18 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 15



Chapter 15
Perjamuan Calon Pengantin

Lanjutan Dari Chapter 14

Juna berjalan di belakang Jihan. Mereka berjalan cukup jauh dari rumah nenek. Melewati rumah-rumah warga, kebun dan sawah. Mereka mendaki bukit kecil yang tidak jauh dari  rumah nenek. Di puncak bukit itu ada kebun kopi. Ada sebuah pohon akasia besar di sana. Tergantung sebuah ayunan dengan tali yang besar dengan dudukan ban mobil bekas. Jihan berhenti di pohon itu. Juna memandang berkeliling sambil terus menyusul langkah Jihan.
“Kau lama sekali.” Omel Jihan pada Juna.
“Kau yang terlalu cepat berjalan!” sahut Juna menghampiri Jihan. “Tidak kusangka, tempat ini bagus juga. Sejuk dan tenang. Kurasa tempat ini cocok untuk garden party saat kita menikah nanti.”
“Kau bicara apa?” tanya Jihan.
Juna nyengir. “Bukan apa-apa. Nah, sekarang jelaskan semuanya padaku.”
Jihan duduk berayun. Rambutnya dihempas angin lembut. Juna memandanginya. Ia teringat Jihan kecil di masa lalu. Ia lalu tersenyum. Rasanya seperti kembali ke masa lalu.
“Aku kabur ke kota karena nenek menjodohkanku dengan anak kepala desa itu.” Jihan membuka obrolan. “Aku tidak suka orang itu. Aku rasa dia sangat jauh lebih tua dariku. Bahkan namanya saja aku tidak tahu.”
“Lalu kenapa sekarang kau kembali?”
“Nenek sedang sakit. Ia mulai bicara yang tidak jelas. Seolah-olah dia sedang sekarat dan meminta kami semua berkumpul.”
Juna melipat tangan di dada sambil berdiri di sebelah Jihan.
“Dulu aku kabur dengan alasan, aku ingin kuliah. Aku ingin menjadi orang yang berpendidikan. Aku tidak suka menjadi perempuan yang direndahkan apalagi karena pendidikan. Aku ingin sekolah yang tinggi supaya aku tidak dibodohi dan aku ingin menjadi seorang ibu yang cerdas.”
Juna senyam-senyum.
“Lalu aku meminta bibi agar membantuku membujuk nenek supaya aku bisa kuliah. Nenek akhirnya setuju.”
“Semudah itu? Kau pasti menjanjikan sesuatu padanya. Iya, kan?”
“Tidak. Aku hanya bilang, akan kembali setelah aku lulus. Aku tidak mengatakan bahwa aku akan menerima pernikahan itu nanti. Aku mengatakan itu pada nenek dan bilang pada Bibi bahwa aku akan mempertimbangkannya. Aku tidak bisa mengatakan itu pada nenek. Kalau kukatakan akan mempertimbangkannya lagi setelah aku lulus, nenek tidak akan mengijinkan aku kuliah.”
“Ahk, kau lumayan licik juga ya. Hey, lalu bagaimana dengan aku? Maksudku…kita…ini…”
“Aku akan membereskannya. Aku janji. Tapi kali ini aku mohon padamu, jangan temui aku, jangan menghubungi aku dulu sampai semuanya selesai.”
Juna diam sesaat. Ia membuang pandang. “Bagaimana aku bisa percaya?”
“Kau harus percaya padaku.”
“Percaya padamu? Kau saja bisa memperdaya nenekmu.”
“Ihk, kau ini menyebalkan sekali,” Jihan turun dari ayunannya lalu berdiri di hadapan Juna. “Aku tidak ingin kau mengacaukan semuanya. Jadi mengertilah.”
“Mengacaukan? Kau saja tidak bilang padaku akan pergi kemana. Kau juga tidak menceritakannya padaku. Bagaimana aku bisa percaya begitu saja padamu? Aku bahkan tidak tahu apa kau punya masalah lain atau tidak?”
Jihan diam. Ia menatap Juna dalam-dalam. Ia merasa sedih mendengar Juna mengatakan itu. Matanya berkaca-kaca. Sebenarnya Juna ingin marah pada Jihan. Tapi melihat Jihan yang seperti ingin menangis, Juna tidak tega. Ia menahan diri. Ia sadar kata-katanya tadi menusuk Jihan.
“Baiklah. Dengar, ya!” Juna sedikit menyerah. “Kita ini sedang pacaran. Di sini tidak hanya aku yang menyukaimu, atau hanya kau yang menyukaiku. Aku tidak memaksamu dan kau juga tidak memaksaku. Jadi berhentilah bertindak seolah bukan aku atau dirimu sendirian yang menyukai salah satu dari kita. Kau tidak bisa pergi seenaknya tanpa mengabariku. Kau juga tidak bisa memberikan kesempatan untuk orang lain mendekatimu tanpa memikirkan aku. Karena aku juga tidak akan begitu. Kukatakan sekali lagi, aku menyukaimu. Kalau kau juga menyukaiku, sebaiknya jangan seperti ini.”
Jihan diam. Air matanya nyaris tumpah. Jihan merunduk menyembunyikan kesedihannya.
“Aku yakin kau masih waras dan bisa mengingat dengan baik. Kau minta aku berjanji untuk tidak mempermainkanmu. Kau akan lihat, aku akan menepatinya.”
Sepi. Hanya suara kicau burung dan hembusan angin. Jihan mengangkat kepalanya.
“Berjanjilah.” pinta Juna.
Jihan mengangkat kepalanya. Air matanya jatuh.
Juna menatap dalam kedua mata Jihan. “Berjanjilah padaku kau akan kembali. Kalau kau tidak kembali, aku akan membuat kekacauan di sekitarmu. Seperti janjiku, aku tidak akan main-main.”
Jihan memejamkan matanya sesaat. Menarik napas perlahan dan menghembuskannya untuk menyudahi tangisan.
“Aku tidak bisa berjanji seperti itu padamu. Tapi aku akan berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan mengusahakannya.” kata Jihan.
“Kau curang.”
Jihan tersenyum. “Kau tahu aku keras kepala bukan?”
Juna diam. Dalam hatinya, “Iya. Kau sangat keras kepala. Apa kau tidak bisa memberikan aku kepastian apa pun?”
“Kapan kau akan kembali?”
“Aku tidak tahu.”
“Lalu apa rencanamu?”
“Aku belum tahu.”
Juna buang muka. Ia benar-benar gemas ingin meremas Jihan saking kesalnya. “Apa kau tidak tahu aku mengkhawatirkanmu??!” Juna sedikit membentak.
Jihan diam memperhatikan Juna yang sedang marah. Ia memperhatikan Juna lekat-lekat. Lama-lama ia percaya kata Feni dahulu, Juna sedikit mirip Hyun Bin kalau sedang marah. Gaya bicara dan ekspresinya sedikit lucu.
“Tapi setidaknya kau bisa mengirim pesan padaku kalau aku tidak boleh mengirim pesan padamu!” masih bernada tinggi.
Jihan masih diam mematung.
“Kau tidak boleh mematikan ponselmu lebih dari satu menit! Kau harus mengabariku keadaanmu, bahkan meneleponku jika sangat penting! Dan kau harus kembali!”
Jihan terus diam. Juna kesal melihat Jihan yang diam saja. Jihan berjinjit. Ia berusaha menyamakan tinggi dengan Juna meski masih sangat jauh.
Sepi. Angin dan kicau burung.
Juna terpaku. Mukanya seketika memerah. Matanya terbelalak. Jihan berlari dan menabrak lengan Juna hingga sedikit bergeser.
“Sudah sana! Aku tidak ingin melihatmu lagi di sini, kalau kau berani muncul di sekitarku, aku akan menyirammu dengan air minumku!” Jihan pergi meninggalkan Juna.
Juna masih diam di tempatnya tanpa berbalik.
“Jangan kesini tanpa aku minta! Jangan menghubungiku tanpa kusuruh! Jangan coba mengirimku pesan tanpa perintahku!” kata Jihan sambil berjalan cepat kemudian berlari membelakangi Juna.
Juna berbalik. “Hey! Kau tidak boleh tidak mengabariku jika ada sesuatu yang penting!” teriaknya pada Jihan yang sudah mejauh.
 “Kau ini pacarku atau pengasuhku, sih! Cerewet sekali!” gumam Jihan dengan wajah merah padam.
Juna memandangi Jihan yang hilang dari pandangannya. Ia tersenyum seraya menyentuh pipi kanannya.
“Ng…ngomong-ngomong, bagaimana caranya aku pulang dari sini?” kata Juna.
Kemudian Juna tersenyum lagi mengingat sesuatu sambil mengelus-elus pipi kanannya.

“Pacarmu yah?” sambut Nira di depan rumah.
Jihan terkejut melihat Nira. Ternyata Nira seorang super ingin tahu. Ia sampai menunggui Jihan untuk mencari tahu. Jihan hanya memandangnya sebentar lalu masuk tanpa komentar.
“Kau dalam masalah.” Nira mendahului Jihan memasuki rumah.
Jihan menghela napas panjang.”Ibu…tolong aku…” batinnya.
“Siapa yang mencarimu?” tanya Nenek setibanya di kamar.
“Teman.” Jihan tersenyum.
“Kenapa tidak kau suruh masuk?”
Bibi dan Anggi mengigit bibirnya masing-masing.
“Hmm…dia…kebetulan lewat desa ini, dia juga sedang dalam perjalanan menuju desanya. Dia buru-buru. Dia seperti melihatku saat di perjalanan kemari, jadi dia mampir untuk memastikannya.” Jihan menghindari kontak mata dengan nenek. Ia berbohong.
“Laki-laki atau perempuan?”
“Mmm…laki-laki…”
“Aku harap calon suamimu tidak melihatnya dan tidak salah paham.”
Jihan merunduk dan diam sesaat. “Nenek, soal itu…aku…”
“Aku sudah bertemu dengannya seminggu lalu. Tahun ini, ayahnya akan mencalonkan diri lagi. Ia tidak ingin masyarakat mengingat aksi kaburmu ketika mereka melamarmu.”
Hening.
“Mereka ingin kau menikah secepatnya. Aku sudah pastikan kau tidak akan mengecewakan aku lagi.”
Sepi.
“Awal bulan depan. Tiga minggu lagi. Bersabarlah,” Nenek berdiri dan berjalan meninggalkan ruangan. “Malam ini, berdandanlah yang cantik. Dia akan menemuimu.”
Nira menyambutnya di pintu dan menuntunnya keluar.
Bibi dan Anggi berdiri.
“Lupakanlah Juna dan mimpimu. Demi nenek, satu-satunya keluarga kita yang kita tuakan dan kita sayangi.” kata Bibi sambil pergi.
Anggi berhenti di sebelah Jihan. “Kalau kau bisa menaklukan Juna, aku rasa tidak dengan nenek. Jadi kau bisa taklukan apa yang bisa kau taklukan. Maafkan aku.”

“Selamat datang, Tuan…” sambut nenek kepada kepala desa yang baru tiba di rumah untuk makan malam bersama.
Jihan termenung di kamarnya. Anggi menemaninya dan dia yang gemetar serba salah.
“Ahk, Jihan! Mereka datang! Kepala desa, istri dan anaknya. Calon suamimu itu!” kata Anggi panik.
“Kakak, kau beruntung sekali. Mendapatkan suami seorang yang terpandang. Padahal kau sama sekali tidak cantik. Bokongmu saja rata, tidak akan ada laki-laki yang tertarik padamu.” kata Nira yang berada di ruang yang sama.
“Huss! Jaga bicaramu! Kau tidak tahu, ya. Siapa Jihan di kampus?” Anggi naik pitam.
“Apa??” tantang Nira.
“Kalian ini berisik sekali!” bentak Jihan.
Pintu kamar diketuk. Muncul Bibi dari balik pintu.
“Nah, gadis-gadis. Para tamu sudah datang. Ayo keluar. Bersikaplah yang manis.” kata Bibi dengan senyum merekah.
“Aku seperti wanita penghibur di jaman geisha.” kata Jihan sambil beranjak pergi.
“Hey, bicara apa kau ini? Jaga bicaramu! Kasar sekali. Padahal kau ini perempuan.” Omel Bibi.
Anggi tertawa menghampiri ibunya. “Aku juga berpikiran hal yang sama, Bu.”
Bibi menjitak Anggi. “Kau ini!”
Nira keluar melewati keduanya tanpa basa-basi.
“Kenapa dengan dia?” bisik Bibi.
“Aku rasa otaknya terganggu. Sejak kecil, dia tidak pernah akur dengan Jihan. Huh! Cantik-cantik berhati jahat.”
“Eh, kau ini!” cegah Bibi. “Tapi kau benar, dia cantik. Kenapa anak kepala desa tidak melamarnya saja ya?”
“Eh, Ibu benar. Aku tidak terpikirkan itu. Kenapa ya? Pasti karena semua orang tahu hatinya tidak secantik parasnya.”
Bibi menjitak Anggi lagi lalu pergi.
Anggi meringis kesakitan.

“Nah, ini dia cucuku.” kata Nenek sambil menyambut Jihan.
Semua mata tertuju pada Jihan. Jihan tersenyum santai. Dandanannya sederhana dan natural tapi terlihat anggun. Berkat polesan Anggi. Terjadi percakapan basa-basi. Jihan memperhatikan anak kepala desa itu. Ia berusaha menyelidiki apakah ada nilai lebih pria itu saat ia melihatnya. Nihil. Tidak ada sesuatu yang ia sukai di sana.
Nira datang menyuguhkan minuman. Anak kepala desa itu memperhatikan Nira dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu kembali lagi. Ia seperti melihat bidadari dan terpukau olehnya.
Percakapan berlanjut. Laki-laki itu terus saja bolak-balik memandangi Nira. Jihan memperhatikan keduanya. Nira tidak menyadari dirinya diperhatikan secara spesial oleh pria itu. Percakapan menuju inti perjamuan. Kepala desa membuka obrolan inti pertemuan. Nenek menyambutnya lalu menyerahkan sepenuhnya pada Jihan.
“Terima kasih atas kebaikan anda, Tuan. Keluarga kami merasa sangat tersanjung mendapat kunjungan tamu kehormatan seperti ini. Kami hanya rakyat biasa yang beruntung.” kata Jihan.
Nenek tersenyum. Ia merasa kata-kata Jihan sangat meneduhkan telinganya. Semua orang tersenyum kecuali anak kepala desa yang asik memandangi Nira.
“Aku…baru saja memulai pendidikan di kota. Tiga tahun lagi aku akan menjadi sarjana.”
Nenek bungkam dan ia berdebar tidak sabar.
“Kudengar, nenekku dan keluarga Tuan sudah mengatur rencana pernikahan kami,” Jihan melirik calon pengantinnya. “Tuan…”
Semua mata tertuju pada anak kepala desa yang masih fokus pada Nira. Ibu kepala desa mencubit paha anaknya. Mengejutkan anaknya dan kembali fokus.
“Ehm! Surya. Namanya Surya.” kata kepala desa.
“Seperti yang kalian tahu, aku tidak punya orang tua lagi selain nenek dan bibiku. Sebagai anak yang baik, aku harus berbakti pada mereka. Mereka sudah mengajarkan segala kebaikan hidup padaku. Mengajarkan bahwa pendidikan adalah penting. Maka aku harus tetap kuliah.”
Nenek terkejut. Anggi, bibi dan Nira.
“Tidak apa-apa, kau bisa melanjutkannya setelah kau menikah. Kami tidak membatasimu.” kata ibu kepala desa.
“Nenek bilang, dia hanya akan setuju jika aku menikah dengan pria baik-baik.”
Suasana tenang.
“Dia mengajarkan aku seperti apa pria baik-baik itu.”
“Iya…iya…kami mengerti. Itu sudah pasti.” kata ibu kepala desa.
“Maka aku…tidak bisa menikah dengan Surya tiga minggu lagi.”
Nenek menahan napas. Semua terkejut.
“Tidak apa-apa, kami bisa mengaturnya lagi mungkin ketika kau libur?” usul kepala desa.
“Tidak minggu itu, minggu berikutnya dan seterusnya. Tidak tahun ini, tahun depan atau tahun-tahun berikutnya.”
Nenek mendadak sesak napas. Semua tamu terkejut.
“K-kau…” Nenek menunjuk-nunjuk Jihan.
Nira langsung memeluk Nenek dan berusaha menenangkannya.

Suasana rumah hening dan terasa menyeramkan setelah kejadian itu. Jihan merenung di kamarnya ditemani Anggi. Cukup lama keduanya terdiam.
Bibi masuk tanpa mengetuk pintu. Ia lalu duduk diantara anak dan keponakannya di tepi kasur. Ia menghela napas.
“Temuilah. Nenek memanggilmu. Aku rasa dia sudah cukup baikan untuk menelanmu hidup-hidup.” kata Bibi.
Anggi bergidik.
“Apa dia marah padaku?” tanya Jihan dengan tatapan kosong dan lurus.
“Kau ini gila, ya? siapa yang tidak marah melihat sikapmu tadi?” Bibi kembali emosi.
Anggi meraih bahu ibunya lalu mengelus-elusnya. “Sudah, Ibu…”
Jihan berdiri. Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya pergi menemui nenek.

Nira menutup pintu kamar nenek. Ia berhadapan dengan Jihan yang baru sampai.
“Mau apa kau?” tanya Nira.
“Nenek memanggilku.” Jawab Jihan.
“Dia berubah pikiran. Dia lelah dan harus istirahat. Dia tidak ingin bertemu denganmu.”
Jihan mengacuhkan Nira, ia berusaha masuk. Nira menahannya.
“Kau tidak puas membuat nenek sakit? Apa kau mau membunuhnya?” tantang Nira.
“Berisik!” teriak nenek dari dalam kamarnya. “Pergilah. Aku tidak mau diganggu!”
Nira menatap Jihan dengan tatapan kemenangan. Jihan menyerah. Ia kembali ke kamarnya.

“Eh, cepat sekali. Kau tidak ke kamarnya ya?” tanya Anggi yang sedang memijat bahu ibunya.
Bibi terperanjat. “Kau nakal sekali!”
“Aku sudah ke sana, tapi Nira bilang nenek tidak mau diganggu!” jawab Jihan dengan kesal.
Mendengar nada suara Jihan yang lebih tinggi, Bibi dan Anggi tidak berani melawan.
“Kami bertengkar di depan pintu kamarnya. Lalu ia berteriak untuk mengusir kami. Aku sudah berusaha.” Jihan mengambil bantal lalu menjatuhkan diri di ranjang.

Jihan bangun lebih pagi. Setelah mandi, ia merapikan rumah dengan cepat. Ia menunggu nenek keluar dari kamarnya. Tapi nenek tidak kunjung keluar. Jihan duduk di kursi ruang makan sambil menopang dagu memandangi pintu kamar nenek.
“Sedang apa kau?” tanya Nira yang tiba-tiba muncul.
“Menurutmu?” Jihan balik bertanya.
Nira mengikuti pandangan Jihan. Ia lalu tertawa. “Kau menyesal?”
“Tidak. Aku hanya mengkhawatirkan nenek.”
“Tidak ada yang bisa membahagiakan nenek darimu kecuali kau menuruti kemauannya,” Nira mengambil gelas lalu meminumnya. “Ngomong-ngomong, yang kemarin itu…pacarmu, ya?”
Jihan diam saja.
“Kau gunakan apa supaya dia bisa menyukaimu?” Nira mengambil posisi duduk.  “Kelihatannya dia orang kaya, tapi tidak begitu jelas. Apa dia orang biasa-biasa saja? Atau dia orang kaya yang sederhana? Atau karena dia tampan ya?”
“Hey, tukang cari muka!” Anggi merebut gelas Nira dan meminumnya.
“Hey, hentikan!” Nira merebutnya kembali.
“Kau selalu cari gara-gara, ya?” Anggi menuang gelasnya sendiri.
“Aku hanya tidak ingin ada satu nyawa terbuang sia-sia disini!”
“Kau ini!” Anggi menjitak kepala Nira. “Jaga bicaramu, dasar pencari masalah.”
Nira mengaduh. “Kau ini kenapa sih??”
“Hey, kalian berisik sekali!” teriak bibi yang baru datang. “Jihan, di depan ada temanmu. Tadi aku bertemu dengannya di jalan.”
“Siapa? laki-laki yang kemarin?” Nira bersemangat.
“Bukan. Rani. Dia temanmu, kan?”
Jihan tersenyum lalu pergi menghampiri temannya.

Jihan sedang berjalan-jalan di sebuah bukit tidak jauh dari rumah neneknya. Sebuah bukit yang menjadi tempat favorit Jihan dan Rani sejak kecil. Di sana Jihan bisa memandangi seluruh desa dari kejauhan. Di bawah pohon, Rani duduk bersandar. Jihan duduk di sebuah ayunan yang biasa ia mainkan dengan Rani sejak kecil.
“Ayunan ini kuat sekali, ya? masih kuat sampai saat ini?” Jihan menikmati hembusan angin sambil berayun-ayun.
“Iya,” Rani tersenyum. “Bagaimana kuliahmu?”
“Menyenangkan. Aku tidak ragu untuk terus kuliah.”
“Kau berkemauan tinggi. Kau selalu bersikeras. Aku suka sikapmu.”
Jihan tersenyum.
“Kudengar, kau kembali karena nenekmu.”
“Iya, benar. Kau juga pasti tahu kenapa aku pergi dari desa. Dan karena itu aku dipanggil lagi ke sini.”
“Tapi kau tidak akan melakukannya, kan?”
“Kenapa kau bilang begitu?”
“Untuk apa kau kabur kalau hari ini kau kembali untuk menerimanya?” Rani tertawa.
Jihan ikut tertawa. Keduanya tertawa bersama.
“Oh, iya. Kenapa kau baru menemuiku? Kau tidak tahu aku kembali ya?”
“Aku sudah tidak tinggal di desa ini lagi.”
“Hm? Sejak kapan?”
“Aku…” Rani murung. “Tidak akan pernah rela kalau kau menikah dengannya.”
“Kenapa?”
“Dia laki-laki brengsek. Tidak pantas menikah denganmu!” mata Rani berkaca-kaca. “Aku sangat membencinya!”
Jihan memperlambat ayunannya. “Kau…baik-baik saja?”
Dengan suara bergetar, Rani kemudian menceritakan bahwa sebenarnya ia sempat menjalin hubungan dengan Surya. Surya seorang pemabuk dan suka mempermainkan perempuan. Ia juga kasar terhadap perempuan. Awalnya Rani merasa sebagai pengkhianat karena menjalin hubungan dengan calon suami sahabatnya. Hubungan mereka hanya bertahan lima bulan. Rani tidak tahan dengan sikap kasar Surya. Ia sering tertangkap basah berjalan dengan wanita lain. Bahkan dengan beraninya, ia membawa wanita itu bermalam di rumahnya. Rani benar-benar merasa jijik dan menyesal. Setiap kali Rani meminta penjelasan, ia selalu disakiti oleh Surya. Rani sudah pernah menceritakannya pada kedua orang tua Surya. Tapi mereka tidak percaya dan malah menuduh Rani seorang penggoda calon suami orang, pembohong dan perempuan murahan yang memanfaatkan harta anaknya. Puncaknya, ketika Rani mengandung anaknya Surya. Surya tidak mengakuinya. Keluarganya memaki Rani sebagai pelacur. Rani takut keluarganya tahu. Rani menuntut tanggung jawab Surya, tapi hanya kekerasan yang ia dapatkan. Rani bahkan diancam akan dibunuh jika buka mulut dan menyebarkan berita itu. Surya lalu meminumkan Rani sebuah obat yang Rani tidak tahu apa. Beberapa jam setelah meminumnya, perut Rani kesakitan. Ia kemudian mengalami pendarahan dan keguguran. Tahun ini, masa jabatan ayahnya Surya akan habis. Akan diadakan pemilihan kembali. Untuk menutupi aib anaknya, Rani dan keluarganya disuruh pindah ke desa lain.
“Kenapa tidak kau laporkan saja dia ke polisi??” Jihan ikut kesal mendengarnya.
“Aku tidak ingin berita kehamilanku menyebar. Itu aibku dan aku salah…” Rani menangis tertunduk. “Aku memang bodoh. Aku memang murahan.”
Jihan menghampiri sahabatnya. Ia duduk di sebelah Rani lalu memeluknya. Jihan ikut menangis.

“Kemana saja kau?” sambut Nira di depan rumah. Ia seperti ibu tiri bagi Jihan, selalu menunggu Jihan pulang dan memarahinya kalau pulang.
Jihan diam saja. Ia terus berjalan melewati Nira.
“Nenek mencarimu. Dia mempercepat pernikahanmu. Bahkan minggu ini, kau harus menikah dengan Surya. Masalah pesta, itu bisa menyusul.” kata Nira mengikuti Jihan dari belakang.
Jihan berhenti mendadak. Nira menubruknya. Jihan berbalik. “Apa katamu?”
“Telingamu kenapa? Tidak jelas yang tadi kukatakan?”
Jihan kembali berjalan masuk dan mempercepat langkahnya.

Jihan baru memasuki rumah yang pintunya terbuka. Duduk nenek di kursi tamu bersama dengan Bibi dan Anggi. Jihan berjalan perlahan dengan menahan air mata. Ia menghampiri nenek yang sedang duduk tenang menonton tv.
Jihan berdiri di samping nenek. Bibi dan Anggi merapat. Nenek diam saja seolah tidak mengetahui kedatangan Jihan.
“Nenek, aku…” kata Jihan dengan suara perlahan. “Aku tidak mau…”
“Masuk dan cobalah gaunmu. Aku sudah memesannya sebulan yang lalu.” Nenek memotong kalimat Jihan.
Jihan memejamkan mata. Butiran hangat mengaliri pipinya. “Aku mohon, Nek…”
“Apa kau tidak mendengarnya?? Kubilang, masuk dan cobalah!!” suara nenek meninggi.
Nira masuk. Ia sengaja menonton di depan pintu.
Jihan berlutut perlahan. Ia menyentuh lutut neneknya. Ia menangis tertunduk meletakkan keningnya di lutut nenek. “Maafkan aku, Nek…”
Nenek diam saja di kursinya.
“Aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku sangat menyayangimu. Aku tidak ingin mengecewakanmu. Aku ingin kau bahagia dan bangga padaku.”
Bibi ikut sedih. Anggi bahkan ikut menangis di pelukan ibunya.
“Kau bisa minta aku melakukan apa saja asal tidak menikah dengan orang itu, Nek…”
“Masuk dan cobalah.” kata Nenek dengan suara pelan.
“Aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak kucintai. Aku tidak bisa bertingkah seolah aku menyukainya.” Jihan masih bersimpuh dan menangis.
“Kalau kau tidak mau, menjauhlah dariku.” kata nenek.
“Aku mohon, Nek. Ampuni aku. Jangan sakiti dirimu demi sesuatu yang aku tidak bisa menerimanya.”
“Lepaskan tanganmu!” nenek melepaskan diri dari Jihan.
Jihan terjatuh di lantai. Ia mengejar nenek sambil merangkak. Ia berhasil meraih kaki neneknya. Ia menangis sambil memeluk erat kaki neneknya.
Langkah nenek tertahan. Ia berusaha untuk melepaskan diri. “Lepaskan aku! Aku tidak sudi melihatmu lagi! Mulai hari ini, kau bukan cucuku lagi!!”
“Nek, kumohon…” Jihan semakin menangis. “Aku mohon. Aku mohon. Aku mohon. Aku mohon…”
Tiba-tiba nenek meringis kesakitan memegangi dadanya. Nira berlari meraih nenek. Bibi ikut bangun meraih nenek. Anggi memisahkan Jihan dari kaki nenek. Nenek sesak napas. Beberapa detik kemudian, ia tidak sadarkan diri. Bibi dan Nira panik. Jihan berontak untuk mendekati nenek, Anggi menahannya sambil menangis. Nira menginstruksikan agar nenek dibawa ke rumah sakit. Bibi dengan paniknya langsung membantu Nira membawa nenek ke luar. Jihan berusaha ikut, tapi Anggi dengan kuat menahannya.
“Sebaiknya kau jangan ikut. Nanti nenek akan semakin marah kalau melihatmu…” kata Anggi sambil menangis.

 Bersambung ke Chapter 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya