18 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 4



Chapter 4
Ketika Juna Bersama Jihan

Lanjutan Dari Chapter 3

Di kaki Gunung Gede Pangrango, Bogor. Delapan orang laki-laki dan lima orang perempuan termasuk Jihan dan Anggi. Jihan sedang melamun memperhatikan Satria memberi arahan pada peserta.
“Jadi kau ikut acara ini karena dia?” Juna tiba-tiba mengejutkan dan membuyarkan lamunan Jihan.
Jihan terkejut. Tenyata Juna juga ikut acara pendakian gunung itu. Tapi sejak berkumpul di kampus Jihan tidak melihat Juna. Bagaimana bisa?
“Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Jihan.
 “Hah! Juna!!” Anggi nyaris melompat kegirangan.
“Kenapa?” Juna berlagak santai menanggapi pertanyaan Jihan. “Tidak ada yang melarangku, kan?”
Jihan memandang berkeliling. “Kemana teman-temanmu?”
“Mereka liburan ke luar negeri.”
Jihan hanya mencibir. “Dengar, ya! Sebaiknya kau jangan mengacau. Atau…”
“Atau apa?” Juna menantang.
Anggi melempar pandang pada Jihan. Ia penasaran ingin tahu apa ancaman Jihan untuk Juna.
“Kau pasti tahu kalau hampir semua perempuan di kampus sangat menyukaimu. Mereka menganggapmu sempurna. Bagaimana jika mereka tahu seperti apa masa kecilmu?”
Juna menarik ekspresinya. Ia terlihat tidak suka.
“Aku punya potretmu waktu itu. Tidak sengaja kutemukan di antara rongsokan mainanku yang sudah usang. Aku ingin tahu apa mereka akan tetap menyukaimu atau pamormu akan turun.”
Juna dan Jihan beradu tatap beberapa detik lamanya. Anggi memandangi keduanya.
“Oke, semuanya! Dua puluh menit! Periksa kembali perbekalan kalian. Yang mau ke toilet, silahkan mumpung masih ada toilet!” Satria memberi intruksi. Semua pandangan teralihkan.
Juna menegakkan tubuhnya. Berpura-pura memijat tengkuk lalu pergi. Jihan tersenyum puas semanis mungkin. Anggi memperhatikan Juna tidak mengerti.
“Kau serius punya foto Juna waktu kecil?” tanya Anggi. “Aku boleh lihat tidak?”
“Kau ini apa-apaan, sih?!” Jihan berbalik lalu pergi.
Anggi menyusul sambil merengek pada Jihan. Jihan cuek saja. Jihan sengaja duduk di dekat Satria. Juna memperhatikannya dari jauh. Juna sedang berusaha keras fokus pada potretnya. Tapi selalu teralihkan pada Jihan dan Satria. Itu mengacaukannya. Ia memutuskan untuk pergi sedikit menjauh.
“Jihan, apa kau sudah siap?” tanya Satria.
Jihan mengangguk. Anggi sedang kelimpungan di sebelah Jihan mencari Juna.
“Aku sangat siap, Kak!” jawab Jihan.
“Kau tidak ingin membeli sesuatu untuk di perjalanan? Mumpung kita masih di bawah. Semakin ke atas, semakin sepi pedagang.”
Jihan tertawa. “Iya, aku tahu. Tapi Kakak sudah mebekaliku banyak informasi tentang apa yang harus dan perlu dibawa, jadi aku tenang.”
Satria tersenyum. “Bagus. Apa kau bawa semuanya?”
Jihan mengangguk sambil tersenyum.
“Jihan, aku ingin ke toilet.” Bisik Anggi.
“H-ha?” Jihan merasa diganggu.
“Cepat. Aku mendadak tidak tahan.”
Satria menunjuk arah. “Di sana! Pergilah dan cepat kembali. Kalian tidak boleh terpisah, sebentar lagi kita naik.”
Anggi menarik Jihan. Jihan terseok mengikuti.
“Hah, kau ini mengganggu saja,” keluh Jihan sambil membaca papan petunjuk jalan. “kau kan bisa pergi sendiri.”
“Aduh…aku benar-benar sakit perut. Tidak tahan. Cepatlah.”
“Apa katamu? Sakit perut? Apa itu artinya kau akan lama? Aduh…”
“Sudah, temani saja aku. Kau lupa untuk apa aku ikut acara membosankan ini? Aku disruuh menemanimu dan kau tidak akan diijinkan Ibu jika tanpa aku. Hah!”
Jihan manyun. “Baiklah-baiklah…”
Tidak berapa lama mereka tiba di toilet. Mereka sempat menunggu sebentar. Lalu Anggi masuk. Jihan menunggu di luar.
5 menit…10 menit…15 menit…
Jihan tidak sabar lagi. Ia mengetuk pintu toilet. “Anggi, cepatlah! Nanti kita ditinggal!”
“Iya. Aku juga tahu tapi perutku masih sakit. Mengertilah…” sahut Anggi.
Jihan merapatkan jaketnya. Masih di kaki gunung tapi udaranya sudah dingin menusuk tulang. Jihan mondar-mandir. Beberapa menit kemudian…
“Anggi, cepat gantian! Aku juga ingin buang air kecil!”
“Iya, sebentar lagi. Kau cerewet sekali!”
Jihan kembali mondar-mandir. Toiletnya hanya satu dan tidak ada yang antri lagi selain mereka. Juna lewat membawa kameranya. Ia melihat Jihan gelisah di depan toilet umum.
“Anggi, cepatlah! Aku bisa kelepasan di sini!!” Jihan menggedor pintu toilet.
“Baik, baik. Aku bersihkan dulu. Ini juga sudah hampir selesai!”
Jihan berjongkok lalu berdiri. Ia mondar-mandir dan panik. Juna berusaha mendekat mencari tahu kenapa.
“Anggiii!!!!!!” Jihan berteriak. Ia pasrah dan menangis.
Anggi keluar. Anggi syok melihat Jihan yang menangis kesal dengan ekspresi lega. Anggi makin syok melihat sekitarnya basah dan jeans Jihan juga basah.
“Kau jahat sekali! Kau tidak tahan, aku mengantarmu. Kenapa giliranku kau tidak mau mengalah!” omel Jihan sambil menangis.
Juna berhenti dan tertawa ditahan. Muncul ide untuk membalas Jihan. Juna mengambil foto Jihan dalam keadaan basah ompol, menangis dan marah-marah di depan toilet dengan kameranya. Juna sembunyi di balik pohon dan tertawa cekikikan. Ia geli melihat ekspresi konyol Anggi dan payahnya Jihan menangis sambil mengompol.
Anggi minta maaf. Ia lalu menyuruh Jihan membersihkan diri dan berganti di dalam toilet. Juna kembali ke kumpulan mahasiswa. Ia masih sedikit tertawa mengingat kejadian tadi. Satria menghampirinya.
“Kau lihat Jihan?” tanya Satria. “Kita sudah siap. Kita akan segera naik.”
“Kau tidak bertanya soal Anggi?” Juna berhenti tertawa.
“Mereka pergi berdua. Kalau kau lihat Jihan berarti Anggi juga bersamanya.”
Juna menatap Satria tanpa menjawab. Tidak lama, Jihan dan Anggi muncul.
“Eh, Kak…maaf kami lama.” Jihan memecah adu tatap Juna dan Satria.
Anggi memperhatikan Juna dari dekat. Ia senyam-senyum. “Tampannya…”
“Tidak apa-apa.” Satria belum melepas tatapannya. “Kau baik-baik saja?”
Satria melempar senyum pada Jihan. Jihan berekspresi senang lalu mengangguk seperti anak kecil. Juna buang muka lalu pergi tanpa bicara. Anggi terkejut, ia nyaris menyusul Juna.
Pendakian dimulai. Satria kembali memastikan seluruh peserta pendakian. Delapan orang laki-laki dan lima orang perempuan. Ia juga memberi arahan dan petunjuk keselamatan sebelum mendaki. Beberapa menit kemudian, mereka mulai mendaki.
Jihan sengaja berjalan di dekat Satria sambil menggandeng Anggi. Anggi malah sibuk mencari Juna yang mendaki sendirian di belakang. Sesekali Anggi tersandung karena tidak memperhatikan jalan dan memperhatikan Juna terus. Satria terkekeh melihat sikap Anggi.
“Kau ini! Perhatikan jalanmu!” omel Jihan.
“Kau yang harus memperhatikan aku. Kau sibuk dengan Satria, aku diacuhkan.” Anggi membersihkan jeansnya.
“Kita memang harus memperhatikan Satria. Karena dia ketua pendakian ini.”
“Baik-baik. Tapi tidak semua sefokus kau saat memperhatikan Satria. Sekarang, kalau kau kasihan padaku, harusnya kau lepaskan aku. Biar aku bisa menemani Juna.”
Jihan melihat Juna. Juna tampak baik-baik saja meski ia berjalan paling belakang dan sendirian. Juna malah sedang asik memotret objek apa saja dengan kamera mahalnya.
“Tidak. Kau disuruh menemaniku, bukan aku menemanimu. Lagi pula Juna baik-baik saja.”
“Dia kasihan. Tidak punya teman. Kau tidak lihat dia menghibur diri hanya dengan kameranya?”
Sekali lagi Jihan melihat Juna. Masih terlihat baik-baik saja.
“Aku tidak mengerti kenapa dia ikut acara membosankan ini. Kalau aku jadi dia, aku lebih suka pergi bersama teman-temanku dari pada terasing seperti ini.”
Juna berjalan menyusul. Ia berhenti melihat Jihan dan Anggi memperhatikannya. Juna menghampiri.
“Kenapa berhenti?” tanya Juna sesampainya.
“Apa kau kesepian?” tanya Jihan.
Juna tertawa meledek. “Apa maksudmu?”
“Nah, kau lihat kan?” Jihan menoleh pada Anggi. “Dia tidak kesepian. Sudah, biarkan saja dia.”
Jihan pergi meninggalkan Juna dan Anggi. Anggi mematung memperhatikan Juna. Juna diam melihat kepergian Jihan. Anggi mengikuti pandangan Juna.
“Kau…sebenarnya baik.” kata Anggi.
“Hm?” Juna menoleh pada Anggi.
“Kau mau memenuhi permintaanku untuk memaafkan Jihan. Sekali lagi, maafkan sikapnya.”
“Anggi!!” Jihan memanggil Anggi.
“Ma-maaf, aku duluan!” Anggi pergi.
Pendakian terus berlanjut dengan santai. Sesekali mereka berhenti di tempat tertentu dan saling memastikan kelengkapan peserta. Satria tidak pernah jauh dari Jihan. Satria terlihat sangat peduli dan perhatian pada Jihan. Anggi justru kasihan melihat Juna yang memisahkan diri dari rombongan.
Mereka beristirahat sejenak. Memakan bekal secukupnya. Lalu kembali mendaki. Juna hanya minum air lalu sibuk memotret lagi. Anggi memisahkan diri dari Jihan. Ia mendekati Juna. Anggi senyum-senyum. Juna berhenti memotret dan melihat aneh pada Anggi.
Anggi menyodorkan sebuah bingkisan. “Ini roti terenak yang pernah kubeli. Kulihat kau belum makan. Apa kau mau?”
Juna menggelembungkan permen karet dari mulutnya. Lalu dipecahkan dan menimbulkan suara. Juna kembali mengunyah. “Aku tidak lapar.”
Jihan selesai bicara dengan Satria. Ia baru sadar Anggi menghilang. Ia mencari berkeliling. Ia sudah menduga Anggi pasti mencari Juna. Jihan membiarkannya. Ia terus berjalan mengikuti rombongan. Anggi mengikuti Juna yang menyusul rombongan. Ia senyum-senyum bisa berjalan di dekat Juna.
Mereka terus berjalan hingga hari menjelang sore. Mereka berhenti di sebuah tempat yang cukup luas dan nyaman untuk beristirahat. Beberapa melepaskan tasnya dan membuka bekal kedua. Beberapa diantaranya mencari pohon untuk bersandar.
“Karena hari mulai gelap. Kita berhenti di sini. Perjalanan kita lanjutkan nanti pagi. Yang bawa tenda darurat, silahkan dirikan.” Satria memberi arahan.
Hanya ada tiga tenda kecil. Dua untuk laki-laki, satu untuk perempuan. Satria membagi tugas kepada laki-lakinya. Juna kebagian mencari kayu. Ia pergi bersama seorang lainnya mencari kayu.

Jihan dan Anggi sedang mencuci beras untuk makan malam mereka. Beberapa perempuan lainnya yang merupakan kakak kelas sedang menyiapkan makan malam.
Hari semakin senja dan menjelang malam. Mereka berkumpul sambil bernyanyi dan bermain gitar. Ada juga yang tertidur atau main game di ponsel. Satria maju ke tengah-tengah tenda.
“Tolong perhatiannya sebantar! Kita akan ada acara malam keakraban dan api unggun. Kita kumpul di sini sepuluh menit lagi.” Satria memberi informasi di tengah kamp. “Bagi yang punya kepentingan silahkan selesaikan dulu.”
Semuanya mengangguk termasuk Jihan dan Anggi.
“Hah…kalau bukan karena Ibu, aku tidak akan ikut acara ini,” Anggi mengeluh. “juga kalau bukan karena Juna juga ikut, aku tidak akan sekuat ini berusaha bertahan.”
Jihan mencibir. “Kalau begitu tidak usah mengeluh. Kau kan juga mendapat keuntungan.”
“Tapi, aku tidak mengerti kenapa hanya Juna sendirian. Bukankah itu aneh?”
Jihan melihat ke tenda Juna. Tendanya terbuka. Juna tidak di dalamnya. Ia sedang memotong kayu untuk membuat api unggun.
“Apa yang aneh?” tanya Jihan.
“Ada apa dengan teman-temannya?” Anggi memperhatikan Juna.
Jihan mengangkat bahu. “Aku ingin buang air kecil. Kau mau ikut tidak?”
“Hah…kau mengganggu saja. Aku sedang menikmati keindahan ciptaan Tuhan.” Anggi senyum-senyum.
Jihan menelusuri pandangan Anggi. “Juna?”
Anggi mengangguk.
“Sudahlah. Dia itu sombong. Tidak pantas untukmu. Ayo, antar aku mencari tempat! Aku sudah tidak tahan.” Jihan menarik-narik tangan Anggi. Ia juga membawa sebotol air untuk membersihkan diri nanti.
“Ah, kau ini…” Anggi terpaksa berdiri.
“Kalian mau kemana?” tanya Satria. Satria sedang merapikan kayu bakar untuk api unggun.
“A-aku…” Jihan bingung.
“Dia ingin buang air kecil, Kak.” Jawab Anggi.
Jihan nyengir sambil mencubit tangan Anggi. Juna melihat sejenak lalu kembali membelah kayu dengan kapak.
“Ya sudah. Jangan jauh-jauh dan jangan lama-lama.” kata Satria.
Jihan mengangguk. Jihan menarik Anggi yang masih terpesona pada Juna. Jihan menelusuri semak dan melewati beberapa pohon besar. Anggi menyinari jalan dengan lampu sorotnya.
“Apa sudah cukup jauh?” tanya Anggi.
“Belum. Kau masih bisa melihat mereka, kan?” Jihan terus berjalan. “Aku takut nanti pagi, mereka lewat jalan ini dan mencium bau pesing. Aku akan dipermalukan.”
“Tapi ini sudah cukup jauh.”
“Kau ini cerewet sekali!” omel Jihan. “Ya sudah. Kau awasi saja di sini. Aku akan berjalan sedikit lagi.”
“Ya sudah. Lagi pula aku masih bisa melihat Juna dari sini.”
“Dasar.” Gerutu Jihan. Jihan terus berjalan. Tiba-tiba lampu sorotnya padam. “Uh, pasti habis baterai. Aduh…aku sudah tidak tahan…”
Jihan memandang berkeliling. Ia melihat sebuah pohon besar beberapa meter jauhnya. Jihan berlari ke arah pohon itu. Jihan kembali memandang berkeliling. Jihan berjongkok. Tidak lama kemudian ia menghela napas lega.
“Selesai.” Jihan berdiri. Tanpa sadar lampu sorotnya terjatuh dan bergelinding. Jihan tidak bisa melihat. Ia membelah tiap semak sambil berjongkok mencari lampu sorotnya. Jihan melihat sebuah benda yang mirip dengan gagang lampu sorotnya. Jihan mendekat. Ketika semak dibuka, Jihan terkejut.
“Aaaaa!!!” Jihan menjerit dan terjatuh.
Ternyata seekor ular yang sedang melingkar. Ular itu mendesiskan lidahnya dan mengambil posisi menyerang.
“Jihan?!” panggil Anggi yang samar mendengar suara Jihan berteriak.
Jihan ketakutan. Ia berlari menjauhi ular. Karena gelap dan takut bertemu ular lainnya, Jihan berlari tidak melihat arah.
Juna berhenti membelah kayu. Ia memandang ke arah Jihan dan Anggi pergi. Suasana kamp yang ramai membuatnya sedikit tidak jelas. Di kegelapan arah Jihan dan Anggi pergi. Muncul kelebatan cahaya yang tidak beraturan. Juna melepas kapaknya. Ia berlari menuju sumber cahaya. Juna menembus semak dan pepohonan. Anggi berlari dan menabrak Juna.
“Ada apa?” Juna menangkap Anggi.
“Ji-Jihan!”
“Kemana Jihan? Dimana dia??” Juna panik.
Anggi menunjuk arah. “Tadi di sana. Lalu dia berteriak dan hilang.”
Tanpa berkata apa pun Juna berlari ke arah yang ditunjuk Anggi.
“Jihan!!” teriak Juna setelah cukup jauh tidak menemukan Jihan. Juna mengeluarkan ponselnya di saku. Ia membuat cahaya mencari Jihan.
Anggi sampai di kamp dan memberi tahu soal Jihan pada Satria. Satria lalu membentuk tim untuk mencari Jihan. Ia juga membuat persiapan. Satria terlihat pucat. Ia agak trauma dengan kehilangan Rinjani. Sebuah pukulan berat lagi jika Jihan juga hilang seperti Rinjani. Terlebih keduanya sangat mirip.

“Jihan!!” Juna masih mencari. Ia mengikuti semak-semak yang dahannya patah dan tampak terbelah. Juna juga sampai di pohon besar tempat Jihan berkemih. Ia menemukan lampu sorot Jihan yang terjatuh. Tapi Juna tidak menemukan ular yang dilihat Jihan.
Juna kembali berlari ke arah semak yang dahannya berantakan tidak alami.
“Jihan!!” teriak Satria dan teman-temannya bersahutan. Mereka berpencar mencari Jihan.
Juna semakin jauh mencari tapi tidak ada tanda-tanda. Ia menemui jalan buntu. Tidak ada semak lagi. Hanya pohon-pohon besar dengan akarnya yang besar pula.
“Jihan!!” teriak Juna lagi.
Hening. Terdengar samar suara orang merintih.
“Jihan??” Juna memastikan suara itu.
Tidak ada sahutan. Juna berlari ke setiap penjuru tapi nihil. Ia berlari lurus dan mendadak berhenti. Ia nyaris terjerembab. Tanahnya menurun. Pohon-pohon di sekitarnya pun miring meski akarnya kokoh. Juna melongok ke bawah.
“Jihan!!” Juna terkejut.
Jihan ada di sana. Ia berpegangan pada akar pohon. Seekor kalajengking hitam berada di punggung tangannya. Jihan menangis ketakutan sambil memandang Juna berharap Juna menolongnya. Juna memandang berkeliling. Ia mencari sesuatu. Juna pergi.
“Juna, jangan pergi. Kumohon…” Jihan menangis.
Juna kembali. Ia membawa sebatang kayu. Juna berbaring di tanah. Ia menjulurkan kayu itu. Jihan memejamkan mata ketakutan. Juna mengusik kalajengking itu agar pergi menjauh dari tangan Jihan. Juna berhasil. Setelah lepas dari tangan Jihan, Juna memukul kalajengking itu agar terpental jauh dari Jihan. Juna membuang kayunya. Ia menjulurkan tangannya pada Jihan. Jihan membuka mata. Kalajengkingnya sudah tidak ada.
 “Pegang tanganku!” kata Juna kemudian.
Jihan hanya menangis sambil melihat ke arah Juna.
“Cepat!”
Jihan berusaha meraih tangan Juna dengan sebelah tangan.  Juna meraihnya.
“Tahan sedikit, aku akan mengangkatmu!”
Jihan meringis. Juna menarik tubuh Jihan sampai benar-benar terangkat seluruhnya. Jihan selamat dan menepi. Juna terlentang kelelahan di tanah. Jihan menghapus air matanya dan duduk di sebalah Juna.
Jihan memandang berkeliling. “Kau sendiri?”
“Apa kau lihat ada orang lain di belakangku?” Juna mengambil posisi duduk.
Jihan diam sejenak. “Kenapa kau menolongku?”
Juna tertawa dengan napas tersengal. “Apa kau tidak bisa mengatakan hal lain selain bertanya yang tidak penting?”
Jihan diam menatap dalam Juna.
“Kau berharap orang lain?”
Jihan berkedip lalu melempar pandang ke sisi lain.
“Aku…tidak akan membiarkanmu mati...”
Jihan menoleh ke arah Juna.
“Semudah dan secepat itu.” Juna memandang Jihan dengan tatapan mengejek.
Jihan kembali berpaling.
“Kau masih berhutang penghinaan dan penderitaan padaku. Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja.”
“Tapi aku tidak merasa berhutang padamu.”
“Tentu tidak. Kau orang yang paling tidak pernah merasa bersalah. Dan aku banyak berguru padamu.”
Jihan merunduk. Ia mendekap kedua kakinya dan membenamkan wajahnya. Juna terdiam memandangi Jihan. Hati kecilnya, sebenarnya bukan itu maksudnya. Ia khawatir pada Jihan. Ia tidak mengakuinya betapa sebenarya ia tidak ingin membuat Jihan sedih.
“Kenapa menangis?”
Jihan diam.
“Bukankah kau orang yang merasa sangat kuat soal yang seperti ini?”
Jihan mengangkat kepalanya, mengusap air matanya. “Baiklah. Kalau begitu. Ayo kita lanjutkan!” Jihan berdiri dan berjalan entah kemana.
“Hey, kau mau kemana?”
“Pulang. Aku tidak mau bermalam dengan orang yang ingin menghina dan membuatku dalam penderitaan.”
“Memang kau tahu arah?” Juna mengikuti. Ia mengecek ponselnya. “Ahk! Hutan macam apa ini! Tidak ada signal sama sekali!”

Di bawah pohon rindang, hanya bercahayakan bulan. Untung sedang bulan purnama dan langit tampak terlihat jelas di sini.
“Aku rasa ini tempat yang pas untuk menunggu bantuan.”
“Ide bagus. Aku akan mengawasimu, kalau-kalau kau berbuat macam-macam.”
Juna mengejek. “Kau bahkan tidak cukup cantik untuk kugoda.”
“Apa katamu?”
“Kau ini tuli atau bodoh sih? kuulangi yah, kau bahkan tidak cukup cantik untuk kugoda! Hah! Dengar itu?”
Jihan merengut lalu duduk di akar pohon besar. Juna duduk di sisi lain. Agak lama keduanya diam. Juna tiba-tiba melempar lampu sorot ke kaki Jihan.
“Daripada melamun. Ayo kita bermain jujur atau berani!”
Jihan mengacuhkannya. “Dasar anak kecil!”
“Kalau begitu lakukan sesuatu supaya tidak membosankan!”
“Aku tidak mau!”
“Dasar payah! Bilang saja kau penakut. Tidak mau jujur dan penakut!”
“Baik, baik! Ayo kita mainkan! Aku ingin tahu seberapa beraninya dirimu!”
Juna tersenyum. Lampu sorot diputar. Sorotannya berhenti ke arah Juna.
“Rasakan itu!”
“Aku tidak takut!”
“Kalau begitu kau pilih apa?”
“Berani!”
“Huuu…pria pemberani rupanya kau ya! Kau bisa memanjat tidak?”
“Apa?”
“Aku bilang, kau bisa memanjat tidak? Hah? Hah?”
“Oh, kau menantangku ya??”
“Kalau begitu, panjat pohon ini!”
Juna memperhatikan pohon besar yang akarnya menjadi tempat mereka duduk bersama.
“Malam-malam begini, kau suruh aku memanjat pohon besar itu?”
“Kenapa? Takut?”
“Kau yakin? Maksudku, kalau aku berhasil sampai di atas, apa kau tidak ketakutan di bawah sendirian? Bisa saja ada ular.”
Jihan bergidik mengingat kejadian ular tadi. “Kau banyak alasan.”
“Aku hanya mengingatkanmu saja. Baiklah kalau begitu…” Juna bersiap memanjat.
“Tunggu! Kau jujur saja!”
Juna tersenyum lalu duduk. “Baiklah. Kau mau tanya apa?”
Jihan cemberut. “Kenapa kau sangat menyebalkan?”
“Apa?”
“Kau ini benar-benar tuli ya?”
“Maksudku, kenapa semudah itu pertanyaannya.”
“Iya, kenapa kau sangat menyebalkan dan terus menggangguku?”
“Bukankah sudah kukatakan. Aku harus membalasmu. Dulu kau menghina dan menggangguku. Sekarang takdir mempertemukan kita dengan keadan 180 derajat berbalik. Bukankah itu indah?”
Jihan mengernyitkan dahinya.
“Ya, indah. Aku bisa membalasmu dan itu sebuah kepuasan luar biasa.”
Jihan memutar lampu sorot tanpa berkomentar.
“Hey, tunggu! Itu giliranku!” Juna merebut dan memutar lampu sorotnya.
“Senjata makan tuan!” Jihan mengejek Juna yang kena giliran lagi. “Kau pilih apa?”
“Terserah kau saja.”
“Aku tidak tertarik bertanya apa pun padamu.”
“He? Kenapa begitu?”
“Aku tidak tertarik untuk mengetahui apa pun tentangmu.”
“Ya sudah, kerjai saja aku.”
“Menarilah sekonyol mungkin.” Jihan tersenyum.
“Menari?”
“Kenapa? Kau penari yang pemalu ya?”
Juna berdiri. Tiba-tiba muncul akal liciknya. Ia membuka jaket dan membuka satu per satu kancing bajunya.
“Hey, aku suruh kau menari kenapa membuka bajumu?”
“Aku tidak pandai menari. Tapi aku pernah melihat aksi penari erotis. Apa kau mau lihat?”
“Sudah hentikan! Dasar bodoh!” Jihan melempari Juna dengan ranting sedapatnya di sekitar pohon.
Juna tertawa berhasil mengerjai Jihan. Juna kembali memutar. Kali ini giliran Jihan.
“Awas kalau kau berani macam-macam denganku!” ancam Jihan sambil melihat tatapan senang Juna.
“Kau mau pilh apa?”
“Jujur.”
“Baiklah, Nona Jujur, dengarkan baik-baik,” Juna berlagak mikir. “Kau pernah pacaran? Kapan dan dengan siapa?”
Jihan mengernyitkan dahi. “Tidak pernah.”
Juna tertawa meledek. “Kau lucu sekali. Sudah setua ini belum pernah pacaran. Jangan bercanda. Ayo jawab yang jujur.”
“Aku bukan pembohong dan perayu tengik sepertimu.”
Juna berhenti tertawa. “Kalau begitu, apa kau pernah menyukai seseorang? Kapan terakhir kalinya?”
“Entahlah.”
“Apa? Jangan-jangan kau ini penyuka sejenis ya?”
“Jangan sembarangan. Aku perempuan normal.”
“Masak kau tidak yakin pernah menyukai seseorang atau tidak.”
“Kau terlalu banyak bertanya. Sudah putar lagi.”
Jihan memutar lampu sorot. Kembali Jihan mendapat giliran.
“Baiklah. Ini semakin seru saja.” Juna sudah mempersiapkan pertanyaan. “Apa menurutmu aku ini tampan?”
Jihan melotot.
“Aku anggap jawabanmu iya. Kalau aku tampan, kenapa kau membenciku bukan menyukaiku?”
“Kau sudah gila. Sudahlah, aku bosan.” Jihan mengakhiri permainannya tanpa menjawab.
Juna diam saja. Keduanya terdiam di dua sisi berbeda. Juna memandangi langit lepas.
“Aku juga bosan. Setiap ke kampus, banyak mata memandangku aneh. Rasanya seperti artis terkenal.” Juna nyengir. “Orang yang sedang di atas awan, bisa dilihat banyak orang dan dicintai siapa saja. Akan sangat mudah mendapatkan teman. Tapi itu tidak selamanya. Ketika dia jatuh menyentuh bumi sekali pun, tidak akan  ada orang yang benar-benar perduli padamu. Di saat itulah, kau baru bisa melihat siapa yang benar-benar temanmu.”
Jihan diam mendengarkan. Juna pura-pura mengantuk, ia lalu mengatur posisi untuk tidur. Ia tidur membelakangi Jihan. Setelah cukup lama, Jihan memastikan Juna sudah tidur. Ia melempar batu kecil ke punggung Juna. Juna memjamkan matanya dan pura-pura tidur. Jihan kelelahan. Ia tidur menghadap Juna dan bersandar di pohon. Akhirnya ia tidur kelelahan. Setelah cukup lama, Juna berbalik memastikan Jihan sudah benar-benar tertidur. Ia tersenyum melihat wajah polos kelelahanya Jihan. Juna lalu terlentang, melipat tangan untuk alas kepalanya lalu mencoba untuk tidur.
Hari sudah hampir pagi, Juna terbangun karena ingin berkemih. Ia melihat ke arah Jihan yang masih tertidur membelakangi Juna.
“Hey!” panggil Juna. “Aku mau buang air kecil. Kalau ada apa-apa panggil saja aku.”
Jihan diam saja.
“Mungkin dia masih tidur,” pikir Juna. Ia lalu pergi mencari tempat aman untuk berkemih.
Tidak lama kemudian, Juna kembali. Ia tidur kembali karena masih mengantuk.
Matahari terbit. Cahaya menerobos dedaunan dan menyilaukan Juna. Juna terbangun. Ia meregangkan tubuhnya. Ia berdiri sambil melakukan sedikit pemanasan. Diliriknya Jihan. Masih tertidur dengan posisi yang sama.
“Kau lumayan pemalas juga ya,” kata Juna. “sudah setinggi ini matahari, kau masih tertidur.”
Jihan masih diam.
“Hey Jihan, ayo bangun!” Juna mulai khawatir. Juna membalikkan tubuh Jihan.
Melihat Jihan yang pucat, Juna mengira Jihan sakit. Ia meraba kening Jihan. Keningnya panas. Juna meraih telapak tangan Jihan, dirasai suhu tubuh Jihan melalui telapak tangan dan pergelangan tangannya. Semuanya panas. Bibir Jihan memutih.


Bersambung ke Chapter 5










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya