Mozarella Cake - Chapter 13
Chapter
13
Kencan
Pertama Dengan Juna
Lanjutan Dari Chapter 12
Jam istirahat. Jihan
makan siang di kantin dengan Anggi. Anggi membuka obrolan dan meminta maaf
karena ia telah menguping Juna-Jihan semalam.
“Kau ini!” Jihan
memerah. Ia malu.
“Kenapa? Dengan
begitu kau tidak usah merasa tidak enak menceritakannya padaku. Karena aku
sudah tahu sendiri.”
Jihan diam saja.
Ia melahap makanannya.
“Selamat, ya!” Anggi
tersenyum. “Aku senang kau bisa menyenangkan dirimu sendiri. Aku tidak marah
dan tidak akan cemburu. Kau sepupuku. Saudaraku lebih dari apa pun. Aku terlalu
egois dan memikirkan kesenanganku saja. Aku tidak pernah memikirkan perasaanmu. Sejak kecil kau
selalu membantuku ketika Nira mengadukanku pada Ibu atau nenek. Kau selalu
menyediakan dirimu dimarahi bahkan dipukul nenek untuk menggantikan
kesalahanku.”
Jihan tersenyum
sendu. “Ahk kau terlalu berlebihan.”
Anggi tersenyum
lebar. “Aku harap, sekarang saatnya kau
bahagia. Semoga nenek melepaskan ikatannya terhadapmu dan Juna bisa
menyelamatkanmu dari perjodohan omong kosong itu.”
Pulang kuliah, Juna
juga mengantar Jihan hingga ke tempat kerjanya. Ia juga menjemput Jihan pulang
bekerja. Itu hanya berlangsung selama dua hari secara berturut-turut. Hari
ketiga dan seterusnya, hanya sesekali waktu Juna mengantar-jemput Jihan. mereka
hampir tidak pernah pergi bersama ke suatu tempat.
Bulan ini, Juna
sudah memasuki semester akhir kuliah tingkat S1-nya. Juna memasuki semester
delapan dan ia akan mulai menjadi sibuk. Belum lagi, Juna juga harus
mengendalikan saham-sahamnya di beberapa perusahaan yang sedang terkendala. Juna
tidak bisa selalu mengantar atau menjemput Jihan karena waktunya sedikit. Ia
tidak selalu pulang kuliah tepat waktu karena harus mengikuti berbagai macam
bimbingan untuk skripsinya. Juna juga harus pergi ke beberapa perpustakaan atau
toko buku untuk mencari literature untuk bahan skripsinya. Kadang Juna harus
menghadiri rapat pemegang saham di beberapa perusahaan yang tidak mengenal
waktu. Akibatnya, Juna jarang berkeliaran di kampus. Ia juga jarang terlihat
bersama saat di kampus dengan Jihan.
Di sela-sela
waktunya, Juna menyempatkan diri mengirim pesan pada Jihan. Juna sering
tersenyum sendiri membaca balasan Jihan. Juna juga mengecek keberadaan Jihan
dengan GPS di ponselnya. Jihan membayar hutangnya pada Satria dengan meminjam
uang tabungan Anggi. Ia merasa tidak enak berhutang terlalu lama pada Satria.
Kasus di hotel sudah ditutup dan Jihan tidak bersalah. Ternyata kartu kreditnya
hilang di jalan. Jihan sudah kembali bekerja jadi ia bisa mencicil hutangnya
pada Anggi.
Kampus terasa
tenang sejak Jihan jadian dengan Juna. Tidak ada yang mengusik Jihan dan tidak
ada juga yang membahas Juna di pesan berantai seperti dulu. Beberapa
mahasiswinya justru merasa bosan karena tidak ada yang menarik perhatian mereka
lagi di kampus selain belajar tentunya. Bagi Jihan itu justru menyenangkan. Bisa
belajar dengan tenang tanpa gangguan.
Lima bulan
kemudian…
Kelas selesai. Jihan
membereskan buku-bukunya. Ia akan pulang bersama Anggi lalu bekerja ke hotel.
Karena Juna tidak mengantarnya tadi pagi, jadi Jihan tidak tahu Juna masuk
kuliah atau tidak. Jihan sedang berjalan menuju parkiran. Juna tiba-tiba muncul
di balik tangga. Ia menghentikan langkah Jihan.
“Kau mau kemana
buru-buru?” tanya Juna. Ia merebut buku di tangan Jihan dan membawanya.
“Kenapa
bertanya? Aneh sekali. Aku kan akan pulang. Maksudku, aku harus bekerja.” Jihan
kembali berjalan dengan Juna di sampingnya.
“Apa itu sangat
penting?”
“Kau ini bicara
apa, jelas itu sangat penting.”
“Apa tidak bisa
kau bolos saja hari ini?”
“Apa? Bolos?” Jihan
terperanjat. “Tidak. Itu akan mengurangi gajiku nanti.”
“Sehari…saja.
Kau kan jarang sekali tidak masuk.”
“Tidak bisa dan
aku tidak mau.”
“Lagi pula di
sana juga masih banyak orang, kan? Kalau seorang saja tidak masuk, tidak
apa-apa.”
“Tidak mau. Kau
ini kenapa? Aku bilang tidak mau, ya tidak mau.”
“Baiklah. Berapa
gajimu di sana?”
“Apa?” Jihan
menoleh. “Kau mau mengejekku, yah?”
“Aku tanya,
berapa gajimu per hari di sana…”
Beberapa orang
memperhatikan mereka. Diantaranya meringis sedih melihat Juna sudah punya
pacar.
“Tidak besar. Hanya
cukup untuk membantu kuliahku. Kenapa?”
“Katakan saja
berapa!” Juna mengeras.
Jihan manyun.
“Tidak mau! Lagi pula kau ini aneh.”
Juna mengodok
sakunya. Ia mengeluarkan uang seratus ribu. “Apa ini cukup?”
Jihan melongo.
“Kau ini kenapa, sih?”
“Kau selalu
menolak ajakanku. Kau lebih suka bekerja dari pada pergi bersamaku. Bahkan hari
libur. Ini!” Juna menyelipkan uang itu ke tangan Jihan. “Kubayar waktumu. Satu
hari…saja. Pergilah denganku!”
“Oowh…” dua
orang perempuan yang lewat menganggap Juna romantis.
Jihan melirik
mereka. Mereka dengan cepat menghilangkan jejak.
“Tidak bisa…” Jihan
mengembalikan uangnya. Ia selipkan di saku kemeja Juna. “Ini bukan hanya
masalah uang. Kalau aku bolos, bukan saja gajiku yang dipotong. Tapi reputasiku
sebagai pegawai terbaik akan buruk.”
“Pegawai
terbaik?”
“Maksudku, aku
hanya ingin bekerja dengan baik. Disiplin dan loyal. Itu saja.”
Jihan kembali
berjalan. Juna menyusul.
“Baiklah. Akan
kuhubungi dokter pribadiku. Biar dia mengeluarkan surat sakit agar kau bisa
bolos hari ini. Kalau kau sakit, mereka akan memaklumimu.”
Jihan diam saja.
“Ini kan malam
minggu. Kau masih muda. Kau tidak ingin seperti sepasang kekasih lainnya,
menghabiskan malam minggu bersama?”
Jihan berhenti. Juna
berhenti mendadak. Jihan memincingkan matanya.
“Apa maksudmu?
Menghabiskan malam minggu bersama?”
“Hey, kau jangan
berpikiran negatif tentang aku. Aku bukan laki-laki jorok. Aku hanya ingin
pergi bersamamu. Tidak sampai malamnya habis juga. Itu hanya istilah. Mungkin
kita bisa pergi ke bioskop, makan malam atau…”
“Kau tidak
biasanya seperti ini.”
“Kenapa?” Juna
bingung dicurigai Jihan. “Hey, dengar ya! Sudah lima bulan kita pacaran…”
Satria kebetulan
lewat. Ia mendengar kalimat Juna. Ia berhenti sejenak di balik tembok.
“…tapi kita
tidak pernah pergi bersama. Aku menjemputmu lalu mengantarmu ke tempat kerja.
Lalu mengantarmu pulang lagi. Hanya itu? Sebenarnya aku ini pacarmu atau supir
pribadimu?”
Jihan
terperangah. “Aku tidak memintamu, kenapa kau mengungkitnya? Lagi pula,
bukannya kau sendiri sedang sibuk dengan skripsimu? Aku juga tidak akan
mengganggumu.”
“Ini bukan soal
mengungkit. Kau benar, aku memang sibuk. Karena itu kusempatkan diri mengajakmu
pergi. Harusnya kau tahu. Sekali-sekali kita perlu pergi bersama dan
bersenang-senang.”
“Bersenang-senang?”
Jihan kembali memincingkan matanya.
“Argh! Kau ini
punya perasaan tidak?” Juna keceplosan. Ia membahas perasaan yang menjadi
gengsinya. “Maksudku…apa kau tidak bosan?”
Jihan diam
memandang Juna. Juna diam menunggu respon Jihan. Satria menunggu di sisi lain.
Jihan merebut kembali
bukunya. “Aku sedang berusaha keras sampai aku lulus nanti. Aku tidak ingin
main-main. Aku sudah berjanji pada nenek, akan pulang dengan berhasil.”
Jihan kembali
berjalan mengacuhkan Juna. Satria membalikkan tubuhnya.
“Aku juga
serius. Aku serius denganmu.” kata Juna.
Seorang
perempuan menggingit jari mendengarnya.
“Aku serius, kau
sangat membuatku pusing.” Juna menyusul.
Satria keluar
dari persembunyian dan memperhatikan Jihan-Juna.
“Kau tahu, bukan
hanya kau yang menyukaiku.”
“Menyukaimu?” Jihan
melotot seolah hanya dia yang merasakannya. “Apa tidak keliru? Bukankah kau
yang menyukaiku?”
“Kau tidak
khawatir kalau ada yang mengajakku pergi?” Juna memasang senyum sombong.
Jihan berhenti.
Ia melihat kesombongan Juna dengan ekspresi mengancam. Memang benar, tidak
hanya Jihan yang menyukai Juna. Meski ia tahu Juna tidak akan menerima ajakan
seperti yang Juna gambarkan, tapi hati kecilnya tetap merasa khawatir. Jika ia
terus begitu, mungkin Juna bisa bosan terhadapnya dan menganggap Jihan hanya bermain-main.
Bahkan Juna akan berpikir Jihan tidak benar-benar menyukainya hingga tidak
pernah mau pergi bersama.
Jihan murung.
Kemudian dilihatnya Juna sekali lagi. Di sekelilingnya pula. Ada beberapa
pasangan sedang berjalan bersama, bergandengan tangan bahkan ada yang merangkul
sambil tertawa. Pasti mereka akan bermalam minggu. Lalu bagaimana dengan
pekerjaannya?
“Hmh. Baiklah,
karena kau memaksa maka aku akan bolos hari ini untukmu. Tapi kalau kau berbuat
macam-macam dan tidak membuatku senang, kau dalam masalah.” Jihan tersenyum.
“Tenang saja.
Kau tidak akan menyesal.” Juna pergi.
Jihan pergi ke
bioskop dengan Juna. Mereka berbeda tujuan. Jihan ingin melihat film romantis
yang menguras air mata sementara Juna ingin menonton film komedi. Akhirnya
mereka menonton dua film secara bergantian.
Di film pertama,
Jihan menitikkan air mata menghayati cerita film. Juna menguap berkali-kali. Ia
merasa bosan dan mengantuk. Camilan Jihan bahkan sudah dihabiskan Juna
sendirian untuk mengusir kejenuhan.
Film selesai.
Menunggu film kedua di studio berbeda, Juna mengajak Jihan makan di sebuah
restoran masakan jepang cepat saji. Jihan kesulitan menggunakan sumpit. Juna
mentertawainya. Jihan menyerah, ia menggunakan sendok. Tanpa disadari, Juna
memperhatikan Jihan makan. Juna senyum-senyum. Jihan sangat menikmati
makanannya.
Makan selesai.
Mereka kembali ke studio. Film baru saja dimulai. Sebuah film asal amerika
bergenre komedi. Juna yang fasih berbahasa inggris sangat menikmati filmnya. Ia
tertawa bersama segenap penonton. Jihan sedikit tertawa karena hanya
mengandalkan translate.
Jihan melempar
pandang ke sudut lain. Ups! Jihan memergoki sepasang kekasih yang sedang bermesraan.
Ia melirik Juna. Juna sedang tertawa
sambil mengunyah popcorn.
“Semoga Juna tidak sengaja membawaku ke bioskop untuk
bermesraan seperti orang itu.”
“Kenapa?” Juna
menoleh ke arah Jihan.
Jihan menggeleng
seraya mencomot popcorn Juna. Juna kembali asik menonton. Film selesai.
“Nah, sekarang
kita mau kemana lagi?” tanya Juna setelah keluar dari studio.
“Aku mau pulang
saja.” Jihan terlihat kelelahan.
“Heu? Pulang?” Juna
melirik jam tangannya. “Ini masih jam delapan malam.”
“Memangnya masih
ada tempat hiburan yang buka jam segini?”
Juna tertawa.
“Kau lucu sekali. Di Jakarta, segala tempat hiburan bisa sepanjang malam.”
“Maksudmu
diskotik?”
“Salah satunya.”
“Apa kau berniat
mengajakku ke sana?” Jihan memincingkan matanya.
“Hm?” Juna
mengernyitkan dahi. “Tidak.”
“Lalu?”
“Aku tidak suka
pergi ke tempat seperti itu. Terlalu berisik. Terlalu ramai. Terlalu sumpek dan
bau. Pencahayaannya bisa membuatku pusing dan mual.” Juna kembali berjalan
santai.
Jihan mengikuti
di sebelahnya, sedikit tertinggal. “Apa kau pernah ke sana?”
“Pernah. Sekali.
Waktu SMA, diajak Gilang. Hanya sebentar karena aku tidak suka suasananya.”
“Kau tidak akan
mengajakku ke tempat yang aneh-aneh, kan?”
“Aneh
bagaimana?” Juna mengaruk telinganya yang tidak gatal. “Aku tidak akan membawa
pengaruh buruk untukmu.”
Jihan tersenyum
mengikuti.
“Itulah perlunya
kita pergi bersama. Di tempat yang bisa dikatakan umum, akan terlihat seperti
apa dirimu. Dengan sendirinya kau akan tahu karakter pasanganmu, apa
kesukaannya dan lain-lain.”
Jihan diam
mengekor. Sebuah senyum mengembang di bibirnya. Ia memandangi bahu Juna yang
kekar karena terlalu tinggi untuk melihat wajahnya.
“Lalu, kita mau
kemana lagi?”
“Makan.”
“Makan lagi? Dua
jam lalu kita baru saja makan sepuasnya.”
“Aku mudah
lapar. Kalau kau tidak mau ya sudah, aku saja.” Juna mempercepat jalannya.
“Eh, iya. Aku
mau!” Jihan menyusul.
Mereka makan di
sebuah kedai kopi yang full music.
Suasananya tenang dan sedikit redup.
Juna melahap banana cake kesukaannya. Di sebelahnya
segelas mocachino panas dan masih mengepul. Jihan hanya makan pudding coklat
dan mocachino ice-nya.
“Tempat ini
bagus. Makanannya enak. Suasananya tenang. Apa kau suka ke sini?” Jihan membuka
obrolan.
Juna meneguk
minumannya. “Aku dan teman-temanku.”
Jihan lebih
banyak diam. Sebenarnya ia mulai merasa canggung. Ini pertama kalinya ia duduk
berhadapan dengan Juna dalam waktu yang lama. Ia bingung harus bicara soal apa.
Juna sendiri
juga lebih banyak diam. Ia terlihat sangat menikmati dengan santai makanannya.
Semakin Juna diam, semakin Jihan canggung. Mendadak Jihan merasa sedikit
gemetar. Ada getaran halus yang semakin memburu di dadanya. Jihan gelisah dan
sedikit sakit leher. Ia serba salah harus memandang ke arah mana. Memandang
lurus, ada Juna. Ia takut dikira sengaja memandang Juna. Jihan mengetuk-ngetuk
meja dengan jemarinya. Juna masih tenang menyeruput minumannya.
“Kau sudah
bosan?” tanya Juna.
“Hm?” Jihan
terkejut.
“Kau kenapa?” Juna
memandang menyelidik.
Jihan merasakan
hawa panas di wajahnya. Ia merasa sangat canggung.
“Mukamu
memerah.” Juna semakin menegaskan pandangannya.
Jihan meraba
kedua pipinya. Ia merunduk. “Masak?”
Juna tersenyum.
“Kau malu padaku, ya?”
“K-kenapa harus
malu?” Jihan sedikit terbata.
“Aku senang
melihatmu seperti itu. Kau terlihat lucu dan aneh.”
Jihan merengut.
“Kau mengerjaiku, ya?”
“Tidak. Untuk
apa?” Juna melahap kue-nya lagi.
“Sembilan jam di kampus, aku hanya bisa bertemu dua
jam denganmu. Saat datang dan pulang. Kalau kebetulan, kita bisa bertemu di
kantin atau berpapasan di jalan. Aku tidak bisa melihatmu lebih dekat. Hari ini
aku puas. Aku sengaja membawamu ke tempat yang kau tidak akan bisa leluasa
mengalihkan pandangan dariku. Aku bisa melihat sikap aslimu saat hanya
bersamaku. Kau benar-benar terlihat lucu dan aneh.”
Juna
senyum-senyum di balik cangkir minumannya. Ia memang sengaja mengerjai Jihan.
“Nah, aku sudah
selesai. Ayo kita pulang!” Juna mengambil jaketnya.
Jihan menghela
napas. Satu jam ia tersiksa. Lehernya terasa kaku karena harus melarikan diri
dari pandangan frontal dengan Juna.
Jam sepuluh
malam. Jihan tiba di rumah diantar Juna.
Jihan turun dari motornya. Ia sedikit mengantuk karena perjalanan pulang
yang santai dan sejuk angin malam.
“Terima kasih.
Tapi maaf, aku tidak bisa menawarimu masuk. Ini sudah malam. Aku bisa dipukul
Bibi kalau membawa masuk laki-laki malam hari begini.” Jihan menarik tali
ranselnya.
Juna membuka
kaca helmnya. “Tidak apa-apa. Ini sudah terlalu malam. Sudah sana masuk.”
“Hm!” Jihan
mengangguk.
Juna masih di
tempat dengan motor masih menyala. Jihan juga masih berdiri di tempat.
“Tunggu apa
lagi? Ayo sana masuk!” titah Juna.
“He? Aku
menunggumu pulang. Kau sendiri tunggu apa lagi?” Jihan balik bertanya.
“Aku harus
memastikanmu benar-benar masuk ke rumah. Sudah sana, cepat!”
Jihan manyun.
“Baiklah. Lihat aku, ya!”
Jihan berbalik
dan berjalan memasuki halaman rumah Bibi. Juna tersenyum di balik helmnya. Bagi
Juna, Jihan terlihat sangat lucu dan aneh. Juna menutup kaca helmnya setelah Jihan
masuk dan menutup pintu. Juna memacu motornya dan pergi. Jihan mengintip di
balik jendela. Ia tersenyum sendiri. Ini pertama kalinya Jihan pergi berkencan
dengan seorang laki-laki. Apalagi dengan laki-laki yang ia suka dan sudah
menjadi pacarnya.
“Darimana kau?” Anggi
tiba-tiba muncul mengejutkan Jihan.
“Huh, kau
mengagetkan saja!” Jihan merebahkan diri di sofa ruang tamu.
Anggi duduk di
sebelah Jihan. Ia mengenakan piyama lengkap dengan sandalnya.
“Kalian
berkencan?” tanya Anggi.
Jihan
mengangguk. “Untuk pertama kalinya.”
“Aku tidak
cemburu. Aku sudah pernah berkencan dengan Juna sebelum kau.”
Jihan mengulum
bibir.
“Lagi pula. Aku
sudah berjanji tidak akan kecewa. Aku sudah menyerah sejak lama.”
Jihan
mendengarkan.
“Aku benar, kan?
Sudah kuduga Juna menyukaimu.”
“Eh? Bagaimana?”
“Waktu aku
berkencan dengannya. Sikapnya biasa saja. Dia banyak diam. Aku kehabisan bahan
obrolan. Lalu kutanya soal dirimu. Aku ingin tahu darinya soal ceritamu waktu
kalian masih anak-anak itu.”
“Lalu?”
“Aku cemburu
lalu sedih karena ternyata aku hanya orang ketiga yang hadir diantara kalian.”
“Ma-maafkan aku,
tapi aku tidak mengerti…”
“Tidak apa-apa.
Aku tahu dirimu. Aku hanya kesal kau tidak menyadarinya sejak lama. Juna sangat
menyukaimu, hanya saja dia tidak ingin mengacaukanmu. Jadi dia tidak
mengatakannya atau berusaha meraih simpatimu.”
“Benarkah?”
“Saat itu kau
sedang dekat dengan Satria. Lagi pula semua orang tahu kau dan Juna bermusuhan.
Akan aneh jika tiba-tiba Juna mendekatimu. Kau pasti akan menganggapnya
berpura-pura. Aku rasa, dia pria baik-baik.”
“Oya? Bagaimana
kau bisa tahu?”
“Kudengar, semua
perempuan yang pernah menjadi pacarnya Juna hanya bertahan selama enam bulan.
Karena Juna hanya main-main dan sebagai trend saja.”
“Itu jahat
namanya!”
“Memang. Tapi
tahu tidak, bahwa semua mantan pacarnya ternyata tidak pernah pergi berkencan
bersama selain pergi ke kampus saja?”
“Hah?” Jihan
tidak percaya.
“Perempuan-perempuan
itu kelas atas. Cantik seperti model dan kaya. Mereka juga menerima Juna pasti
karena dia kaya dan tampan. Hanya untuk menopang pamor mereka saja. Salah
seorang mantannya pernah bilang, Juna homo. Karena selama mereka pacaran, Juna
tidak pernah menggandeng tangannya bahkan menciumnya!”
“Owh…!!” Jihan
menyeringai.
“Lalu mantannya
yang lain juga mengatakan hal yang sama. Mencurigai Juna homo dan hanya
menjadikan mereka alasan bahwa Juna laki-laki normal. Bayangkan saja, ada
mantannya yang bilang bahwa dia pernah memakai pakaian minim tapi Juna tidak
merespon sama sekali. Dia malah melempar jaket lalu memutuskan hubungan.”
Jihan tertawa
miris.
“Lalu, setelah
lima bulan kalian pacaran, apa kalian sudah pernah berciuman?”
“Apa??” Jihan
terperanjat. Ia teringat kejadian di bioskop tadi. Ia buru-buru menggeleng.
“Benarkah?” Anggi
memburu. “Jika benar, kau harus khawatir.”
“Kh-khawatir kenapa?”
“Juna homo!”
“Tidak! Juna
tidak seperti itu. Dia memang pria baik-baik. Dia tidak suka diskotik. Bahkan
saat di bioskop pun dia tidak mencari kesempatan mojok. Dia pernah menarik
tanganku. Aku…aku…”
“Apa??”
“Aku…” Jihan
teringat kejadian di cafe tadi. Ia merasa Juna memperhatikannya. “Kau benar.
Dia…”
Anggi melotot
melihat Jihan yang tersenyum. “Dia homo??”
“Tidak. Dia
menyukaiku!” Jihan berdiri.
“Kau sengaja mengajakku ke cafe itu, kan?”
Sebuah pesan
masuk ke ponsel Juna. Juna baru selesai mandi dan sedang mengeringkan rambutnya
dengan handuk. Ia tertawa membaca pesan dari Jihan.
“Kenapa?”
“Kau mencuri pandang dariku, ya?”
Juna tertawa
lagi. “Bagaimana caranya?”
“Di tempat yang tenang, dimana kau bisa merasa private
tapi di tempat umum. Kau akan membuatku salah tingkah dan kau bisa
memperhatikan aku!”
Juna mengirim
emoticon tertawa. Jihan manyun membacanya.
“Kalau kau tahu, kenapa tidak kau balas melihatku?”
Jihan terbelalak
membacanya.
“Iya. Aku mengerjaimu. Hari ini aku puas bisa
melihatmu dari dekat dan lama. Kau lucu sekali. Terlihat gugup dan salah
tingkah. Apa aku membuatmu gemetar?”
Jihan kesal. Ia
mengirim emoticon marah. Jihan mematikan teleponnya. Dengan perasaan kesal, Jihan
menutup selimut lalu tidur.
Pagi hari. Juna
menjemput Jihan seperti biasa. Jihan sudah menunggunya di halaman rumah. Dengan
malas Jihan menghampiri Juna.
“Kau kenapa?”
tanya Juna membuka kaca helmnya.
“Tidak apa-apa.
Aku hanya sedikit ingin tahu.” Jihan terlihat lesu.
“Kenapa?”
“Ihk, kau ini! Sudah
kubilang aku tidak apa-apa.”
“Maksudku,
kenapa kau tidak segera naik. Cepat sedikit!” Juna menutup kaca helmnya.
“Isz!” Jihan
mencibir. Jihan lalu naik ke motor.
Juna memacu
motornya. Jihan diam saja sepanjang perjalanan.
“Kau ingin tahu
soal apa?” tanya Juna sesampainya di kampus. Juna melepas helmnya.
“Kenapa kau
ingin tahu soal itu?” Jihan merapikan sweaternya.
“Kau sedang
bermain-main denganku, ya?” Juna turun dari motor.
Jihan manyun. “Sejak
kapan kau menyukaiku?”
Mata Juna
melebar. Ia lalu tertawa kecil. “Pertanyaan macam apa? Itu terkesan
menyudutkan.”
Juna pergi. Jihan
menghentakkan kakinya lalu menyusul. “Aku hanya ingin tahu. Apa tidak boleh?”
Juna berhenti
dan berbalik. “Baik. Setelah aku tahu jawabanmu jika aku bertanya seperti itu.”
“A-aku…aku…” Jihan
sedang berpikir.
“Tidak tahu
kapan persisnya, ya?” Juna menyela.
Jihan manyun.
“Hari ini aku
akan mengantarmu bekerja lalu menjemputmu pulang kerja. Sudah sana ke kelas.
Sampai bertemu pulang nanti.” Juna pergi begitu saja.
Jihan masih
manyun. Ia memandangi kepergian Juna sebelum akhirnya ia juga pergi.
Bersambung ke Chapter 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar