan
turun.”
Juna dan Jihan
beradu tatap beberapa detik lamanya. Anggi memandangi keduanya.
“Oke, semuanya! Dua
puluh menit! Periksa kembali perbekalan kalian. Yang mau ke toilet, silahkan
mumpung masih ada toilet!” Satria memberi intruksi. Semua pandangan teralihkan.
Juna menegakkan
tubuhnya. Berpura-pura memijat tengkuk lalu pergi. Jihan tersenyum puas semanis
mungkin. Anggi memperhatikan Juna tidak mengerti.
“Kau serius
punya foto Juna waktu kecil?” tanya Anggi. “Aku boleh lihat tidak?”
“Kau ini
apa-apaan, sih?!” Jihan berbalik lalu pergi.
Anggi menyusul
sambil merengek pada Jihan. Jihan cuek saja. Jihan sengaja duduk di dekat
Satria. Juna memperhatikannya dari jauh. Juna sedang berusaha keras fokus pada
potretnya. Tapi selalu teralihkan pada Jihan dan Satria. Itu mengacaukannya. Ia
memutuskan untuk pergi sedikit menjauh.
“Jihan, apa kau
sudah siap?” tanya Satria.
Jihan
mengangguk. Anggi sedang kelimpungan di sebelah Jihan mencari Juna.
“Aku sangat
siap, Kak!” jawab Jihan.
“Kau tidak ingin
membeli sesuatu untuk di perjalanan? Mumpung kita masih di bawah. Semakin ke
atas, semakin sepi pedagang.”
Jihan tertawa.
“Iya, aku tahu. Tapi Kakak sudah mebekaliku banyak informasi tentang apa yang
harus dan perlu dibawa, jadi aku tenang.”
Satria
tersenyum. “Bagus. Apa kau bawa semuanya?”
Jihan mengangguk
sambil tersenyum.
“Jihan, aku
ingin ke toilet.” Bisik Anggi.
“H-ha?” Jihan
merasa diganggu.
“Cepat. Aku
mendadak tidak tahan.”
Satria menunjuk
arah. “Di sana! Pergilah dan cepat kembali. Kalian tidak boleh terpisah,
sebentar lagi kita naik.”
Anggi menarik Jihan.
Jihan terseok mengikuti.
“Hah, kau ini
mengganggu saja,” keluh Jihan sambil membaca papan petunjuk jalan. “kau kan
bisa pergi sendiri.”
“Aduh…aku
benar-benar sakit perut. Tidak tahan. Cepatlah.”
“Apa katamu?
Sakit perut? Apa itu artinya kau akan lama? Aduh…”
“Sudah, temani
saja aku. Kau lupa untuk apa aku ikut acara membosankan ini? Aku disruuh
menemanimu dan kau tidak akan diijinkan Ibu jika tanpa aku. Hah!”
Jihan manyun.
“Baiklah-baiklah…”
Tidak berapa
lama mereka tiba di toilet. Mereka sempat menunggu sebentar. Lalu Anggi masuk. Jihan
menunggu di luar.
5 menit…10
menit…15 menit…
Jihan tidak
sabar lagi. Ia mengetuk pintu toilet. “Anggi, cepatlah! Nanti kita ditinggal!”
“Iya. Aku juga
tahu tapi perutku masih sakit. Mengertilah…” sahut Anggi.
Jihan merapatkan
jaketnya. Masih di kaki gunung tapi udaranya sudah dingin menusuk tulang. Jihan
mondar-mandir. Beberapa menit kemudian…
“Anggi, cepat gantian!
Aku juga ingin buang air kecil!”
“Iya, sebentar
lagi. Kau cerewet sekali!”
Jihan kembali
mondar-mandir. Toiletnya hanya satu dan tidak ada yang antri lagi selain
mereka. Juna lewat membawa kameranya. Ia melihat Jihan gelisah di depan toilet
umum.
“Anggi,
cepatlah! Aku bisa kelepasan di sini!!” Jihan menggedor pintu toilet.
“Baik, baik. Aku
bersihkan dulu. Ini juga sudah hampir selesai!”
Jihan berjongkok
lalu berdiri. Ia mondar-mandir dan panik. Juna berusaha mendekat mencari tahu
kenapa.
“Anggiii!!!!!!” Jihan
berteriak. Ia pasrah dan menangis.
Anggi keluar. Anggi
syok melihat Jihan yang menangis kesal dengan ekspresi lega. Anggi makin syok
melihat sekitarnya basah dan jeans Jihan juga basah.
“Kau jahat
sekali! Kau tidak tahan, aku mengantarmu. Kenapa giliranku kau tidak mau
mengalah!” omel Jihan sambil menangis.
Juna berhenti
dan tertawa ditahan. Muncul ide untuk membalas Jihan. Juna mengambil foto Jihan
dalam keadaan basah ompol, menangis dan marah-marah di depan toilet dengan
kameranya. Juna sembunyi di balik pohon dan tertawa cekikikan. Ia geli melihat
ekspresi konyol Anggi dan payahnya Jihan menangis sambil mengompol.
Anggi minta maaf.
Ia lalu menyuruh Jihan membersihkan diri dan berganti di dalam toilet. Juna
kembali ke kumpulan mahasiswa. Ia masih sedikit tertawa mengingat kejadian
tadi. Satria menghampirinya.
“Kau lihat Jihan?”
tanya Satria. “Kita sudah siap. Kita akan segera naik.”
“Kau tidak
bertanya soal Anggi?” Juna berhenti tertawa.
“Mereka pergi
berdua. Kalau kau lihat Jihan berarti Anggi juga bersamanya.”
Juna menatap
Satria tanpa menjawab. Tidak lama, Jihan dan Anggi muncul.
“Eh, Kak…maaf
kami lama.” Jihan memecah adu tatap Juna dan Satria.
Anggi
memperhatikan Juna dari dekat. Ia senyam-senyum. “Tampannya…”
“Tidak apa-apa.”
Satria belum melepas tatapannya. “Kau baik-baik saja?”
Satria melempar
senyum pada Jihan. Jihan berekspresi senang lalu mengangguk seperti anak kecil.
Juna buang muka lalu pergi tanpa bicara. Anggi terkejut, ia nyaris menyusul Juna.
Pendakian
dimulai. Satria kembali memastikan seluruh peserta pendakian. Delapan orang
laki-laki dan lima orang perempuan. Ia juga memberi arahan dan petunjuk
keselamatan sebelum mendaki. Beberapa menit kemudian, mereka mulai mendaki.
Jihan sengaja
berjalan di dekat Satria sambil menggandeng Anggi. Anggi malah sibuk mencari Juna
yang mendaki sendirian di belakang. Sesekali Anggi tersandung karena tidak
memperhatikan jalan dan memperhatikan Juna terus. Satria terkekeh melihat sikap
Anggi.
“Kau ini!
Perhatikan jalanmu!” omel Jihan.
“Kau yang harus
memperhatikan aku. Kau sibuk dengan Satria, aku diacuhkan.” Anggi membersihkan
jeansnya.
“Kita memang
harus memperhatikan Satria. Karena dia ketua pendakian ini.”
“Baik-baik. Tapi
tidak semua sefokus kau saat memperhatikan Satria. Sekarang, kalau kau kasihan
padaku, harusnya kau lepaskan aku. Biar aku bisa menemani Juna.”
Jihan melihat Juna.
Juna tampak baik-baik saja meski ia berjalan paling belakang dan sendirian. Juna
malah sedang asik memotret objek apa saja dengan kamera mahalnya.
“Tidak. Kau
disuruh menemaniku, bukan aku menemanimu. Lagi pula Juna baik-baik saja.”
“Dia kasihan.
Tidak punya teman. Kau tidak lihat dia menghibur diri hanya dengan kameranya?”
Sekali lagi Jihan
melihat Juna. Masih terlihat baik-baik saja.
“Aku tidak
mengerti kenapa dia ikut acara membosankan ini. Kalau aku jadi dia, aku lebih
suka pergi bersama teman-temanku dari pada terasing seperti ini.”
Juna berjalan
menyusul. Ia berhenti melihat Jihan dan Anggi memperhatikannya. Juna
menghampiri.
“Kenapa
berhenti?” tanya Juna sesampainya.
“Apa kau
kesepian?” tanya Jihan.
Juna tertawa
meledek. “Apa maksudmu?”
“Nah, kau lihat
kan?” Jihan menoleh pada Anggi. “Dia tidak kesepian. Sudah, biarkan saja dia.”
Jihan pergi
meninggalkan Juna dan Anggi. Anggi mematung memperhatikan Juna. Juna diam
melihat kepergian Jihan. Anggi mengikuti pandangan Juna.
“Kau…sebenarnya
baik.” kata Anggi.
“Hm?” Juna
menoleh pada Anggi.
“Kau mau
memenuhi permintaanku untuk memaafkan Jihan. Sekali lagi, maafkan sikapnya.”
“Anggi!!” Jihan memanggil
Anggi.
“Ma-maaf, aku
duluan!” Anggi pergi.
Pendakian terus
berlanjut dengan santai. Sesekali mereka berhenti di tempat tertentu dan saling
memastikan kelengkapan peserta. Satria tidak pernah jauh dari Jihan. Satria
terlihat sangat peduli dan perhatian pada Jihan. Anggi justru kasihan melihat Juna
yang memisahkan diri dari rombongan.
Mereka
beristirahat sejenak. Memakan bekal secukupnya. Lalu kembali mendaki. Juna hanya
minum air lalu sibuk memotret lagi. Anggi memisahkan diri dari Jihan. Ia
mendekati Juna. Anggi senyum-senyum. Juna berhenti memotret dan melihat aneh
pada Anggi.
Anggi
menyodorkan sebuah bingkisan. “Ini roti terenak yang pernah kubeli. Kulihat kau
belum makan. Apa kau mau?”
Juna
menggelembungkan permen karet dari mulutnya. Lalu dipecahkan dan menimbulkan
suara. Juna kembali mengunyah. “Aku tidak lapar.”
Jihan selesai
bicara dengan Satria. Ia baru sadar Anggi menghilang. Ia mencari berkeliling.
Ia sudah menduga Anggi pasti mencari Juna. Jihan membiarkannya. Ia terus
berjalan mengikuti rombongan. Anggi mengikuti Juna yang menyusul rombongan. Ia
senyum-senyum bisa berjalan di dekat Juna.
Mereka terus
berjalan hingga hari menjelang sore. Mereka berhenti di sebuah tempat yang
cukup luas dan nyaman untuk beristirahat. Beberapa melepaskan tasnya dan
membuka bekal kedua. Beberapa diantaranya mencari pohon untuk bersandar.
“Karena hari
mulai gelap. Kita berhenti di sini. Perjalanan kita lanjutkan nanti pagi. Yang
bawa tenda darurat, silahkan dirikan.” Satria memberi arahan.
Hanya ada tiga
tenda kecil. Dua untuk laki-laki, satu untuk perempuan. Satria membagi tugas
kepada laki-lakinya. Juna kebagian mencari kayu. Ia pergi bersama seorang
lainnya mencari kayu.
Jihan dan Anggi
sedang mencuci beras untuk makan malam mereka. Beberapa perempuan lainnya yang
merupakan kakak kelas sedang menyiapkan makan malam.
Hari semakin
senja dan menjelang malam. Mereka berkumpul sambil bernyanyi dan bermain gitar.
Ada juga yang tertidur atau main game
di ponsel. Satria maju ke tengah-tengah tenda.
“Tolong
perhatiannya sebantar! Kita akan ada acara malam keakraban dan api unggun. Kita
kumpul di sini sepuluh menit lagi.” Satria memberi informasi di tengah kamp.
“Bagi yang punya kepentingan silahkan selesaikan dulu.”
Semuanya
mengangguk termasuk Jihan dan Anggi.
“Hah…kalau bukan
karena Ibu, aku tidak akan ikut acara ini,” Anggi mengeluh. “juga kalau bukan
karena Juna juga ikut, aku tidak akan sekuat ini berusaha bertahan.”
Jihan mencibir.
“Kalau begitu tidak usah mengeluh. Kau kan juga mendapat keuntungan.”
“Tapi, aku tidak
mengerti kenapa hanya Juna sendirian. Bukankah itu aneh?”
Jihan melihat ke
tenda Juna. Tendanya terbuka. Juna tidak di dalamnya. Ia sedang memotong kayu
untuk membuat api unggun.
“Apa yang aneh?”
tanya Jihan.
“Ada apa dengan
teman-temannya?” Anggi memperhatikan Juna.
Jihan mengangkat
bahu. “Aku ingin buang air kecil. Kau mau ikut tidak?”
“Hah…kau
mengganggu saja. Aku sedang menikmati keindahan ciptaan Tuhan.” Anggi
senyum-senyum.
Jihan menelusuri
pandangan Anggi. “Juna?”
Anggi
mengangguk.
“Sudahlah. Dia
itu sombong. Tidak pantas untukmu. Ayo, antar aku mencari tempat! Aku sudah
tidak tahan.” Jihan menarik-narik tangan Anggi. Ia juga membawa sebotol air
untuk membersihkan diri nanti.
“Ah, kau ini…” Anggi
terpaksa berdiri.
“Kalian mau
kemana?” tanya Satria. Satria sedang merapikan kayu bakar untuk api unggun.
“A-aku…” Jihan
bingung.
“Dia ingin buang
air kecil, Kak.” Jawab Anggi.
Jihan nyengir
sambil mencubit tangan Anggi. Juna melihat sejenak lalu kembali membelah kayu
dengan kapak.
“Ya sudah.
Jangan jauh-jauh dan jangan lama-lama.” kata Satria.
Jihan
mengangguk. Jihan menarik Anggi yang masih terpesona pada Juna. Jihan
menelusuri semak dan melewati beberapa pohon besar. Anggi menyinari jalan
dengan lampu sorotnya.
“Apa sudah cukup
jauh?” tanya Anggi.
“Belum. Kau
masih bisa melihat mereka, kan?” Jihan terus berjalan. “Aku takut nanti pagi,
mereka lewat jalan ini dan mencium bau pesing. Aku akan dipermalukan.”
“Tapi ini sudah
cukup jauh.”
“Kau ini cerewet
sekali!” omel Jihan. “Ya sudah. Kau awasi saja di sini. Aku akan berjalan
sedikit lagi.”
“Ya sudah. Lagi
pula aku masih bisa melihat Juna dari sini.”
“Dasar.” Gerutu Jihan.
Jihan terus berjalan. Tiba-tiba lampu sorotnya padam. “Uh, pasti habis baterai.
Aduh…aku sudah tidak tahan…”
Jihan memandang
berkeliling. Ia melihat sebuah pohon besar beberapa meter jauhnya. Jihan
berlari ke arah pohon itu. Jihan kembali memandang berkeliling. Jihan
berjongkok. Tidak lama kemudian ia menghela napas lega.
“Selesai.” Jihan
berdiri. Tanpa sadar lampu sorotnya terjatuh dan bergelinding. Jihan tidak bisa
melihat. Ia membelah tiap semak sambil berjongkok mencari lampu sorotnya. Jihan
melihat sebuah benda yang mirip dengan gagang lampu sorotnya. Jihan mendekat.
Ketika semak dibuka, Jihan terkejut.
“Aaaaa!!!” Jihan
menjerit dan terjatuh.
Ternyata seekor
ular yang sedang melingkar. Ular itu mendesiskan lidahnya dan mengambil posisi
menyerang.
“Jihan?!” panggil
Anggi yang samar mendengar suara Jihan berteriak.
Jihan ketakutan.
Ia berlari menjauhi ular. Karena gelap dan takut bertemu ular lainnya, Jihan
berlari tidak melihat arah.
Juna berhenti
membelah kayu. Ia memandang ke arah Jihan dan Anggi pergi. Suasana kamp yang
ramai membuatnya sedikit tidak jelas. Di kegelapan arah Jihan dan Anggi pergi.
Muncul kelebatan cahaya yang tidak beraturan. Juna melepas kapaknya. Ia berlari
menuju sumber cahaya. Juna menembus semak dan pepohonan. Anggi berlari dan
menabrak Juna.
“Ada apa?” Juna
menangkap Anggi.
“Ji-Jihan!”
“Kemana Jihan?
Dimana dia??” Juna panik.
Anggi menunjuk
arah. “Tadi di sana. Lalu dia berteriak dan hilang.”
Tanpa berkata
apa pun Juna berlari ke arah yang ditunjuk Anggi.
“Jihan!!” teriak
Juna setelah cukup jauh tidak menemukan Jihan. Juna mengeluarkan ponselnya di
saku. Ia membuat cahaya mencari Jihan.
Anggi sampai di
kamp dan memberi tahu soal Jihan pada Satria. Satria lalu membentuk tim untuk
mencari Jihan. Ia juga membuat persiapan. Satria terlihat pucat. Ia agak trauma
dengan kehilangan Rinjani. Sebuah pukulan berat lagi jika Jihan juga hilang
seperti Rinjani. Terlebih keduanya sangat mirip.
“Jihan!!” Juna
masih mencari. Ia mengikuti semak-semak yang dahannya patah dan tampak
terbelah. Juna juga sampai di pohon besar tempat Jihan berkemih. Ia menemukan
lampu sorot Jihan yang terjatuh. Tapi Juna tidak menemukan ular yang dilihat Jihan.
Juna kembali
berlari ke arah semak yang dahannya berantakan tidak alami.
“Jihan!!” teriak
Satria dan teman-temannya bersahutan. Mereka berpencar mencari Jihan.
Juna semakin
jauh mencari tapi tidak ada tanda-tanda. Ia menemui jalan buntu. Tidak ada
semak lagi. Hanya pohon-pohon besar dengan akarnya yang besar pula.
“Jihan!!” teriak
Juna lagi.
Hening.
Terdengar samar suara orang merintih.
“Jihan??” Juna
memastikan suara itu.
Tidak ada
sahutan. Juna berlari ke setiap penjuru tapi nihil. Ia berlari lurus dan
mendadak berhenti. Ia nyaris terjerembab. Tanahnya menurun. Pohon-pohon di
sekitarnya pun miring meski akarnya kokoh. Juna melongok ke bawah.
“Jihan!!” Juna
terkejut.
Jihan ada di
sana. Ia berpegangan pada akar pohon. Seekor kalajengking hitam berada di
punggung tangannya. Jihan menangis ketakutan sambil memandang Juna berharap Juna
menolongnya. Juna memandang berkeliling. Ia mencari sesuatu. Juna pergi.
“Juna, jangan pergi. Kumohon…” Jihan menangis.
Juna kembali. Ia
membawa sebatang kayu. Juna berbaring di tanah. Ia menjulurkan kayu itu. Jihan
memejamkan mata ketakutan. Juna mengusik kalajengking itu agar pergi menjauh
dari tangan Jihan. Juna berhasil. Setelah lepas dari tangan Jihan, Juna memukul
kalajengking itu agar terpental jauh dari Jihan. Juna membuang kayunya. Ia
menjulurkan tangannya pada Jihan. Jihan membuka mata. Kalajengkingnya sudah
tidak ada.
“Pegang tanganku!” kata Juna kemudian.
Jihan hanya
menangis sambil melihat ke arah Juna.
“Cepat!”
Jihan berusaha
meraih tangan Juna dengan sebelah tangan. Juna meraihnya.
“Tahan sedikit,
aku akan mengangkatmu!”
Jihan meringis. Juna
menarik tubuh Jihan sampai benar-benar terangkat seluruhnya. Jihan selamat dan
menepi. Juna terlentang kelelahan di tanah. Jihan menghapus air matanya dan
duduk di sebalah Juna.
Jihan memandang
berkeliling. “Kau sendiri?”
“Apa kau lihat
ada orang lain di belakangku?” Juna mengambil posisi duduk.
Jihan diam
sejenak. “Kenapa kau menolongku?”
Juna tertawa
dengan napas tersengal. “Apa kau tidak bisa mengatakan hal lain selain bertanya
yang tidak penting?”
Jihan diam
menatap dalam Juna.
“Kau berharap
orang lain?”
Jihan berkedip
lalu melempar pandang ke sisi lain.
“Aku…tidak akan
membiarkanmu mati...”
Jihan menoleh ke
arah Juna.
“Semudah dan
secepat itu.” Juna memandang Jihan dengan tatapan mengejek.
Jihan kembali
berpaling.
“Kau masih
berhutang penghinaan dan penderitaan padaku. Aku tidak akan melepaskanmu begitu
saja.”
“Tapi aku tidak
merasa berhutang padamu.”
“Tentu tidak.
Kau orang yang paling tidak pernah merasa bersalah. Dan aku banyak berguru
padamu.”
Jihan merunduk.
Ia mendekap kedua kakinya dan membenamkan wajahnya. Juna terdiam memandangi Jihan.
Hati kecilnya, sebenarnya bukan itu maksudnya. Ia khawatir pada Jihan. Ia tidak
mengakuinya betapa sebenarya ia tidak ingin membuat Jihan sedih.
“Kenapa
menangis?”
Jihan diam.
“Bukankah kau
orang yang merasa sangat kuat soal yang seperti ini?”
Jihan mengangkat
kepalanya, mengusap air matanya. “Baiklah. Kalau begitu. Ayo kita lanjutkan!” Jihan
berdiri dan berjalan entah kemana.
“Hey, kau mau
kemana?”
“Pulang. Aku
tidak mau bermalam dengan orang yang ingin menghina dan membuatku dalam
penderitaan.”
“Memang kau tahu
arah?” Juna mengikuti. Ia mengecek ponselnya. “Ahk! Hutan macam apa ini! Tidak
ada signal sama sekali!”
Di bawah pohon
rindang, hanya bercahayakan bulan. Untung sedang bulan purnama dan langit
tampak terlihat jelas di sini.
“Aku rasa ini
tempat yang pas untuk menunggu bantuan.”
“Ide bagus. Aku
akan mengawasimu, kalau-kalau kau berbuat macam-macam.”
Juna mengejek.
“Kau bahkan tidak cukup cantik untuk kugoda.”
“Apa katamu?”
“Kau ini tuli
atau bodoh sih? kuulangi yah, kau bahkan tidak cukup cantik untuk kugoda! Hah!
Dengar itu?”
Jihan merengut
lalu duduk di akar pohon besar. Juna duduk di sisi lain. Agak lama keduanya
diam. Juna tiba-tiba melempar lampu sorot ke kaki Jihan.
“Daripada
melamun. Ayo kita bermain jujur atau berani!”
Jihan
mengacuhkannya. “Dasar anak kecil!”
“Kalau begitu
lakukan sesuatu supaya tidak membosankan!”
“Aku tidak mau!”
“Dasar payah!
Bilang saja kau penakut. Tidak mau jujur dan penakut!”
“Baik, baik! Ayo
kita mainkan! Aku ingin tahu seberapa beraninya dirimu!”
Juna tersenyum. Lampu
sorot diputar. Sorotannya berhenti ke arah Juna.
“Rasakan itu!”
“Aku tidak
takut!”
“Kalau begitu
kau pilih apa?”
“Berani!”
“Huuu…pria
pemberani rupanya kau ya! Kau bisa memanjat tidak?”
“Apa?”
“Aku bilang, kau
bisa memanjat tidak? Hah? Hah?”
“Oh, kau
menantangku ya??”
“Kalau begitu,
panjat pohon ini!”
Juna
memperhatikan pohon besar yang akarnya menjadi tempat mereka duduk bersama.
“Malam-malam
begini, kau suruh aku memanjat pohon besar itu?”
“Kenapa? Takut?”
“Kau yakin?
Maksudku, kalau aku berhasil sampai di atas, apa kau tidak ketakutan di bawah
sendirian? Bisa saja ada ular.”
Jihan bergidik
mengingat kejadian ular tadi. “Kau banyak alasan.”
“Aku hanya
mengingatkanmu saja. Baiklah kalau begitu…” Juna bersiap memanjat.
“Tunggu! Kau
jujur saja!”
Juna tersenyum
lalu duduk. “Baiklah. Kau mau tanya apa?”
Jihan cemberut.
“Kenapa kau sangat menyebalkan?”
“Apa?”
“Kau ini
benar-benar tuli ya?”
“Maksudku,
kenapa semudah itu pertanyaannya.”
“Iya, kenapa kau
sangat menyebalkan dan terus menggangguku?”
“Bukankah sudah
kukatakan. Aku harus membalasmu. Dulu kau menghina dan menggangguku. Sekarang
takdir mempertemukan kita dengan keadan 180 derajat berbalik. Bukankah itu
indah?”
Jihan
mengernyitkan dahinya.
“Ya, indah. Aku
bisa membalasmu dan itu sebuah kepuasan luar biasa.”
Jihan memutar
lampu sorot tanpa berkomentar.
“Hey, tunggu!
Itu giliranku!” Juna merebut dan memutar lampu sorotnya.
“Senjata makan
tuan!” Jihan mengejek Juna yang kena giliran lagi. “Kau pilih apa?”
“Terserah kau
saja.”
“Aku tidak
tertarik bertanya apa pun padamu.”
“He? Kenapa
begitu?”
“Aku tidak
tertarik untuk mengetahui apa pun tentangmu.”
“Ya sudah,
kerjai saja aku.”
“Menarilah
sekonyol mungkin.” Jihan tersenyum.
“Menari?”
“Kenapa? Kau
penari yang pemalu ya?”
Juna berdiri.
Tiba-tiba muncul akal liciknya. Ia membuka jaket dan membuka satu per satu
kancing bajunya.
“Hey, aku suruh
kau menari kenapa membuka bajumu?”
“Aku tidak
pandai menari. Tapi aku pernah melihat aksi penari erotis. Apa kau mau lihat?”
“Sudah hentikan!
Dasar bodoh!” Jihan melempari Juna dengan ranting sedapatnya di sekitar pohon.
Juna tertawa
berhasil mengerjai Jihan. Juna kembali memutar. Kali ini giliran Jihan.
“Awas kalau kau
berani macam-macam denganku!” ancam Jihan sambil melihat tatapan senang Juna.
“Kau mau pilh
apa?”
“Jujur.”
“Baiklah, Nona Jujur,
dengarkan baik-baik,” Juna berlagak mikir. “Kau pernah pacaran? Kapan dan
dengan siapa?”
Jihan
mengernyitkan dahi. “Tidak pernah.”
Juna tertawa
meledek. “Kau lucu sekali. Sudah setua ini belum pernah pacaran. Jangan
bercanda. Ayo jawab yang jujur.”
“Aku bukan
pembohong dan perayu tengik sepertimu.”
Juna berhenti
tertawa. “Kalau begitu, apa kau pernah menyukai seseorang? Kapan terakhir
kalinya?”
“Entahlah.”
“Apa?
Jangan-jangan kau ini penyuka sejenis ya?”
“Jangan
sembarangan. Aku perempuan normal.”
“Masak kau tidak
yakin pernah menyukai seseorang atau tidak.”
“Kau terlalu
banyak bertanya. Sudah putar lagi.”
Jihan memutar
lampu sorot. Kembali Jihan mendapat giliran.
“Baiklah. Ini
semakin seru saja.” Juna sudah mempersiapkan pertanyaan. “Apa menurutmu aku ini
tampan?”
Jihan melotot.
“Aku anggap
jawabanmu iya. Kalau aku tampan, kenapa kau membenciku bukan menyukaiku?”
“Kau sudah gila.
Sudahlah, aku bosan.” Jihan mengakhiri permainannya tanpa menjawab.
Juna diam saja. Keduanya
terdiam di dua sisi berbeda. Juna memandangi langit lepas.
“Aku juga bosan.
Setiap ke kampus, banyak mata memandangku aneh. Rasanya seperti artis
terkenal.” Juna nyengir. “Orang yang sedang di atas awan, bisa dilihat banyak
orang dan dicintai siapa saja. Akan sangat mudah mendapatkan teman. Tapi itu
tidak selamanya. Ketika dia jatuh menyentuh bumi sekali pun, tidak akan ada orang yang benar-benar perduli padamu. Di
saat itulah, kau baru bisa melihat siapa yang benar-benar temanmu.”
Jihan diam mendengarkan.
Juna pura-pura mengantuk, ia lalu mengatur posisi untuk tidur. Ia tidur
membelakangi Jihan. Setelah cukup lama, Jihan memastikan Juna sudah tidur. Ia
melempar batu kecil ke punggung Juna. Juna memjamkan matanya dan pura-pura
tidur. Jihan kelelahan. Ia tidur menghadap Juna dan bersandar di pohon.
Akhirnya ia tidur kelelahan. Setelah cukup lama, Juna berbalik memastikan Jihan
sudah benar-benar tertidur. Ia tersenyum melihat wajah polos kelelahanya Jihan.
Juna lalu terlentang, melipat tangan untuk alas kepalanya lalu mencoba untuk
tidur.
Hari sudah
hampir pagi, Juna terbangun karena ingin berkemih. Ia melihat ke arah Jihan
yang masih tertidur membelakangi Juna.
“Hey!” panggil Juna.
“Aku mau buang air kecil. Kalau ada apa-apa panggil saja aku.”
Jihan diam saja.
“Mungkin dia masih tidur,” pikir Juna. Ia lalu pergi mencari tempat aman untuk
berkemih.
Tidak lama
kemudian, Juna kembali. Ia tidur kembali karena masih mengantuk.
Matahari terbit.
Cahaya menerobos dedaunan dan menyilaukan Juna. Juna terbangun. Ia meregangkan
tubuhnya. Ia berdiri sambil melakukan sedikit pemanasan. Diliriknya Jihan.
Masih tertidur dengan posisi yang sama.
“Kau lumayan
pemalas juga ya,” kata Juna. “sudah setinggi ini matahari, kau masih tertidur.”
Jihan masih diam.
“Hey Jihan, ayo
bangun!” Juna mulai khawatir. Juna membalikkan tubuh Jihan.
Melihat Jihan
yang pucat, Juna mengira Jihan sakit. Ia meraba kening Jihan. Keningnya panas. Juna
meraih telapak tangan Jihan, dirasai suhu tubuh Jihan melalui telapak tangan
dan pergelangan tangannya. Semuanya panas. Bibir Jihan memutih.
Bersambung ke Chapter 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar