Mozarella Cake - Chapter 15
Chapter
15
Perjamuan
Calon Pengantin
Lanjutan Dari Chapter 14
Juna berjalan di
belakang Jihan. Mereka berjalan cukup jauh dari rumah nenek. Melewati
rumah-rumah warga, kebun dan sawah. Mereka mendaki bukit kecil yang tidak jauh
dari rumah nenek. Di puncak bukit itu
ada kebun kopi. Ada sebuah pohon akasia besar di sana. Tergantung sebuah ayunan
dengan tali yang besar dengan dudukan ban mobil bekas. Jihan berhenti di pohon
itu. Juna memandang berkeliling sambil terus menyusul langkah Jihan.
“Kau lama
sekali.” Omel Jihan pada Juna.
“Kau yang
terlalu cepat berjalan!” sahut Juna menghampiri Jihan. “Tidak kusangka, tempat
ini bagus juga. Sejuk dan tenang. Kurasa tempat ini cocok untuk garden party saat kita menikah nanti.”
“Kau bicara apa?”
tanya Jihan.
Juna nyengir.
“Bukan apa-apa. Nah, sekarang jelaskan semuanya padaku.”
Jihan duduk
berayun. Rambutnya dihempas angin lembut. Juna memandanginya. Ia teringat Jihan
kecil di masa lalu. Ia lalu tersenyum. Rasanya seperti kembali ke masa lalu.
“Aku kabur ke
kota karena nenek menjodohkanku dengan anak kepala desa itu.” Jihan membuka
obrolan. “Aku tidak suka orang itu. Aku rasa dia sangat jauh lebih tua dariku.
Bahkan namanya saja aku tidak tahu.”
“Lalu kenapa
sekarang kau kembali?”
“Nenek sedang
sakit. Ia mulai bicara yang tidak jelas. Seolah-olah dia sedang sekarat dan
meminta kami semua berkumpul.”
Juna melipat
tangan di dada sambil berdiri di sebelah Jihan.
“Dulu aku kabur
dengan alasan, aku ingin kuliah. Aku ingin menjadi orang yang berpendidikan.
Aku tidak suka menjadi perempuan yang direndahkan apalagi karena pendidikan.
Aku ingin sekolah yang tinggi supaya aku tidak dibodohi dan aku ingin menjadi
seorang ibu yang cerdas.”
Juna
senyam-senyum.
“Lalu aku meminta
bibi agar membantuku membujuk nenek supaya aku bisa kuliah. Nenek akhirnya
setuju.”
“Semudah itu?
Kau pasti menjanjikan sesuatu padanya. Iya, kan?”
“Tidak. Aku
hanya bilang, akan kembali setelah aku lulus. Aku tidak mengatakan bahwa aku
akan menerima pernikahan itu nanti. Aku mengatakan itu pada nenek dan bilang
pada Bibi bahwa aku akan mempertimbangkannya. Aku tidak bisa mengatakan itu
pada nenek. Kalau kukatakan akan mempertimbangkannya lagi setelah aku lulus,
nenek tidak akan mengijinkan aku kuliah.”
“Ahk, kau
lumayan licik juga ya. Hey, lalu bagaimana dengan aku? Maksudku…kita…ini…”
“Aku akan
membereskannya. Aku janji. Tapi kali ini aku mohon padamu, jangan temui aku,
jangan menghubungi aku dulu sampai semuanya selesai.”
Juna diam sesaat.
Ia membuang pandang. “Bagaimana aku bisa percaya?”
“Kau harus
percaya padaku.”
“Percaya padamu?
Kau saja bisa memperdaya nenekmu.”
“Ihk, kau ini
menyebalkan sekali,” Jihan turun dari ayunannya lalu berdiri di hadapan Juna.
“Aku tidak ingin kau mengacaukan semuanya. Jadi mengertilah.”
“Mengacaukan?
Kau saja tidak bilang padaku akan pergi kemana. Kau juga tidak menceritakannya
padaku. Bagaimana aku bisa percaya begitu saja padamu? Aku bahkan tidak tahu
apa kau punya masalah lain atau tidak?”
Jihan diam. Ia
menatap Juna dalam-dalam. Ia merasa sedih mendengar Juna mengatakan itu.
Matanya berkaca-kaca. Sebenarnya Juna ingin marah pada Jihan. Tapi melihat Jihan
yang seperti ingin menangis, Juna tidak tega. Ia menahan diri. Ia sadar
kata-katanya tadi menusuk Jihan.
“Baiklah.
Dengar, ya!” Juna sedikit menyerah. “Kita ini sedang pacaran. Di sini tidak
hanya aku yang menyukaimu, atau hanya kau yang menyukaiku. Aku tidak memaksamu
dan kau juga tidak memaksaku. Jadi berhentilah bertindak seolah bukan aku atau
dirimu sendirian yang menyukai salah satu dari kita. Kau tidak bisa pergi
seenaknya tanpa mengabariku. Kau juga tidak bisa memberikan kesempatan untuk
orang lain mendekatimu tanpa memikirkan aku. Karena aku juga tidak akan begitu.
Kukatakan sekali lagi, aku menyukaimu. Kalau kau juga menyukaiku, sebaiknya
jangan seperti ini.”
Jihan diam. Air
matanya nyaris tumpah. Jihan merunduk menyembunyikan kesedihannya.
“Aku yakin kau
masih waras dan bisa mengingat dengan baik. Kau minta aku berjanji untuk tidak
mempermainkanmu. Kau akan lihat, aku akan menepatinya.”
Sepi. Hanya
suara kicau burung dan hembusan angin. Jihan mengangkat kepalanya.
“Berjanjilah.”
pinta Juna.
Jihan mengangkat
kepalanya. Air matanya jatuh.
Juna menatap
dalam kedua mata Jihan. “Berjanjilah padaku kau akan kembali. Kalau kau tidak
kembali, aku akan membuat kekacauan di sekitarmu. Seperti janjiku, aku tidak
akan main-main.”
Jihan memejamkan
matanya sesaat. Menarik napas perlahan dan menghembuskannya untuk menyudahi
tangisan.
“Aku tidak bisa
berjanji seperti itu padamu. Tapi aku akan berjanji pada diriku sendiri, bahwa
aku akan mengusahakannya.” kata Jihan.
“Kau curang.”
Jihan tersenyum.
“Kau tahu aku keras kepala bukan?”
Juna diam. Dalam
hatinya, “Iya. Kau sangat keras kepala.
Apa kau tidak bisa memberikan aku kepastian apa pun?”
“Kapan kau akan
kembali?”
“Aku tidak
tahu.”
“Lalu apa
rencanamu?”
“Aku belum
tahu.”
Juna buang muka.
Ia benar-benar gemas ingin meremas Jihan saking kesalnya. “Apa kau tidak tahu
aku mengkhawatirkanmu??!” Juna sedikit membentak.
Jihan diam
memperhatikan Juna yang sedang marah. Ia memperhatikan Juna lekat-lekat.
Lama-lama ia percaya kata Feni dahulu, Juna sedikit mirip Hyun Bin kalau sedang
marah. Gaya bicara dan ekspresinya sedikit lucu.
“Tapi setidaknya
kau bisa mengirim pesan padaku kalau aku tidak boleh mengirim pesan padamu!”
masih bernada tinggi.
Jihan masih diam
mematung.
“Kau tidak boleh
mematikan ponselmu lebih dari satu menit! Kau harus mengabariku keadaanmu,
bahkan meneleponku jika sangat penting! Dan kau harus kembali!”
Jihan terus
diam. Juna kesal melihat Jihan yang diam saja. Jihan berjinjit. Ia berusaha
menyamakan tinggi dengan Juna meski masih sangat jauh.
Sepi. Angin dan
kicau burung.
Juna terpaku.
Mukanya seketika memerah. Matanya terbelalak. Jihan berlari dan menabrak lengan
Juna hingga sedikit bergeser.
“Sudah sana! Aku
tidak ingin melihatmu lagi di sini, kalau kau berani muncul di sekitarku, aku
akan menyirammu dengan air minumku!” Jihan pergi meninggalkan Juna.
Juna masih diam
di tempatnya tanpa berbalik.
“Jangan kesini
tanpa aku minta! Jangan menghubungiku tanpa kusuruh! Jangan coba mengirimku
pesan tanpa perintahku!” kata Jihan sambil berjalan cepat kemudian berlari
membelakangi Juna.
Juna berbalik.
“Hey! Kau tidak boleh tidak mengabariku jika ada sesuatu yang penting!”
teriaknya pada Jihan yang sudah mejauh.
“Kau ini pacarku atau pengasuhku, sih! Cerewet
sekali!” gumam Jihan dengan wajah merah padam.
Juna memandangi Jihan
yang hilang dari pandangannya. Ia tersenyum seraya menyentuh pipi kanannya.
“Ng…ngomong-ngomong,
bagaimana caranya aku pulang dari sini?” kata Juna.
Kemudian Juna
tersenyum lagi mengingat sesuatu sambil mengelus-elus pipi kanannya.
“Pacarmu yah?”
sambut Nira di depan rumah.
Jihan terkejut
melihat Nira. Ternyata Nira seorang super ingin tahu. Ia sampai menunggui Jihan
untuk mencari tahu. Jihan hanya memandangnya sebentar lalu masuk tanpa
komentar.
“Kau dalam
masalah.” Nira mendahului Jihan memasuki rumah.
Jihan menghela
napas panjang.”Ibu…tolong aku…”
batinnya.
“Siapa yang
mencarimu?” tanya Nenek setibanya di kamar.
“Teman.” Jihan
tersenyum.
“Kenapa tidak
kau suruh masuk?”
Bibi dan Anggi
mengigit bibirnya masing-masing.
“Hmm…dia…kebetulan
lewat desa ini, dia juga sedang dalam perjalanan menuju desanya. Dia buru-buru.
Dia seperti melihatku saat di perjalanan kemari, jadi dia mampir untuk
memastikannya.” Jihan menghindari kontak mata dengan nenek. Ia berbohong.
“Laki-laki atau
perempuan?”
“Mmm…laki-laki…”
“Aku harap calon
suamimu tidak melihatnya dan tidak salah paham.”
Jihan merunduk
dan diam sesaat. “Nenek, soal itu…aku…”
“Aku sudah
bertemu dengannya seminggu lalu. Tahun ini, ayahnya akan mencalonkan diri lagi.
Ia tidak ingin masyarakat mengingat aksi kaburmu ketika mereka melamarmu.”
Hening.
“Mereka ingin
kau menikah secepatnya. Aku sudah pastikan kau tidak akan mengecewakan aku
lagi.”
Sepi.
“Awal bulan
depan. Tiga minggu lagi. Bersabarlah,” Nenek berdiri dan berjalan meninggalkan
ruangan. “Malam ini, berdandanlah yang cantik. Dia akan menemuimu.”
Nira
menyambutnya di pintu dan menuntunnya keluar.
Bibi dan Anggi
berdiri.
“Lupakanlah Juna
dan mimpimu. Demi nenek, satu-satunya keluarga kita yang kita tuakan dan kita
sayangi.” kata Bibi sambil pergi.
Anggi berhenti
di sebelah Jihan. “Kalau kau bisa menaklukan Juna, aku rasa tidak dengan nenek.
Jadi kau bisa taklukan apa yang bisa kau taklukan. Maafkan aku.”
“Selamat datang,
Tuan…” sambut nenek kepada kepala desa yang baru tiba di rumah untuk makan
malam bersama.
Jihan termenung
di kamarnya. Anggi menemaninya dan dia yang gemetar serba salah.
“Ahk, Jihan! Mereka
datang! Kepala desa, istri dan anaknya. Calon suamimu itu!” kata Anggi panik.
“Kakak, kau
beruntung sekali. Mendapatkan suami seorang yang terpandang. Padahal kau sama
sekali tidak cantik. Bokongmu saja rata, tidak akan ada laki-laki yang tertarik
padamu.” kata Nira yang berada di ruang yang sama.
“Huss! Jaga
bicaramu! Kau tidak tahu, ya. Siapa Jihan di kampus?” Anggi naik pitam.
“Apa??” tantang Nira.
“Kalian ini
berisik sekali!” bentak Jihan.
Pintu kamar
diketuk. Muncul Bibi dari balik pintu.
“Nah,
gadis-gadis. Para tamu sudah datang. Ayo keluar. Bersikaplah yang manis.” kata
Bibi dengan senyum merekah.
“Aku seperti
wanita penghibur di jaman geisha.” kata Jihan sambil beranjak pergi.
“Hey, bicara apa
kau ini? Jaga bicaramu! Kasar sekali. Padahal kau ini perempuan.” Omel Bibi.
Anggi tertawa
menghampiri ibunya. “Aku juga berpikiran hal yang sama, Bu.”
Bibi menjitak Anggi.
“Kau ini!”
Nira keluar
melewati keduanya tanpa basa-basi.
“Kenapa dengan
dia?” bisik Bibi.
“Aku rasa
otaknya terganggu. Sejak kecil, dia tidak pernah akur dengan Jihan. Huh!
Cantik-cantik berhati jahat.”
“Eh, kau ini!”
cegah Bibi. “Tapi kau benar, dia cantik. Kenapa anak kepala desa tidak
melamarnya saja ya?”
“Eh, Ibu benar.
Aku tidak terpikirkan itu. Kenapa ya? Pasti karena semua orang tahu hatinya
tidak secantik parasnya.”
Bibi menjitak Anggi
lagi lalu pergi.
Anggi meringis
kesakitan.
“Nah, ini dia
cucuku.” kata Nenek sambil menyambut Jihan.
Semua mata
tertuju pada Jihan. Jihan tersenyum santai. Dandanannya sederhana dan natural
tapi terlihat anggun. Berkat polesan Anggi. Terjadi percakapan basa-basi. Jihan
memperhatikan anak kepala desa itu. Ia berusaha menyelidiki apakah ada nilai
lebih pria itu saat ia melihatnya. Nihil. Tidak ada sesuatu yang ia sukai di
sana.
Nira datang
menyuguhkan minuman. Anak kepala desa itu memperhatikan Nira dari ujung kepala
hingga ujung kaki lalu kembali lagi. Ia seperti melihat bidadari dan terpukau
olehnya.
Percakapan
berlanjut. Laki-laki itu terus saja bolak-balik memandangi Nira. Jihan
memperhatikan keduanya. Nira tidak menyadari dirinya diperhatikan secara spesial
oleh pria itu. Percakapan menuju inti perjamuan. Kepala desa membuka obrolan
inti pertemuan. Nenek menyambutnya lalu menyerahkan sepenuhnya pada Jihan.
“Terima kasih
atas kebaikan anda, Tuan. Keluarga kami merasa sangat tersanjung mendapat
kunjungan tamu kehormatan seperti ini. Kami hanya rakyat biasa yang beruntung.”
kata Jihan.
Nenek tersenyum.
Ia merasa kata-kata Jihan sangat meneduhkan telinganya. Semua orang tersenyum
kecuali anak kepala desa yang asik memandangi Nira.
“Aku…baru saja
memulai pendidikan di kota. Tiga tahun lagi aku akan menjadi sarjana.”
Nenek bungkam
dan ia berdebar tidak sabar.
“Kudengar,
nenekku dan keluarga Tuan sudah mengatur rencana pernikahan kami,” Jihan
melirik calon pengantinnya. “Tuan…”
Semua mata
tertuju pada anak kepala desa yang masih fokus pada Nira. Ibu kepala desa mencubit
paha anaknya. Mengejutkan anaknya dan kembali fokus.
“Ehm! Surya.
Namanya Surya.” kata kepala desa.
“Seperti yang
kalian tahu, aku tidak punya orang tua lagi selain nenek dan bibiku. Sebagai
anak yang baik, aku harus berbakti pada mereka. Mereka sudah mengajarkan segala
kebaikan hidup padaku. Mengajarkan bahwa pendidikan adalah penting. Maka aku
harus tetap kuliah.”
Nenek terkejut. Anggi,
bibi dan Nira.
“Tidak apa-apa,
kau bisa melanjutkannya setelah kau menikah. Kami tidak membatasimu.” kata ibu
kepala desa.
“Nenek bilang,
dia hanya akan setuju jika aku menikah dengan pria baik-baik.”
Suasana tenang.
“Dia mengajarkan
aku seperti apa pria baik-baik itu.”
“Iya…iya…kami
mengerti. Itu sudah pasti.” kata ibu kepala desa.
“Maka aku…tidak
bisa menikah dengan Surya tiga minggu lagi.”
Nenek menahan
napas. Semua terkejut.
“Tidak apa-apa,
kami bisa mengaturnya lagi mungkin ketika kau libur?” usul kepala desa.
“Tidak minggu
itu, minggu berikutnya dan seterusnya. Tidak tahun ini, tahun depan atau
tahun-tahun berikutnya.”
Nenek mendadak
sesak napas. Semua tamu terkejut.
“K-kau…” Nenek
menunjuk-nunjuk Jihan.
Nira langsung
memeluk Nenek dan berusaha menenangkannya.
Suasana rumah
hening dan terasa menyeramkan setelah kejadian itu. Jihan merenung di kamarnya
ditemani Anggi. Cukup lama keduanya terdiam.
Bibi masuk tanpa
mengetuk pintu. Ia lalu duduk diantara anak dan keponakannya di tepi kasur. Ia
menghela napas.
“Temuilah. Nenek
memanggilmu. Aku rasa dia sudah cukup baikan untuk menelanmu hidup-hidup.” kata
Bibi.
Anggi bergidik.
“Apa dia marah
padaku?” tanya Jihan dengan tatapan kosong dan lurus.
“Kau ini gila,
ya? siapa yang tidak marah melihat sikapmu tadi?” Bibi kembali emosi.
Anggi meraih
bahu ibunya lalu mengelus-elusnya. “Sudah, Ibu…”
Jihan berdiri.
Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya pergi menemui nenek.
Nira menutup
pintu kamar nenek. Ia berhadapan dengan Jihan yang baru sampai.
“Mau apa kau?”
tanya Nira.
“Nenek memanggilku.”
Jawab Jihan.
“Dia berubah
pikiran. Dia lelah dan harus istirahat. Dia tidak ingin bertemu denganmu.”
Jihan
mengacuhkan Nira, ia berusaha masuk. Nira menahannya.
“Kau tidak puas
membuat nenek sakit? Apa kau mau membunuhnya?” tantang Nira.
“Berisik!” teriak
nenek dari dalam kamarnya. “Pergilah. Aku tidak mau diganggu!”
Nira menatap Jihan
dengan tatapan kemenangan. Jihan menyerah. Ia kembali ke kamarnya.
“Eh, cepat
sekali. Kau tidak ke kamarnya ya?” tanya Anggi yang sedang memijat bahu ibunya.
Bibi terperanjat.
“Kau nakal sekali!”
“Aku sudah ke
sana, tapi Nira bilang nenek tidak mau diganggu!” jawab Jihan dengan kesal.
Mendengar nada
suara Jihan yang lebih tinggi, Bibi dan Anggi tidak berani melawan.
“Kami bertengkar
di depan pintu kamarnya. Lalu ia berteriak untuk mengusir kami. Aku sudah
berusaha.” Jihan mengambil bantal lalu menjatuhkan diri di ranjang.
Jihan bangun
lebih pagi. Setelah mandi, ia merapikan rumah dengan cepat. Ia menunggu nenek
keluar dari kamarnya. Tapi nenek tidak kunjung keluar. Jihan duduk di kursi
ruang makan sambil menopang dagu memandangi pintu kamar nenek.
“Sedang apa kau?”
tanya Nira yang tiba-tiba muncul.
“Menurutmu?” Jihan
balik bertanya.
Nira mengikuti
pandangan Jihan. Ia lalu tertawa. “Kau menyesal?”
“Tidak. Aku hanya
mengkhawatirkan nenek.”
“Tidak ada yang
bisa membahagiakan nenek darimu kecuali kau menuruti kemauannya,” Nira
mengambil gelas lalu meminumnya. “Ngomong-ngomong, yang kemarin itu…pacarmu,
ya?”
Jihan diam saja.
“Kau gunakan apa
supaya dia bisa menyukaimu?” Nira mengambil posisi duduk. “Kelihatannya dia orang kaya, tapi tidak
begitu jelas. Apa dia orang biasa-biasa saja? Atau dia orang kaya yang
sederhana? Atau karena dia tampan ya?”
“Hey, tukang
cari muka!” Anggi merebut gelas Nira dan meminumnya.
“Hey, hentikan!”
Nira merebutnya kembali.
“Kau selalu cari
gara-gara, ya?” Anggi menuang gelasnya sendiri.
“Aku hanya tidak
ingin ada satu nyawa terbuang sia-sia disini!”
“Kau ini!” Anggi
menjitak kepala Nira. “Jaga bicaramu, dasar pencari masalah.”
Nira mengaduh.
“Kau ini kenapa sih??”
“Hey, kalian
berisik sekali!” teriak bibi yang baru datang. “Jihan, di depan ada temanmu.
Tadi aku bertemu dengannya di jalan.”
“Siapa?
laki-laki yang kemarin?” Nira bersemangat.
“Bukan. Rani.
Dia temanmu, kan?”
Jihan tersenyum
lalu pergi menghampiri temannya.
Jihan sedang
berjalan-jalan di sebuah bukit tidak jauh dari rumah neneknya. Sebuah bukit
yang menjadi tempat favorit Jihan dan Rani sejak kecil. Di sana Jihan bisa
memandangi seluruh desa dari kejauhan. Di bawah pohon, Rani duduk bersandar. Jihan
duduk di sebuah ayunan yang biasa ia mainkan dengan Rani sejak kecil.
“Ayunan ini kuat
sekali, ya? masih kuat sampai saat ini?” Jihan menikmati hembusan angin sambil
berayun-ayun.
“Iya,” Rani
tersenyum. “Bagaimana kuliahmu?”
“Menyenangkan.
Aku tidak ragu untuk terus kuliah.”
“Kau berkemauan
tinggi. Kau selalu bersikeras. Aku suka sikapmu.”
Jihan tersenyum.
“Kudengar, kau
kembali karena nenekmu.”
“Iya, benar. Kau
juga pasti tahu kenapa aku pergi dari desa. Dan karena itu aku dipanggil lagi
ke sini.”
“Tapi kau tidak
akan melakukannya, kan?”
“Kenapa kau
bilang begitu?”
“Untuk apa kau
kabur kalau hari ini kau kembali untuk menerimanya?” Rani tertawa.
Jihan ikut
tertawa. Keduanya tertawa bersama.
“Oh, iya. Kenapa
kau baru menemuiku? Kau tidak tahu aku kembali ya?”
“Aku sudah tidak
tinggal di desa ini lagi.”
“Hm? Sejak
kapan?”
“Aku…” Rani
murung. “Tidak akan pernah rela kalau kau menikah dengannya.”
“Kenapa?”
“Dia laki-laki
brengsek. Tidak pantas menikah denganmu!” mata Rani berkaca-kaca. “Aku sangat
membencinya!”
Jihan
memperlambat ayunannya. “Kau…baik-baik saja?”
Dengan suara
bergetar, Rani kemudian menceritakan bahwa sebenarnya ia sempat menjalin
hubungan dengan Surya. Surya seorang pemabuk dan suka mempermainkan perempuan.
Ia juga kasar terhadap perempuan. Awalnya Rani merasa sebagai pengkhianat
karena menjalin hubungan dengan calon suami sahabatnya. Hubungan mereka hanya
bertahan lima bulan. Rani tidak tahan dengan sikap kasar Surya. Ia sering
tertangkap basah berjalan dengan wanita lain. Bahkan dengan beraninya, ia
membawa wanita itu bermalam di rumahnya. Rani benar-benar merasa jijik dan
menyesal. Setiap kali Rani meminta penjelasan, ia selalu disakiti oleh Surya.
Rani sudah pernah menceritakannya pada kedua orang tua Surya. Tapi mereka tidak
percaya dan malah menuduh Rani seorang penggoda calon suami orang, pembohong
dan perempuan murahan yang memanfaatkan harta anaknya. Puncaknya, ketika Rani
mengandung anaknya Surya. Surya tidak mengakuinya. Keluarganya memaki Rani sebagai
pelacur. Rani takut keluarganya tahu. Rani menuntut tanggung jawab Surya, tapi
hanya kekerasan yang ia dapatkan. Rani bahkan diancam akan dibunuh jika buka
mulut dan menyebarkan berita itu. Surya lalu meminumkan Rani sebuah obat yang
Rani tidak tahu apa. Beberapa jam setelah meminumnya, perut Rani kesakitan. Ia
kemudian mengalami pendarahan dan keguguran. Tahun ini, masa jabatan ayahnya
Surya akan habis. Akan diadakan pemilihan kembali. Untuk menutupi aib anaknya,
Rani dan keluarganya disuruh pindah ke desa lain.
“Kenapa tidak
kau laporkan saja dia ke polisi??” Jihan ikut kesal mendengarnya.
“Aku tidak ingin
berita kehamilanku menyebar. Itu aibku dan aku salah…” Rani menangis tertunduk.
“Aku memang bodoh. Aku memang murahan.”
Jihan
menghampiri sahabatnya. Ia duduk di sebelah Rani lalu memeluknya. Jihan ikut
menangis.
“Kemana saja
kau?” sambut Nira di depan rumah. Ia seperti ibu tiri bagi Jihan, selalu
menunggu Jihan pulang dan memarahinya kalau pulang.
Jihan diam saja.
Ia terus berjalan melewati Nira.
“Nenek
mencarimu. Dia mempercepat pernikahanmu. Bahkan minggu ini, kau harus menikah
dengan Surya. Masalah pesta, itu bisa menyusul.” kata Nira mengikuti Jihan dari
belakang.
Jihan berhenti
mendadak. Nira menubruknya. Jihan berbalik. “Apa katamu?”
“Telingamu
kenapa? Tidak jelas yang tadi kukatakan?”
Jihan kembali
berjalan masuk dan mempercepat langkahnya.
Jihan baru
memasuki rumah yang pintunya terbuka. Duduk nenek di kursi tamu bersama dengan
Bibi dan Anggi. Jihan berjalan perlahan dengan menahan air mata. Ia menghampiri
nenek yang sedang duduk tenang menonton tv.
Jihan berdiri di
samping nenek. Bibi dan Anggi merapat. Nenek diam saja seolah tidak mengetahui
kedatangan Jihan.
“Nenek, aku…”
kata Jihan dengan suara perlahan. “Aku tidak mau…”
“Masuk dan
cobalah gaunmu. Aku sudah memesannya sebulan yang lalu.” Nenek memotong kalimat
Jihan.
Jihan memejamkan
mata. Butiran hangat mengaliri pipinya. “Aku mohon, Nek…”
“Apa kau tidak
mendengarnya?? Kubilang, masuk dan cobalah!!” suara nenek meninggi.
Nira masuk. Ia
sengaja menonton di depan pintu.
Jihan berlutut
perlahan. Ia menyentuh lutut neneknya. Ia menangis tertunduk meletakkan
keningnya di lutut nenek. “Maafkan aku, Nek…”
Nenek diam saja
di kursinya.
“Aku sangat
mengkhawatirkanmu. Aku sangat menyayangimu. Aku tidak ingin mengecewakanmu. Aku
ingin kau bahagia dan bangga padaku.”
Bibi ikut sedih.
Anggi bahkan ikut menangis di pelukan ibunya.
“Kau bisa minta
aku melakukan apa saja asal tidak menikah dengan orang itu, Nek…”
“Masuk dan
cobalah.” kata Nenek dengan suara pelan.
“Aku tidak bisa
menikah dengan orang yang tidak kucintai. Aku tidak bisa bertingkah seolah aku
menyukainya.” Jihan masih bersimpuh dan menangis.
“Kalau kau tidak
mau, menjauhlah dariku.” kata nenek.
“Aku mohon, Nek.
Ampuni aku. Jangan sakiti dirimu demi sesuatu yang aku tidak bisa menerimanya.”
“Lepaskan
tanganmu!” nenek melepaskan diri dari Jihan.
Jihan terjatuh
di lantai. Ia mengejar nenek sambil merangkak. Ia berhasil meraih kaki neneknya.
Ia menangis sambil memeluk erat kaki neneknya.
Langkah nenek tertahan.
Ia berusaha untuk melepaskan diri. “Lepaskan aku! Aku tidak sudi melihatmu
lagi! Mulai hari ini, kau bukan cucuku lagi!!”
“Nek, kumohon…” Jihan
semakin menangis. “Aku mohon. Aku mohon. Aku mohon. Aku mohon…”
Tiba-tiba nenek
meringis kesakitan memegangi dadanya. Nira berlari meraih nenek. Bibi ikut
bangun meraih nenek. Anggi memisahkan Jihan dari kaki nenek. Nenek sesak napas.
Beberapa detik kemudian, ia tidak sadarkan diri. Bibi dan Nira panik. Jihan
berontak untuk mendekati nenek, Anggi menahannya sambil menangis. Nira
menginstruksikan agar nenek dibawa ke rumah sakit. Bibi dengan paniknya
langsung membantu Nira membawa nenek ke luar. Jihan berusaha ikut, tapi Anggi
dengan kuat menahannya.
“Sebaiknya kau
jangan ikut. Nanti nenek akan semakin marah kalau melihatmu…” kata Anggi sambil
menangis.
Bersambung ke Chapter 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar