18 Desember 2014

Korean Pine Love - Chapter 1


Chapter 1

Anak Laki-Laki Yang Cantik dan Anak Perempuan Yang Tomboy






Bogor, 18 Februari 1996

Joo Inhyeong Corp. Sebuah pabrik boneka multinasional terkemuka di Asia asal Korea selatan membuka cabang baru perusahaannya. Bertepatan dengan ulang tahun ke sepuluh anak tunggal pemilik perusahaan, Kim Hyeon Joo. Kim Joon Tae naik ke podium memberi sambutan sebagai pemilik pabrik. Di sisi lain, istrinya yang orang Indonesia dan berdarah Sunda, Shinta sedang duduk bersama putranya.

“Joo Inhyeong adalah hadiah ulang tahun untuk anakku. Kelak ketika dia sudah dewasa, dia akan memimpin perusahaan ini. Sengaja kubangun di Indonesia, sebagai ucapan terima kasihku pada istriku yang orang Indonesia, lahir dan besar di Kota Bogor dan berdarah Sunda.” Kata Tuan Kim.

Beberapa orang bertepuk tangan.  Termasuk Nuria, seorang perempuan yang diterima bekerja di pabrik boneka itu. Jingga, anak kecil berambut pendek, memakai celana jeans dan kaos lengan pendek. Jingga anak Nuria. Ia sedang menonton di upacara pembukaan di luar pabrik.

“Semua pengurus pabrik ini asli orang Indonesia. Aku percayakan ini pada orang pribumi yang ramah dan menyenangkan.” Tuan Kim tersenyum melirik istrinya.

Jingga sedang melahap es potong di luar pabrik. Ia mengintip di pagar dan melihat Kim Hyeon Joo. Jingga terkejut melihat anak laki-laki yang cantik. Wajahnya putih dan pipinya merah merona. Bibirnya merah dan kelopak matanya sedikit berwarna merah muda. Jingga tersenyum sambil mengatakan, “lucu.”

Pembukaan berakhir, berlanjut pada pengenalan fasilitas dan teknologi yang digunakan pabrik dalam memperoduksi boneka berstandar internasional. Hyeon Joo bosan dan memisahkan diri dengan ibunya. Ia beralasan ingin ke toilet. Hyeon Joo keluar pabrik dan melihat begitu banyak penjual makanan. Hyeon Joo tergoda dan membeli beberapa jajanan. Hyeon Joo fasih bahasa Indonesia, karena ibunya selalu menggunakan bahasa itu ketika bersamanya.

Hyeon Joo membeli es potong dan menjilati es-nya dengan senang. Seorang anak kecil menertawakannya. Hyeon Joo terkejut. Anak kecil yang sedang memakan es yang sama dengan Hyeon Joo tertawa geli. Hyeon Joo memperhatikan sekitarnya. Tidak ada yang lucu, kenapa anak kecil itu menertawakannya. Hyeon Joo lalu mendekati anak itu.

“Kenapa tertawa?” Tanya Hyeon Joo.

“Ng?” anak itu terkejut Hyeon Joo mengajaknya bicara. “Kau bicara padaku?”

Pabo.” Hyeon Joo meledek anak itu.

“Jingga. Itu namaku. Bukan Pabo!”

Hyeon Joo menyeringai lalu tertawa. Hyeon Joo lupa kalau ia sedang di Indonesia, tidak banyak yang mengerti bahasa korea. Yang dikatakannya barusan adalah mengatai Jingga dengan sebutan bodoh. Jingga ikut tertawa.

“Namamu siapa?” Tanya Jingga.

“Hyeon Joo.”

Sekejap kemudian mereka menjadi akrab. Logat Hyeon Joo masih terdengar aneh tapi secara susunan kalimat dia sudah dikatakan baik.

Jingga mengajak Hyeon Joo bermain bersama. Hyeon Joo ragu karena takut dimarahi Eomma, bahasa korea yang berarti ibu. Hyeon Joo lalu mengajak Jingga bermain ke pabrik dan melihat banyak boneka. Jingga senang dan setuju. Mereka sembunyi-sembunyi masuk ke pabrik. Jingga melihat banyak alat berat dan boneka yang bagus-bagus. Jingga sembunyi-sembunyi mengambilnya satu.

“Apa ini boleh untukku?” Jinga memeluk boneka jerapah kecil dengan gemas.

Hyeon Joo merebutnya dan meletakkan di keranjang semula. “Tidak boleh. Itu bukan milikmu. Kau tidak boleh mengambil barang yang bukan milikmu. Ayo kita pergi!”

Jingga manyun dan diam di tempat. Hyeon Joo berhenti menyadari Jingga tidak mengikutinya.

“Ayo, cepat!” Hyeon Joo menarik tangan Jingga.

“Aku bosan.” Jingga malah duduk di lantai.

Hyeon Joo terkejut. Ia memperhatikan sekeliling khawatir ada yang mengetahui keberadaan mereka. Hyeon Joo kembali menarik tangan Jingga.

“Ayo pergi dari sini. Kau manja sekali seperti anak perempuan saja!”

“Aku memang anak perempuan…” belum selesai Jingga bicara, seseorang berteriak menunjuk arah.

“Itu disana!” sahut orang itu.

Hyeon Joo terkejut. Dengan sigap Hyeon Joo menarik paksa Jingga keluar.

“Ooh, di sini. Maaf merepotkan. Terima kasih.” Jawab Nuria. Ia mencari keranjang lain yang kosong.

Hyeon Joo dan Jingga berlari keluar pabrik. Mereka terengah-engah.

“Kenapa harus pergi?” Jinga melepaskan tangannya dari Hyeon Joo.

“Pabrik bukan tempat bermain anak kecil.” Jelas Hyeon Joo.

“Lalu kemana kita?”

Hyeon Joo angkat bahu. “Aku tidak tahu daerah ini.”

Jingga tersenyum tiba-tiba. “Kau suka bertualang?”

Hyeon Joo tertawa. “Tentu aku seorang coboy!”

“Baiklah coboy, aku kapten. Ikuti aku!” Jingga pergi.

“Kapten?” Hyeon Joo bingung. “Mungkin maksudmu sheriff.”

Hyeon Joo menyusul Jingga. Mereka pergi ke sawah, tidak jauh dari perkampungan dan pabrik Inhyeong. Jingga menceburkan diri ke sawah dan bermain lumpur. Hyeon Joo tidak mau, ia hanya melihat di tepian pematang sawah. Ia takut bajunya kotor dan dimarahi Eomma. Tapi kakinya gatal untuk turun dan sedikit saja berbecek-becekan. Hyeon Joo akhirnya turun dengan celana dan lengan baju digulung. Hyeon Joo melarang Jingga melempar kotoran atau mendorongnya. Jingga tersenyum meledek Hyeon Joo coboy tiruan. Hyeon Joo melihat belut. Ia terkejut dan mengira ular. Hyeon Joo buru-buru naik dan bergidik. Jingga menertawaknnya. Jingga justru melompat menangkap belut. Akibatnya, seluruh bajunya kotor. Hyeon Joo balik menertawakan Jingga.

Ketika tengah asik, seseorang meneriaki mereka dan marah-marah. Sepertinya ia pemilik sawah itu. Jingga langsung naik dan menarik Hyeon Joo untuk pergi. Mereka berlari lebih cepat dari si pemilik sawah. Hyeon Joo dan Jingga tertawa sambil berlari.

Jingga dan Hyeon Joo pergi ke sungai dekat sawah. Jingga berendam membersihkan pakaiannya yang kotor. Hyeon Joo menunggu di atas batu besar sambil melempar batu ke sungai. Jingga selesai, mereka merendam kaki di aliran sungai dan duduk di atas batu. Hyeon Joo mengeluh lapar dan lelah. Jingga lalu berdiri dan mengajak Hyeon Joo pergi ke suatu tempat lagi.

Jingga membawa Hyeon Joo ke sebuah bukit yang penuh rumput tinggi dan ilalang. Mereka melewati barisan pohon akasia dan sampai di puncak bukit kecil dengan satu pohon akasia besar di sana.

“Mana makanannya?” Tanya Hyeon Joo.

“Ah…tunggu sebentar.” Jingga menuruni bukit sedikit. Ia lalu memanjat sebuah pohon ceri liar. Diambilnya buah ceri yang sudah merah. Setelah cukup banyak, Jingga turun dan menemui Hyeon Joo.

“Apa itu?” Hyeon Joo  yang dari tadi memperhatikan Jingga memanjat heran.

“Ceri. Coba saja! Seperti ini!” Jingga memakan satu buah ceri liar. “Enak!”

Hyeon Joo mengambil lalu mencobanya. Ia memakan sambil melihat Jingga makan. Jingga tersenyum senang.

Darayo. Manis.” Kata Hyeon Joo memakan buah ceri liar sambil memandangi Jingga.

Mereka kembali ke pabrik. Sudah mulai sepi. Jingga berhenti sebelum tiba di pabrik. Jingga takut dimarahi ibunya. Hyeon Joo melihat ke pabrik. Manager Rudi sedang mondar-mandir menunggu seseorang.

“Hm. Baiklah. Annyeong-hi gyeseyo!” Hyeon Joo tersenyum.

“Ng?” Jingga polos tidak mengerti.

Hyeon Joo tertawa. “Selamat tinggal.”

“Oh?! Apa kau akan pergi dan kita tidak akan bertemu lagi?”

Anio…” Hyeon Joo tersenyum lagi. “Tidak, aku akan kembali lagi ke sini. Akan bermain lagi bersamamu. Lain kali aku akan membawa pakaian ganti supaya bisa bermain lumpur dan berendam di sungai seperti caramu.”

Jingga tersenyum lebar dan melompat-lompat kegirangan. “Asik!”

Hyeon Joo kembali. Manager Rudi gembira melihat Hyeon Joo kembali. Ia nayris gila mencari Hyeon Joo dan kedua orang tua Hyeon Joo sangat khawatir. Hyeon Joo menemui ibunya. Ia minta maaf karena membuat khawatir dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Hyeon Joo pulang. Sepanjang jalan Hyeon Joo tersenyum bahagia. Ia baru satu minggu tiba di Indonesia setelah lima tahun di korea. Hyeon Joo tidak punya teman dan hanya berteman dengan Harabheojhi, panggilan kakek dalam bahasa korea, yang meninggal sebulan lalu. Di Indonesia, Hyeon Joo punya teman. Teman baru yang energik dan menyenangkan.

Di rumah, Hyeon Joo menceritakan sebuah rahasia pada Appa, panggilan ayah dalam bahasa korea. Bahwa sebenarnya ia telah bertualang hari ini dengan teman baru. Appa berjanji untuk merahasiakannya dari Eomma. Hyeon Joo menceritakan soal Jingga. Hyeon Joo masih mengira Jingga adalah anak laki-laki. Pada akhir cerita Hyeon Joo memohon agar besok dan seterusnya ia diijinkan pergi ke desa dan bermain dengan Jingga.

“Appa…ayolah…” Hyeon Joo merajuk pada Appa.

“Hmm…bagaimana ya…” Appa berpikir.

“Appa, Appa…aku belum punya teman yang seru seperti dia. Kumohon, biarkan aku bermain lagi dengannya. Aku janji tidak akan nakal dan tidak akan pergi tanpa pamit apalagi tanpa kembali.”

Appa tersenyum lalu mengacak-acak rambut anaknya. “Baiklah. Selama kau menepati janjimu!”

Hyeon Joo melompat kegirangan seperti Jingga sore tadi. Appa terkejut melihat Hyeon Joo yang sangat-sangat gembira.

Hyeon Joo dan Appa memiliki rahasia bersama yang Eomma tidak tahu. Hyeon Joo selalu bangun lebih pagi agar bisa ikut ke pabrik dengan Appa. Appa membela Hyeon Joo pada Eomma bahwa itu bagus karena pabrik itu memang hadiah ulang tahunnya dan kelak Hyeon Joo akan memimpin pabrik itu sendiri. Eomma yang tidak tahu sebenarnya akhirnya setuju dan memperingati Hyeon Joo agar selalu bersama Appa tanpa mengganggu pekerjaan Appa dan membuat masalah. Hyeon Joo mengerti.

Hyeon Joo kembali ke pabrik. Ia turun di depan gerbang pabrik begitu melihat Jingga. Appa mengijinkannya dan  memperingati sekali lagi agar jangan nakal dan jangan jauh-jauh. Appa memperhatikan Jingga sejenak. Sekilas, Appa tahu Jingga adalah anak perempuan dengan senyum yang manis. Appa melempar senyum pada Jingga lalu masuk ke pabrik.

“Ayahmu tampan!” Jingga tersenyum melambaikan tangan pada mobil Appa.

“Tentu saja! Dia Appa-ku. Dia menurunkan ketampannanya padaku.”

“Hm…kau benar!” Jingga tersenyum. “Eh, apa kau bawa baju ganti? Kita akan bermain lumpur, berendam di sungai dan berguling-guling di bukit!”

“Tada!!” Hyeon Joo menunjukkan sebuah bingkisan berisi pakaian ganti Hyeon Joo.

Jingga bersemangat. Mereka bermain seharian dan sepuasnya. Bermain lumpur menangkap belut yang selalu gagal, berenang di sungai, melompat dari atas batu yang tinggi, lalu memanjat pohon ceri.

Begitulah Hyeon Joo dan Jingga setiap harinya. Bermain dan bermain. Setiap pulang dari pabrik, Hyeon Joo selalu tertidur di mobil karena kelelahan. Eomma heran dengan sikap anaknya yang bangun lebih pagi, dan pulang dalam keadaan tidur terlelap. Appa hanya tersenyum dan merahasiakannya.

Hyeon Joo sudah rapi dan menyantap sarapannya. Appa di sebelahnya.

“Hyeon Joo, lusa kau akan sekolah. Eomma sudah mendaftarkanmu ke sekolah bagus. Kau akan punya teman.” Kata Eomma.

Hyeon Joo terkejut. “Anio…aku tidak mau sekolah, Eomma…”

Appa terkejut. Eomma lebih-lebih.

“Kenapa?” Eomma menambahkan sayur di piring Appa.

“Aku sudah pintar. Aku mau main saja.” Jawab Hyeon Joo.

Appa dan Eomma terkejut lalu tertawa bersama. Eomma bilang, Hyeon Joo bisa bermain ke pabrik lain hari lagi. Tapi sekolah lebih penting.

“Pintar saja tidak cukup, Hyeon Joo-ku…kau harus jadi sangat pintar. Nah, semangat ya!” Eomma menuangkan jus jeruk ke gelas Hyeon Joo.

Hyeon Joo manyun dan diam saja.

“Ibu, Ibu…aku kapan sekolah? Teman-temanku sudah sekolah semua.” Jingga bertanya pada ibunya.

“Nanti kalau uang Ibu sudah terkumpul ya, Nak…” Nuria menyuapi Jinga dengan nasi putih dan semur tahu kesukaan Jingga.

Jingga mengantar ibunya bekerja ke pabrik. Ia berpisah di gerbang. Ibunya masuk dan Jingga menunggu Hyeon Joo. Tidak lama, Hyeon Joo dan Appa-nya datang. Mobil berhenti di gerbang, Hyeon Joo turun.

Mereka berdua terlihat aneh. Hyeon Joo sedih karena harus sekolah dan akan jarang main dengan Jingga. Jingga juga sedih karena ia masih belum bisa bersekolah seperti teman-temannya yang lain di rumah. Mereka berjalan berdua dan terdiam bersama.

Di sawah, Hyeon Joo dan Jingga tidak bersemangat bermain. Keduanya duduk di pematang sawah dengan kaki terjulur ke dalam sawah. Tidak lama mereka ke sungai. Di sungai pun mereka melakukan hal yang sama. Hanya duduk di batu besar, melempar batu dan banyak diam. Mereka tiba di bukit dan pohon akasia.

“Hyeon Joo, apa kau bosan? Kenapa kau tidak bersemangat?” Jingga bertanya.

Anio…aku tidak bosan. Aku akan bermain sepuluh kali, seratus bahkan ribuan kali bersamamu di sini.”

“Tapi kenapa kau murung?”

“Lusa, aku harus sekolah lagi. Aku tidak mau. Tapi Eomma menyuruhku pergi ke sekolah.”

“Wah! Itu bagus! Aku juga ingin ke sekolah!”

“Ng?” Hyeon Joo melihat Jingga. “Kau kelas berapa?”

“Aku…aku belum sekolah. Aku tidak bisa membaca dan aku sangat ingin bisa membaca. Aku ini pintar!” Jingga tersenyum polos dan manis.

Hyeon Joo nyengir. “Berapa umurmu? Kenapa belum sekolah?”

“Ng…” Jingga berpikir sejenak. “Tahun lalu, Ibu bilang umurku enam tahun. Sekarang…tujuh tahun.”

“Whoa! Tujuh tahun belum sekolah??” Hyeon Joo terkejut.

“Hm. Apa kau tidak mau bermain denganku kalau aku belum sekolah?”

“Ng? Anio, Anio…Aku suka bermain denganmu.”

Jingga tersenyum. Ia memandang dahan pohon akasia yang rimbun dan menyejukkan. Hyeon Joo mengikuti.

“Aku juga. Aku menyukaimu. Aku suka bermain denganmu. Kau baik dan menyenangkan.” Jingga masih tersenyum. “Seperti aku suka pohon.”

“Ng?” Hyeon Joo bingung melihat Jingga. “Kenapa pohon?”

“Nah! Kau tahu tidak? Sebenarnya pohon tidak tumbuh dari bawah ke atas, tapi lebih banyak dari atas ke bawah.”

Hyeon Joo bingung. “Masak? Tapi mereka tumbuh. Maksudku, awalnya mereka kecil lalu menjadi tinggi.”

“Aku pikir juga begitu. Tapi aku pernah melihat acara tv, dikatakan begitu. Akarnya tumbuh ke bawah, menuju pusat bumi. Karena akarnya terus tumbuh dan banyak makan, maka daun dan dahannya semakin besar dan tinggi.”

“Aaa…” Hyeon Joo mengerti. “Pada jaman dahulu, pohon berharga seperti emas. Di Mesopotamia, sekarang Irak, kayu memiliki nilai yang sama dengan logam dan permata berharga.

“Wah! Kau juga lihat di tv?”

Anio. Aku membacanya di buku.”

“Oo…pasti menyenangkan bisa baca. Apa lagi? Apa lagi yang kau baca soal pohon?”

Pohon pinus Bristlecone dianggap sebagai pohon tertua di dunia. Pohon ini dianggap sebagai makhluk hidup yang terkuat di bumi dan berhasil bertahan dari kondisi paling sulit. Pohon Prometheus, salah satu Great Basin Bristelcone Pine yang terdapat di Nevada, berusia sekitar 5.000 tahun, bahkan sudah tua ketika orang Mesir sedang membangun piramida.

“Aku tidak terlalu mengerti. Tapi dari namanya pasti itu pohon yang bagus.”

“Ada juga pohon abadi. Sama seperti vampir, ada pohon yang tidak mati meskipun sudah tua. Bahkan mereka pun harus dibunuh dengan cara-cara khusus, seperti dengan memotong, serangan serangga, atau penyakit. Inilah sebabnya mengapa pinus Bristlecone dapat hidup selama ribuan tahun. Di California, ada sebuah pohon yang masih hidup dan terdapat prasasti sejak tahun 1849, yang ditinggalkan oleh wisatawan California saat Gold Rush. Prasati tersebut bertuliskan 49 Road’.”

Jingga bergidik. “Apa dia seseram vampire juga?”

“Tidak. Tapi dia bukan pohon tertua di dunia. Pohon tertua di dunia adalah sebuah pohon cemara di Swedia, yang berusia hampir 10.000 tahun.

“Ung…”

“Yang menarik, ada pohon pembunuh!”

“Hm? Ada yang seperti itu?”

Hyeon Joo mengangguk. “Pohon Pembunuh. Pohon Manchineel mengeluarkan suatu getah beracun yang dapat menyebabkan kulit lecet jika menyentuhnya, bahkan kebutaan jika getahnya terkena mata. Dan jika buahnya dimakan, yang sering juga disebut sebagai apel kematian, akan menyebabkan nyeri hebat.

“Ah…kau membuatku takut sembarang memakan tanaman liar. Apa tidak ada cerita pohon yang bagus yang pernah kau baca?”

“Ada. Pohon pinus adalah 'pohon cinta'. Orang-orang di Korea mengambil pohon pinus sebagai filosofi. Karena melambangkan cinta yang kokoh, lurus, dan tidak pernah berakhir.

“Wah…” Jingga tersenyum lebar. “Pasti pohon itu bagus. Seperti apa pohon pinus itu?”

Mwo?” Hyeon Joo bingung. Sedetik kemudian Hyeon Joo tertawa. “Kau belum pernah melihat pohon pinus?”

Jingga menggeleng. Hyeon Joo masih tertawa, menganggap Jingga lucu dan aneh karena belum pernah melihat pohon pinus padahal itu bukan tanaman langka seperti Raflesia Arnoldi.

“Nanti kalau aku ke sini lagi, akan kubawa bukunya supaya kau lihat.” Hyeon Joo menyudahi tawanya.

“Tapi aku tidak bisa membaca.”

“Kalau begitu aku akan pergi ke sekolah. Aku akan belajar banyak soal pohon dan akan kuceritakan semuanya padamu.”

“Hm!” Jingga mengangguk senang.

Hyeon Joo merebahkan diri di rumput. Memandangi rindangnya pohon akasia. Jingga mengikuti. Keduanya lalu tertidur karena lelah dan terbuai sejuknya angin di bawah pohon.

Hari sudah sore. Hyeon Joo dan Jingga belum pulang. Mereka masih tertidur di bawah pohon. Appa mulai cemas. Ia menyuruh Manager Rudi mencari anaknya. Hyeon Joo tidak ditemukan di sekitar pabrik. Tuan Kim teringat Jingga, ia bertanya dimana Jingga tinggal. Di saat yang bersamaan Nuria lewat. Mendengar nama anaknya disebut, Nuria terkejut menghampiri Tuan Kim dan Manager Rudi.

“Maaf, Tuan…Jingga…apa Jingga yang anda maksud itu anakku?” Tanya Nuria.

Tuan Kim bingung. “Entahlah. Tapi dia anak perempuan yang mirip laki-laki.”

“Ya Tuhan, Jingga anakku…” Nuria cemas.

Tuan Kim, Nuria dan Manager Rudi turun ke perkampungan mencari Jingga dan Hyeon Joo. Hari mulai gelap. Mereka belum menemukan Hyeon Joo dan Jingga.

Jingga terbangun mendengar suara napas seseorang. Jingga terkejut melihat Hyeon Joo duduk bersandar di pohon. Wajahnya pucat dan napasnya tersengal-sengal. Jingga mendekati Hyeon Joo.

“Hyeon Joo, apa kau sakit?” Jingga khawatir.

Hyeon Joo diam saja. Napasnya mengeluarkan suara seperti anak kucing. Mata Hyeon Joo memerah seperti ingin menangis. Jingga menyentuh tangan Hyeon Joo yang memegangi dadanya. Jingga menitikkan air mata, kasihan.

“Maafkan aku. Kau sakit karena aku, ya?” Jingga menangis. “Ayo kita pulang. Sebentar lagi gelap.”

Hyeon Joo tidak bisa bicara. Ia juga menangis.

“Hyeon Joo…kau bisa bertahan sebentar?” Jingga baru akan bangkit dan pergi.

Hyeon Joo menahan tangan Jingga dan memberi isyarat untuk tetap tinggal. Jingga semakin menangis tidak tega. Tapi Jingga tidak bisa membiarkan teman baiknya sakit.

Jingga mencium pipi Hyeon Joo yang memerah. “Aku akan segera kembali membawa bantuan, tunggulah!”

Hyeon Joo diam memegangi dadanya dan mengatur napas. Ia melihat Jingga yang semakin lama semakin jauh lalu menghilang. Tidak berapa lama, Jingga kembali. Ia terlihat sedang berlari menarik ibunya, lalu Appa dan Manager Rudi. Hyeon Joo tersenyum dan berpikir Jingga sangat cepat.



Seminggu sudah sejak kejadian itu. Hyeon Joo tidak pernah datang. Jingga sangat mengkhawatirkan temannya. Tapi ia juga malu dan takut bertanya pada Tuan Kim. Setiap hari Jingga menunggu Hyeon Joo di gerbang pabrik dan bersembunyi begitu melihat mobil Tuan Kim datang. Tuan Kim menyadari kedatangan Jingga, ia tidak marah dan hanya memakluminya sebagai anak-anak. Tuan Kim tersenyum melihat Jingga sembunyi dari spionnya.

“Kau teman yang baik. Setia menunggu dan mengkhawatirkan Hyeon Joo.” gumam Tuan Kim.

Jingga menunggu Hyeon Joo setiap hari meski dilarang ibunya. Ia selalu datang dan datang lagi diam-diam. Bahkan Jingga rela kehujanan menunggu Hyeon Joo. Akibatnya, Jingga jatuh sakit. Nuria benar-benar melarang keras Jingga kembali ke pabrik. Jingga akhirnya menurut.

Di pabrik, Tuan Kim tidak melihat Jingga sejak kedatangannya. Ia sedikit heran, apa anak kecil itu sudah bosan dan melupakan Hyeon Joo? Tuan Kim sedang berkeliling pabrik memantau pekerjaan para karyawannya. Ia berpapasan dengan Nuria.

“Oh, Nuria,” sapa Tuan Kim. “apa yang terjadi dengan Jingga? Aku tidak melihatnya seharian ini? Apa dia sakit?”

Nuria merasa Tuan Kim baik hati memperhatikan anaknya. “Iya, Tuan. Kemarin dia kehujanan dan badannya panas. Hari ini dia kusuruh istirahat di rumah saja. Maaf merepotkan.”

“Mmm…sayang sekali. Padahal dia anak yang ceria dan penuh semangat. Baiklah kalau begitu, rawatlah dia baik-baik.” Tuan Kim pergi.

Nuria tersenyum dan berterima kasih dalam hati atas kepedulian Tuan Kim pada anaknya.

Tuan Kim pulang. Eomma mengadu pada suaminya kalau Hyeon Joo malas belajar. Tuan Kim lalu menemui anaknya di kamar. Hyeon Joo sedang menyusun lego di lantai kamarnya. Tuan Kim mendekat.

“Kau ingat Jingga?” Tuan Kim mengambil sebuah lego dan menaruhnya di susunan lego Hyeon Joo.

Hyeon Joo terperanjat. “Appa bertemu dengannya?”

Tuan Kim tersenyum dan kembali menyusun lego. “Dia sakit. Dia selalu menunggumu.”

Hyeon Joo senang lalu murung. “Aku harus sekolah. Eomma melarangku ke pabrik.”

Tuan Kim mendekati anaknya. Ia memberi isyarat untuk berbisik. “Kalau kau rajin belajar, hari minggu kita akan ke pabrik. Hanya sehari itu. Rahasia kita berdua!”

Hyeon Joo tersenyum. Ia mengangguk dan memeluk ayahnya. Hyeon Joo lalu berlari ke meja belajarnya. Ia membuka buku, mengambil pinsil dan mulai mengerjakan PR. Tuan Kim tertawa senang. Eomma mengintip di pintu.

“Apa yang kau katakan padanya?” Tanya Eomma pada suaminya ketika keluar kamar Hyeon Joo.

“Rahasia antar pria.” Tuan Kim berlalu.

Eomma heran dan menyusul. “Keterlaluan. Kalian berdua membuatku terasing.”

Tuan Kim tertawa.

Semalaman Hyeon Joo tidak bisa tidur. Ia tidak sabar menunggu lusa. Lusa adalah hari minggu. Hyeon Joo memejamkan mata lalu terbangun melihat jam.

“Pagi itu lama sekali.” Oceh Hyeon Joo.

Hyeon Joo akhirnya tidur. Alarm-nya berbunyi. Hyeon Joo segera mandi, berganti pakaian dan pergi ke garasi lewat jendela. Hyeon Joo mengunci pintu kamarnya dan memutar CD pelajaran bahasa inggris dalam lesson conversation. Eomma yang baru akan membangunkan anaknya heran dengan pintu terkunci dan suara CD yang sedikit keras. Eomma turun ke ruang makan menemui suaminya.

“Dia semangat sekali belajar. Sepertinya dia sedang mendengarkan CD pelajaran bahasa inggris sambil mandi.” Eomma tertawa.

Tuan Kim ikut tertawa. Ia menghabiskan sarapannya lalu pamit ke pabrik. Eomma mengantarnya hingga ke teras. Ia merapikan sedikit dasi suaminya lalu mengiringi suaminya pergi bekerja.

Sesampainya di pabrik. Tuan Kim memarkir mobilnya dan masuk ke pabrik menuju ruangannya. Beberapa saat kemudian, bagasinya terbuka. Hyeon Joo mengintip dan keluar dari bagasi. Ia mengendap-endap lalu pergi. Hyeon Joo menabrak seseorang. Ia terkejut.

“Hyeon Joo? Kenapa kau di sini?” Tanya Manager Rudi.

“Ssstt…” Hyeon Joo menarik Manager Rudi untuk membungkuk.

Manager Rudi mengikutinya. “Ada apa?”

“Paman tahu Jingga? Dimana rumahnya?”

Manager Rudi terkejut. “Apa kau ke sini untuk menemuinya?”

“Jangan beri tahu Appa. Aku hanya akan bermain sebentar. Tolonglah, Paman. Aku bosan di rumah…” Hyeon Joo menampakkan wajah sedihnya.

Manager Rudi tidak tega. Ia lalu mohon ijin dan mengantar Hyeon Joo ke rumah Jingga. Nuria sedang menjemur pakaian. Ia terkejut melihat Hyeon Joo dan Manager Rudi datang ke rumah gubuknya.

“Hyeon Joo??” Nuria masih tidak percaya.

Jingga yang sedang sarapan mendengar ibunya menyebut nama Hyeon Joo, terkejut. Ia keluar. Jingga senang melihat Hyeon Joo.

“Hyeon Joo?!” Jingga tersenyum lebar dan senang melihat Hyeon Joo.

Annyeong Haseyo?” Hyeon Joo setengah membungkuk pada Nuria dan Jingga.

Jingga, Nuria dan Manager Rudi tertawa.

“Anak ini…” Manager Rudi mengusap kepala Hyeon Joo.

Jingga menarik Hyeon Joo masuk ke rumahnya. Nuria memperhatikan anaknya dengan cemas.

“Apa tidak apa-apa?” kata Nuria.

“Tidak bisa tidak apa-apa. Aku diam-diam ijin dan mengantarnya ke sini. Dia sangat membuatku iba. Sebaiknya kau segera membawanya ke pabrik. Aku tahu kau sedang ijin tidak bekerja untuk menemani anakmu yang sedang sakit. Tapi bisakah kau antarkan dia nanti?” kata Manager Rudi.

“Hm. Baiklah. Aku akan ke sana jam dua siang nanti.”

“Ya sudah. Aku pulang duluan.”

“Terima kasih.”

Nyonya Kim menelepon suaminya di pabrik. Ia memberi tahu Hyeon Joo tidak di rumah. Hyeon Joo kabur entah kemana. Tuan Kim terkejut.

“Sayang, kau harus mencarinya. Aku takut terjadi sesuatu padanya…” Nyonya Kim menangis.

“Tenanglah dulu. Apa kau sudah mencari ke seluruh rumah?” Tuan Kim mencoba tenang.

“Sudah. Sudah kucari keman-mana, tidak ada.”

“Coba cari sekitar komplek. Mungkin dia bermain di luar.”

“Sudah juga…”

“Baiklah. Aku akan mencarinya di sini, walau pun aku yakin aku tidak mengajaknya pergi. Tenangkan dirimu dan coba cari dia lagi.”

Nyonya Kim menurut. Tuan Kim juga khawatir tapi ia bingung harus mencari kemana.



Hyeon Joo sangat senang bertemu Jingga. Jingga masih saja terlihat seperti anak laki-laki, tidak memakai rok atau atribut anak perempuan seperti biasanya. Jingga tidak malu mengajak Hyeon Joo masuk ke rumah gubuknya. Hyeon Joo juga tidak sungkan.

“Kau makan apa?” Tanya Hyeon Joo melihat piring sarapan Jingga yang belum habis.

“Ng? Ini…ini tumis kangkung dan nasi hangat. Aku baru mulai sarapan. Kau sudah sarapan?” Jingga menjawab polos.

Hyeon Joo menggeleng. “Ajik. Belum.”

“Apa kau lapar?” Nuria datang.

Hyeon Joo mengangguk. “Baegopa-yo. Aku lapar.”

“Tunggu sebentar.” Nuria mengambil piring Jingga dna membawanya ke dapur. Ia kembali dengan nasi penuh sepiring. “Nah, ayo makan!”

Jingga terkejut melihat ibunya menyodorkan nasi pada Hyeon Joo. Hyeon Joo tersenyum lalu membuka mulut. Nuria menyuapinya. Jingga merasa iri. Ia merajuk minta disuapi pula. Mereka terlihat sangat bahagia.

Mats Isso yo!” Hyeon Joo membuka mulut lagi.

Setelah selesai makan, Hyeon Joo merasa kenyang dan segar. Hyeon Joo membungkuk pada Nuria dan Jingga. “Terima kasih. Kalian berdua sangat baik.”

Nuria dan Jingga bingung dengan ucapan Hyeon Joo. Tapi mereka tidak ambil pusing. Nuria kembai menyuapi Hyeon Joo dengan telanjang tangan.

Selesai makan, Hyeon Joo mengajak Jingga ke sawah. Tapi Jingga takut dimarahi ibu. Jingga lalu meminta ijin pada ibunya.

“Ke sawah? Untuk apa?” Tanya ibu.

“Bermain, Bu…” pinta Jingga dengan memelas.

Nuria memandangi Jingga dan Hyeon Joo bergantian. “Kalian berdua?”

Jingga mengangguk dan merunduk. Hyeon Joo juga memelas.

“Tidak.” Nuria berdiri. “Tanpa aku.”

Jingga terkejut lalu tersenyum. Hyeon Joo juga tersenyum senang.

Mereka pergi ke sawah bersama naik sepeda. Jingga di depan dan Hyeon Joo membonceng di belakang. Mereka sangat senang dan bersorak girang. Nuria tersenyum sepanjang jalan merasa menyenangkan seolah punya dua anak. Mereka juga bermain ke sungai, bermain air bertiga sampai basah kuyup.

Menjelang tengah hari, Nuria mengajak mereka pulang. Jingga dan Hyeon Joo harus tidur siang. Karena Nuria juga lelah. Mereka menurut. Nuria memandikan Jingga lalu Hyeon Joo. Tapi Hyeon Joo menolak. Ia malu dan ia akan mandi sendiri.

Setelah mandi, Nuria menidurkan Jingga dan Hyeon Joo di kamar yang sama bahkan di satu ranjang. Nuria di tengah-tengah keduanya, mengelus-elus kepala Hyeon Joo dan Jingga hingga keduanya tertidur pulas. Selagi mereka tidur, Nuria mempersiapkan diri untuk berangkat mengantar pulang Hyeon Joo ke pabrik.

Jingga terbangun lebih dulu. Ia terkejut melihat Hyeon Joo tidur di sebelahnya. Jingga diam memperhatikan Hyeon Joo dari dekat. Semakin dilihat, Hyeon Joo semakin lucu. Wajahnya putih dan pipinya merona. Bibirnya merah dan kelopak matanya merah muda. Matanya sedikit sipit. Hidungnya mancung dan lurus. Jingga tersenyum melihat betapa cantiknya Hyeon Joo. Jingga menjulurkan tangan hendak menyentuh pipi Hyeon Joo yang sedang lelap. Jingga tertahan. Jingga justru mencium pipi Hyeon Joo.

“Mmm…rasanya aneh.” Jingga cengengesan. “Dingin dan lembut.”

Hyeon Joo merasa sesuatu menyentuh pipinya. Ia terbangun. Dilihatnya Jingga sedang senyam-senyum. Hyeon Joo duduk dan mengucek kedua matanya.

“Kau kenapa senyam-senyum seperti itu?” Tanya Hyeon Joo.

Jingga semakin tersenyum. Hyeon Joo sedikit merasa aneh. Hyeon Joo masih mengira Jingga adalah anak laki-laki tapi kenapa Jingga punya senyum yang sangat manis seperti anak perempuan.

“Oh? Kalian sudah bangun?” Nuria datang.

“Ng? Ibu!” Jingga melompat memeluk ibunya. Jingga menarik ibunya dan membisikkan sesuatu. “Hyeon Joo cantik bukan? Pipinya aneh, rasanya dingin dan lembut.”

Nuria tertawa. Hyeon Joo masih bingung duduk berselimut di kasur.

“Hyeon Joo, ayo kita pulang. Aku akan mengantarmu.” Nuria sudah rapi.

“Hm?” Hyeon Joo baru sadar ia sedang kabur. “Apa Paman tidak menjemputku?”

“Tidak. Dia sedang sibuk. Dia menunggumu di pabrik. Kau bisa pergi bersamaku.”

“Ibu, boleh aku ikut?” Jingga menahan ibunya.

“Jangan, Jingga. Di luar sepertinya mendung akan turun hujan. Kau masih sakit. Istirahat saja di rumah.” Cegah ibunya.

“Ah…Ibu, hanya mengantar Hyeon Joo pulang. Itu saja. Aku tidak akan pergi main. Aku akan langsung pulang dan istirahat. Kumohon, Bu…”

“Jingga, tidak boleh…Ibu bilang jangan, ya jangan.”

Nuria menggandeng Hyeon Joo keluar kamar. Hyeon Joo diam saja melihat Jingga merengek. Jingga terus membuntuti ibunya dan merajuk minta ikut. Jingga akhirnya menangis karena sangat ingin ikut.

“Ibu, aku akan tetap pergi biar pun kau melarangku. Karena aku sangat ingin pergi.” Jingga berdiri di pintu mengghalangi ibunya pergi.

Nuria melepaskan Hyeon Joo. Ia meraih tangan anaknya dan menariknya ke kamar. Nuria menyuruh Jingga tidur dan menyelimutinya. Jingga masih menangis dan berontak ingin pergi. Hyeon Joo mengintip di pintu.

“Dengarkan aku! Kalau kau tidak mau mendengarkan aku, siapa lagi yang akan kau patuhi?” Nuria tampak kesal.

“Ibu…Ibu…” Jingga menangis.

Nuria pergi menghampiri Hyeon Joo di pintu. Jingga lalu turun mengejar ibunya. Ia memeluk dari belakang ibunya dan merengek lagi. Nuria benar-benar kesal, ia melepas paksa pelukan anaknya tapi Jingga cukup kuat berontak dan menolak kembali ke kasur. Tiba-tiba Nuria terbatuk. Jingga masih bersikeras ingin ikut. Nuria terduduk memegangi dadanya sambil terbatuk. Jingga menyerah, melihat ibunya tampak kesakitan.

Nuria membuka tangannya. Ada darah di telapaknya. Hyeon Joo dan Jinga terkejut. Nuria buru-buru mengnyembunyikannya dari Jingga. Jingga berhenti menangis perlahan.

“Ibu…Ibu sakit?” Jingga merasa bersalah membuat ibunya sakit.

Hyeon Joo mengamati sambil mengingat sesuatu. Harabheojhi-nya juga sakit batuk dan mengeluarkan darah. Sebulan lalu Harabheojhi-nya meninggal.

Nuria berdiri mengacuhkan anaknya. Ia pergi ke ruang tengah, mengambil obat dalam sebuah plastik dan pergi ke dapur mengambil air minum. Jingga berlari dan memperhatikan di pintu, bersebelahan dengan Hyeon Joo. Hyeon Joo tiba-tiba berlari ke meja dan mengambil sesuatu di dekat plastik obat Nuria. Ia kembali dan menyembunyikan kertas itu di sakunya.

“Apa yang kau lakukan?” Tanya Jingga menghapus air matanya. “Itu bukan milikmu, kembalikan! Kau tidak boleh mengambil barang yang bukan milikmu.”

Hyeon Joo berbisik. “Harabheojhi-ku juga sakit. Sakit batuk dan mengeluarkan darah seperti ibumu. Setiap minggu dia membaca kertas dari rumah sakit lalu meminum obat yang banyak. Harabheojhi bilang, minum obat yang banyak dan mahal akan baik buatnya. Tapi ibumu obatnya sedikit.”

“Apa itu Harabheojhi?”

“Kakek. Dia meninggal sebulan lalu.”

Jingga mulai menangis lagi. “Ibu jangan mati. Ibuku jangan mati dulu. Hyeon Joo…tolong ibuku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Ibu…”

Hyeon Joo merasa kasihan.

“Aku tidak punya uang untuk membeli obat yang banyak. Lalu aku harus bagaimana, Hyeon Joo…”

Nuria datang. Hyeon Joo menyentuh tangan Jingga memberi isyarat agar diam. Nuria sedikit pucat. Jingga buru-buru menghapus air matanya.

“Ibu, apa Ibu sakit?” Tanya Jingga.

Nuria tersenyum lirih. “Iya aku sakit kalau kau tidak menurut padaku.”

Jingga berlari dan memeluk ibunya. “Maafkan aku, Bu. Aku janji akan menurut pada Ibu. Aku tidak akan melawan dan nakal lagi, Bu. Apa pun yang Ibu suruh akan aku lakukan. Aku sayang Ibu, Ibu jangan sakit.”

Hyeon Joo jadi semakin kasihan pada Jingga.

Nuria berjongkok. “Kalau begitu, tidurlah. Ibu harus mengantarkan temanmu pulang sbelum hujan turun dan tidak bisa pulang.”

Nuria membelai rambut anaknya. Mereka lalu berpelukan.

Hyeon Joo pergi bersama Nuria ke pabrik. Jingga melihat dari jendela. Ia melambaikan tangan pada Hyeon Joo. Hyeon Joo berjalan digandeng Nuria tapi wajahnya selalu kembali ke belakang melihat Jingga.

“Tolong ibuku….” Jingga berkata sambil memonyong-monyongkan bibirnya agar Hyeon Joo tahu meski tidak terdengar karena jauh.

Hyeon Joo tersenyum dan mengangguk. Hyeon Joo lalu membuat isyarat OK sambil memejamkan sebelah mata. Hyeon Joo juga membalas lambaian tangan Jingga sebelum akhirnya hilang dari pandangan.

Hyeon Joo tiba di pabrik. Manager Rudi yang cemas langsung membawa Hyeon Joo pada Tuan Kim. Tuan Kim terkejut setengah mati melihat anaknya di pabrik. Tuan Kim memeluk dan menggendong putra kesayangannya.

“Coboy nakal, kenapa kabur dari rumah?” Tuan Kim menarik hidung Hyeon Joo.

Hyeon Joo nyengir. “Appa, joesong-hamnida…maafkan aku.”

“Eomma sangat mengkhawatirkanmu. Aku tidak tahu harus mengatakan apa padanya sekarang.”

“Katakan saja aku baik-baik saja. Aku merindukannya setengah mati.”

Tuan Kim menyentil kening anaknya. “Itu saja tidak cukup, Coboy!”

“Appa, aku masuk di bagasi mobil Appa. Aku pergi ke rumah temanku. Aku tidak sabar menunggu hari minggu, Appa.”

Tuan Kim menurunkan anaknya. Ia mendengarkan sambil mengirim pesan pada istrinya bahwa Hyeon Joo ternyata ikut di mobil dan tertidur tanpa sepengetahuannya. Hyeon Joo terbawa sampai pabrik. Tapi dia baik-baik saja.

“Appa, Harabheojhi sakit apa?”

“Ng? kenapa bertanya itu?”

“Ibu temanku sakit batuk dan ia mengeluarkan darah. aku kasihan padanya. Dia masih kecil, baru tujuh tahun. Ibunya sangat baik padaku.” Hyeon Joo diangkat Appa dan didudukan di sofa. “Ibunya menyuapiku dengan tangannya yang bersih, mengajakku bermain dan menidurkanku di rumahnya yang hangat.”

Tuan Kim tersenyum. “Kalau begitu kau harus membantunya.”

“Hm! Tapi bagaimana?”

“Sekolah yang rajin dan belajar yang tekun. Kau akan jadi pintar, menjadi dokter dan mengobatinya.”

“Appa…apa itu tidak terlalu lama?”

“Benar. Kalau begitu doakan dia baik-baik saja. Kau harus berteman baik dengan temanmu kalau kau kasihan padanya.”

Eomma menelepon. Appa menjauh dari Hyeon Joo. Hyeon Joo merenungkan ucapan ayahnya.



 Bersambung ke Chapter 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya