18 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 14



Chapter 14
Mengisi Kekurangan Di Masa Lalu

Lanjutan Dari Chapter 13

Jam tiga sore. Jihan keluar kelas. Ia segera meluncur ke parkiran. Juna sudah mengiriminya pesan berantai.
“Kau lama sekali.” Omel Juna sambil memakai helm.
“Aku sudah berlari masih kau bilang lelet?” Jihan mengusap peluhnya.
Juna menyalakan motor. “Iya, baiklah. Lebih cepat lagi. Ayo cepat!”
“Ihk, kau ini!” Jihan naik ke motor Juna.

Jihan tiba di hotel diantar Juna.
“Terima kasih, ya!” Jihan turun dari motor.
“Nanti aku jemput. Jangan pulang sebelum kujemput. Jangan lupa mengabariku. Jangan…”
“...jangan matikan ponsel lebih dari satu menit.” Jihan menyambung. Ia tersenyum.
“Bagus. Kau sudah hapal. Berarti kau sudah mengerti dan aku tidak mau ada pelanggaran. Nah, baik-baiklah bekerja. Sampai bertemu nanti malam.”
Juna memakai helm lalu melaju. Jihan melambaikan tangan mengiringi Juna pergi.
Hari ini pekerjaan tidak begitu banyak. Jihan bisa dengan cepat menyelasikan pekerjaan dan sedikit bersantai. Jihan juga bisa pulang tepat waktu. Jam sembilan malam, Jihan keluar hotel. Ia sudah lepas jam kerja. Juna sudah menunggunya di parkiran.
“Aku datang!” Jihan tersenyum girang menghampiri Juna. “Apa aku lama?”
“Tidak. Apa kau lelah?” Juna sedang bersandar di motornya sambil melipat tangan di dada.
“Tidak terlalu. Kenapa? Kau mau mengajakku ke suatu tempat, ya?” Jihan melirik jam tangannya. Jam Sembilan malam.
“Satu jam saja. Bisa?” pinta Juna.
Jihan berpikir sejenak. Kemudian Jihan mengangguk dengan senyum mengembang.
Juna membawa Jihan menyusuri jalan kota di malam hari. Di bawah lampu jalan yang remang dan suasana yang mulai sepi. Jihan membonceng di belakang sambil berpegangan pada Juna.
“Kita mau kemana?” tanya Jihan.
“Bukankah kau ingin tahu sesuatu?” kata Juna sambil membelokkan motornya ke sebuah arah.
Jihan memandangi jalanan. Ia seperti mengenal jalan itu. Hanya saja terlalu banyak perubahan atau memang Jihan tidak memperhatikannya. Mereka memasuki kawasan perumahan elit. Melewati rumah-rumah besar dan mewah. Senyum Jihan memudar. Ia merasa tidak asing dengan tempat itu.
Juna berhenti. “Kita sudah sampai. Ayo turun!”
Jihan turun tanpa komentar. Ia memandang tempat itu berkeliling. Jihan bahkan berputar memperhatikan sekitarnya.
“Ini adalah taman di mana dulu, pertama kalinya kita bertemu.” kata Juna.
Jihan melihat sepasang ayunan yang sangat dikenalinya. Ia berjalan melewati kolam pasir, taman rerumputan kecil dan sampai di ayunan itu. Jihan meraba tiangnya. Menyentuh rantai ayunan yang sama sekali tidak berubah dari empat belas tahun lalu.
“Kenapa sekarang ada dua?” tanya Jihan.
Juna mendekat. “Aku sengaja menambahkannya. Supaya kita tidak berebut lagi.”
Jihan tertawa dengan mata berbinar. Ia duduk di bangku ayunan. Jihan mulai berayun.
“Itu rumahku.” Juna menunjuk sebuah rumah. Tepat di belakang taman itu.
Jihan melirik.
“Dari sana aku memperhatikanmu.” Lanjut Juna. “Aku sangat menyukaimu. Kau gadis kecil yang periang. Tidak peduli kau sendirian, kau tetap bahagia. Bernyanyi. Berayun sambil memainkan kakimu. Kau pasti orang paling bahagia. Meski sendirian, kau tetap bahagia.”
Jihan tersenyum. Hatinya sedikit pedih. Ternyata orang seberuntung Juna memiliki kekurangan. Juga sebaliknya, padahal saat itu, Jihan adalah orang miskin yang kelaparan dari keluarga broken home. Tapi Juna mengiranya orang paling bahagia.
“Aku hanya anak rumahan yang tidak punya teman. Setiap hari aku memperhatikanmu dari balkon itu. Di sana kamarku. Aku ingin turun dan bermain denganmu. Tapi aku takut kau akan jijik dan menjauhiku. Ternyata tidak. Aku langsung menyukaimu karena kau tidak jijik padaku.”
Jihan menahan air matanya. Ia teringat Ibu, Nira dan ayahnya. Segela hal yang dibencinya berkelebatan di otaknya. Juga nakalnya ia merebut makanan Juna bahkan mendorongnya dengan kasar hingga menangis.
“Ada sesuatu yang belum sempat aku katakan waktu itu.” Juna semakin mendekat.
Juna berhenti tepat di depan Jihan. Jihan menghentikan laju ayunannya. Juna berlutut agar sama tinggi dengan Jihan. Jihan memperhatikan Juna. Tangan Juna terulur. Ia meraih kepala Jihan dan mendekatkannya. Jihan terbelalak. Jihan baru tahu hidung Juna sangat mancung dalam jarak beberapa senti saja dari hidungnya.
“Jangan seperti itu. Jangan pergi setelah merebut sesuatu dariku. Apa kita tidak bisa berteman atau bermain sejenak saja.” kata Juna sambil menatap dalam mata Jihan.
Jihan menggenang air mata. Jihan teringat masa kecilnya. Betapa ia sangat jahat terhadap Juna yang lemah. Ia merasa sangat menyesal dan kasihan pada Juna waktu itu. Juna tidak punya teman, permintaannya hanya satu. Bergantian ayunan dan bermain bersama. Tapi Jihan malah melukainya. Jihan menitikkan air mata sambil memejamkan mata. Tangannya masih berpegangan pada rantai ayunan. Kedua ibu jari tangan Juna menghapus air mata itu. Jihan membuka matanya. Sekilas ia melihat sesuatu di saku dalam jaket Juna. Sebungkus roti. Roti yang sama seperti empat belas tahun lalu.
“Apa kau akan memberikan roti itu untukku?” tanya Jihan sambil tersenyum.
Juna melongok sakunya. Ia lalu tertawa sambil melepas Jihan. Juna berdiri mengeluarkan roti itu dari sakunya. “Jangankan roti. Hatiku pun akan kuberikan kalau kau mau.” Juna memberikan roti itu.
Jihan mengambilnya. Membukanya lalu memakannya sambil berayun cengengesan. Juna duduk di ayunan sebelahnya. Juna merebut roti Jihan lalu memakannya.
Jihan bernyanyi. Sebuah lagu lama yang biasa dinyanyikannya empat belas tahun lalu. Juna tersenyum mengunyah rotinya. Juna lalu ikut bernyanyi sambil memandangi Jihan. Di mata Juna, saat ini terlihat seperti empat belas tahun lalu. Sesuatu yang ia harapkan dan seharusnya terjadi empat belas tahun lalu.
“Eh, Juna!” Jihan berhenti bernyanyi. “Apa…aku boleh tahu sesuatu lagi?”
“Apa?”
“Ayahmu. Aku bertemu dia empat belas tahun lalu. Apa pekerjaannya? Apa benar dia seorang pilot?”
Juna tersenyum memandang lurus. “Iya. Dia seorang pilot. Dia sangat keren dengan seragamnya.”
Jihan mengangguk. “Hm! Kau benar. Dia sangat keren. Kalau saja…” Jihan murung.
“Ng?” Juna menoleh.
“Kalau aku bertemu Paman Baik Hati sekali lagi, aku baru akan memintanya untuk menjadi ayahku. Karena ibuku sangat cantik, baik dan pintar.” Jihan tersenyum menggoda Juna.
“Isz.” Juna mencibir. “Dia hanya mencintai ibuku. Satu-satunya perempuan yang pernah menjadi istrinya. Dia sangat mencintai ibuku.” Juna sewot.
Jihan terkekeh. “Boleh aku minta foto ayahmu?”
“Kenapa harus Ayah? Pacarmu itu aku, kenapa bukan fotoku? Lagi pula untuk apa?”
“Ayolah…”
“Tidak mau.”
“Aku hanya ingin melihatnya sekali lagi…”
“Tidak boleh. Dia milikku. Dia tidak bisa menjadi ayahmu karena dia masih punya ibuku.”
“Hmh, kau pelit sekali.” Jihan mengumpat. “Ibuku adalah perempuan yang baik dan pintar. Tapi…”
Jihan murung lagi. Juna mendengarkan.
“Apa ibuku yang pintar dan ayahku yang bodoh atau ibuku sedikit bodoh lalu ayahku yang jahat?” Jihan tersenyum sinis. “Kalau ibuku pintar, harusnya ayahku tidak mencampakkannya begitu saja.”
Juna tersenyum. “Ibumu baik hati dan ayahmu bodoh lagi jahat. Itulah kenapa ia meninggalkan ibumu. Orang jahat dan bodoh tidak bisa bersama orang baik.”
Jihan tersenyum mendengar kalimat Juna. Sangat meneduhkan hati.
“Kau beruntung sempat melihat ibumu dan merasakan belaiannya. Aku bahkan belum sempat memanggilnya ‘ibu’. Seperti apa rasanya dipeluk ibu sendiri?”
Jihan merenungkan ucapan Juna.
“Aku sangat ingin dimanjakan Ayah. Tapi dia sibuk. Ketika dia libur, aku terus bermain dengan Ayah dan tidak memikirkan apa Ayah lelah? Sering Ayah ketiduran saat menonton film koboy bersamaku atau bermain play station. Sejak itu aku tidak mau menuntut Ayah lagi.”
“Aku juga dekat dengan ayahku. Meski ternyata dia seorang suami yang brengsek. Tapi aku tahu dia sangat menyayangiku dan dia ayah yang menyenangkan.”
“Hmh, pasangan macam apa kita ini? Sama-sama tidak berorang tua.”
Jihan tersenyum membenarkan kalimat Juna.
“Jihan, aku juga mau tahu sesuatu.” Juna memperlambat ayunannya. “Waktu itu…aku menunggumu di sini. Tapi kau lama sekali.”
Jihan mengernyitkan dahi tidak mengerti. Ia memiringkan kepala melihat Juna.
“Seharian aku di sini. Ayah menyuruhku memberikanmu satu roti supaya kita tidak saling berebut lagi.”
Jihan menegakkan kepalanya. Ia meneguk. Jihan sudah mengerti.
“Tapi kau tidak ada. Lalu kulihat kau di truk itu. Apa yang terjadi?”
Jihan tersenyum dengan raut sedih. “Oh, itu…kau ingin tahu?” Jihan memandang Juna.  “Aku minta maaf ya, selalu mengerjaimu.”
Juna tersenyum. Ia melipat tangan di dada dan menghentikan ayunan.
“Aku…sudah terbiasa menahan rasa lapar. Aku takut mencuri. Tapi aku tidak bisa menahan diri ketika kau menawarkannya untukku. Kau baik sekali memberiku roti selezat itu.” Jihan tertawa mengenang. “Ayahku jarang pulang. Mungkin hanya sebulan sekali. Tapi dia bukan pilot seperti ayahmu.”
Juna diam. Ia mendengarkan Jihan. Jihan menghentikan ayunannya dan hanya meluruskan lalu menarik kembali kakinya membuat ayunannya bergerak ke belakang dan ke depan.
“Dia bahkan tidak meninggalkan cukup uang untuk makan kami sehari-hari. Ibuku bekerja sangat berat untuk menghidupi kami. Suatu hari, aku mengikuti ayah pergi. Di ujung jalan aku lihat ayahku bertemu dengan seorang perempuan. Keduanya sangat akrab, ayahku pergi bersama perempuan itu. Aku kembali dan melaporkannya pada Ibu. Ibu tidak mempercayaiku. Aku tidak memikirkannya serius karena Ibu juga biasa saja. Tidak kusangka, Ibu menyelidikinya sendiri. Suatu hari ia pulang dengan Ayah. Wajahnya lebam. Mereka bertengkar. Ternyata Ibu membuktikan sendiri apa yang kulihat dan aku masih tidak mengerti. Dari pertengkaran itu aku tahu, Ayah menikah lagi secara diam-diam. Dia meninggalkan kami demi perempuan itu. Ibu kehabisan uang untuk membayar uang sewa. Dengan bantuan Bibi, kami pindah ke desa. Sesaat sebelum kami berangkat, aku merasa sesuatu yang besar dan berat telah terjadi. Nira bilang, itu kesalahanku. Jika saja aku tidak memancing Ibu menyelidikinya sendiri, setidaknya sekarang aku masih punya orang tua.”
Jihan tertunduk. Air matanya menggenang. Jihan menekuk kakinya ia membungkuk menyembunyikan air matanya yang berjatuhan dari Juna. Jihan berpura-pura sibuk dengan menyentuh-nyentuh tumitnya yang tidak apa-apa.
“Aku merasa bersalah pada Ibu. Jika aku tidak mengatakannya, setidaknya aku masih bisa melihat Ibuku. Dia tidak harus ke luar negeri untuk bekerja dan hilang tanpa kabar begitu saja.”
Jihan menangis. Suaranya jelas terdengar oleh Juna. Juna masih diam dengan posisi yang sama.
“Aku juga tidak akan membuat Nira membenciku. Tidak akan membuat nenek sedih dan tidak akan merepotkan Bibi seperti ini. Aku bahkan tidak sempat mengatakan maaf padanya. Aku tidak tahu ibuku masih hidup atau tidak. Ia kesusahan atau tidak. Ia bisa makan dan tidur enak atau tidak. Ia kehujanan atau kepanasan. Aku sangat menyesal. Aku sangat merindukannya. Tapi Nira tidak percaya padaku.” Jihan tersedu.
Kesenangan beberapa menit lalu hilang seketika. Jihan mengusap kedua matanya dengan kedua telapaknya sambil tertunduk. Dilihatnya sepatu Juna berhadapan dengan sepatu Jihan.
“Ayo kita pulang. Kau sudah tidak asik lagi.” Kata Juna.
Jihan mengangkat kepala dan menegakkan tubuhnya. Ia melihat Juna di hadapannya. Berdiri tegak dengan tangan dimasukkan ke saku jaketnya.
“Aku mengajakmu ke sini untuk bersenang-senang. Bukan untuk menangis ersedu-sedu seperti itu. Ayo bangun, Dasar Cengeng!”
Jihan menghapus air matanya lalu berdiri. Ia berhadapan dengan Juna. Juna meraih bahu Jihan dan dengan tiba-tiba memeluknya.
“Maaf. Aku hanya ingin tahu. Aku percaya kau tidak bermaksud menyakiti siapa pun.” kata Juna
Jihan bingung dalam pelukan Juna. Ia baru saja menyudahi tangisnya tapi kenapa Juna tiba-tiba membahasnya kembali.
“Tidak apa-apa. Menangis saja sekuat kau bisa. Selama rasanya masih ingin menangis. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian. Aku tidak akan membuatmu kesusahan lagi.”

Jam sebelas lebih lima belas menit. Jihan tiba di rumah diantar Juna dengan motornya. Jihan masuk ke rumah, mengunci pintu lalu sengaja bersandar di baliknya. Jihan menguap lalu mengusap wajahnya. Sejenka Jihan tersenyum mengingat perjalanan tadi bersama Juna. Jihan beranjak ke kamar. Jihan terkejut. Lampu ruangan yang mati tiba-tiba menyala. Bibi yang menyalakannya. Ia mengenakan baju tidur dan terlihat khawatir.
“Bibi kenapa?” tanya Jihan.
“Bangunkan Anggi. Kita akan ke desa malam ini juga!” titah Bibi.
“T-tapi kenapa? Maksudku, ada apa?” Jihan bingung melihat Bibi terlihat sangat tergesa-gesa.
“Nenek sakit. Adikmu Nira menelepon agar kita semua berkumpul.”
“Sa-sakit?” Jihan mulai panik. “Sakit apa? Sejak kapan? Sekarang bagaimana?”
Jihan berusaha mengejar Bibi yang sibuk berkemas di kamarnya.
“Berhentilah bertanya!” Bibi kesal. “Sakit apa pun, kalau kita disuruh pulang maka ikutilah. Kau seperti tidak tahu watak nenekmu saja.”
Jihan mengulum bibir. Ia berjalan mundur perlahan lalu pergi ke kamar Anggi. Ia tidak bersemangat. Sebenarnya Jihan tidak yakin nenek sakit. Mungkin saja nenek ingin agar Jihan pulang dan segera menikah dengan anak kepala desa itu.
“Anggi, bangun!” Jihan membangunkan sepupunya yang sedang pulas.
“Hm?” Anggi memeluk gulingnya.
“Anggi, Bibi bilang kita harus ke desa malam ini juga. Nenek sakit.”
“Apa katamu…” Anggi yang setengah tersadar mengucek kedua matanya. “Nira meneleponmu?”
“Bagaimana kau tahu kalau Nira yang memberi kabar?”
“Ya siapa lagi, hanya dia cucu setia nenek.”
Jihan diam saja. Ia murung. Ia duduk di ujung kasur dan termenung.
“Kau kenapa?” tanya Anggi. “Bukankah Ibu menyuruh kita berkemas, kenapa kau malah tidak bersemangat begitu?”
“Aku takut pulang.”
Anggi menyikap selimutnya lalu duduk di sebelah Jihan. “Pernikahan itu?”
Jihan mengangguk.
“Kau kan sudah bilang, akan pulang setelah kau lulus. Ini bahkan belum setengah perjalanan. Mungkin saja Nenek benar-benar sakit.”
“Aku…takut kalau aku pulang, maka aku tidak akan kembali ke tempat ini lagi.”
“Kau…sangat menyukai Juna, ya?”
Jihan diam saja.
“Kau dalam masalah kalau nenek tahu.”
Jihan menghela napas. Ia mengacak-acak rambutnya. “Aku benci merasa dilemma. Benci. Benci. Benci.”
“Eh, sudah, sudah.” Anggi menahannya. “Lama-lama kau sama bodohnya dengan gadis-gadis kampus.”
Jihan melirik Anggi. “Bodoh? Bagaimana denganmu? Bukankah kau juga pernah melakukannya? Memaksaku untuk meminta Juna mengencanimu?”
“Ahk, sudah. Jangan bahas itu lagi. Aku merasa sangat konyol.”
Jihan kembali termenung.
“Aku tidak tahu kalau Juna menyukaimu. Kalau aku tahu, aku akan mengerti kenapa.”
“Kenapa?”
“Mungkin Feni juga berpikiran sama denganku.” Anggi bangkit menuju lemari.
Jihan diam merenung. Tidak lama ia bangkit dan pergi meninggalkan Anggi.
Anggi melirik ke pintu memastikan Jihan sudah pergi. “Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa, hanya saja…salah satu kelebihanmu adalah, kalian sudah saling kenal lebih dulu. Aku hanya orang baru bagi Juna. Begitu juga Feni.”

Jihan, Bibi dan Anggi sampai sore hari di desa. Nira menyambut mereka di depan rumah. Jihan diam saja. Ia takut itu hanya muslihat agar ia pulang dan menikah dengan anak kepala desa pilihan nenek.
Nira memandang Jihan dengan tatapan tidak senang. “Masih ingat kau rupanya.”
Jihan diam dan mengacuhkannya.
Di kamar biasa nenek beristirahat. Terbaring nenek yang tampak biasa saja. Bibi dan Anggi menyerbunya dengan menciumi pipi nenek dan memeluknya. Jihan mematung di pintu. Ia malu teringat bagaimana ia kabur dari rumah ketika rombongan anak kepala desa datang untuk melamarnya tempo hari.
Nenek bangun dan duduk bersandar pada difan kasur. “Kau tidak menganggapku nenekmu?”
Jihan terbata. Ia menghampiri nenek lalu duduk di sebelahnya setelah Anggi memberi tempat.
“Kau senang tinggal di kota?” tanya Nenek.
“Aku menikmatinya.” Jawab Jihan.
“Aku sudah tua. Sakit-sakitan. Aku tidak bisa menunggu lebih lama.”
Jihan menutup matanya. Ia tahu apa yang dimaksud neneknya. Bibi dan Anggi merunduk.
“Aku tidak suka basa-basi,” lanjut nenek. “kalian, terutama kau, Jihan. Aku minta datang ke sini adalah permohonanku. Aku tidak pernah meminta sesuatu yang mahal padamu. Tapi bisakah kau mengerti maksudku?”
Jihan membuka matanya berusaha kuat.
“Apa kau mengerti?”
Bibi dan Anggi menatap Jihan menunggu jawaban yang mencairkan suasana. Jihan tersenyum menatap nenek. Melihat senyum itu, Bibi dan Anggi ikut tersenyum. Mereka pikir Jihan sudah memutuskan sesuatu dengan benar.
“Aku akan menjadi sarjana sebentar lagi, Nek. Aku ingin berfoto denganmu saat wisuda nanti. Itu sebuah kebanggan, bukan?” kata Jihan dengan riangnya.
Bibi menahan napas. Ia mengelus dada mendengarnya. Jihan benar-benar keras kepala, bahkan di saat seperti ini.
“Kau…” Nenek mulai naik pitam.
Tiba-tiba Nira muncul memutus kalimat Nenek. “Ada yang mencarimu.”
Semua pandangan tertuju pada Nira. Lalu kembali pada Jihan.
“Siapa?” tanya Jihan pada sekeliling wajah yang menatapnya.
“Kau. Aku memandangmu.” Jawab Nira.
“Juna!” bisik Anggi yang nyaris terdengar di seluruh ruang.
Jantung Jihan berdebar. Bibi gemetar.
“Apa?” tanya Nenek pada Anggi.
“A-aku permisi sebentar.” Jihan undur diri.

“Juna??” Jihan syok melihat Juna di depan rumah neneknya. “Ba-bagaimana kau bisa…bisa sampai kemari? Kau tahu…”
“Bagaimana?” Juna bertanya balik dengan ekspresi kesal. “Bagaimana kau bisa pergi sejauh ini tanpa mengabariku? Kau bahkan tidak masuk kuliah. Tentu saja aku bisa mencarimu.”
Jihan baru ingat, bahwa ponsel yang dipakainya adalah pemberian Juna. Sebuah ponsel mahal dengan aplikasi GPS yang bisa melacak dimana keberadaan pemiliknya selama ponselnya menyala.
“Aku tidak bisa menjelaskannya padamu sekarang. Tapi aku janji akan menjelaskannya nanti.”
“Kenapa?”
“Juna, aku mohon padamu jangan mengacau.”
“Mengacau? Kau ini kenapa? Jadi kau berpikir kalau aku pengacau? Lalu bagimana dengan  anak kepala desa itu? Kau sebut apa dia?”
Jihan terbata. “Ba-bagaimana k-kau bisa tahu?”
Jihan melirik ke kanan dan ke kiri. Ia lalu menarik Juna menjauh dari rumah.
“Kau mau bawa aku kemana?” tanya Juna sambil terus berjalan. “Aku bukan anak kecil kenapa terus menggandengku?”
Jihan baru sadar, ia melepaskan pegangannya. “Ikuti saja aku.”

Bersambung ke Chapter 15

1 komentar:

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya