18 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 16 (End)



Chapter 16
Pilihan Yang Berat

Lanjutan Dari Chapter 15

“Nenek dirawat,” kata Anggi sambil menutup telepon dari Bibi. “Ibu dan Nira akan bermalam di sana.”
Jihan berbaring di kasurnya. Bantalnya basah air mata.
“Aku akan ke sana, membawa beberapa pakaian dan keperluan nenek. Kau jangan ikut. Masih ingat yang kukatakan padamu, kan? Nanti, kalau nenek sudah baikan, kau boleh menemuinya.”
Sebuah pesan masuk di ponsel Jihan. Nira mengirim pesan :
Jangan coba-coba menginjakkan kakimu ke rumah sakit dan menemui Nenek. Kecuali kau datang membawa kabar baik untuknya bahwa kau bersedia menerima permintaan Nenek.
Jihan semakin tersedu. Jihan menghapus air mata lalu duduk di sisi kasur. “Kau tahu Rani, kan?” tanya Jihan pada Anggi.
“Tentu saja. Kita selalu bermain bersama. Kita bertiga dan membuat Nira iri karena tidak punya teman dan selalu menempel pada Nenek. Kenapa?”
Jihan menceritakan apa yang diceritakan Rani pada Anggi. Itu sebabnya ia tetap bersikeras tidak ingin menikah dengan Surya.
Anggi syok. Ia seperti tidak percaya. “Tidak kusangka. Pria itu busuk!!”

Waktu hampir tengah malam. Jihan berdiri di sebuah gerbang rumah mewah. Ia mondar-mandir kedinginan. Sebuah mobil mewah datang. Jihan memfokuskan pandangan pada Si Pengemudi. Mobil berhenti tepat di depan gerbang yang Jihan tunggu.
Pengemudinya keluar. “Hey, k-kau sedang apa malam-malam begini di sini? Sendirian?”
“Aku sedang ingin membuat perhitungan denganmu, Pria Busuk!” maki Jihan pada Surya.
Seorang penumpang keluar. Wanita. Dengan dandanan menor dan pakaian minim.
“Kau jangan salah paham dulu. Dia bukan siapa-siapa, sayang…” bujuk Surya sambil mendekati Jihan.
“Jangan panggil aku seperti itu, bodoh!” Jihan menampar Surya. “Aku tidak sudi!”
“Kau ini kenapa??” Surya setengah berteriak.
“Berhenti membujuk nenekku untuk pernikahan menjijikan itu!” Jihan ikut berteriak.
Surya tertawa. “Asal kau tahu saja ya, perempuan jelek! Aku bahkan tidak bernafsu melihatmu! Kau wanita kasar!”
“Kau pikir apa dirimu??”
“Kau mau tahu kenapa?” Surya meninggikan suaranya. “Ikut aku!”
“Cih!” Jihan menolak.
“Apa pun yang terjadi, kita tetap harus menikah. Kalau kau mau bernegosiasi denganku, ikuti aku!”
Surya kembali ke mobilnya bersama wanita itu. Ia membunyikan klakson mobilnya lalu gerbang dibuka. Dengan ragu, Jihan akhirnya ikut masuk juga. Jihan memastikan ponselnya masih menyala. Karena kalau terjadi sesuatu dengannya, Juna pasti akan cepat menemukannya. Untuk berjaga-jaga, Jihan menyalakan perekam suara. Ia memasukkan ponselnya di saku dalam jaketnya. Ia meredam suara ponselnya agar tidak berdering ketika ada pesan atau panggilan masuk. Jihan masuk ke rumah besar itu.
“Kau lihat itu?” kata Surya. Ia memamerkan sebuah miniatur rumah-rumah yang rapi dan dibingkai kaca.
“Ini adalah proyek besarku. Sebuah perhotelan. Dan letaknya di tanah nenekmu. Setahun lalu, nenekmu datang ke kantor ayahku untuk membuat surat tanah itu atas namamu. Dia sudah membagi tanah miliknya atas nama cucu-cucunya. Dan tanah itu…”
Jihan mendengarkan dengan seksama.
“Tanah itu adalah tanah emas strategis yang kuincar. Dan tanah itu atas namamu!” Surya membanting sebuah hiasan porselin di meja hingga jatuh berkeping-keping.
Jihan terkejut dan menghindar. Ibu kepala desa keluar mendengar keributan itu. Ia terkejut melihat Jihan ada di rumahnya. Kepala desa ikut keluar dan ikut terkejut.
“Apa yang terjadi?” tanya kepala desa menghampiri anaknya.
“Biar saja dia tahu! Dia perempuan munafik dan menyedihkan!” maki Surya.
Kepala desa mendekati Jihan. “Maafkan Surya, dia sedang mabuk. Semua yang dikatakannya tidak benar. Pulanglah, sudah malam. Atau, biar diantar supirku.”
“Tidak perlu repot-repot. Sebaiknya persiapkan saja diri kalian untuk enyah dari desa ini.” Jihan berbalik dan pergi.
Sesaat kepala desa heran. Kemudian ia mengejar Jihan. Ia menangkap Jihan. Jihan terkejut dan meronta.
“Cepat geledah dia!” teriak kepala desa.
Surya berlari menghampiri ayahnya.
“Hentikan! Lepaskan aku! Hey, kau! Jangan coba-coba menyentuhku atau kau akan dalam masalah!” Jihan berusaha menghindari Surya. Kakinya terbang berusaha menendang Surya.
Ibu kepala desa tidak ingin melihat kejadian itu. Ia pergi dengan ekspresi sedih. Karena Jihan terlalu keras berusaha, ponselnya jatuh. Surya memungutnya. Dilihatnya layar ponsel itu.
“Kau benar, Ayah. Dia perempuan licik. Dia merekan semuanya!” Surya membanting ponsel Jihan ke tembok hingga layarnya hancur.
Jihan syok. “Kurang ajar kau!!” Jihan berontak.
“Cepat amankan dia di gudang. Jangan sampai ada yang melihat sampai hari pernikahanmu tiba dan kau dapatkan segalanya.” Titah kepala desa.
Surya mebekap mulut Jihan dan membawanya ke gudang bersama ayahnya. Ibu kepala desa mengintip di balik tirai jendela kamarnya di lantai dua. Ia seperti tidak tega. Jihan menangkap aksi ibu kepala desa. Ia yakin ibu kepala desa tidak sejalan dengan anak dan suaminya. Tapi kenapa ia diam saja.

Di rumah Juna. Danu dan Kris sedang asik beradu cepat dalam sebuah game playstation. Gilang sibuk membalas satu per satu chat teman wanitanya. Argha sedang menikmati spaghetti dosis besar di sebelah Danu dan Kris.
Juna tiba-tiba datang sambil marah-marah. “Apa-apaan ini??”
Semua wajah tertuju pada Juna. Mereka melupakan kesibukkan masing-masing.
“Kenapa?” tanya Argha dengan mulut penuh spaghetti.
“Sudah kubilang, jangan matikan ponsel lebih dari satu menit! Kenapa ia mematikannya? Ini sudah hampir lima menit!” omel Juna.
Ke-empat sahabatnya tersenyum memahami lalu sibuk lagi.
“Kau bisa menghubungi Anggi, kan?” usul Argha.
“Kalau aku bisa, sudah kulakukan! Mereka benar-benar menyebalkan!”
“Kenapa kau tidak pergi ke tempatnya saja?” tanya Danu.
“Sudah kukatakan dia melarangku!”
“Baiklah!” Gilang berdiri. “Serahkan saja pada kami.”
Ketiga temannya berpandangan melihat Gilang. “Maksudmu, kita ke sana?”
“Dia melarangku!” ulang Juna.
“Iya, dia melarangmu. Tapi tidak kami, kan?” Argha ikut berdiri.

Danu, Kris, Gilang dan Argha pergi ke desa Jihan. Mereka baru mendapat kabar ketika di perjalanan bahwa Jihan tidak pulang semalaman. Juna sangat mengkhawatirkan Jihan. berkali-kali dihubungi, ponselnya tidak aktif. Tidak ada yang tahu keberadaan Jihan.
Terlebih Bibi, ia sangat mengkhawatirkan keponakannya itu. Ia bingung jika nenek menanyakan Jihan. Anggi lebih sibuk lagi, Juna dan kawan-kawannya bolak-balik menghubunginya mencari tahu tentang Jihan. Nira adalah orang paling tenang di situasi seperti ini.
“Hah, dia pasti kabur lagi. Dasar pengecut.” Komentar Nira.
Gilang dan teman-temannya datang ke rumah sakit tempat nenek di rawat. Mereka mencari Anggi tapi tidak ketemu. Anggi tidak menjawab telepon mereka. Gilang, Danu dan Kris mencoba mencari tahu di lobi rumah sakit dengan bertanya pada bagian informasi. Payahnya, mereka bahkan tidak tahu nama neneknya Jihan.
Argha memperhatikan sekelilingnya. Dilihatnya begitu banyak orang di sana. Tua-muda bercampur. Mereka kemudian terpisah menuju ruangn yang berbeda. Argha menyimpulkan sesuatu. Tanpa memberi tahu teman-temannya, Argha pergi ke salah satu koridor rumah sakit. Sejalan dengannya, banyak pasien berusia lanjut dibawa ke arah itu. Setiap kamar perawatan jendelanya terbuka. Setiap jendela itu Argha melihat ke dalam. Ia memang tidak mengenal neneknya Jihan. tapi ia mengenal Bibi dan Anggi. Mungkin mereka sedang menunggui nenek di kamarnya.
Argha berhenti di depan sebuah kamar. Sepi. Hanya ada seorang pasien berbaring di sana. Perempuan tua yang sedang terbatuk. Argha memasuki ruangan itu. Argha tersenyum semanis mungkin kepada nenek tua itu. “Selamat pagi.”
“Pagi. Dokter?” tanya nenek.
“Oh, bukan. Mmm…bagaimana, ya?” Argha bingung antara mau menjelaskan atau bertanya.
Nenek memperhatikan Argha dari ujung kaki sampai kepala. Dandannya serba rapi. Tidak seperti orang desa yang serapi-rapinya tidak akan serapi itu. “Kau dari kota?” tanya Nenek.
“Hm? Iya…” Argha tertawa.
“Kau teman cucuku?”
“Apa cucumu bernama Jihan?”
“Kenapa dengannya? Dia tidak menjengukku sejak aku dirawat, tapi malah menyuruh temannya.”
Argha tersenyum bahwa ia tidak salah orang. “Boleh aku duduk di sini?” Argha menarik kursi di sebelah kasur nenek.
“Duduklah.” Nenek merubah posisinya menjadi duduk. “Kemana anak nakal itu?”
“Dia…dia sangat mengkhawatirkanmu, Nek. Oh, maaf. Boleh kupanggil kau’nenek’?
Nenek tersenyum. “Aku memang seorang nenek-nenek, bukan?”
Argha tertawa. “Iya, kau benar.”
Argha terlibat banyak obrolan basa-basi dengan nenek. Mereka terlihat sangat menikmati obrolan. Mereka tertawa bersama seolah sudah akrab sejak lama.

Di tempat lain, teman-teman Argha kelimpungan mencari Argha.
“Dia itu kenapa sih, di saat genting begini malah melarikan diri!” Omel Gilang.
“Pasti ponselnya silent. Dia tidak menjawab teleponku.” kata Kris sambil terus menelepon.
“Juna!” Danu menunjukkan ponselnya. Juna menelepon.

Nenek terbatuk di tengah tawanya. Argha bangkit dan mengambil air. Ia membantu nenek minum.
“Baiklah, cukup. Sekarang katakan padaku apa tujuanmu, kenapa kau terlalu memujiku padahal kau belum mengenalku? Aku tahu obrolan kita menyenangkan meski semuanya basa-basi.”
Argha tersenyum. “Aku tidak punya maksud apa-apa. Kecuali menjengukmu. Sebagai seorang teman, aku menghargai Jihan.”
“Hm. Lalu?”
“Sekarang aku percaya, kau sangat cerdas. Jihan sangat mengagumimu. Dia ingin menjadi secerdas dirimu. Jika kau secerdas ini karena seorang guru, mungkin Jihan tidak bisa berguru di tempat yang sama denganmu. Ia kuliah adalah untuk menjadi cerdas. Menjadi istri yang cerdas, ibu yang cerdas dan akhirnya menjadi nenek yang cerdas bagi cucu-cucunya kelak.”
 Nenek tersenyum memonyongkan bibirnya. “Kau tahu alasan Jihan kusuruh pulang?”
“Iya. Aku tahu.”
“Apa kau pacarnya?”
Argha tersenyum lagi. “Bukan. Juna adalah teman baikku sejak kami sama-sama sekolah dasar.”
“Dia pacarnya Jihan?”
Argha mengangguk.
“Kau disuruh Juna?”
“Tidak.”
“Aku tahu maksud kedatanganmu.”
Keduanya beradu pandang.
Kris menarik lengan Gilang. “Itu dia!”
Kris menunjuk ke arah Argha dan nenek. Gilang menarik Danu. Mereka memperhatikan Argha dari luar jendela.
“Aku tidak mengerti apa yang terjadi antara Juna dan Jihan. Yang aku tahu, mereka sudah saling mengenal sejak masih anak-anak,” kata Argha. “mereka bertemu kembali setelah empat belas tahun terpisah di kota. Apa pendapatmu?”
Nenek hanya tersenyum.
“Juna tidak akan menyakiti cucumu. Aku tidak pernah melihatnya seserius itu pada perempuan lain kecuali pada cucumu. Aku sedang tidak membahas materi. Tapi aku berjanji padamu, jika dia menyakiti cucumu, aku akan mengurusnya dengan tanganku sendiri.”
“Apa Jihan sengaja menemui temanmu itu ke kota?”
“Aku rasa tidak. Mungkin Tuhan sudah mengaturnya.”
“Minggu ini, Jihan akan segera menikah dengan pilihanku.”
“Bagaimana kalau kita beradu kelebihan diantara keduanya?”
“Aku seorang pemegang janji yang teguh. Apa yang sekali terucap olehku maka harus kutepati. Menurutmu apa yang bisa membuatku menarik kata-kataku?”
Argha diam saja.
Nenek tertawa. “Sudahlah. Aku lelah. Aku ingin istirahat.”
Argha tersenyum. Ia berdiri.
“Kalian?” Bibi terkejut melihat Gilang dan teman-temannya di depan ruang nenek dirawat.
Argha muncul. Bibi semakin terkejut.
Bibi masuk ke ruangan nenek. Dengan ragu-ragu ia meletakkan sekotak roti dari Gilang.
“Kemana Jihan?” tanya nenek dengan posisi tertidur.
“Di-dia…dia takut kau masih marah, jadi dia menunggu agar kau memanggilnya.” jawab Bibi.
“Kau tahu kalau Jihan menyukai seseorang?”
Bibi terkejut. Ia meringis ketakutan.
“Kenapa?” Nenek melirik Bibi. “Jadi kau tahu. Kenapa tidak kau larang?”
“A-aku…aku tidak tahu pastinya, Bu. Aku tidak bisa mengawasinya terus selama dia di kampus. Aku bekerja dan dia tidak selalu bersamaku. Maafkan aku, Bu…”
“Kenapa Tuhan tidak mengabulkan doa-ku…” Nenek bergumam.
Bibi tersentak mendengarkan.
“Aku menyesali sifat keras kepalaku. Aku tidak ingin keturunanku memiliki sifat ini. Tapi kakakmu mewarisinya. Betapa aku merasa bersalah. Hidupnya malang sepertiku karena sifat keras kepalanya. Aku tidak ingin Jihan mengalaminya juga.”
Bibi sedih dan diam.
“Aku keras kepala, menolak lamaran seorang pria pilihan orang tuaku. Dengan alasan cinta aku menembus segalanya. Aku melahirkan kakakmu lalu suamiku meninggal. Hidupku penuh dengan cinta meski serba kekurangan. Pria pilihan orang tuaku ternyata masih setia menungguku. Aku menikah dengannya dan melahirkanmu. Aku merasa hidup tenang dengan suami keduaku yang akhirnya juga meninggal dan menjadikanku janda untuk kedua kalinya. Aku sama sekali tidak menyesali keduanya. Menurutmu kenapa?”
“Hm? A-aku…” Bibi terlalu menghayati cerita nenek dan ia bingung harus menjawab apa. “Mungkin karena itu pilihan Ibu sendiri. Tanpa paksaan dan Ibu bertanggung jawab dengan pilihan Ibu sendiri. Apa pun yang terjadi atas pilihan Ibu, Ibu tidak akan menyalahkan siapa-siapa.”
Nenek tersenyum. Ia kemudian memejamkan kedua matanya. Sebutir bening hangat mengalir di sudut matanya. Mengalir melewati lipatan-lipatan halus wajahnya.

Di pinggir jalan. Argha dan teman-temannya sedang menikmati minuman sambil bersandar di mobil mercy Gilang.
“Apa yang kau katakan pada nenek itu?” tanya Gilang pada Argha.
Argha diam. Dahinya mengkerut. Danu dan Kris menunggu.
“Dia bukan orang sembarangan. Dia tidak akan menarik kata-katanya. Tapi dia sudah mengerti maksudku. Aku hanya memikirkan bagaimana ia memutuskan semuanya.” Argha serius.

Seseorang mengetuk pintu ruang rawat nenek. Bibi menengok. Ternyata Rani. Bibi mempersilahkan Rani masuk. Nenek sedang tertidur.
“Bi, Jihan dimana?” tanya Rani.
Bibi lalu membawa Rani menjauh dari nenek ke sudut ruang. “Kupikir dia bersembunyi ke tempatmu. Dia tidak pulang semalaman. Dia juga tidak bisa dihubungi.”
Rani terlihat cemas. “Dia tidak ke tempatku. Dia bahkan tidak tahu karena aku belum memberitahunya.”
“Aduh…kemana anak nakal itu pergi…”
Rani memutar otak. Hal nekat apa yang Jihan lakukan kali ini. Apa yang membuat dia pergi sendirian tanpa kabar. Tiba-tiba Rani teringat pertemuan terakhirnya dengan Jihan.
“Surya, Bi!” Rani terkejut. Suaranya nyaris terdengar ke seluruh ruangan.
“Ssst!” Bibi memberi isyarat agar Rani mengecilkan suaranya. Ia takut nenek mendengarnya.
“Kenapa?”
“Nenek belum tahu kalau Jihan hilang,” bisik Bibi. “Ada apa dengan Surya?”
“Surya itu pria brengsek, Bi. Dia hanya akan mempermainkan Jihan!”
“Hey, hati-hati. Jaga bicaramu. Dia itu anak orang terpandang di desa ini. Lagipula, untuk apa Jihan menemui Surya?”
“Kenapa kalian berisik sekali?!” suara nenek membentak.
Bibi terkejut dan hampir melompat di tempat.
“Rani, kemarilah! Ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi.”
Rani ragu-ragu. Bibi mendorongnya agar mendekati nenek. Keduanya menghampiri nenek.
“Anggi menghubungiku, dia bertanya soal Jihan. Aku ke sini untuk memastikannya.” kata Rani.
“Kau tidak bilang padaku terjadi sesuatu dengan Jihan.” nenek menatap Bibi.
“Maafkan aku, Bu. Aku takut membuatmu khawatir dan kau semakin jatuh sakit karena anak itu…”
“Dia cucuku! Aku harus tahu!”
“Maafkan aku, Bu…”
Rani lalu menceritakan semuanya. Ia tersedu menahan malu membongkar aibnya. Bibi sesekali menahan napas mendengarnya. Ia tidak percaya dengan yang ia dengar.
Tangan nenek gemetar. Ia merasakan aliran darahnya naik ke kepala. Jantungnya berdegup lebih cepat. Napasnya berat menahan emosi. Saking beratnya, nenek merasa kesakitan di dadanya. Bibi panik dan memanggil dokter. Di saat yang bersamaan, Nira dan Anggi datang. Mereka ikut panik.

Nut-nut. Nut-nut. Sebuah pesan masuk ke ponsel Argha. Wajahnya langsung berubah setelah membacanya. Ia berdiri tegak. “Anggi mengirim alamat kemungkinan Jihan berada saat ini.”
Gilang ikut berdiri. “Ayo bergerak cepat!”
Gilang masuk ke mobil diikuti ketiga temannya. Belum jauh mereka jalan, sebuah motor besar berhenti di depan mobil mereka.
“Juna!” seru Kris di bangku belakang.
Juna membuka kaca helmya. Sesaat ia memandang teman-temannya lalu memberi isyarat untuk berangkat.
“Aku rasa dia juga sudah dikabari Anggi.” kata Danu.
“Mungkin dia sendiri tidak sabar, jadi dia pergi sendiri ke sini sebelum akhirnya dia tahu dari Anggi.” Komentar Kris.

Di rumah kepala desa. Kepala desa dan istrinya sedang pergi ke desa lain mengunjungi saudara mereka yang sedang sakit. Surya disuruh diam di rumah dan tidak berbuat ulah. Ia bosan. Ia membeli beberapa minuman beralkohol dan setengah mabuk dibuatnya. Tiba-tiba ia melihat gudang tempat Jihan di sekap. Otak jahatnya muncul.
“Tidak apa-apa, bukan. Sebentar lagi juga kau akan menjadi istriku.” Surya mendatangi Jihan.
Jihan sedang tergeletak lemah. Tangannya diikat. Mulutnya dibekap. Pintu dibuka. Surya muncul dengan sebotol minuman beralkohol di tangannya.
“Halo, sayang,” Surya membelai rambut Jihan. “Apa kabar?”
Jihan berontak menghindar. Ia bangun dan menjauh.
Surya menarik rambut Jihan. “Bagaimana kalau kita bersenang-senang. Aku rasa di ruangan gelap ini juga tidak buruk.”
Jihan ketakutan. Ia mencoba kabur, tapi Surya kembali menarik rambutnya. Jihan menangis kesakitan. Surya membuka ikatan di mulut Jihan. Seketika Jihan meludahinya. “Aku tidak sudi bersenang-senang denganmu, Pria Busuk!”
Surya marah. Ia menampar Jihan hingga terjatuh. Sudut bibir Jihan berdarah. Ia menangis.
“Aku ingin dengar teriakanmu saat aku menjamahmu perempuan sombong!” surya menjambak rambut Jihan.
Jihan meronta dan berteriak kesakitan. Jihan menendang Surya tepat di daerah sensitifnya. Surya mengerang kesakitan. Ia membalas Jihan. Surya menarik rambut Jihan hingga Jihan ikut terangkat sampai berdiri. Surya lalu menampar Jihan hingga terhempas menubruk tembok. Kepala Jihan terbentur. Keras sekali dan sangat menyakitkan.
Kepala Jihan terasa pusing dan sakit. Ia nyaris pinsan. Sekuat tenaga Jihan berusaha untuk tetap terjaga. Ia takut jika ia tidak sadarkan diri, Surya akan berbuat macam-macam dengannya. Jihan terhuyung sebelum akhirnya terjatuh.
“Juna, tolong aku…Ibu…” Jihan menangis dalam diam. Ia teringat pada Juna.
Mata Jihan terasa berat untuk tetap terbuka. Pusing di kepalanya memaksa Jihan untuk memejamkan mata.
Pejaman pertama. Jihan pernah melewati malam hanya berdua dengan Juna di gunung tapi Juna tidak pernah berlaku tidak sopan dan macam-macam padanya. Jihan membuka matanya lagi. Ia terpejam lagi.
Pejaman kedua. Juna pernah memberinya kado ular lalu ia sendiri yang mengambilnya dan membawanya pergi. Jihan berusaha terjaga lagi. Lalu menahan sakit dan menutup mata kembali.
Pejaman ketiga. Juna pernah membuat Jihan tercebur ke kolam renang sedalam tiga meter kemudian Juna melompat ke dalamnya dan menyelamatkan Jihan. Kali ini Jihan menyerah. Ia tidak kuat lagi. Kepalanya terasa berat. Ia berharap Juna datang menolongnya.
“Kumohon, datanglah…seperti cerita dalam novel, meski pahlawan selalu datang terakhir aku harap tidak terlambat…”
Pintu gudang didobrak. Surya terkejut. Seseorang masuk menggunakan pakaian lengkap seperti ninja. Wajahnya tertutup dan hanya menyisakan bagian matanya yang terlihat. Orang itu langsung menyerang Surya. Surya oleng tanpa persiapan. Orang itu menarik Surya dan memukulnya lagi hingga terjatuh. Surya masih berusaha berdiri. Semakin ia berusaha bangkit semakin orang itu bernafsu menghajar Surya. Surya akhirnya pinsan dengan wajah lebam dan berdarah.

“Wuhu!!!” teriak Kris sambil menghancurkan seisi lemari hias. “Aku suka aksi kita ini. Seperti preman sungguhan saja.”
“Aku rasa sudah cukup.” Gilang menyudahi aksi mengamuknya di rumah kepala desa.
“Kenapa?” tanya Danu. “Aku masih bersemangat sekali.”
“Kau ingin sampai rumah ini rata dengan tanah, ya?” Argha tertawa di balik penutup wajahnya.
Juna muncul. Teman-temannya menoleh.
“Kau sudah dapatkan dia?” Arga mendekat.
Juna tidak menjawab, ia membopong Jihan yang tidak sadarkan diri.
“Ayo kita pergi!” ajak Gilang sambil memukulkan tongkat kastinya ke sebuah guci.
Mereka pergi membawa Jihan menjauh dari rumah Surya yang sudah dirusak seisinya oleh Gilang CS.
Di sebuah tempat yang cukup jauh dari TKP, Juna dan teman-temannya melakukan transaksi.
“Aku titip dia. Pastikan dia selamat sampai rumah. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Si Keras Kepala ini akan mengomeliku sepanjang hari kalau dia tahu aku di sini.” kata Juna sambil membuka penutup wajahnya.
Kris dan Danu nyengir.
“Akan kuurus dia.” kata Argha yang sudah melepas penutup wajahnya.
Juna memacu motornya dan pergi.
“Hah! Adrenalinku terpacu. Ini benar-benar keren. Memakai sarung tangan, penutup wajah, pakaian serba hitam, membawa tongkat kasti dan menghancurkan rumah musuh.” kata Kris sambil masuk ke mobil.
“Mereka tidak akan bisa melacak kita. Tidak ada CCTV dan kita tidak meninggalkan sidik jari.” Timpal Danu.
“Sebenarnya aku ingin menghajar seseorang. Tapi itu bagian Juna,” Gilang memacu mobilnya. “Sayang, mobil pinjaman dengan plat palsu ini juga harus kita kembalikan.”
Argha hanya menyungging senyum.

Jihan membuka matanya. Kepalanya masih agak terasa pusing dan sakit. “Bibi…”
“Ah, kau sudah sadar rupanya.” Bibi ada di samping Jihan.
“Aku…” Jihan memegangi kepalanya yang sakit.
“Teman-temanmu yang menyelamatkanmu. Kau beruntung, mereka tidak terlambat.” Anggi di sebelah Bibi.
Jihan mencoba mengingat kejadian sebelumnya. “Juna!!”
Bibi dan Anggi berpandangan tidak mengerti.
“Kemana Juna?” tanya Jihan.
“Dia tidak di sini. Bukankah kau melarangnya?” jawab Anggi.
Jihan keluar kamarnya. Di ruang tengah, sedang berkumpul Gilang dan kawan-kawan. Semua mata tertuju pada Jihan.
Mata Jihan menyisir mencari Juna. Tidak ada. “Kemana Juna?”
Gilang dan teman-temannya saling berpandangan. “Tidak ada Juna.”
“Tidak. Aku yakin itu Juna. Aku kenal, itu dia. Kemana dia sekarang?”
“Kau kan melarangnya ke sini.” Argha menyahut.
Jihan diam. Ia sangat yakin itu Juna. Sesaat sebelum ia benar-benar sadarkan diri, ia sempat melihat seseorang menyerang Surya. Orang itu kemudian melepaskan ikatannya. Ia yakin itu Juna karena orang itu membuka penutup wajahnya lalu memeluk Jihan dengan kuat. Setelah itu Jihan baru benar-benar tidak sadarkan diri. Tapi Jihan masih bisa mencium aroma tubuh Juna yang sangat ia kenali. Sebuah aroma wangi dan segar yang hanya ia temui pada diri Juna. Ia menciumnya begitu dekat karena kemudian Juna menggendongnya.
“Kalau kau tidak percaya, kau cek saja signal-nya. Dimana dia berada.” Usul Kris.
Jihan diam saja lalu masuk ke kamarnya. Ia tidak tahu cara menggunakan GPS itu. Jihan langsung menghubungi Juna.
“Halo?” sapa Juna di ujung sana.
“Kau dimana?” tanya Jihan. Suaranya melembut.
“Dimana? Aku yang harusnya bertanya itu padamu. Kemana kau satu hari ini? Sudah kubilang jangan matikan ponselmu lebih dari satu menit. Lihat apa yang kau lakukan? Ada apa denganmu?” Juna menyerbu Jihan dengan banyak pertanyaa.
Jihan menjauhkan ponselnya dari telinga. Ia meringis. “Isz, kau cerewet sekali…”
“Hey! Kenapa kau diam saja? Jelaskan padaku!”
Jihan menutup teleponnya. “Kau ini pacarku atau pengasuhku, sih??” gumam Jihan.
Bibi dan Anggi bengong melihat Jihan di sudut kasur.
“Kenapa?” tanya Jihan yang dipergoki Bibi dan Anggi.
Ponsel Jihan berdering.
“Apa itu Juna?” tanya Anggi.
“Nira.” Jawab Jihan dan langsung menerima panggilan. “Ada apa?”
Bibi dan Anggi baru ingat bahwa siang tadi kondisi nenek menurun. Ia terpaksa masuk ruang ICU karena kondisinya kritis.

Di perjalanan menuju rumah sakit. Jihan diam memandangi jalanan. Menumpang mobil Gilang, Bibi dan Anggi menuju rumah sakit. Matanya merah menggenang air mata.
Nira bilang, nenek mendadak kritis dan masuk ICU. Nenek tidak sadarkan diri sejak sore tadi. Dokter bilang, salah satu pembuluh darah di otak nenek pecah karena tekanan darahnya yang tinggi. Nenek mengalami koma.
          
Bibi keluar dari ruang ICU. Jihan berdiri menyambut Bibi. Anggi ikut menyerbu. Bibi menggenang air mata. “Dia masih koma.”
Anggi lemas terduduk.
“Ini semua salahmu!” Nira angkat suara memandang Jihan. Semua mata memandang Jihan dan Nira.
“Kalau kau tidak keras kepala dan menurut pada nenek, semua ini tidak akan terjadi.” Nira menangis.
“Nira! Ini bukan saatnya membahas itu. Kita semua khawatir pada nenek. Tidakkah kau tahu itu?” Bibi membentak Nira.
Gilang, Kris dan Danu membuang pandang. Argha yang duduk di sebelah Jihan memijat-mijat keningnya. Jihan merunduk. Ia benar-benar sangat mengkhawatirkan nenek. Tapi ia juga tidak bisa menikah dengan Surya yang sudah menyekap dan menyiksanya. Kalau nenek tahu soal itu, itu sama saja Jihan membunuh nenek.
“Jihan, masuk dan lihatlah nenek. Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Titah Bibi.
Dengan tangan gemetar, Jihan menuruti perintah Bibinya. Jihan memakai baju yang disediakan untuk pengunjung saat memasuki ICU oleh rumah sakit.
Jihan mendekati nenek yang terbaring tidak berkutik. Jihan tidak sanggup menahan air matanya. Jihan duduk di kursi sebelah kasur nenek. Bibirnya bergetar.
“Nenek. Ini aku, Jihan.” kata Jihan akhirnya. “Aku…maaf, aku baru menengokmu sekarang.”
Sunyi. Hanya suara alat pemantau detak jantung nenek yang terdengar.
“Aku sangat menyayangimu. Sangat mengkhawatirkanmu. Lebih dari diriku sendiri.”
Sepi.
“Nek, aku patut kau pukul. Aku patut kau maki. Aku patut kau benci. Tapi kumohon, jangan sakit karena aku,” Jihan menangis. “aku ingin kau bahagia dan bangga padaku. Aku hanya cucumu yang bodoh dan tidak cantik. Tidak ada yang kubanggakan dari diriku. Aku harus bagaimana, Nek…bagaimana caraku membuatmu bangga padaku….”
Hening.
“Aku…menyukai seseorang. Dia sangat baik padaku. Dia sangat menjagaku. Bukankah kau ingin agar aku memiliki seseorang yang bisa menjagaku?” Jihan menghapus air matanya. “Aku…sangat menyukainya. Kau ingat dulu aku pernah bercerita padamu tentang anak kecil yang selalu menungguku bermain ayunan? Itu dia, nek. Anak bisulan itu adalah Juna. Aku ingin minta maaf padanya, dan kau juga menyuruhku agar meminta maaf padanya jika suatu hari aku bertemu lagi dengannya. Aku…tidak hanya mengatakan maaf padanya, Nek. Tapi juga berterima kasih.”
Jihan tersedu. Terasa percuma berkali-kali ia menghapus air matanya tapi tetap saja tumpah.
“Aku tidak mengerti takdir. Aku membenci jalan hidupku. Juna bilang, takdir mempertemukan kami dengan keadaan yang lebih indah. Bagaimana menurutmu, Nek?”
Tiba-tiba terdengar nada panjang dari alat pemantau detak jantung nenek. Jihan terkejut. Dilihatnya monitor pemantau jantung. Tidak lagi seperti kurva, tapi garis panjang. Beberapa perawat datang. Mereka melakukan sejumlah pemeriksaan dan memanggil dokter. Jihan disuruh meninggalkan ruangan sementara.
“Bagiamana?” tanya Bibi.
Jihan menggeleng. Ia menangis. Bibi memeluk dan membelainya.
Nenek meninggal. Ia meninggal tanpa sempat mengatakan apa pun pada Jihan. Nira orang yang paling terlihat sangat kehilangan. Anak manja itu hanya dekat dengan nenek. Ia sangat menyalahkan Jihan.
Setelah pemakaman nenek, Bibi menjelaskan semuanya pada Nira apa yang sebenarnya terjadi. Bibi juga menceritakan bahwa nenek mendengar langsung dari Rani seperti apa Surya sebenarnya.
“Meski pun dia tidak sempat mengatakan apa pun padamu, aku yakin dia sudah tenang di sana bahwa kau baik-baik saja dan pernikahan itu dibatalkan.” kata Bibi.
Bibi memutuskan untuk tinggal di desa bersama Nira. Jihan kembali ke kota bersama Anggi dan meneruskan kuliahnya.

Dua minggu kemudian.
“Arjuna Samudera Wijaya!” seseorang memanggil nama Juna.
Juna berbalik. Jihan tersenyum. Ia lalu memamerkan giginya sambil mengacungkan dua jari tangan kanannya pada Juna. Juna melihatnya beberapa detik tanpa ekspresi. Juna lalu berbalik tidak menanggapi Jihan. Jihan syok melihat reaksi Juna yang mengacuhkannya padahal mereka baru bertemu setelah hampir satu bulan terpisah. Dengan kesalnya Jihan menghampiri Juna.
“Kau ini kenapa??” tanya Jihan pada Juna.
Dengan santainya Juna berbalik. “Kenapa bagaimana maksudmu?”
Jihan mengernyitkan dahinya melihat ekspresi Juna yang datar-datar saja.
“Kenapa bagaimana maksudmu?” Jihan mengulang pertanyaan Juna. “Kau baru saja mengacuhkanku, tahu!”
“Baguslah. Aku rasa kau mengerti sekarang.”
“Mengerti apa?”
“Kau ini egois sekali!” omel Juna.
Jihan menatapnya tidak mengerti.
“Aku hanya mengacuhkan beberapa detik saja kau sudah cerewet. Bagaimana dengan aku? Apa kau tidak memikirkan aku? Kau mengacuhkan aku lebih dari beberapa detik, bahkan berminggu-minggu. Kau melarangku menelepon, mengirim pesan bahkan menemuimu. Dimana per-.” Juna menahan kalimatnya. Ia kesal meremas tinjunya.
Jihan tiba-tiba tersenyum seolah mengerti sesuatu.
“Aku ingin kau tahu rasa.”
Jihan menajamkan senyumnya. “Aku tahu kau ingin bilang apa. Kau ingin bilang, ‘dimana perasaanmu’, kan?dengan kata lain, kau sedang berbicara soal perasaan…”
Juna jadi serba salah ia seperti malu mengakui perasaannya. Bahwa sebenarnya ia rindu pada Jihan. Bahwa sebenarnya ia tidak tahan terpisah dari Jihan.
Juna tidak suka melihat senyum Jihan yang terkesan mengejeknya. Ia merasa sudah tertangkap basah mengakui perasaannya secara tidak langsung. Juna langsung melingkarkan lengan kirinya ke leher Jihan dan membawanya pergi.
“Hey, Juna! Aku tercekik! Kau mau membunuhku, ya!” teriak Jihan sambil berjalan mundur mengimbangi Juna. Jihan berusaha melepaskan diri dari Juna.
Beberapa orang yang melihat menahan napas seolah berkata, “Jihan beruntung sekali bisa dipeluk Juna seperti itu.” Meski tidak seperti itu kejadian yang sebenarnya.
Juna melepaskan lilitan tangannya. Ia meraih tangan kanan Jihan dan membuat Jihan berputar agar searah dengan Juna.
 “Hey, Juna. Kau merindukanku ya?” ledek Jihan.
“Tidak. Aku hanya sangat merindukanmu.” Juna tersenyum sambil tertawa menggandeng tangan Jihan.
“Jadi kau…”
“Sudah, jangan banyak bicara. Aku sedang lapar. Kau harus mentraktirku makan karena ulahmu!”
“Apa?” Jihan terperanjat. “Aku tidak punya uang untuk itu. Uangku hanya cukup untuk ongkos kuliah.”
“Kalau begitu aku akan mengantarmu berangkat dan pulang kuliah. Jadi habiskan saja uangmu untuk mentraktirku.”
“Tidak mau!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya