Mozarella Cake - Chapter 16 (End)
Chapter
16
Pilihan
Yang Berat
Lanjutan Dari Chapter 15
“Nenek dirawat,”
kata Anggi sambil menutup telepon dari Bibi. “Ibu dan Nira akan bermalam di
sana.”
Jihan berbaring
di kasurnya. Bantalnya basah air mata.
“Aku akan ke
sana, membawa beberapa pakaian dan keperluan nenek. Kau jangan ikut. Masih
ingat yang kukatakan padamu, kan? Nanti, kalau nenek sudah baikan, kau boleh
menemuinya.”
Sebuah pesan
masuk di ponsel Jihan. Nira mengirim pesan :
Jangan coba-coba menginjakkan kakimu ke rumah sakit
dan menemui Nenek. Kecuali kau datang membawa kabar baik untuknya bahwa kau
bersedia menerima permintaan Nenek.
Jihan semakin
tersedu. Jihan menghapus air mata lalu duduk di sisi kasur. “Kau tahu Rani,
kan?” tanya Jihan pada Anggi.
“Tentu saja.
Kita selalu bermain bersama. Kita bertiga dan membuat Nira iri karena tidak
punya teman dan selalu menempel pada Nenek. Kenapa?”
Jihan
menceritakan apa yang diceritakan Rani pada Anggi. Itu sebabnya ia tetap
bersikeras tidak ingin menikah dengan Surya.
Anggi syok. Ia
seperti tidak percaya. “Tidak kusangka. Pria itu busuk!!”
Waktu hampir
tengah malam. Jihan berdiri di sebuah gerbang rumah mewah. Ia mondar-mandir
kedinginan. Sebuah mobil mewah datang. Jihan memfokuskan pandangan pada Si Pengemudi.
Mobil berhenti tepat di depan gerbang yang Jihan tunggu.
Pengemudinya
keluar. “Hey, k-kau sedang apa malam-malam begini di sini? Sendirian?”
“Aku sedang
ingin membuat perhitungan denganmu, Pria Busuk!” maki Jihan pada Surya.
Seorang
penumpang keluar. Wanita. Dengan dandanan menor dan pakaian minim.
“Kau jangan
salah paham dulu. Dia bukan siapa-siapa, sayang…” bujuk Surya sambil mendekati Jihan.
“Jangan panggil
aku seperti itu, bodoh!” Jihan menampar Surya. “Aku tidak sudi!”
“Kau ini
kenapa??” Surya setengah berteriak.
“Berhenti
membujuk nenekku untuk pernikahan menjijikan itu!” Jihan ikut berteriak.
Surya tertawa.
“Asal kau tahu saja ya, perempuan jelek! Aku bahkan tidak bernafsu melihatmu!
Kau wanita kasar!”
“Kau pikir apa
dirimu??”
“Kau mau tahu
kenapa?” Surya meninggikan suaranya. “Ikut aku!”
“Cih!” Jihan
menolak.
“Apa pun yang
terjadi, kita tetap harus menikah. Kalau kau mau bernegosiasi denganku, ikuti
aku!”
Surya kembali ke
mobilnya bersama wanita itu. Ia membunyikan klakson mobilnya lalu gerbang
dibuka. Dengan ragu, Jihan akhirnya ikut masuk juga. Jihan memastikan ponselnya
masih menyala. Karena kalau terjadi sesuatu dengannya, Juna pasti akan cepat
menemukannya. Untuk berjaga-jaga, Jihan menyalakan perekam suara. Ia memasukkan
ponselnya di saku dalam jaketnya. Ia meredam suara ponselnya agar tidak berdering
ketika ada pesan atau panggilan masuk. Jihan masuk ke rumah besar itu.
“Kau lihat itu?”
kata Surya. Ia memamerkan sebuah miniatur rumah-rumah yang rapi dan dibingkai
kaca.
“Ini adalah proyek
besarku. Sebuah perhotelan. Dan letaknya di tanah nenekmu. Setahun lalu,
nenekmu datang ke kantor ayahku untuk membuat surat tanah itu atas namamu. Dia
sudah membagi tanah miliknya atas nama cucu-cucunya. Dan tanah itu…”
Jihan
mendengarkan dengan seksama.
“Tanah itu
adalah tanah emas strategis yang kuincar. Dan tanah itu atas namamu!” Surya
membanting sebuah hiasan porselin di meja hingga jatuh berkeping-keping.
Jihan terkejut
dan menghindar. Ibu kepala desa keluar mendengar keributan itu. Ia terkejut
melihat Jihan ada di rumahnya. Kepala desa ikut keluar dan ikut terkejut.
“Apa yang
terjadi?” tanya kepala desa menghampiri anaknya.
“Biar saja dia
tahu! Dia perempuan munafik dan menyedihkan!” maki Surya.
Kepala desa
mendekati Jihan. “Maafkan Surya, dia sedang mabuk. Semua yang dikatakannya
tidak benar. Pulanglah, sudah malam. Atau, biar diantar supirku.”
“Tidak perlu
repot-repot. Sebaiknya persiapkan saja diri kalian untuk enyah dari desa ini.” Jihan
berbalik dan pergi.
Sesaat kepala
desa heran. Kemudian ia mengejar Jihan. Ia menangkap Jihan. Jihan terkejut dan
meronta.
“Cepat geledah
dia!” teriak kepala desa.
Surya berlari
menghampiri ayahnya.
“Hentikan!
Lepaskan aku! Hey, kau! Jangan coba-coba menyentuhku atau kau akan dalam
masalah!” Jihan berusaha menghindari Surya. Kakinya terbang berusaha menendang
Surya.
Ibu kepala desa
tidak ingin melihat kejadian itu. Ia pergi dengan ekspresi sedih. Karena Jihan
terlalu keras berusaha, ponselnya jatuh. Surya memungutnya. Dilihatnya layar
ponsel itu.
“Kau benar, Ayah.
Dia perempuan licik. Dia merekan semuanya!” Surya membanting ponsel Jihan ke
tembok hingga layarnya hancur.
Jihan syok.
“Kurang ajar kau!!” Jihan berontak.
“Cepat amankan
dia di gudang. Jangan sampai ada yang melihat sampai hari pernikahanmu tiba dan
kau dapatkan segalanya.” Titah kepala desa.
Surya mebekap
mulut Jihan dan membawanya ke gudang bersama ayahnya. Ibu kepala desa mengintip
di balik tirai jendela kamarnya di lantai dua. Ia seperti tidak tega. Jihan
menangkap aksi ibu kepala desa. Ia yakin ibu kepala desa tidak sejalan dengan
anak dan suaminya. Tapi kenapa ia diam saja.
Di rumah Juna.
Danu dan Kris sedang asik beradu cepat dalam sebuah game playstation. Gilang
sibuk membalas satu per satu chat
teman wanitanya. Argha sedang menikmati spaghetti dosis besar di sebelah Danu
dan Kris.
Juna tiba-tiba
datang sambil marah-marah. “Apa-apaan ini??”
Semua wajah
tertuju pada Juna. Mereka melupakan kesibukkan masing-masing.
“Kenapa?” tanya
Argha dengan mulut penuh spaghetti.
“Sudah kubilang,
jangan matikan ponsel lebih dari satu menit! Kenapa ia mematikannya? Ini sudah
hampir lima menit!” omel Juna.
Ke-empat
sahabatnya tersenyum memahami lalu sibuk lagi.
“Kau bisa
menghubungi Anggi, kan?” usul Argha.
“Kalau aku bisa,
sudah kulakukan! Mereka benar-benar menyebalkan!”
“Kenapa kau
tidak pergi ke tempatnya saja?” tanya Danu.
“Sudah kukatakan
dia melarangku!”
“Baiklah!”
Gilang berdiri. “Serahkan saja pada kami.”
Ketiga temannya
berpandangan melihat Gilang. “Maksudmu, kita ke sana?”
“Dia
melarangku!” ulang Juna.
“Iya, dia
melarangmu. Tapi tidak kami, kan?” Argha ikut berdiri.
Danu, Kris,
Gilang dan Argha pergi ke desa Jihan. Mereka baru mendapat kabar ketika di
perjalanan bahwa Jihan tidak pulang semalaman. Juna sangat mengkhawatirkan Jihan.
berkali-kali dihubungi, ponselnya tidak aktif. Tidak ada yang tahu keberadaan Jihan.
Terlebih Bibi,
ia sangat mengkhawatirkan keponakannya itu. Ia bingung jika nenek menanyakan Jihan.
Anggi lebih sibuk lagi, Juna dan kawan-kawannya bolak-balik menghubunginya
mencari tahu tentang Jihan. Nira adalah orang paling tenang di situasi seperti
ini.
“Hah, dia pasti
kabur lagi. Dasar pengecut.” Komentar Nira.
Gilang dan
teman-temannya datang ke rumah sakit tempat nenek di rawat. Mereka mencari Anggi
tapi tidak ketemu. Anggi tidak menjawab telepon mereka. Gilang, Danu dan Kris
mencoba mencari tahu di lobi rumah sakit dengan bertanya pada bagian informasi.
Payahnya, mereka bahkan tidak tahu nama neneknya Jihan.
Argha memperhatikan
sekelilingnya. Dilihatnya begitu banyak orang di sana. Tua-muda bercampur.
Mereka kemudian terpisah menuju ruangn yang berbeda. Argha menyimpulkan
sesuatu. Tanpa memberi tahu teman-temannya, Argha pergi ke salah satu koridor
rumah sakit. Sejalan dengannya, banyak pasien berusia lanjut dibawa ke arah
itu. Setiap kamar perawatan jendelanya terbuka. Setiap jendela itu Argha
melihat ke dalam. Ia memang tidak mengenal neneknya Jihan. tapi ia mengenal
Bibi dan Anggi. Mungkin mereka sedang menunggui nenek di kamarnya.
Argha berhenti
di depan sebuah kamar. Sepi. Hanya ada seorang pasien berbaring di sana.
Perempuan tua yang sedang terbatuk. Argha memasuki ruangan itu. Argha tersenyum
semanis mungkin kepada nenek tua itu. “Selamat pagi.”
“Pagi. Dokter?”
tanya nenek.
“Oh, bukan.
Mmm…bagaimana, ya?” Argha bingung antara mau menjelaskan atau bertanya.
Nenek
memperhatikan Argha dari ujung kaki sampai kepala. Dandannya serba rapi. Tidak
seperti orang desa yang serapi-rapinya tidak akan serapi itu. “Kau dari kota?” tanya
Nenek.
“Hm? Iya…” Argha
tertawa.
“Kau teman
cucuku?”
“Apa cucumu
bernama Jihan?”
“Kenapa
dengannya? Dia tidak menjengukku sejak aku dirawat, tapi malah menyuruh
temannya.”
Argha tersenyum
bahwa ia tidak salah orang. “Boleh aku duduk di sini?” Argha menarik kursi di
sebelah kasur nenek.
“Duduklah.” Nenek
merubah posisinya menjadi duduk. “Kemana anak nakal itu?”
“Dia…dia sangat
mengkhawatirkanmu, Nek. Oh, maaf. Boleh kupanggil kau’nenek’?
Nenek tersenyum.
“Aku memang seorang nenek-nenek, bukan?”
Argha tertawa. “Iya,
kau benar.”
Argha terlibat
banyak obrolan basa-basi dengan nenek. Mereka terlihat sangat menikmati
obrolan. Mereka tertawa bersama seolah sudah akrab sejak lama.
Di tempat lain,
teman-teman Argha kelimpungan mencari Argha.
“Dia itu kenapa
sih, di saat genting begini malah melarikan diri!” Omel Gilang.
“Pasti ponselnya
silent. Dia tidak menjawab teleponku.”
kata Kris sambil terus menelepon.
“Juna!” Danu
menunjukkan ponselnya. Juna menelepon.
Nenek terbatuk
di tengah tawanya. Argha bangkit dan mengambil air. Ia membantu nenek minum.
“Baiklah, cukup.
Sekarang katakan padaku apa tujuanmu, kenapa kau terlalu memujiku padahal kau
belum mengenalku? Aku tahu obrolan kita menyenangkan meski semuanya basa-basi.”
Argha tersenyum.
“Aku tidak punya maksud apa-apa. Kecuali menjengukmu. Sebagai seorang teman,
aku menghargai Jihan.”
“Hm. Lalu?”
“Sekarang aku
percaya, kau sangat cerdas. Jihan sangat mengagumimu. Dia ingin menjadi
secerdas dirimu. Jika kau secerdas ini karena seorang guru, mungkin Jihan tidak
bisa berguru di tempat yang sama denganmu. Ia kuliah adalah untuk menjadi
cerdas. Menjadi istri yang cerdas, ibu yang cerdas dan akhirnya menjadi nenek
yang cerdas bagi cucu-cucunya kelak.”
Nenek tersenyum memonyongkan bibirnya. “Kau
tahu alasan Jihan kusuruh pulang?”
“Iya. Aku tahu.”
“Apa kau
pacarnya?”
Argha tersenyum
lagi. “Bukan. Juna adalah teman baikku sejak kami sama-sama sekolah dasar.”
“Dia pacarnya Jihan?”
Argha
mengangguk.
“Kau disuruh Juna?”
“Tidak.”
“Aku tahu maksud
kedatanganmu.”
Keduanya beradu
pandang.
Kris menarik
lengan Gilang. “Itu dia!”
Kris menunjuk ke
arah Argha dan nenek. Gilang menarik Danu. Mereka memperhatikan Argha dari luar
jendela.
“Aku tidak
mengerti apa yang terjadi antara Juna dan Jihan. Yang aku tahu, mereka sudah
saling mengenal sejak masih anak-anak,” kata Argha. “mereka bertemu kembali
setelah empat belas tahun terpisah di kota. Apa pendapatmu?”
Nenek hanya
tersenyum.
“Juna tidak akan
menyakiti cucumu. Aku tidak pernah melihatnya seserius itu pada perempuan lain
kecuali pada cucumu. Aku sedang tidak membahas materi. Tapi aku berjanji
padamu, jika dia menyakiti cucumu, aku akan mengurusnya dengan tanganku
sendiri.”
“Apa Jihan
sengaja menemui temanmu itu ke kota?”
“Aku rasa tidak.
Mungkin Tuhan sudah mengaturnya.”
“Minggu ini, Jihan
akan segera menikah dengan pilihanku.”
“Bagaimana kalau
kita beradu kelebihan diantara keduanya?”
“Aku seorang
pemegang janji yang teguh. Apa yang sekali terucap olehku maka harus kutepati.
Menurutmu apa yang bisa membuatku menarik kata-kataku?”
Argha diam saja.
Nenek tertawa.
“Sudahlah. Aku lelah. Aku ingin istirahat.”
Argha tersenyum.
Ia berdiri.
“Kalian?” Bibi
terkejut melihat Gilang dan teman-temannya di depan ruang nenek dirawat.
Argha muncul.
Bibi semakin terkejut.
Bibi masuk ke
ruangan nenek. Dengan ragu-ragu ia meletakkan sekotak roti dari Gilang.
“Kemana Jihan?”
tanya nenek dengan posisi tertidur.
“Di-dia…dia
takut kau masih marah, jadi dia menunggu agar kau memanggilnya.” jawab Bibi.
“Kau tahu kalau Jihan
menyukai seseorang?”
Bibi terkejut.
Ia meringis ketakutan.
“Kenapa?” Nenek
melirik Bibi. “Jadi kau tahu. Kenapa tidak kau larang?”
“A-aku…aku tidak
tahu pastinya, Bu. Aku tidak bisa mengawasinya terus selama dia di kampus. Aku
bekerja dan dia tidak selalu bersamaku. Maafkan aku, Bu…”
“Kenapa Tuhan
tidak mengabulkan doa-ku…” Nenek bergumam.
Bibi tersentak
mendengarkan.
“Aku menyesali
sifat keras kepalaku. Aku tidak ingin keturunanku memiliki sifat ini. Tapi
kakakmu mewarisinya. Betapa aku merasa bersalah. Hidupnya malang sepertiku
karena sifat keras kepalanya. Aku tidak ingin Jihan mengalaminya juga.”
Bibi sedih dan
diam.
“Aku keras
kepala, menolak lamaran seorang pria pilihan orang tuaku. Dengan alasan cinta
aku menembus segalanya. Aku melahirkan kakakmu lalu suamiku meninggal. Hidupku
penuh dengan cinta meski serba kekurangan. Pria pilihan orang tuaku ternyata
masih setia menungguku. Aku menikah dengannya dan melahirkanmu. Aku merasa
hidup tenang dengan suami keduaku yang akhirnya juga meninggal dan menjadikanku
janda untuk kedua kalinya. Aku sama sekali tidak menyesali keduanya. Menurutmu
kenapa?”
“Hm? A-aku…”
Bibi terlalu menghayati cerita nenek dan ia bingung harus menjawab apa.
“Mungkin karena itu pilihan Ibu sendiri. Tanpa paksaan dan Ibu bertanggung
jawab dengan pilihan Ibu sendiri. Apa pun yang terjadi atas pilihan Ibu, Ibu
tidak akan menyalahkan siapa-siapa.”
Nenek tersenyum.
Ia kemudian memejamkan kedua matanya. Sebutir bening hangat mengalir di sudut
matanya. Mengalir melewati lipatan-lipatan halus wajahnya.
Di pinggir
jalan. Argha dan teman-temannya sedang menikmati minuman sambil bersandar di
mobil mercy Gilang.
“Apa yang kau
katakan pada nenek itu?” tanya Gilang pada Argha.
Argha diam.
Dahinya mengkerut. Danu dan Kris menunggu.
“Dia bukan orang
sembarangan. Dia tidak akan menarik kata-katanya. Tapi dia sudah mengerti
maksudku. Aku hanya memikirkan bagaimana ia memutuskan semuanya.” Argha serius.
Seseorang
mengetuk pintu ruang rawat nenek. Bibi menengok. Ternyata Rani. Bibi
mempersilahkan Rani masuk. Nenek sedang tertidur.
“Bi, Jihan
dimana?” tanya Rani.
Bibi lalu
membawa Rani menjauh dari nenek ke sudut ruang. “Kupikir dia bersembunyi ke
tempatmu. Dia tidak pulang semalaman. Dia juga tidak bisa dihubungi.”
Rani terlihat
cemas. “Dia tidak ke tempatku. Dia bahkan tidak tahu karena aku belum
memberitahunya.”
“Aduh…kemana
anak nakal itu pergi…”
Rani memutar otak.
Hal nekat apa yang Jihan lakukan kali ini. Apa yang membuat dia pergi sendirian
tanpa kabar. Tiba-tiba Rani teringat pertemuan terakhirnya dengan Jihan.
“Surya, Bi!”
Rani terkejut. Suaranya nyaris terdengar ke seluruh ruangan.
“Ssst!” Bibi
memberi isyarat agar Rani mengecilkan suaranya. Ia takut nenek mendengarnya.
“Kenapa?”
“Nenek belum
tahu kalau Jihan hilang,” bisik Bibi. “Ada apa dengan Surya?”
“Surya itu pria
brengsek, Bi. Dia hanya akan mempermainkan Jihan!”
“Hey, hati-hati.
Jaga bicaramu. Dia itu anak orang terpandang di desa ini. Lagipula, untuk apa Jihan
menemui Surya?”
“Kenapa kalian
berisik sekali?!” suara nenek membentak.
Bibi terkejut
dan hampir melompat di tempat.
“Rani,
kemarilah! Ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi.”
Rani ragu-ragu.
Bibi mendorongnya agar mendekati nenek. Keduanya menghampiri nenek.
“Anggi
menghubungiku, dia bertanya soal Jihan. Aku ke sini untuk memastikannya.” kata
Rani.
“Kau tidak
bilang padaku terjadi sesuatu dengan Jihan.” nenek menatap Bibi.
“Maafkan aku,
Bu. Aku takut membuatmu khawatir dan kau semakin jatuh sakit karena anak itu…”
“Dia cucuku! Aku
harus tahu!”
“Maafkan aku,
Bu…”
Rani lalu
menceritakan semuanya. Ia tersedu menahan malu membongkar aibnya. Bibi sesekali
menahan napas mendengarnya. Ia tidak percaya dengan yang ia dengar.
Tangan nenek
gemetar. Ia merasakan aliran darahnya naik ke kepala. Jantungnya berdegup lebih
cepat. Napasnya berat menahan emosi. Saking beratnya, nenek merasa kesakitan di
dadanya. Bibi panik dan memanggil dokter. Di saat yang bersamaan, Nira dan Anggi
datang. Mereka ikut panik.
Nut-nut.
Nut-nut. Sebuah pesan masuk ke ponsel Argha. Wajahnya langsung berubah setelah
membacanya. Ia berdiri tegak. “Anggi mengirim alamat kemungkinan Jihan berada
saat ini.”
Gilang ikut
berdiri. “Ayo bergerak cepat!”
Gilang masuk ke
mobil diikuti ketiga temannya. Belum jauh mereka jalan, sebuah motor besar
berhenti di depan mobil mereka.
“Juna!” seru Kris
di bangku belakang.
Juna membuka
kaca helmya. Sesaat ia memandang teman-temannya lalu memberi isyarat untuk
berangkat.
“Aku rasa dia
juga sudah dikabari Anggi.” kata Danu.
“Mungkin dia
sendiri tidak sabar, jadi dia pergi sendiri ke sini sebelum akhirnya dia tahu
dari Anggi.” Komentar Kris.
Di rumah kepala
desa. Kepala desa dan istrinya sedang pergi ke desa lain mengunjungi saudara
mereka yang sedang sakit. Surya disuruh diam di rumah dan tidak berbuat ulah.
Ia bosan. Ia membeli beberapa minuman beralkohol dan setengah mabuk dibuatnya.
Tiba-tiba ia melihat gudang tempat Jihan di sekap. Otak jahatnya muncul.
“Tidak apa-apa,
bukan. Sebentar lagi juga kau akan menjadi istriku.” Surya mendatangi Jihan.
Jihan sedang
tergeletak lemah. Tangannya diikat. Mulutnya dibekap. Pintu dibuka. Surya
muncul dengan sebotol minuman beralkohol di tangannya.
“Halo, sayang,”
Surya membelai rambut Jihan. “Apa kabar?”
Jihan berontak
menghindar. Ia bangun dan menjauh.
Surya menarik
rambut Jihan. “Bagaimana kalau kita bersenang-senang. Aku rasa di ruangan gelap
ini juga tidak buruk.”
Jihan ketakutan.
Ia mencoba kabur, tapi Surya kembali menarik rambutnya. Jihan menangis
kesakitan. Surya membuka ikatan di mulut Jihan. Seketika Jihan meludahinya.
“Aku tidak sudi bersenang-senang denganmu, Pria Busuk!”
Surya marah. Ia
menampar Jihan hingga terjatuh. Sudut bibir Jihan berdarah. Ia menangis.
“Aku ingin
dengar teriakanmu saat aku menjamahmu perempuan sombong!” surya menjambak
rambut Jihan.
Jihan meronta
dan berteriak kesakitan. Jihan menendang Surya tepat di daerah sensitifnya.
Surya mengerang kesakitan. Ia membalas Jihan. Surya menarik rambut Jihan hingga
Jihan ikut terangkat sampai berdiri. Surya lalu menampar Jihan hingga terhempas
menubruk tembok. Kepala Jihan terbentur. Keras sekali dan sangat menyakitkan.
Kepala Jihan
terasa pusing dan sakit. Ia nyaris pinsan. Sekuat tenaga Jihan berusaha untuk
tetap terjaga. Ia takut jika ia tidak sadarkan diri, Surya akan berbuat
macam-macam dengannya. Jihan terhuyung sebelum akhirnya terjatuh.
“Juna, tolong aku…Ibu…” Jihan menangis dalam diam. Ia teringat pada Juna.
Mata Jihan
terasa berat untuk tetap terbuka. Pusing di kepalanya memaksa Jihan untuk
memejamkan mata.
Pejaman pertama.
Jihan pernah melewati malam hanya berdua dengan Juna di gunung tapi Juna tidak
pernah berlaku tidak sopan dan macam-macam padanya. Jihan membuka matanya lagi.
Ia terpejam lagi.
Pejaman kedua. Juna
pernah memberinya kado ular lalu ia sendiri yang mengambilnya dan membawanya
pergi. Jihan berusaha terjaga lagi. Lalu menahan sakit dan menutup mata
kembali.
Pejaman ketiga. Juna
pernah membuat Jihan tercebur ke kolam renang sedalam tiga meter kemudian Juna
melompat ke dalamnya dan menyelamatkan Jihan. Kali ini Jihan menyerah. Ia tidak
kuat lagi. Kepalanya terasa berat. Ia berharap Juna datang menolongnya.
“Kumohon, datanglah…seperti cerita dalam novel, meski
pahlawan selalu datang terakhir aku harap tidak terlambat…”
Pintu gudang
didobrak. Surya terkejut. Seseorang masuk menggunakan pakaian lengkap seperti
ninja. Wajahnya tertutup dan hanya menyisakan bagian matanya yang terlihat. Orang
itu langsung menyerang Surya. Surya oleng tanpa persiapan. Orang itu menarik
Surya dan memukulnya lagi hingga terjatuh. Surya masih berusaha berdiri.
Semakin ia berusaha bangkit semakin orang itu bernafsu menghajar Surya. Surya
akhirnya pinsan dengan wajah lebam dan berdarah.
“Wuhu!!!” teriak
Kris sambil menghancurkan seisi lemari hias. “Aku suka aksi kita ini. Seperti
preman sungguhan saja.”
“Aku rasa sudah
cukup.” Gilang menyudahi aksi mengamuknya di rumah kepala desa.
“Kenapa?” tanya
Danu. “Aku masih bersemangat sekali.”
“Kau ingin
sampai rumah ini rata dengan tanah, ya?” Argha tertawa di balik penutup
wajahnya.
Juna muncul.
Teman-temannya menoleh.
“Kau sudah
dapatkan dia?” Arga mendekat.
Juna tidak
menjawab, ia membopong Jihan yang tidak sadarkan diri.
“Ayo kita
pergi!” ajak Gilang sambil memukulkan tongkat kastinya ke sebuah guci.
Mereka pergi
membawa Jihan menjauh dari rumah Surya yang sudah dirusak seisinya oleh Gilang
CS.
Di sebuah tempat
yang cukup jauh dari TKP, Juna dan teman-temannya melakukan transaksi.
“Aku titip dia.
Pastikan dia selamat sampai rumah. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Si Keras
Kepala ini akan mengomeliku sepanjang hari kalau dia tahu aku di sini.” kata Juna
sambil membuka penutup wajahnya.
Kris dan Danu
nyengir.
“Akan kuurus
dia.” kata Argha yang sudah melepas penutup wajahnya.
Juna memacu
motornya dan pergi.
“Hah!
Adrenalinku terpacu. Ini benar-benar keren. Memakai sarung tangan, penutup
wajah, pakaian serba hitam, membawa tongkat kasti dan menghancurkan rumah
musuh.” kata Kris sambil masuk ke mobil.
“Mereka tidak
akan bisa melacak kita. Tidak ada CCTV dan kita tidak meninggalkan sidik jari.”
Timpal Danu.
“Sebenarnya aku
ingin menghajar seseorang. Tapi itu bagian Juna,” Gilang memacu mobilnya.
“Sayang, mobil pinjaman dengan plat palsu ini juga harus kita kembalikan.”
Argha hanya
menyungging senyum.
Jihan membuka
matanya. Kepalanya masih agak terasa pusing dan sakit. “Bibi…”
“Ah, kau sudah
sadar rupanya.” Bibi ada di samping Jihan.
“Aku…” Jihan
memegangi kepalanya yang sakit.
“Teman-temanmu
yang menyelamatkanmu. Kau beruntung, mereka tidak terlambat.” Anggi di sebelah
Bibi.
Jihan mencoba
mengingat kejadian sebelumnya. “Juna!!”
Bibi dan Anggi
berpandangan tidak mengerti.
“Kemana Juna?”
tanya Jihan.
“Dia tidak di
sini. Bukankah kau melarangnya?” jawab Anggi.
Jihan keluar
kamarnya. Di ruang tengah, sedang berkumpul Gilang dan kawan-kawan. Semua mata
tertuju pada Jihan.
Mata Jihan
menyisir mencari Juna. Tidak ada. “Kemana Juna?”
Gilang dan
teman-temannya saling berpandangan. “Tidak ada Juna.”
“Tidak. Aku
yakin itu Juna. Aku kenal, itu dia. Kemana dia sekarang?”
“Kau kan
melarangnya ke sini.” Argha menyahut.
Jihan diam. Ia
sangat yakin itu Juna. Sesaat sebelum ia benar-benar sadarkan diri, ia sempat
melihat seseorang menyerang Surya. Orang itu kemudian melepaskan ikatannya. Ia
yakin itu Juna karena orang itu membuka penutup wajahnya lalu memeluk Jihan
dengan kuat. Setelah itu Jihan baru benar-benar tidak sadarkan diri. Tapi Jihan
masih bisa mencium aroma tubuh Juna yang sangat ia kenali. Sebuah aroma wangi
dan segar yang hanya ia temui pada diri Juna. Ia menciumnya begitu dekat karena
kemudian Juna menggendongnya.
“Kalau kau tidak
percaya, kau cek saja signal-nya. Dimana dia berada.” Usul Kris.
Jihan diam saja
lalu masuk ke kamarnya. Ia tidak tahu cara menggunakan GPS itu. Jihan langsung
menghubungi Juna.
“Halo?” sapa Juna
di ujung sana.
“Kau dimana?”
tanya Jihan. Suaranya melembut.
“Dimana? Aku
yang harusnya bertanya itu padamu. Kemana kau satu hari ini? Sudah kubilang
jangan matikan ponselmu lebih dari satu menit. Lihat apa yang kau lakukan? Ada
apa denganmu?” Juna menyerbu Jihan dengan banyak pertanyaa.
Jihan menjauhkan
ponselnya dari telinga. Ia meringis. “Isz,
kau cerewet sekali…”
“Hey! Kenapa kau
diam saja? Jelaskan padaku!”
Jihan menutup
teleponnya. “Kau ini pacarku atau pengasuhku, sih??” gumam Jihan.
Bibi dan Anggi
bengong melihat Jihan di sudut kasur.
“Kenapa?” tanya Jihan
yang dipergoki Bibi dan Anggi.
Ponsel Jihan
berdering.
“Apa itu Juna?”
tanya Anggi.
“Nira.” Jawab Jihan
dan langsung menerima panggilan. “Ada apa?”
Bibi dan Anggi
baru ingat bahwa siang tadi kondisi nenek menurun. Ia terpaksa masuk ruang ICU
karena kondisinya kritis.
Di perjalanan
menuju rumah sakit. Jihan diam memandangi jalanan. Menumpang mobil Gilang, Bibi
dan Anggi menuju rumah sakit. Matanya merah menggenang air mata.
Nira bilang,
nenek mendadak kritis dan masuk ICU. Nenek tidak sadarkan diri sejak sore tadi.
Dokter bilang, salah satu pembuluh darah di otak nenek pecah karena tekanan
darahnya yang tinggi. Nenek mengalami koma.
Bibi keluar dari
ruang ICU. Jihan berdiri menyambut Bibi. Anggi ikut menyerbu. Bibi menggenang
air mata. “Dia masih koma.”
Anggi lemas
terduduk.
“Ini semua
salahmu!” Nira angkat suara memandang Jihan. Semua mata memandang Jihan dan Nira.
“Kalau kau tidak
keras kepala dan menurut pada nenek, semua ini tidak akan terjadi.” Nira
menangis.
“Nira! Ini bukan
saatnya membahas itu. Kita semua khawatir pada nenek. Tidakkah kau tahu itu?”
Bibi membentak Nira.
Gilang, Kris dan
Danu membuang pandang. Argha yang duduk di sebelah Jihan memijat-mijat
keningnya. Jihan merunduk. Ia benar-benar sangat mengkhawatirkan nenek. Tapi ia
juga tidak bisa menikah dengan Surya yang sudah menyekap dan menyiksanya. Kalau
nenek tahu soal itu, itu sama saja Jihan membunuh nenek.
“Jihan, masuk
dan lihatlah nenek. Dia sangat mengkhawatirkanmu.” Titah Bibi.
Dengan tangan
gemetar, Jihan menuruti perintah Bibinya. Jihan memakai baju yang disediakan
untuk pengunjung saat memasuki ICU oleh rumah sakit.
Jihan mendekati
nenek yang terbaring tidak berkutik. Jihan tidak sanggup menahan air matanya. Jihan
duduk di kursi sebelah kasur nenek. Bibirnya bergetar.
“Nenek. Ini aku,
Jihan.” kata Jihan akhirnya. “Aku…maaf, aku baru menengokmu sekarang.”
Sunyi. Hanya
suara alat pemantau detak jantung nenek yang terdengar.
“Aku sangat
menyayangimu. Sangat mengkhawatirkanmu. Lebih dari diriku sendiri.”
Sepi.
“Nek, aku patut
kau pukul. Aku patut kau maki. Aku patut kau benci. Tapi kumohon, jangan sakit
karena aku,” Jihan menangis. “aku ingin kau bahagia dan bangga padaku. Aku hanya
cucumu yang bodoh dan tidak cantik. Tidak ada yang kubanggakan dari diriku. Aku
harus bagaimana, Nek…bagaimana caraku membuatmu bangga padaku….”
Hening.
“Aku…menyukai
seseorang. Dia sangat baik padaku. Dia sangat menjagaku. Bukankah kau ingin
agar aku memiliki seseorang yang bisa menjagaku?” Jihan menghapus air matanya.
“Aku…sangat menyukainya. Kau ingat dulu aku pernah bercerita padamu tentang
anak kecil yang selalu menungguku bermain ayunan? Itu dia, nek. Anak bisulan
itu adalah Juna. Aku ingin minta maaf padanya, dan kau juga menyuruhku agar
meminta maaf padanya jika suatu hari aku bertemu lagi dengannya. Aku…tidak hanya
mengatakan maaf padanya, Nek. Tapi juga berterima kasih.”
Jihan tersedu.
Terasa percuma berkali-kali ia menghapus air matanya tapi tetap saja tumpah.
“Aku tidak
mengerti takdir. Aku membenci jalan hidupku. Juna bilang, takdir mempertemukan
kami dengan keadaan yang lebih indah. Bagaimana menurutmu, Nek?”
Tiba-tiba
terdengar nada panjang dari alat pemantau detak jantung nenek. Jihan terkejut.
Dilihatnya monitor pemantau jantung. Tidak lagi seperti kurva, tapi garis
panjang. Beberapa perawat datang. Mereka melakukan sejumlah pemeriksaan dan memanggil
dokter. Jihan disuruh meninggalkan ruangan sementara.
“Bagiamana?”
tanya Bibi.
Jihan menggeleng.
Ia menangis. Bibi memeluk dan membelainya.
Nenek meninggal.
Ia meninggal tanpa sempat mengatakan apa pun pada Jihan. Nira orang yang paling
terlihat sangat kehilangan. Anak manja itu hanya dekat dengan nenek. Ia sangat
menyalahkan Jihan.
Setelah
pemakaman nenek, Bibi menjelaskan semuanya pada Nira apa yang sebenarnya
terjadi. Bibi juga menceritakan bahwa nenek mendengar langsung dari Rani
seperti apa Surya sebenarnya.
“Meski pun dia
tidak sempat mengatakan apa pun padamu, aku yakin dia sudah tenang di sana
bahwa kau baik-baik saja dan pernikahan itu dibatalkan.” kata Bibi.
Bibi memutuskan
untuk tinggal di desa bersama Nira. Jihan kembali ke kota bersama Anggi dan
meneruskan kuliahnya.
Dua minggu
kemudian.
“Arjuna Samudera
Wijaya!” seseorang memanggil nama Juna.
Juna berbalik. Jihan
tersenyum. Ia lalu memamerkan giginya sambil mengacungkan dua jari tangan
kanannya pada Juna. Juna melihatnya beberapa detik tanpa ekspresi. Juna lalu
berbalik tidak menanggapi Jihan. Jihan syok melihat reaksi Juna yang mengacuhkannya
padahal mereka baru bertemu setelah hampir satu bulan terpisah. Dengan kesalnya
Jihan menghampiri Juna.
“Kau ini
kenapa??” tanya Jihan pada Juna.
Dengan santainya
Juna berbalik. “Kenapa bagaimana maksudmu?”
Jihan
mengernyitkan dahinya melihat ekspresi Juna yang datar-datar saja.
“Kenapa
bagaimana maksudmu?” Jihan mengulang pertanyaan Juna. “Kau baru saja
mengacuhkanku, tahu!”
“Baguslah. Aku
rasa kau mengerti sekarang.”
“Mengerti apa?”
“Kau ini egois
sekali!” omel Juna.
Jihan menatapnya
tidak mengerti.
“Aku hanya
mengacuhkan beberapa detik saja kau sudah cerewet. Bagaimana dengan aku? Apa
kau tidak memikirkan aku? Kau mengacuhkan aku lebih dari beberapa detik, bahkan
berminggu-minggu. Kau melarangku menelepon, mengirim pesan bahkan menemuimu.
Dimana per-.” Juna menahan kalimatnya. Ia kesal meremas tinjunya.
Jihan tiba-tiba
tersenyum seolah mengerti sesuatu.
“Aku ingin kau
tahu rasa.”
Jihan menajamkan
senyumnya. “Aku tahu kau ingin bilang
apa. Kau ingin bilang, ‘dimana perasaanmu’, kan?dengan kata lain, kau sedang
berbicara soal perasaan…”
Juna jadi serba
salah ia seperti malu mengakui perasaannya. Bahwa sebenarnya ia rindu pada Jihan.
Bahwa sebenarnya ia tidak tahan terpisah dari Jihan.
Juna tidak suka
melihat senyum Jihan yang terkesan mengejeknya. Ia merasa sudah tertangkap
basah mengakui perasaannya secara tidak langsung. Juna langsung melingkarkan
lengan kirinya ke leher Jihan dan membawanya pergi.
“Hey, Juna! Aku
tercekik! Kau mau membunuhku, ya!” teriak Jihan sambil berjalan mundur
mengimbangi Juna. Jihan berusaha melepaskan diri dari Juna.
Beberapa orang
yang melihat menahan napas seolah berkata, “Jihan beruntung sekali bisa dipeluk
Juna seperti itu.” Meski tidak seperti itu kejadian yang sebenarnya.
Juna melepaskan lilitan
tangannya. Ia meraih tangan kanan Jihan dan membuat Jihan berputar agar searah
dengan Juna.
“Hey, Juna. Kau merindukanku ya?” ledek Jihan.
“Tidak. Aku
hanya sangat merindukanmu.” Juna tersenyum sambil tertawa menggandeng tangan Jihan.
“Jadi kau…”
“Sudah, jangan
banyak bicara. Aku sedang lapar. Kau harus mentraktirku makan karena ulahmu!”
“Apa?” Jihan
terperanjat. “Aku tidak punya uang untuk itu. Uangku hanya cukup untuk ongkos
kuliah.”
“Kalau begitu
aku akan mengantarmu berangkat dan pulang kuliah. Jadi habiskan saja uangmu
untuk mentraktirku.”
“Tidak
mau!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar