Mozarella Cake - Chapter 14
Chapter
14
Mengisi
Kekurangan Di Masa Lalu
Lanjutan Dari Chapter 13
Jam tiga sore. Jihan
keluar kelas. Ia segera meluncur ke parkiran. Juna sudah mengiriminya pesan
berantai.
“Kau lama
sekali.” Omel Juna sambil memakai helm.
“Aku sudah
berlari masih kau bilang lelet?” Jihan mengusap peluhnya.
Juna menyalakan
motor. “Iya, baiklah. Lebih cepat lagi. Ayo cepat!”
“Ihk, kau ini!” Jihan
naik ke motor Juna.
Jihan tiba di
hotel diantar Juna.
“Terima kasih, ya!”
Jihan turun dari motor.
“Nanti aku
jemput. Jangan pulang sebelum kujemput. Jangan lupa mengabariku. Jangan…”
“...jangan
matikan ponsel lebih dari satu menit.” Jihan menyambung. Ia tersenyum.
“Bagus. Kau
sudah hapal. Berarti kau sudah mengerti dan aku tidak mau ada pelanggaran. Nah,
baik-baiklah bekerja. Sampai bertemu nanti malam.”
Juna memakai
helm lalu melaju. Jihan melambaikan tangan mengiringi Juna pergi.
Hari ini
pekerjaan tidak begitu banyak. Jihan bisa dengan cepat menyelasikan pekerjaan
dan sedikit bersantai. Jihan juga bisa pulang tepat waktu. Jam sembilan malam, Jihan
keluar hotel. Ia sudah lepas jam kerja. Juna sudah menunggunya di parkiran.
“Aku datang!” Jihan
tersenyum girang menghampiri Juna. “Apa aku lama?”
“Tidak. Apa kau
lelah?” Juna sedang bersandar di motornya sambil melipat tangan di dada.
“Tidak terlalu.
Kenapa? Kau mau mengajakku ke suatu tempat, ya?” Jihan melirik jam tangannya.
Jam Sembilan malam.
“Satu jam saja.
Bisa?” pinta Juna.
Jihan berpikir
sejenak. Kemudian Jihan mengangguk dengan senyum mengembang.
Juna membawa Jihan
menyusuri jalan kota di malam hari. Di bawah lampu jalan yang remang dan
suasana yang mulai sepi. Jihan membonceng di belakang sambil berpegangan pada Juna.
“Kita mau
kemana?” tanya Jihan.
“Bukankah kau
ingin tahu sesuatu?” kata Juna sambil membelokkan motornya ke sebuah arah.
Jihan memandangi
jalanan. Ia seperti mengenal jalan itu. Hanya saja terlalu banyak perubahan
atau memang Jihan tidak memperhatikannya. Mereka memasuki kawasan perumahan
elit. Melewati rumah-rumah besar dan mewah. Senyum Jihan memudar. Ia merasa
tidak asing dengan tempat itu.
Juna berhenti.
“Kita sudah sampai. Ayo turun!”
Jihan turun
tanpa komentar. Ia memandang tempat itu berkeliling. Jihan bahkan berputar
memperhatikan sekitarnya.
“Ini adalah
taman di mana dulu, pertama kalinya kita bertemu.” kata Juna.
Jihan melihat
sepasang ayunan yang sangat dikenalinya. Ia berjalan melewati kolam pasir,
taman rerumputan kecil dan sampai di ayunan itu. Jihan meraba tiangnya.
Menyentuh rantai ayunan yang sama sekali tidak berubah dari empat belas tahun
lalu.
“Kenapa sekarang
ada dua?” tanya Jihan.
Juna mendekat.
“Aku sengaja menambahkannya. Supaya kita tidak berebut lagi.”
Jihan tertawa
dengan mata berbinar. Ia duduk di bangku ayunan. Jihan mulai berayun.
“Itu rumahku.” Juna
menunjuk sebuah rumah. Tepat di belakang taman itu.
Jihan melirik.
“Dari sana aku
memperhatikanmu.” Lanjut Juna. “Aku sangat menyukaimu. Kau gadis kecil yang
periang. Tidak peduli kau sendirian, kau tetap bahagia. Bernyanyi. Berayun
sambil memainkan kakimu. Kau pasti orang paling bahagia. Meski sendirian, kau
tetap bahagia.”
Jihan tersenyum.
Hatinya sedikit pedih. Ternyata orang seberuntung Juna memiliki kekurangan.
Juga sebaliknya, padahal saat itu, Jihan adalah orang miskin yang kelaparan
dari keluarga broken home. Tapi Juna
mengiranya orang paling bahagia.
“Aku hanya anak
rumahan yang tidak punya teman. Setiap hari aku memperhatikanmu dari balkon
itu. Di sana kamarku. Aku ingin turun dan bermain denganmu. Tapi aku takut kau
akan jijik dan menjauhiku. Ternyata tidak. Aku langsung menyukaimu karena kau
tidak jijik padaku.”
Jihan menahan
air matanya. Ia teringat Ibu, Nira dan ayahnya. Segela hal yang dibencinya
berkelebatan di otaknya. Juga nakalnya ia merebut makanan Juna bahkan
mendorongnya dengan kasar hingga menangis.
“Ada sesuatu
yang belum sempat aku katakan waktu itu.” Juna semakin mendekat.
Juna berhenti
tepat di depan Jihan. Jihan menghentikan laju ayunannya. Juna berlutut agar
sama tinggi dengan Jihan. Jihan memperhatikan Juna. Tangan Juna terulur. Ia
meraih kepala Jihan dan mendekatkannya. Jihan terbelalak. Jihan baru tahu
hidung Juna sangat mancung dalam jarak beberapa senti saja dari hidungnya.
“Jangan seperti
itu. Jangan pergi setelah merebut sesuatu dariku. Apa kita tidak bisa berteman
atau bermain sejenak saja.” kata Juna sambil menatap dalam mata Jihan.
Jihan menggenang
air mata. Jihan teringat masa kecilnya. Betapa ia sangat jahat terhadap Juna
yang lemah. Ia merasa sangat menyesal dan kasihan pada Juna waktu itu. Juna
tidak punya teman, permintaannya hanya satu. Bergantian ayunan dan bermain
bersama. Tapi Jihan malah melukainya. Jihan menitikkan air mata sambil
memejamkan mata. Tangannya masih berpegangan pada rantai ayunan. Kedua ibu jari
tangan Juna menghapus air mata itu. Jihan membuka matanya. Sekilas ia melihat
sesuatu di saku dalam jaket Juna. Sebungkus roti. Roti yang sama seperti empat
belas tahun lalu.
“Apa kau akan
memberikan roti itu untukku?” tanya Jihan sambil tersenyum.
Juna melongok
sakunya. Ia lalu tertawa sambil melepas Jihan. Juna berdiri mengeluarkan roti
itu dari sakunya. “Jangankan roti. Hatiku pun akan kuberikan kalau kau mau.” Juna
memberikan roti itu.
Jihan
mengambilnya. Membukanya lalu memakannya sambil berayun cengengesan. Juna duduk
di ayunan sebelahnya. Juna merebut roti Jihan lalu memakannya.
Jihan bernyanyi.
Sebuah lagu lama yang biasa dinyanyikannya empat belas tahun lalu. Juna
tersenyum mengunyah rotinya. Juna lalu ikut bernyanyi sambil memandangi Jihan.
Di mata Juna, saat ini terlihat seperti empat belas tahun lalu. Sesuatu yang ia
harapkan dan seharusnya terjadi empat belas tahun lalu.
“Eh, Juna!”
Jihan berhenti bernyanyi. “Apa…aku boleh tahu sesuatu lagi?”
“Apa?”
“Ayahmu. Aku
bertemu dia empat belas tahun lalu. Apa pekerjaannya? Apa benar dia seorang
pilot?”
Juna tersenyum
memandang lurus. “Iya. Dia seorang pilot. Dia sangat keren dengan seragamnya.”
Jihan
mengangguk. “Hm! Kau benar. Dia sangat keren. Kalau saja…” Jihan murung.
“Ng?” Juna
menoleh.
“Kalau aku
bertemu Paman Baik Hati sekali lagi, aku baru akan memintanya untuk menjadi
ayahku. Karena ibuku sangat cantik, baik dan pintar.” Jihan tersenyum menggoda
Juna.
“Isz.” Juna
mencibir. “Dia hanya mencintai ibuku. Satu-satunya perempuan yang pernah
menjadi istrinya. Dia sangat mencintai ibuku.” Juna sewot.
Jihan terkekeh.
“Boleh aku minta foto ayahmu?”
“Kenapa harus
Ayah? Pacarmu itu aku, kenapa bukan fotoku? Lagi pula untuk apa?”
“Ayolah…”
“Tidak mau.”
“Aku hanya ingin
melihatnya sekali lagi…”
“Tidak boleh.
Dia milikku. Dia tidak bisa menjadi ayahmu karena dia masih punya ibuku.”
“Hmh, kau pelit
sekali.” Jihan mengumpat. “Ibuku adalah perempuan yang baik dan pintar. Tapi…”
Jihan murung
lagi. Juna mendengarkan.
“Apa ibuku yang
pintar dan ayahku yang bodoh atau ibuku sedikit bodoh lalu ayahku yang jahat?”
Jihan tersenyum sinis. “Kalau ibuku pintar, harusnya ayahku tidak
mencampakkannya begitu saja.”
Juna tersenyum.
“Ibumu baik hati dan ayahmu bodoh lagi jahat. Itulah kenapa ia meninggalkan
ibumu. Orang jahat dan bodoh tidak bisa bersama orang baik.”
Jihan tersenyum
mendengar kalimat Juna. Sangat meneduhkan hati.
“Kau beruntung
sempat melihat ibumu dan merasakan belaiannya. Aku bahkan belum sempat
memanggilnya ‘ibu’. Seperti apa rasanya dipeluk ibu sendiri?”
Jihan
merenungkan ucapan Juna.
“Aku sangat
ingin dimanjakan Ayah. Tapi dia sibuk. Ketika dia libur, aku terus bermain
dengan Ayah dan tidak memikirkan apa Ayah lelah? Sering Ayah ketiduran saat
menonton film koboy bersamaku atau bermain play
station. Sejak itu aku tidak mau menuntut Ayah lagi.”
“Aku juga dekat
dengan ayahku. Meski ternyata dia seorang suami yang brengsek. Tapi aku tahu
dia sangat menyayangiku dan dia ayah yang menyenangkan.”
“Hmh, pasangan
macam apa kita ini? Sama-sama tidak berorang tua.”
Jihan tersenyum
membenarkan kalimat Juna.
“Jihan, aku juga
mau tahu sesuatu.” Juna memperlambat ayunannya. “Waktu itu…aku menunggumu di
sini. Tapi kau lama sekali.”
Jihan
mengernyitkan dahi tidak mengerti. Ia memiringkan kepala melihat Juna.
“Seharian aku di
sini. Ayah menyuruhku memberikanmu satu roti supaya kita tidak saling berebut
lagi.”
Jihan menegakkan
kepalanya. Ia meneguk. Jihan sudah mengerti.
“Tapi kau tidak
ada. Lalu kulihat kau di truk itu. Apa yang terjadi?”
Jihan tersenyum
dengan raut sedih. “Oh, itu…kau ingin tahu?” Jihan memandang Juna. “Aku minta maaf ya, selalu mengerjaimu.”
Juna tersenyum.
Ia melipat tangan di dada dan menghentikan ayunan.
“Aku…sudah
terbiasa menahan rasa lapar. Aku takut mencuri. Tapi aku tidak bisa menahan
diri ketika kau menawarkannya untukku. Kau baik sekali memberiku roti selezat
itu.” Jihan tertawa mengenang. “Ayahku jarang pulang. Mungkin hanya sebulan
sekali. Tapi dia bukan pilot seperti ayahmu.”
Juna diam. Ia
mendengarkan Jihan. Jihan menghentikan ayunannya dan hanya meluruskan lalu
menarik kembali kakinya membuat ayunannya bergerak ke belakang dan ke depan.
“Dia bahkan
tidak meninggalkan cukup uang untuk makan kami sehari-hari. Ibuku bekerja
sangat berat untuk menghidupi kami. Suatu hari, aku mengikuti ayah pergi. Di
ujung jalan aku lihat ayahku bertemu dengan seorang perempuan. Keduanya sangat
akrab, ayahku pergi bersama perempuan itu. Aku kembali dan melaporkannya pada
Ibu. Ibu tidak mempercayaiku. Aku tidak memikirkannya serius karena Ibu juga
biasa saja. Tidak kusangka, Ibu menyelidikinya sendiri. Suatu hari ia pulang
dengan Ayah. Wajahnya lebam. Mereka bertengkar. Ternyata Ibu membuktikan
sendiri apa yang kulihat dan aku masih tidak mengerti. Dari pertengkaran itu
aku tahu, Ayah menikah lagi secara diam-diam. Dia meninggalkan kami demi perempuan
itu. Ibu kehabisan uang untuk membayar uang sewa. Dengan bantuan Bibi, kami
pindah ke desa. Sesaat sebelum kami berangkat, aku merasa sesuatu yang besar
dan berat telah terjadi. Nira bilang, itu kesalahanku. Jika saja aku tidak
memancing Ibu menyelidikinya sendiri, setidaknya sekarang aku masih punya orang
tua.”
Jihan tertunduk.
Air matanya menggenang. Jihan menekuk kakinya ia membungkuk menyembunyikan air
matanya yang berjatuhan dari Juna. Jihan berpura-pura sibuk dengan
menyentuh-nyentuh tumitnya yang tidak apa-apa.
“Aku merasa
bersalah pada Ibu. Jika aku tidak mengatakannya, setidaknya aku masih bisa
melihat Ibuku. Dia tidak harus ke luar negeri untuk bekerja dan hilang tanpa
kabar begitu saja.”
Jihan menangis.
Suaranya jelas terdengar oleh Juna. Juna masih diam dengan posisi yang sama.
“Aku juga tidak
akan membuat Nira membenciku. Tidak akan membuat nenek sedih dan tidak akan
merepotkan Bibi seperti ini. Aku bahkan tidak sempat mengatakan maaf padanya.
Aku tidak tahu ibuku masih hidup atau tidak. Ia kesusahan atau tidak. Ia bisa
makan dan tidur enak atau tidak. Ia kehujanan atau kepanasan. Aku sangat
menyesal. Aku sangat merindukannya. Tapi Nira tidak percaya padaku.” Jihan
tersedu.
Kesenangan
beberapa menit lalu hilang seketika. Jihan mengusap kedua matanya dengan kedua
telapaknya sambil tertunduk. Dilihatnya sepatu Juna berhadapan dengan sepatu
Jihan.
“Ayo kita
pulang. Kau sudah tidak asik lagi.” Kata Juna.
Jihan mengangkat
kepala dan menegakkan tubuhnya. Ia melihat Juna di hadapannya. Berdiri tegak
dengan tangan dimasukkan ke saku jaketnya.
“Aku mengajakmu
ke sini untuk bersenang-senang. Bukan untuk menangis ersedu-sedu seperti itu.
Ayo bangun, Dasar Cengeng!”
Jihan menghapus
air matanya lalu berdiri. Ia berhadapan dengan Juna. Juna meraih bahu Jihan dan
dengan tiba-tiba memeluknya.
“Maaf. Aku hanya
ingin tahu. Aku percaya kau tidak bermaksud menyakiti siapa pun.” kata Juna
Jihan bingung
dalam pelukan Juna. Ia baru saja menyudahi tangisnya tapi kenapa Juna tiba-tiba
membahasnya kembali.
“Tidak apa-apa.
Menangis saja sekuat kau bisa. Selama rasanya masih ingin menangis. Aku tidak
akan meninggalkanmu sendirian. Aku tidak akan membuatmu kesusahan lagi.”
Jam sebelas
lebih lima belas menit. Jihan tiba di rumah diantar Juna dengan motornya. Jihan
masuk ke rumah, mengunci pintu lalu sengaja bersandar di baliknya. Jihan menguap
lalu mengusap wajahnya. Sejenka Jihan tersenyum mengingat perjalanan tadi
bersama Juna. Jihan beranjak ke kamar. Jihan terkejut. Lampu ruangan yang mati tiba-tiba
menyala. Bibi yang menyalakannya. Ia mengenakan baju tidur dan terlihat
khawatir.
“Bibi kenapa?”
tanya Jihan.
“Bangunkan Anggi.
Kita akan ke desa malam ini juga!” titah Bibi.
“T-tapi kenapa?
Maksudku, ada apa?” Jihan bingung melihat Bibi terlihat sangat tergesa-gesa.
“Nenek sakit.
Adikmu Nira menelepon agar kita semua berkumpul.”
“Sa-sakit?” Jihan
mulai panik. “Sakit apa? Sejak kapan? Sekarang bagaimana?”
Jihan berusaha
mengejar Bibi yang sibuk berkemas di kamarnya.
“Berhentilah
bertanya!” Bibi kesal. “Sakit apa pun, kalau kita disuruh pulang maka ikutilah.
Kau seperti tidak tahu watak nenekmu saja.”
Jihan mengulum
bibir. Ia berjalan mundur perlahan lalu pergi ke kamar Anggi. Ia tidak
bersemangat. Sebenarnya Jihan tidak yakin nenek sakit. Mungkin saja nenek ingin
agar Jihan pulang dan segera menikah dengan anak kepala desa itu.
“Anggi, bangun!”
Jihan membangunkan sepupunya yang sedang pulas.
“Hm?” Anggi
memeluk gulingnya.
“Anggi, Bibi
bilang kita harus ke desa malam ini juga. Nenek sakit.”
“Apa katamu…” Anggi
yang setengah tersadar mengucek kedua matanya. “Nira meneleponmu?”
“Bagaimana kau
tahu kalau Nira yang memberi kabar?”
“Ya siapa lagi,
hanya dia cucu setia nenek.”
Jihan diam saja.
Ia murung. Ia duduk di ujung kasur dan termenung.
“Kau kenapa?”
tanya Anggi. “Bukankah Ibu menyuruh kita berkemas, kenapa kau malah tidak
bersemangat begitu?”
“Aku takut
pulang.”
Anggi menyikap
selimutnya lalu duduk di sebelah Jihan. “Pernikahan itu?”
Jihan
mengangguk.
“Kau kan sudah
bilang, akan pulang setelah kau lulus. Ini bahkan belum setengah perjalanan.
Mungkin saja Nenek benar-benar sakit.”
“Aku…takut kalau
aku pulang, maka aku tidak akan kembali ke tempat ini lagi.”
“Kau…sangat
menyukai Juna, ya?”
Jihan diam saja.
“Kau dalam
masalah kalau nenek tahu.”
Jihan menghela
napas. Ia mengacak-acak rambutnya. “Aku benci merasa dilemma. Benci. Benci.
Benci.”
“Eh, sudah,
sudah.” Anggi menahannya. “Lama-lama kau sama bodohnya dengan gadis-gadis
kampus.”
Jihan melirik Anggi.
“Bodoh? Bagaimana denganmu? Bukankah kau juga pernah melakukannya? Memaksaku
untuk meminta Juna mengencanimu?”
“Ahk, sudah.
Jangan bahas itu lagi. Aku merasa sangat konyol.”
Jihan kembali
termenung.
“Aku tidak tahu
kalau Juna menyukaimu. Kalau aku tahu, aku akan mengerti kenapa.”
“Kenapa?”
“Mungkin Feni
juga berpikiran sama denganku.” Anggi bangkit menuju lemari.
Jihan diam
merenung. Tidak lama ia bangkit dan pergi meninggalkan Anggi.
Anggi melirik ke
pintu memastikan Jihan sudah pergi. “Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa,
hanya saja…salah satu kelebihanmu adalah, kalian sudah saling kenal lebih dulu.
Aku hanya orang baru bagi Juna. Begitu juga Feni.”
Jihan, Bibi dan Anggi
sampai sore hari di desa. Nira menyambut mereka di depan rumah. Jihan diam saja.
Ia takut itu hanya muslihat agar ia pulang dan menikah dengan anak kepala desa
pilihan nenek.
Nira memandang Jihan
dengan tatapan tidak senang. “Masih ingat kau rupanya.”
Jihan diam dan
mengacuhkannya.
Di kamar biasa
nenek beristirahat. Terbaring nenek yang tampak biasa saja. Bibi dan Anggi
menyerbunya dengan menciumi pipi nenek dan memeluknya. Jihan mematung di pintu.
Ia malu teringat bagaimana ia kabur dari rumah ketika rombongan anak kepala
desa datang untuk melamarnya tempo hari.
Nenek bangun dan
duduk bersandar pada difan kasur. “Kau tidak menganggapku nenekmu?”
Jihan terbata.
Ia menghampiri nenek lalu duduk di sebelahnya setelah Anggi memberi tempat.
“Kau senang
tinggal di kota?” tanya Nenek.
“Aku
menikmatinya.” Jawab Jihan.
“Aku sudah tua. Sakit-sakitan.
Aku tidak bisa menunggu lebih lama.”
Jihan menutup
matanya. Ia tahu apa yang dimaksud neneknya. Bibi dan Anggi merunduk.
“Aku tidak suka
basa-basi,” lanjut nenek. “kalian, terutama kau, Jihan. Aku minta datang ke
sini adalah permohonanku. Aku tidak pernah meminta sesuatu yang mahal padamu.
Tapi bisakah kau mengerti maksudku?”
Jihan membuka
matanya berusaha kuat.
“Apa kau
mengerti?”
Bibi dan Anggi
menatap Jihan menunggu jawaban yang mencairkan suasana. Jihan tersenyum menatap
nenek. Melihat senyum itu, Bibi dan Anggi ikut tersenyum. Mereka pikir Jihan
sudah memutuskan sesuatu dengan benar.
“Aku akan
menjadi sarjana sebentar lagi, Nek. Aku ingin berfoto denganmu saat wisuda
nanti. Itu sebuah kebanggan, bukan?” kata Jihan dengan riangnya.
Bibi menahan
napas. Ia mengelus dada mendengarnya. Jihan benar-benar keras kepala, bahkan di
saat seperti ini.
“Kau…” Nenek
mulai naik pitam.
Tiba-tiba Nira
muncul memutus kalimat Nenek. “Ada yang mencarimu.”
Semua pandangan
tertuju pada Nira. Lalu kembali pada Jihan.
“Siapa?” tanya Jihan
pada sekeliling wajah yang menatapnya.
“Kau. Aku
memandangmu.” Jawab Nira.
“Juna!” bisik Anggi
yang nyaris terdengar di seluruh ruang.
Jantung Jihan
berdebar. Bibi gemetar.
“Apa?” tanya
Nenek pada Anggi.
“A-aku permisi
sebentar.” Jihan undur diri.
“Juna??” Jihan
syok melihat Juna di depan rumah neneknya. “Ba-bagaimana kau bisa…bisa sampai
kemari? Kau tahu…”
“Bagaimana?” Juna
bertanya balik dengan ekspresi kesal. “Bagaimana kau bisa pergi sejauh ini
tanpa mengabariku? Kau bahkan tidak masuk kuliah. Tentu saja aku bisa
mencarimu.”
Jihan baru
ingat, bahwa ponsel yang dipakainya adalah pemberian Juna. Sebuah ponsel mahal
dengan aplikasi GPS yang bisa melacak dimana keberadaan pemiliknya selama
ponselnya menyala.
“Aku tidak bisa
menjelaskannya padamu sekarang. Tapi aku janji akan menjelaskannya nanti.”
“Kenapa?”
“Juna, aku mohon
padamu jangan mengacau.”
“Mengacau? Kau
ini kenapa? Jadi kau berpikir kalau aku pengacau? Lalu bagimana dengan anak kepala desa itu? Kau sebut apa dia?”
Jihan terbata.
“Ba-bagaimana k-kau bisa tahu?”
Jihan melirik ke
kanan dan ke kiri. Ia lalu menarik Juna menjauh dari rumah.
“Kau mau bawa
aku kemana?” tanya Juna sambil terus berjalan. “Aku bukan anak kecil kenapa
terus menggandengku?”
Jihan baru
sadar, ia melepaskan pegangannya. “Ikuti saja aku.”
Bersambung ke Chapter 15
Bagus
BalasHapus