Korean Pine Love - Chapter 1
Anak
Laki-Laki Yang Cantik dan Anak Perempuan Yang Tomboy
Bogor, 18 Februari 1996
Joo Inhyeong Corp. Sebuah pabrik boneka multinasional
terkemuka di Asia asal Korea selatan membuka cabang baru perusahaannya. Bertepatan
dengan ulang tahun ke sepuluh anak tunggal pemilik perusahaan, Kim Hyeon Joo.
Kim Joon Tae naik ke podium memberi sambutan sebagai pemilik pabrik. Di sisi
lain, istrinya yang orang Indonesia dan berdarah Sunda, Shinta sedang duduk
bersama putranya.
“Joo Inhyeong adalah hadiah ulang tahun untuk anakku.
Kelak ketika dia sudah dewasa, dia akan memimpin perusahaan ini. Sengaja
kubangun di Indonesia, sebagai ucapan terima kasihku pada istriku yang orang
Indonesia, lahir dan besar di Kota Bogor dan berdarah Sunda.” Kata Tuan Kim.
Beberapa orang bertepuk tangan. Termasuk Nuria, seorang perempuan yang
diterima bekerja di pabrik boneka itu. Jingga, anak kecil berambut pendek,
memakai celana jeans dan kaos lengan pendek. Jingga anak Nuria. Ia sedang
menonton di upacara pembukaan di luar pabrik.
“Semua pengurus pabrik ini asli orang Indonesia. Aku
percayakan ini pada orang pribumi yang ramah dan menyenangkan.” Tuan Kim
tersenyum melirik istrinya.
Jingga sedang melahap es potong di luar pabrik. Ia
mengintip di pagar dan melihat Kim Hyeon Joo. Jingga terkejut melihat anak
laki-laki yang cantik. Wajahnya putih dan pipinya merah merona. Bibirnya merah
dan kelopak matanya sedikit berwarna merah muda. Jingga tersenyum sambil
mengatakan, “lucu.”
Pembukaan berakhir, berlanjut pada pengenalan
fasilitas dan teknologi yang digunakan pabrik dalam memperoduksi boneka
berstandar internasional. Hyeon Joo bosan dan memisahkan diri dengan ibunya. Ia
beralasan ingin ke toilet. Hyeon Joo keluar pabrik dan melihat begitu banyak
penjual makanan. Hyeon Joo tergoda dan membeli beberapa jajanan. Hyeon Joo
fasih bahasa Indonesia, karena ibunya selalu menggunakan bahasa itu ketika
bersamanya.
Hyeon Joo membeli es potong dan menjilati es-nya dengan
senang. Seorang anak kecil menertawakannya. Hyeon Joo terkejut. Anak kecil yang
sedang memakan es yang sama dengan Hyeon Joo tertawa geli. Hyeon Joo
memperhatikan sekitarnya. Tidak ada yang lucu, kenapa anak kecil itu
menertawakannya. Hyeon Joo lalu mendekati anak itu.
“Kenapa tertawa?” Tanya Hyeon Joo.
“Ng?” anak itu terkejut Hyeon Joo mengajaknya bicara.
“Kau bicara padaku?”
“Pabo.” Hyeon
Joo meledek anak itu.
“Jingga. Itu namaku. Bukan Pabo!”
Hyeon Joo menyeringai lalu tertawa. Hyeon Joo lupa
kalau ia sedang di Indonesia, tidak banyak yang mengerti bahasa korea. Yang
dikatakannya barusan adalah mengatai Jingga dengan sebutan bodoh. Jingga ikut
tertawa.
“Namamu siapa?” Tanya Jingga.
“Hyeon Joo.”
Sekejap kemudian mereka menjadi akrab. Logat Hyeon Joo
masih terdengar aneh tapi secara susunan kalimat dia sudah dikatakan baik.
Jingga mengajak Hyeon Joo bermain bersama. Hyeon Joo
ragu karena takut dimarahi Eomma,
bahasa korea yang berarti ibu. Hyeon Joo lalu mengajak Jingga bermain ke pabrik
dan melihat banyak boneka. Jingga senang dan setuju. Mereka sembunyi-sembunyi
masuk ke pabrik. Jingga melihat banyak alat berat dan boneka yang bagus-bagus. Jingga
sembunyi-sembunyi mengambilnya satu.
“Apa ini boleh untukku?” Jinga memeluk boneka jerapah
kecil dengan gemas.
Hyeon Joo merebutnya dan meletakkan di keranjang
semula. “Tidak boleh. Itu bukan milikmu. Kau tidak boleh mengambil barang yang
bukan milikmu. Ayo kita pergi!”
Jingga manyun dan diam di tempat. Hyeon Joo berhenti
menyadari Jingga tidak mengikutinya.
“Ayo, cepat!” Hyeon Joo menarik tangan Jingga.
“Aku bosan.” Jingga malah duduk di lantai.
Hyeon Joo terkejut. Ia memperhatikan sekeliling
khawatir ada yang mengetahui keberadaan mereka. Hyeon Joo kembali menarik
tangan Jingga.
“Ayo pergi dari sini. Kau manja sekali seperti anak
perempuan saja!”
“Aku memang anak perempuan…” belum selesai Jingga
bicara, seseorang berteriak menunjuk arah.
“Itu disana!” sahut orang itu.
Hyeon Joo terkejut. Dengan sigap Hyeon Joo menarik
paksa Jingga keluar.
“Ooh, di sini. Maaf merepotkan. Terima kasih.” Jawab Nuria.
Ia mencari keranjang lain yang kosong.
Hyeon Joo dan Jingga berlari keluar pabrik. Mereka
terengah-engah.
“Kenapa harus pergi?” Jinga melepaskan tangannya dari Hyeon
Joo.
“Pabrik bukan tempat bermain anak kecil.” Jelas Hyeon
Joo.
“Lalu kemana kita?”
Hyeon Joo angkat bahu. “Aku tidak tahu daerah ini.”
Jingga tersenyum tiba-tiba. “Kau suka bertualang?”
Hyeon Joo tertawa. “Tentu aku seorang coboy!”
“Baiklah coboy, aku kapten. Ikuti aku!” Jingga pergi.
“Kapten?” Hyeon Joo bingung. “Mungkin maksudmu
sheriff.”
Hyeon Joo menyusul Jingga. Mereka pergi ke sawah,
tidak jauh dari perkampungan dan pabrik Inhyeong. Jingga menceburkan diri ke
sawah dan bermain lumpur. Hyeon Joo tidak mau, ia hanya melihat di tepian
pematang sawah. Ia takut bajunya kotor dan dimarahi Eomma. Tapi kakinya gatal
untuk turun dan sedikit saja berbecek-becekan. Hyeon Joo akhirnya turun dengan
celana dan lengan baju digulung. Hyeon Joo melarang Jingga melempar kotoran
atau mendorongnya. Jingga tersenyum meledek Hyeon Joo coboy tiruan. Hyeon Joo
melihat belut. Ia terkejut dan mengira ular. Hyeon Joo buru-buru naik dan
bergidik. Jingga menertawaknnya. Jingga justru melompat menangkap belut.
Akibatnya, seluruh bajunya kotor. Hyeon Joo balik menertawakan Jingga.
Ketika tengah asik, seseorang meneriaki mereka dan
marah-marah. Sepertinya ia pemilik sawah itu. Jingga langsung naik dan menarik Hyeon
Joo untuk pergi. Mereka berlari lebih cepat dari si pemilik sawah. Hyeon Joo
dan Jingga tertawa sambil berlari.
Jingga dan Hyeon Joo pergi ke sungai dekat sawah. Jingga
berendam membersihkan pakaiannya yang kotor. Hyeon Joo menunggu di atas batu
besar sambil melempar batu ke sungai. Jingga selesai, mereka merendam kaki di
aliran sungai dan duduk di atas batu. Hyeon Joo mengeluh lapar dan lelah. Jingga
lalu berdiri dan mengajak Hyeon Joo pergi ke suatu tempat lagi.
Jingga membawa Hyeon Joo ke sebuah bukit yang penuh
rumput tinggi dan ilalang. Mereka melewati barisan pohon akasia dan sampai di
puncak bukit kecil dengan satu pohon akasia besar di sana.
“Mana makanannya?” Tanya Hyeon Joo.
“Ah…tunggu sebentar.” Jingga menuruni bukit sedikit.
Ia lalu memanjat sebuah pohon ceri liar. Diambilnya buah ceri yang sudah merah.
Setelah cukup banyak, Jingga turun dan menemui Hyeon Joo.
“Apa itu?” Hyeon Joo
yang dari tadi memperhatikan Jingga memanjat heran.
“Ceri. Coba saja! Seperti ini!” Jingga memakan satu
buah ceri liar. “Enak!”
Hyeon Joo mengambil lalu mencobanya. Ia memakan sambil
melihat Jingga makan. Jingga tersenyum senang.
“Darayo. Manis.”
Kata Hyeon Joo memakan buah ceri liar sambil memandangi Jingga.
Mereka kembali ke pabrik. Sudah mulai sepi. Jingga
berhenti sebelum tiba di pabrik. Jingga takut dimarahi ibunya. Hyeon Joo
melihat ke pabrik. Manager Rudi sedang mondar-mandir menunggu seseorang.
“Hm. Baiklah. Annyeong-hi
gyeseyo!” Hyeon Joo
tersenyum.
“Ng?” Jingga polos tidak mengerti.
Hyeon Joo tertawa. “Selamat tinggal.”
“Oh?! Apa kau akan pergi dan kita tidak akan bertemu
lagi?”
“Anio…” Hyeon
Joo tersenyum lagi. “Tidak, aku akan kembali lagi ke sini. Akan bermain lagi
bersamamu. Lain kali aku akan membawa pakaian ganti supaya bisa bermain lumpur
dan berendam di sungai seperti caramu.”
Jingga tersenyum lebar dan melompat-lompat kegirangan.
“Asik!”
Hyeon Joo kembali. Manager Rudi gembira melihat Hyeon
Joo kembali. Ia nayris gila mencari Hyeon Joo dan kedua orang tua Hyeon Joo
sangat khawatir. Hyeon Joo menemui ibunya. Ia minta maaf karena membuat
khawatir dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Hyeon Joo pulang. Sepanjang jalan Hyeon Joo tersenyum
bahagia. Ia baru satu minggu tiba di Indonesia setelah lima tahun di korea. Hyeon
Joo tidak punya teman dan hanya berteman dengan Harabheojhi, panggilan kakek
dalam bahasa korea, yang meninggal sebulan lalu. Di Indonesia, Hyeon Joo punya
teman. Teman baru yang energik dan menyenangkan.
Di rumah, Hyeon Joo menceritakan sebuah rahasia pada Appa, panggilan ayah dalam bahasa korea.
Bahwa sebenarnya ia telah bertualang hari ini dengan teman baru. Appa berjanji
untuk merahasiakannya dari Eomma. Hyeon Joo menceritakan soal Jingga. Hyeon Joo
masih mengira Jingga adalah anak laki-laki. Pada akhir cerita Hyeon Joo memohon
agar besok dan seterusnya ia diijinkan pergi ke desa dan bermain dengan Jingga.
“Appa…ayolah…” Hyeon Joo merajuk pada Appa.
“Hmm…bagaimana ya…” Appa berpikir.
“Appa, Appa…aku belum punya teman yang seru seperti
dia. Kumohon, biarkan aku bermain lagi dengannya. Aku janji tidak akan nakal
dan tidak akan pergi tanpa pamit apalagi tanpa kembali.”
Appa tersenyum lalu mengacak-acak rambut anaknya.
“Baiklah. Selama kau menepati janjimu!”
Hyeon Joo melompat kegirangan seperti Jingga sore
tadi. Appa terkejut melihat Hyeon Joo yang sangat-sangat gembira.
Hyeon Joo dan Appa memiliki rahasia bersama yang Eomma
tidak tahu. Hyeon Joo selalu bangun lebih pagi agar bisa ikut ke pabrik dengan
Appa. Appa membela Hyeon Joo pada Eomma bahwa itu bagus karena pabrik itu
memang hadiah ulang tahunnya dan kelak Hyeon Joo akan memimpin pabrik itu
sendiri. Eomma yang tidak tahu sebenarnya akhirnya setuju dan memperingati Hyeon
Joo agar selalu bersama Appa tanpa mengganggu pekerjaan Appa dan membuat
masalah. Hyeon Joo mengerti.
Hyeon Joo kembali ke pabrik. Ia turun di depan gerbang
pabrik begitu melihat Jingga. Appa mengijinkannya dan memperingati sekali lagi agar jangan nakal
dan jangan jauh-jauh. Appa memperhatikan Jingga sejenak. Sekilas, Appa tahu Jingga
adalah anak perempuan dengan senyum yang manis. Appa melempar senyum pada Jingga
lalu masuk ke pabrik.
“Ayahmu tampan!” Jingga tersenyum melambaikan tangan
pada mobil Appa.
“Tentu saja! Dia Appa-ku.
Dia menurunkan ketampannanya padaku.”
“Hm…kau benar!” Jingga tersenyum. “Eh, apa kau bawa
baju ganti? Kita akan bermain lumpur, berendam di sungai dan berguling-guling
di bukit!”
“Tada!!” Hyeon Joo menunjukkan sebuah bingkisan berisi
pakaian ganti Hyeon Joo.
Jingga bersemangat. Mereka bermain seharian dan
sepuasnya. Bermain lumpur menangkap belut yang selalu gagal, berenang di
sungai, melompat dari atas batu yang tinggi, lalu memanjat pohon ceri.
Begitulah Hyeon Joo dan Jingga setiap harinya. Bermain
dan bermain. Setiap pulang dari pabrik, Hyeon Joo selalu tertidur di mobil
karena kelelahan. Eomma heran dengan sikap anaknya yang bangun lebih pagi, dan
pulang dalam keadaan tidur terlelap. Appa hanya tersenyum dan merahasiakannya.
Hyeon Joo sudah rapi dan menyantap sarapannya. Appa di
sebelahnya.
“Hyeon Joo, lusa kau akan sekolah. Eomma sudah
mendaftarkanmu ke sekolah bagus. Kau akan punya teman.” Kata Eomma.
Hyeon Joo terkejut. “Anio…aku tidak mau sekolah, Eomma…”
Appa terkejut. Eomma lebih-lebih.
“Kenapa?” Eomma menambahkan sayur di piring Appa.
“Aku sudah pintar. Aku mau main saja.” Jawab Hyeon Joo.
Appa dan Eomma terkejut lalu tertawa bersama. Eomma
bilang, Hyeon Joo bisa bermain ke pabrik lain hari lagi. Tapi sekolah lebih
penting.
“Pintar saja tidak cukup, Hyeon Joo-ku…kau harus jadi
sangat pintar. Nah, semangat ya!” Eomma menuangkan jus jeruk ke gelas Hyeon Joo.
Hyeon Joo manyun dan diam saja.
“Ibu, Ibu…aku kapan sekolah? Teman-temanku sudah
sekolah semua.” Jingga bertanya pada ibunya.
“Nanti kalau uang Ibu sudah terkumpul ya, Nak…” Nuria
menyuapi Jinga dengan nasi putih dan semur tahu kesukaan Jingga.
Jingga mengantar ibunya bekerja ke pabrik. Ia berpisah
di gerbang. Ibunya masuk dan Jingga menunggu Hyeon Joo. Tidak lama, Hyeon Joo
dan Appa-nya datang. Mobil berhenti di gerbang, Hyeon Joo turun.
Mereka berdua terlihat aneh. Hyeon Joo sedih karena
harus sekolah dan akan jarang main dengan Jingga. Jingga juga sedih karena ia
masih belum bisa bersekolah seperti teman-temannya yang lain di rumah. Mereka
berjalan berdua dan terdiam bersama.
Di sawah, Hyeon Joo dan Jingga tidak bersemangat
bermain. Keduanya duduk di pematang sawah dengan kaki terjulur ke dalam sawah.
Tidak lama mereka ke sungai. Di sungai pun mereka melakukan hal yang sama.
Hanya duduk di batu besar, melempar batu dan banyak diam. Mereka tiba di bukit
dan pohon akasia.
“Hyeon Joo, apa kau bosan? Kenapa kau tidak
bersemangat?” Jingga bertanya.
“Anio…aku
tidak bosan. Aku akan bermain sepuluh kali, seratus bahkan ribuan kali
bersamamu di sini.”
“Tapi kenapa kau murung?”
“Lusa, aku harus sekolah lagi. Aku tidak mau. Tapi
Eomma menyuruhku pergi ke sekolah.”
“Wah! Itu bagus! Aku juga ingin ke sekolah!”
“Ng?” Hyeon Joo melihat Jingga. “Kau kelas berapa?”
“Aku…aku belum sekolah. Aku tidak bisa membaca dan aku
sangat ingin bisa membaca. Aku ini pintar!” Jingga tersenyum polos dan manis.
Hyeon Joo nyengir. “Berapa umurmu? Kenapa belum
sekolah?”
“Ng…” Jingga berpikir sejenak. “Tahun lalu, Ibu bilang
umurku enam tahun. Sekarang…tujuh tahun.”
“Whoa! Tujuh tahun belum sekolah??” Hyeon Joo
terkejut.
“Hm. Apa kau tidak mau bermain denganku kalau aku
belum sekolah?”
“Ng? Anio, Anio…Aku suka bermain denganmu.”
Jingga tersenyum. Ia memandang dahan pohon akasia yang
rimbun dan menyejukkan. Hyeon Joo mengikuti.
“Aku juga. Aku menyukaimu. Aku suka bermain denganmu.
Kau baik dan menyenangkan.” Jingga masih tersenyum. “Seperti aku suka pohon.”
“Ng?” Hyeon Joo bingung melihat Jingga. “Kenapa
pohon?”
“Nah! Kau tahu tidak? Sebenarnya pohon
tidak tumbuh dari bawah ke atas, tapi
lebih banyak dari atas ke bawah.”
Hyeon Joo bingung. “Masak? Tapi mereka tumbuh.
Maksudku, awalnya mereka kecil lalu menjadi tinggi.”
“Aku pikir juga begitu. Tapi aku pernah melihat acara
tv, dikatakan begitu. Akarnya tumbuh ke bawah, menuju pusat bumi. Karena
akarnya terus tumbuh dan banyak makan, maka daun dan dahannya semakin besar dan
tinggi.”
“Aaa…” Hyeon Joo mengerti. “Pada
jaman dahulu, pohon berharga seperti emas. Di Mesopotamia, sekarang Irak, kayu
memiliki nilai yang sama dengan logam dan permata berharga.”
“Wah! Kau juga lihat di tv?”
“Anio. Aku
membacanya di buku.”
“Oo…pasti menyenangkan bisa baca. Apa lagi? Apa lagi
yang kau baca soal pohon?”
“Pohon pinus Bristlecone dianggap
sebagai pohon tertua di dunia. Pohon ini dianggap sebagai makhluk hidup yang terkuat di bumi dan
berhasil bertahan dari kondisi paling sulit. Pohon Prometheus, salah satu Great Basin Bristelcone Pine yang
terdapat di Nevada, berusia sekitar 5.000 tahun, bahkan sudah tua ketika orang
Mesir sedang membangun piramida.”
“Aku tidak terlalu mengerti. Tapi dari namanya
pasti itu pohon yang bagus.”
“Ada juga pohon abadi. Sama seperti
vampir, ada pohon yang tidak mati meskipun sudah tua. Bahkan mereka pun harus
dibunuh dengan cara-cara khusus, seperti dengan memotong, serangan serangga,
atau penyakit. Inilah sebabnya
mengapa pinus Bristlecone dapat hidup selama ribuan tahun. Di California, ada
sebuah pohon yang masih hidup dan terdapat prasasti sejak tahun 1849, yang
ditinggalkan oleh wisatawan California saat Gold Rush. Prasati tersebut bertuliskan ‘49 Road’.”
Jingga bergidik. “Apa dia seseram vampire
juga?”
“Tidak. Tapi dia bukan pohon tertua di dunia. Pohon
tertua di dunia adalah sebuah pohon cemara di Swedia, yang berusia hampir
10.000 tahun.”
“Ung…”
“Yang menarik, ada pohon pembunuh!”
“Hm? Ada yang seperti itu?”
Hyeon Joo mengangguk. “Pohon Pembunuh. Pohon Manchineel mengeluarkan suatu getah beracun yang
dapat menyebabkan kulit lecet jika menyentuhnya, bahkan kebutaan jika getahnya
terkena mata. Dan jika buahnya dimakan, yang sering juga disebut sebagai apel
kematian, akan menyebabkan nyeri hebat.”
“Ah…kau membuatku takut sembarang memakan
tanaman liar. Apa tidak ada cerita pohon yang bagus yang pernah kau baca?”
“Ada. Pohon pinus adalah 'pohon cinta'. Orang-orang di Korea mengambil
pohon pinus sebagai filosofi. Karena melambangkan cinta yang kokoh, lurus, dan
tidak pernah berakhir.”
“Wah…” Jingga tersenyum lebar. “Pasti pohon itu
bagus. Seperti apa pohon pinus itu?”
“Mwo?”
Hyeon Joo bingung. Sedetik kemudian Hyeon Joo tertawa. “Kau belum pernah
melihat pohon pinus?”
Jingga menggeleng. Hyeon Joo masih tertawa,
menganggap Jingga lucu dan aneh karena belum pernah melihat pohon pinus padahal
itu bukan tanaman langka seperti Raflesia Arnoldi.
“Nanti kalau aku ke sini lagi, akan kubawa
bukunya supaya kau lihat.” Hyeon Joo menyudahi tawanya.
“Tapi aku tidak bisa membaca.”
“Kalau begitu aku akan pergi ke sekolah. Aku
akan belajar banyak soal pohon dan akan kuceritakan semuanya padamu.”
“Hm!” Jingga mengangguk senang.
Hyeon Joo merebahkan diri di rumput. Memandangi
rindangnya pohon akasia. Jingga mengikuti. Keduanya lalu tertidur karena lelah
dan terbuai sejuknya angin di bawah pohon.
Hari sudah sore. Hyeon Joo dan Jingga belum
pulang. Mereka masih tertidur di bawah pohon. Appa mulai cemas. Ia menyuruh Manager
Rudi mencari anaknya. Hyeon Joo tidak ditemukan di sekitar pabrik. Tuan Kim
teringat Jingga, ia bertanya dimana Jingga tinggal. Di saat yang bersamaan Nuria
lewat. Mendengar nama anaknya disebut, Nuria terkejut menghampiri Tuan Kim dan Manager
Rudi.
“Maaf, Tuan…Jingga…apa Jingga yang anda maksud
itu anakku?” Tanya Nuria.
Tuan Kim bingung. “Entahlah. Tapi dia anak
perempuan yang mirip laki-laki.”
“Ya Tuhan, Jingga anakku…” Nuria cemas.
Tuan Kim, Nuria dan Manager Rudi turun ke
perkampungan mencari Jingga dan Hyeon Joo. Hari mulai gelap. Mereka belum
menemukan Hyeon Joo dan Jingga.
Jingga terbangun mendengar suara napas
seseorang. Jingga terkejut melihat Hyeon Joo duduk bersandar di pohon. Wajahnya
pucat dan napasnya tersengal-sengal. Jingga mendekati Hyeon Joo.
“Hyeon Joo, apa kau sakit?” Jingga khawatir.
Hyeon Joo diam saja. Napasnya mengeluarkan
suara seperti anak kucing. Mata Hyeon Joo memerah seperti ingin menangis. Jingga
menyentuh tangan Hyeon Joo yang memegangi dadanya. Jingga menitikkan air mata,
kasihan.
“Maafkan aku. Kau sakit karena aku, ya?” Jingga
menangis. “Ayo kita pulang. Sebentar lagi gelap.”
Hyeon Joo tidak bisa bicara. Ia juga menangis.
“Hyeon Joo…kau bisa bertahan sebentar?” Jingga
baru akan bangkit dan pergi.
Hyeon Joo menahan tangan Jingga dan memberi
isyarat untuk tetap tinggal. Jingga semakin menangis tidak tega. Tapi Jingga
tidak bisa membiarkan teman baiknya sakit.
Jingga mencium pipi Hyeon Joo yang memerah. “Aku
akan segera kembali membawa bantuan, tunggulah!”
Hyeon Joo diam memegangi dadanya dan mengatur
napas. Ia melihat Jingga yang semakin lama semakin jauh lalu menghilang. Tidak
berapa lama, Jingga kembali. Ia terlihat sedang berlari menarik ibunya, lalu
Appa dan Manager Rudi. Hyeon Joo tersenyum dan berpikir Jingga sangat cepat.
Seminggu sudah sejak kejadian itu. Hyeon Joo
tidak pernah datang. Jingga sangat mengkhawatirkan temannya. Tapi ia juga malu
dan takut bertanya pada Tuan Kim. Setiap hari Jingga menunggu Hyeon Joo di
gerbang pabrik dan bersembunyi begitu melihat mobil Tuan Kim datang. Tuan Kim
menyadari kedatangan Jingga, ia tidak marah dan hanya memakluminya sebagai
anak-anak. Tuan Kim tersenyum melihat Jingga sembunyi dari spionnya.
“Kau teman yang baik. Setia menunggu dan
mengkhawatirkan Hyeon Joo.” gumam Tuan Kim.
Jingga menunggu Hyeon Joo setiap hari meski
dilarang ibunya. Ia selalu datang dan datang lagi diam-diam. Bahkan Jingga rela
kehujanan menunggu Hyeon Joo. Akibatnya, Jingga jatuh sakit. Nuria benar-benar
melarang keras Jingga kembali ke pabrik. Jingga akhirnya menurut.
Di pabrik, Tuan Kim tidak melihat Jingga sejak
kedatangannya. Ia sedikit heran, apa anak kecil itu sudah bosan dan melupakan Hyeon
Joo? Tuan Kim sedang berkeliling pabrik memantau pekerjaan para karyawannya. Ia
berpapasan dengan Nuria.
“Oh, Nuria,” sapa Tuan Kim. “apa yang terjadi
dengan Jingga? Aku tidak melihatnya seharian ini? Apa dia sakit?”
Nuria merasa Tuan Kim baik hati memperhatikan
anaknya. “Iya, Tuan. Kemarin dia kehujanan dan badannya panas. Hari ini dia
kusuruh istirahat di rumah saja. Maaf merepotkan.”
“Mmm…sayang sekali. Padahal dia anak yang ceria
dan penuh semangat. Baiklah kalau begitu, rawatlah dia baik-baik.” Tuan Kim
pergi.
Nuria tersenyum dan berterima kasih dalam hati
atas kepedulian Tuan Kim pada anaknya.
Tuan Kim pulang. Eomma mengadu pada suaminya
kalau Hyeon Joo malas belajar. Tuan Kim lalu menemui anaknya di kamar. Hyeon
Joo sedang menyusun lego di lantai kamarnya. Tuan Kim mendekat.
“Kau ingat Jingga?” Tuan Kim mengambil sebuah
lego dan menaruhnya di susunan lego Hyeon Joo.
Hyeon Joo terperanjat. “Appa bertemu
dengannya?”
Tuan Kim tersenyum dan kembali menyusun lego.
“Dia sakit. Dia selalu menunggumu.”
Hyeon Joo senang lalu murung. “Aku harus
sekolah. Eomma melarangku ke pabrik.”
Tuan Kim mendekati anaknya. Ia memberi isyarat
untuk berbisik. “Kalau kau rajin belajar, hari minggu kita akan ke pabrik.
Hanya sehari itu. Rahasia kita berdua!”
Hyeon Joo tersenyum. Ia mengangguk dan memeluk
ayahnya. Hyeon Joo lalu berlari ke meja belajarnya. Ia membuka buku, mengambil
pinsil dan mulai mengerjakan PR. Tuan Kim tertawa senang. Eomma mengintip di
pintu.
“Apa yang kau katakan padanya?” Tanya Eomma
pada suaminya ketika keluar kamar Hyeon Joo.
“Rahasia antar pria.” Tuan Kim berlalu.
Eomma heran dan menyusul. “Keterlaluan. Kalian
berdua membuatku terasing.”
Tuan Kim tertawa.
Semalaman Hyeon Joo tidak bisa tidur. Ia tidak
sabar menunggu lusa. Lusa adalah hari minggu. Hyeon Joo memejamkan mata lalu
terbangun melihat jam.
“Pagi itu lama sekali.” Oceh Hyeon Joo.
Hyeon Joo akhirnya tidur. Alarm-nya berbunyi. Hyeon
Joo segera mandi, berganti pakaian dan pergi ke garasi lewat jendela. Hyeon Joo
mengunci pintu kamarnya dan memutar CD pelajaran bahasa inggris dalam lesson conversation. Eomma yang baru
akan membangunkan anaknya heran dengan pintu terkunci dan suara CD yang sedikit
keras. Eomma turun ke ruang makan menemui suaminya.
“Dia semangat sekali belajar. Sepertinya dia
sedang mendengarkan CD pelajaran bahasa inggris sambil mandi.” Eomma tertawa.
Tuan Kim ikut tertawa. Ia menghabiskan
sarapannya lalu pamit ke pabrik. Eomma mengantarnya hingga ke teras. Ia
merapikan sedikit dasi suaminya lalu mengiringi suaminya pergi bekerja.
Sesampainya di pabrik. Tuan Kim memarkir
mobilnya dan masuk ke pabrik menuju ruangannya. Beberapa saat kemudian,
bagasinya terbuka. Hyeon Joo mengintip dan keluar dari bagasi. Ia
mengendap-endap lalu pergi. Hyeon Joo menabrak seseorang. Ia terkejut.
“Hyeon Joo? Kenapa kau di sini?” Tanya Manager
Rudi.
“Ssstt…” Hyeon Joo menarik Manager Rudi untuk
membungkuk.
Manager Rudi mengikutinya. “Ada apa?”
“Paman tahu Jingga? Dimana rumahnya?”
Manager Rudi terkejut. “Apa kau ke sini untuk
menemuinya?”
“Jangan beri tahu Appa. Aku hanya akan bermain
sebentar. Tolonglah, Paman. Aku bosan di rumah…” Hyeon Joo menampakkan wajah
sedihnya.
Manager Rudi tidak tega. Ia lalu mohon ijin dan
mengantar Hyeon Joo ke rumah Jingga. Nuria sedang menjemur pakaian. Ia terkejut
melihat Hyeon Joo dan Manager Rudi datang ke rumah gubuknya.
“Hyeon Joo??” Nuria masih tidak percaya.
Jingga yang sedang sarapan mendengar ibunya
menyebut nama Hyeon Joo, terkejut. Ia keluar. Jingga senang melihat Hyeon Joo.
“Hyeon Joo?!” Jingga tersenyum lebar dan senang
melihat Hyeon Joo.
“Annyeong
Haseyo?” Hyeon Joo setengah membungkuk pada Nuria dan Jingga.
Jingga, Nuria dan Manager Rudi tertawa.
“Anak ini…” Manager Rudi mengusap kepala Hyeon
Joo.
Jingga menarik Hyeon Joo masuk ke rumahnya. Nuria
memperhatikan anaknya dengan cemas.
“Apa tidak apa-apa?” kata Nuria.
“Tidak bisa tidak apa-apa. Aku diam-diam ijin
dan mengantarnya ke sini. Dia sangat membuatku iba. Sebaiknya kau segera
membawanya ke pabrik. Aku tahu kau sedang ijin tidak bekerja untuk menemani
anakmu yang sedang sakit. Tapi bisakah kau antarkan dia nanti?” kata Manager
Rudi.
“Hm. Baiklah. Aku akan ke sana jam dua siang
nanti.”
“Ya sudah. Aku pulang duluan.”
“Terima kasih.”
Nyonya Kim menelepon suaminya di pabrik. Ia
memberi tahu Hyeon Joo tidak di rumah. Hyeon Joo kabur entah kemana. Tuan Kim
terkejut.
“Sayang, kau harus mencarinya. Aku takut
terjadi sesuatu padanya…” Nyonya Kim menangis.
“Tenanglah dulu. Apa kau sudah mencari ke
seluruh rumah?” Tuan Kim mencoba tenang.
“Sudah. Sudah kucari keman-mana, tidak ada.”
“Coba cari sekitar komplek. Mungkin dia bermain
di luar.”
“Sudah juga…”
“Baiklah. Aku akan mencarinya di sini, walau
pun aku yakin aku tidak mengajaknya pergi. Tenangkan dirimu dan coba cari dia
lagi.”
Nyonya Kim menurut. Tuan Kim juga khawatir tapi
ia bingung harus mencari kemana.
Hyeon Joo sangat senang bertemu Jingga. Jingga
masih saja terlihat seperti anak laki-laki, tidak memakai rok atau atribut anak
perempuan seperti biasanya. Jingga tidak malu mengajak Hyeon Joo masuk ke rumah
gubuknya. Hyeon Joo juga tidak sungkan.
“Kau makan apa?” Tanya Hyeon Joo melihat piring
sarapan Jingga yang belum habis.
“Ng? Ini…ini tumis kangkung dan nasi hangat.
Aku baru mulai sarapan. Kau sudah sarapan?” Jingga menjawab polos.
Hyeon Joo menggeleng. “Ajik. Belum.”
“Apa kau lapar?” Nuria datang.
Hyeon Joo mengangguk. “Baegopa-yo. Aku lapar.”
“Tunggu sebentar.” Nuria mengambil piring Jingga
dna membawanya ke dapur. Ia kembali dengan nasi penuh sepiring. “Nah, ayo
makan!”
Jingga terkejut melihat ibunya menyodorkan nasi
pada Hyeon Joo. Hyeon Joo tersenyum lalu membuka mulut. Nuria menyuapinya. Jingga
merasa iri. Ia merajuk minta disuapi pula. Mereka terlihat sangat bahagia.
“Mats
Isso yo!” Hyeon Joo
membuka mulut lagi.
Setelah selesai makan, Hyeon Joo merasa kenyang
dan segar. Hyeon Joo membungkuk pada Nuria dan Jingga. “Terima kasih. Kalian
berdua sangat baik.”
Nuria dan Jingga bingung dengan ucapan Hyeon
Joo. Tapi mereka tidak ambil pusing. Nuria kembai menyuapi Hyeon Joo dengan
telanjang tangan.
Selesai makan, Hyeon Joo mengajak Jingga ke
sawah. Tapi Jingga takut dimarahi ibu. Jingga lalu meminta ijin pada ibunya.
“Ke sawah? Untuk apa?” Tanya ibu.
“Bermain, Bu…” pinta Jingga dengan memelas.
Nuria memandangi Jingga dan Hyeon Joo
bergantian. “Kalian berdua?”
Jingga mengangguk dan merunduk. Hyeon Joo juga
memelas.
“Tidak.” Nuria berdiri. “Tanpa aku.”
Jingga terkejut lalu tersenyum. Hyeon Joo juga
tersenyum senang.
Mereka pergi ke sawah bersama naik sepeda. Jingga
di depan dan Hyeon Joo membonceng di belakang. Mereka sangat senang dan
bersorak girang. Nuria tersenyum sepanjang jalan merasa menyenangkan seolah
punya dua anak. Mereka juga bermain ke sungai, bermain air bertiga sampai basah
kuyup.
Menjelang tengah hari, Nuria mengajak mereka
pulang. Jingga dan Hyeon Joo harus tidur siang. Karena Nuria juga lelah. Mereka
menurut. Nuria memandikan Jingga lalu Hyeon Joo. Tapi Hyeon Joo menolak. Ia
malu dan ia akan mandi sendiri.
Setelah mandi, Nuria menidurkan Jingga dan Hyeon
Joo di kamar yang sama bahkan di satu ranjang. Nuria di tengah-tengah keduanya,
mengelus-elus kepala Hyeon Joo dan Jingga hingga keduanya tertidur pulas. Selagi
mereka tidur, Nuria mempersiapkan diri untuk berangkat mengantar pulang Hyeon
Joo ke pabrik.
Jingga terbangun lebih dulu. Ia terkejut
melihat Hyeon Joo tidur di sebelahnya. Jingga diam memperhatikan Hyeon Joo dari
dekat. Semakin dilihat, Hyeon Joo semakin lucu. Wajahnya putih dan pipinya
merona. Bibirnya merah dan kelopak matanya merah muda. Matanya sedikit sipit.
Hidungnya mancung dan lurus. Jingga tersenyum melihat betapa cantiknya Hyeon
Joo. Jingga menjulurkan tangan hendak menyentuh pipi Hyeon Joo yang sedang
lelap. Jingga tertahan. Jingga justru mencium pipi Hyeon Joo.
“Mmm…rasanya aneh.” Jingga cengengesan. “Dingin
dan lembut.”
Hyeon Joo merasa sesuatu menyentuh pipinya. Ia
terbangun. Dilihatnya Jingga sedang senyam-senyum. Hyeon Joo duduk dan mengucek
kedua matanya.
“Kau kenapa senyam-senyum seperti itu?” Tanya Hyeon
Joo.
Jingga semakin tersenyum. Hyeon Joo sedikit
merasa aneh. Hyeon Joo masih mengira Jingga adalah anak laki-laki tapi kenapa Jingga
punya senyum yang sangat manis seperti anak perempuan.
“Oh? Kalian sudah bangun?” Nuria datang.
“Ng? Ibu!” Jingga melompat memeluk ibunya. Jingga
menarik ibunya dan membisikkan sesuatu. “Hyeon Joo cantik bukan? Pipinya aneh,
rasanya dingin dan lembut.”
Nuria tertawa. Hyeon Joo masih bingung duduk
berselimut di kasur.
“Hyeon Joo, ayo kita pulang. Aku akan mengantarmu.”
Nuria sudah rapi.
“Hm?” Hyeon Joo baru sadar ia sedang kabur.
“Apa Paman tidak menjemputku?”
“Tidak. Dia sedang sibuk. Dia menunggumu di
pabrik. Kau bisa pergi bersamaku.”
“Ibu, boleh aku ikut?” Jingga menahan ibunya.
“Jangan, Jingga. Di luar sepertinya mendung
akan turun hujan. Kau masih sakit. Istirahat saja di rumah.” Cegah ibunya.
“Ah…Ibu, hanya mengantar Hyeon Joo pulang. Itu
saja. Aku tidak akan pergi main. Aku akan langsung pulang dan istirahat.
Kumohon, Bu…”
“Jingga, tidak boleh…Ibu bilang jangan, ya
jangan.”
Nuria menggandeng Hyeon Joo keluar kamar. Hyeon
Joo diam saja melihat Jingga merengek. Jingga terus membuntuti ibunya dan
merajuk minta ikut. Jingga akhirnya menangis karena sangat ingin ikut.
“Ibu, aku akan tetap pergi biar pun kau
melarangku. Karena aku sangat ingin pergi.” Jingga berdiri di pintu
mengghalangi ibunya pergi.
Nuria melepaskan Hyeon Joo. Ia meraih tangan
anaknya dan menariknya ke kamar. Nuria menyuruh Jingga tidur dan
menyelimutinya. Jingga masih menangis dan berontak ingin pergi. Hyeon Joo
mengintip di pintu.
“Dengarkan aku! Kalau kau tidak mau
mendengarkan aku, siapa lagi yang akan kau patuhi?” Nuria tampak kesal.
“Ibu…Ibu…” Jingga menangis.
Nuria pergi menghampiri Hyeon Joo di pintu. Jingga
lalu turun mengejar ibunya. Ia memeluk dari belakang ibunya dan merengek lagi. Nuria
benar-benar kesal, ia melepas paksa pelukan anaknya tapi Jingga cukup kuat
berontak dan menolak kembali ke kasur. Tiba-tiba Nuria terbatuk. Jingga masih
bersikeras ingin ikut. Nuria terduduk memegangi dadanya sambil terbatuk. Jingga
menyerah, melihat ibunya tampak kesakitan.
Nuria membuka tangannya. Ada darah di
telapaknya. Hyeon Joo dan Jinga terkejut. Nuria buru-buru mengnyembunyikannya
dari Jingga. Jingga berhenti menangis perlahan.
“Ibu…Ibu sakit?” Jingga merasa bersalah membuat
ibunya sakit.
Hyeon Joo mengamati sambil mengingat sesuatu. Harabheojhi-nya
juga sakit batuk dan mengeluarkan darah. Sebulan lalu Harabheojhi-nya
meninggal.
Nuria berdiri mengacuhkan anaknya. Ia pergi ke
ruang tengah, mengambil obat dalam sebuah plastik dan pergi ke dapur mengambil
air minum. Jingga berlari dan memperhatikan di pintu, bersebelahan dengan Hyeon
Joo. Hyeon Joo tiba-tiba berlari ke meja dan mengambil sesuatu di dekat plastik
obat Nuria. Ia kembali dan menyembunyikan kertas itu di sakunya.
“Apa yang kau lakukan?” Tanya Jingga menghapus
air matanya. “Itu bukan milikmu, kembalikan! Kau tidak boleh mengambil barang
yang bukan milikmu.”
Hyeon Joo berbisik. “Harabheojhi-ku juga sakit.
Sakit batuk dan mengeluarkan darah seperti ibumu. Setiap minggu dia membaca
kertas dari rumah sakit lalu meminum obat yang banyak. Harabheojhi bilang,
minum obat yang banyak dan mahal akan baik buatnya. Tapi ibumu obatnya
sedikit.”
“Apa itu Harabheojhi?”
“Kakek. Dia meninggal sebulan lalu.”
Jingga mulai menangis lagi. “Ibu jangan mati.
Ibuku jangan mati dulu. Hyeon Joo…tolong ibuku. Aku tidak punya siapa-siapa
lagi selain Ibu…”
Hyeon Joo merasa kasihan.
“Aku tidak punya uang untuk membeli obat yang
banyak. Lalu aku harus bagaimana, Hyeon Joo…”
Nuria datang. Hyeon Joo menyentuh tangan Jingga
memberi isyarat agar diam. Nuria sedikit pucat. Jingga buru-buru menghapus air
matanya.
“Ibu, apa Ibu sakit?” Tanya Jingga.
Nuria tersenyum lirih. “Iya aku sakit kalau kau
tidak menurut padaku.”
Jingga berlari dan memeluk ibunya. “Maafkan
aku, Bu. Aku janji akan menurut pada Ibu. Aku tidak akan melawan dan nakal
lagi, Bu. Apa pun yang Ibu suruh akan aku lakukan. Aku sayang Ibu, Ibu jangan
sakit.”
Hyeon Joo jadi semakin kasihan pada Jingga.
Nuria berjongkok. “Kalau begitu, tidurlah. Ibu
harus mengantarkan temanmu pulang sbelum hujan turun dan tidak bisa pulang.”
Nuria membelai rambut anaknya. Mereka lalu
berpelukan.
Hyeon Joo pergi bersama Nuria ke pabrik. Jingga
melihat dari jendela. Ia melambaikan tangan pada Hyeon Joo. Hyeon Joo berjalan
digandeng Nuria tapi wajahnya selalu kembali ke belakang melihat Jingga.
“Tolong ibuku….” Jingga berkata sambil
memonyong-monyongkan bibirnya agar Hyeon Joo tahu meski tidak terdengar karena
jauh.
Hyeon Joo tersenyum dan mengangguk. Hyeon Joo
lalu membuat isyarat OK sambil memejamkan sebelah mata. Hyeon Joo juga membalas
lambaian tangan Jingga sebelum akhirnya hilang dari pandangan.
Hyeon Joo tiba di pabrik. Manager Rudi yang
cemas langsung membawa Hyeon Joo pada Tuan Kim. Tuan Kim terkejut setengah mati
melihat anaknya di pabrik. Tuan Kim memeluk dan menggendong putra
kesayangannya.
“Coboy nakal, kenapa kabur dari rumah?” Tuan
Kim menarik hidung Hyeon Joo.
Hyeon Joo nyengir. “Appa, joesong-hamnida…maafkan aku.”
“Eomma sangat mengkhawatirkanmu. Aku tidak tahu
harus mengatakan apa padanya sekarang.”
“Katakan saja aku baik-baik saja. Aku
merindukannya setengah mati.”
Tuan Kim menyentil kening anaknya. “Itu saja
tidak cukup, Coboy!”
“Appa, aku masuk di bagasi mobil Appa. Aku
pergi ke rumah temanku. Aku tidak sabar menunggu hari minggu, Appa.”
Tuan Kim menurunkan anaknya. Ia mendengarkan sambil
mengirim pesan pada istrinya bahwa Hyeon Joo ternyata ikut di mobil dan
tertidur tanpa sepengetahuannya. Hyeon Joo terbawa sampai pabrik. Tapi dia
baik-baik saja.
“Appa, Harabheojhi sakit apa?”
“Ng? kenapa bertanya itu?”
“Ibu temanku sakit batuk dan ia mengeluarkan
darah. aku kasihan padanya. Dia masih kecil, baru tujuh tahun. Ibunya sangat
baik padaku.” Hyeon Joo diangkat Appa dan didudukan di sofa. “Ibunya menyuapiku
dengan tangannya yang bersih, mengajakku bermain dan menidurkanku di rumahnya
yang hangat.”
Tuan Kim tersenyum. “Kalau begitu kau harus
membantunya.”
“Hm! Tapi bagaimana?”
“Sekolah yang rajin dan belajar yang tekun. Kau
akan jadi pintar, menjadi dokter dan mengobatinya.”
“Appa…apa itu tidak terlalu lama?”
“Benar. Kalau begitu doakan dia baik-baik saja.
Kau harus berteman baik dengan temanmu kalau kau kasihan padanya.”
Eomma menelepon. Appa menjauh dari Hyeon Joo. Hyeon
Joo merenungkan ucapan ayahnya.
Bersambung ke Chapter 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar