18 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 13



Chapter 13
Kencan Pertama Dengan Juna

Lanjutan Dari Chapter 12

Jam istirahat. Jihan makan siang di kantin dengan Anggi. Anggi membuka obrolan dan meminta maaf karena ia telah menguping Juna-Jihan semalam.
“Kau ini!” Jihan memerah. Ia malu.
“Kenapa? Dengan begitu kau tidak usah merasa tidak enak menceritakannya padaku. Karena aku sudah tahu sendiri.”
Jihan diam saja. Ia melahap makanannya.
“Selamat, ya!” Anggi tersenyum. “Aku senang kau bisa menyenangkan dirimu sendiri. Aku tidak marah dan tidak akan cemburu. Kau sepupuku. Saudaraku lebih dari apa pun. Aku terlalu egois dan memikirkan kesenanganku saja. Aku tidak  pernah memikirkan perasaanmu. Sejak kecil kau selalu membantuku ketika Nira mengadukanku pada Ibu atau nenek. Kau selalu menyediakan dirimu dimarahi bahkan dipukul nenek untuk menggantikan kesalahanku.”
Jihan tersenyum sendu. “Ahk kau terlalu berlebihan.”
Anggi tersenyum lebar. “Aku harap, sekarang saatnya kau bahagia. Semoga nenek melepaskan ikatannya terhadapmu dan Juna bisa menyelamatkanmu dari perjodohan omong kosong itu.”
Pulang kuliah, Juna juga mengantar Jihan hingga ke tempat kerjanya. Ia juga menjemput Jihan pulang bekerja. Itu hanya berlangsung selama dua hari secara berturut-turut. Hari ketiga dan seterusnya, hanya sesekali waktu Juna mengantar-jemput Jihan. mereka hampir tidak pernah pergi bersama ke suatu tempat.
Bulan ini, Juna sudah memasuki semester akhir kuliah tingkat S1-nya. Juna memasuki semester delapan dan ia akan mulai menjadi sibuk. Belum lagi, Juna juga harus mengendalikan saham-sahamnya di beberapa perusahaan yang sedang terkendala. Juna tidak bisa selalu mengantar atau menjemput Jihan karena waktunya sedikit. Ia tidak selalu pulang kuliah tepat waktu karena harus mengikuti berbagai macam bimbingan untuk skripsinya. Juna juga harus pergi ke beberapa perpustakaan atau toko buku untuk mencari literature untuk bahan skripsinya. Kadang Juna harus menghadiri rapat pemegang saham di beberapa perusahaan yang tidak mengenal waktu. Akibatnya, Juna jarang berkeliaran di kampus. Ia juga jarang terlihat bersama saat di kampus dengan Jihan.
Di sela-sela waktunya, Juna menyempatkan diri mengirim pesan pada Jihan. Juna sering tersenyum sendiri membaca balasan Jihan. Juna juga mengecek keberadaan Jihan dengan GPS di ponselnya. Jihan membayar hutangnya pada Satria dengan meminjam uang tabungan Anggi. Ia merasa tidak enak berhutang terlalu lama pada Satria. Kasus di hotel sudah ditutup dan Jihan tidak bersalah. Ternyata kartu kreditnya hilang di jalan. Jihan sudah kembali bekerja jadi ia bisa mencicil hutangnya pada Anggi.
Kampus terasa tenang sejak Jihan jadian dengan Juna. Tidak ada yang mengusik Jihan dan tidak ada juga yang membahas Juna di pesan berantai seperti dulu. Beberapa mahasiswinya justru merasa bosan karena tidak ada yang menarik perhatian mereka lagi di kampus selain belajar tentunya. Bagi Jihan itu justru menyenangkan. Bisa belajar dengan tenang tanpa gangguan.
Lima bulan kemudian…
Kelas selesai. Jihan membereskan buku-bukunya. Ia akan pulang bersama Anggi lalu bekerja ke hotel. Karena Juna tidak mengantarnya tadi pagi, jadi Jihan tidak tahu Juna masuk kuliah atau tidak. Jihan sedang berjalan menuju parkiran. Juna tiba-tiba muncul di balik tangga. Ia menghentikan langkah Jihan.
“Kau mau kemana buru-buru?” tanya Juna. Ia merebut buku di tangan Jihan dan membawanya.
“Kenapa bertanya? Aneh sekali. Aku kan akan pulang. Maksudku, aku harus bekerja.” Jihan kembali berjalan dengan Juna di sampingnya.
“Apa itu sangat penting?”
“Kau ini bicara apa, jelas itu sangat penting.”
“Apa tidak bisa kau bolos saja hari ini?”
“Apa? Bolos?” Jihan terperanjat. “Tidak. Itu akan mengurangi gajiku nanti.”
“Sehari…saja. Kau kan jarang sekali tidak masuk.”
“Tidak bisa dan aku tidak mau.”
“Lagi pula di sana juga masih banyak orang, kan? Kalau seorang saja tidak masuk, tidak apa-apa.”
“Tidak mau. Kau ini kenapa? Aku bilang tidak mau, ya tidak mau.”
“Baiklah. Berapa gajimu di sana?”
“Apa?” Jihan menoleh. “Kau mau mengejekku, yah?”
“Aku tanya, berapa gajimu per hari di sana…”
Beberapa orang memperhatikan mereka. Diantaranya meringis sedih melihat Juna sudah punya pacar.
“Tidak besar. Hanya cukup untuk membantu kuliahku. Kenapa?”
“Katakan saja berapa!” Juna mengeras.
Jihan manyun. “Tidak mau! Lagi pula kau ini aneh.”
Juna mengodok sakunya. Ia mengeluarkan uang seratus ribu. “Apa ini cukup?”
Jihan melongo. “Kau ini kenapa, sih?”
“Kau selalu menolak ajakanku. Kau lebih suka bekerja dari pada pergi bersamaku. Bahkan hari libur. Ini!” Juna menyelipkan uang itu ke tangan Jihan. “Kubayar waktumu. Satu hari…saja. Pergilah denganku!”
“Oowh…” dua orang perempuan yang lewat menganggap Juna romantis.
Jihan melirik mereka. Mereka dengan cepat menghilangkan jejak.
“Tidak bisa…” Jihan mengembalikan uangnya. Ia selipkan di saku kemeja Juna. “Ini bukan hanya masalah uang. Kalau aku bolos, bukan saja gajiku yang dipotong. Tapi reputasiku sebagai pegawai terbaik akan buruk.”
“Pegawai terbaik?”
“Maksudku, aku hanya ingin bekerja dengan baik. Disiplin dan loyal. Itu saja.”
Jihan kembali berjalan. Juna menyusul.
“Baiklah. Akan kuhubungi dokter pribadiku. Biar dia mengeluarkan surat sakit agar kau bisa bolos hari ini. Kalau kau sakit, mereka akan memaklumimu.”
Jihan diam saja.
“Ini kan malam minggu. Kau masih muda. Kau tidak ingin seperti sepasang kekasih lainnya, menghabiskan malam minggu bersama?”
Jihan berhenti. Juna berhenti mendadak. Jihan memincingkan matanya.
“Apa maksudmu? Menghabiskan malam minggu bersama?”
“Hey, kau jangan berpikiran negatif tentang aku. Aku bukan laki-laki jorok. Aku hanya ingin pergi bersamamu. Tidak sampai malamnya habis juga. Itu hanya istilah. Mungkin kita bisa pergi ke bioskop, makan malam atau…”
“Kau tidak biasanya seperti ini.”
“Kenapa?” Juna bingung dicurigai Jihan. “Hey, dengar ya! Sudah lima bulan kita pacaran…”
Satria kebetulan lewat. Ia mendengar kalimat Juna. Ia berhenti sejenak di balik tembok.
“…tapi kita tidak pernah pergi bersama. Aku menjemputmu lalu mengantarmu ke tempat kerja. Lalu mengantarmu pulang lagi. Hanya itu? Sebenarnya aku ini pacarmu atau supir pribadimu?”
Jihan terperangah. “Aku tidak memintamu, kenapa kau mengungkitnya? Lagi pula, bukannya kau sendiri sedang sibuk dengan skripsimu? Aku juga tidak akan mengganggumu.”
“Ini bukan soal mengungkit. Kau benar, aku memang sibuk. Karena itu kusempatkan diri mengajakmu pergi. Harusnya kau tahu. Sekali-sekali kita perlu pergi bersama dan bersenang-senang.”
“Bersenang-senang?” Jihan kembali memincingkan matanya.
“Argh! Kau ini punya perasaan tidak?” Juna keceplosan. Ia membahas perasaan yang menjadi gengsinya. “Maksudku…apa kau tidak bosan?”
Jihan diam memandang Juna. Juna diam menunggu respon Jihan. Satria menunggu di sisi lain.
Jihan merebut kembali bukunya. “Aku sedang berusaha keras sampai aku lulus nanti. Aku tidak ingin main-main. Aku sudah berjanji pada nenek, akan pulang dengan berhasil.”
Jihan kembali berjalan mengacuhkan Juna. Satria membalikkan tubuhnya.
“Aku juga serius. Aku serius denganmu.” kata Juna.
Seorang perempuan menggingit jari mendengarnya.
“Aku serius, kau sangat membuatku pusing.” Juna menyusul.
Satria keluar dari persembunyian dan memperhatikan Jihan-Juna.
“Kau tahu, bukan hanya kau yang menyukaiku.”
“Menyukaimu?” Jihan melotot seolah hanya dia yang merasakannya. “Apa tidak keliru? Bukankah kau yang menyukaiku?”
“Kau tidak khawatir kalau ada yang mengajakku pergi?” Juna memasang senyum sombong.
Jihan berhenti. Ia melihat kesombongan Juna dengan ekspresi mengancam. Memang benar, tidak hanya Jihan yang menyukai Juna. Meski ia tahu Juna tidak akan menerima ajakan seperti yang Juna gambarkan, tapi hati kecilnya tetap merasa khawatir. Jika ia terus begitu, mungkin Juna bisa bosan terhadapnya dan menganggap Jihan hanya bermain-main. Bahkan Juna akan berpikir Jihan tidak benar-benar menyukainya hingga tidak pernah mau pergi bersama.
Jihan murung. Kemudian dilihatnya Juna sekali lagi. Di sekelilingnya pula. Ada beberapa pasangan sedang berjalan bersama, bergandengan tangan bahkan ada yang merangkul sambil tertawa. Pasti mereka akan bermalam minggu. Lalu bagaimana dengan pekerjaannya?
“Hmh. Baiklah, karena kau memaksa maka aku akan bolos hari ini untukmu. Tapi kalau kau berbuat macam-macam dan tidak membuatku senang, kau dalam masalah.” Jihan tersenyum.
“Tenang saja. Kau tidak akan menyesal.” Juna pergi.
Jihan pergi ke bioskop dengan Juna. Mereka berbeda tujuan. Jihan ingin melihat film romantis yang menguras air mata sementara Juna ingin menonton film komedi. Akhirnya mereka menonton dua film secara bergantian.
Di film pertama, Jihan menitikkan air mata menghayati cerita film. Juna menguap berkali-kali. Ia merasa bosan dan mengantuk. Camilan Jihan bahkan sudah dihabiskan Juna sendirian untuk mengusir kejenuhan.
Film selesai. Menunggu film kedua di studio berbeda, Juna mengajak Jihan makan di sebuah restoran masakan jepang cepat saji. Jihan kesulitan menggunakan sumpit. Juna mentertawainya. Jihan menyerah, ia menggunakan sendok. Tanpa disadari, Juna memperhatikan Jihan makan. Juna senyum-senyum. Jihan sangat menikmati makanannya.
Makan selesai. Mereka kembali ke studio. Film baru saja dimulai. Sebuah film asal amerika bergenre komedi. Juna yang fasih berbahasa inggris sangat menikmati filmnya. Ia tertawa bersama segenap penonton. Jihan sedikit tertawa karena hanya mengandalkan translate.
Jihan melempar pandang ke sudut lain. Ups! Jihan memergoki sepasang kekasih yang sedang bermesraan. Ia melirik Juna. Juna  sedang tertawa sambil mengunyah popcorn.
“Semoga Juna tidak sengaja membawaku ke bioskop untuk bermesraan seperti orang itu.”
“Kenapa?” Juna menoleh ke arah Jihan.
Jihan menggeleng seraya mencomot popcorn Juna. Juna kembali asik menonton. Film selesai.
“Nah, sekarang kita mau kemana lagi?” tanya Juna setelah keluar dari studio.
“Aku mau pulang saja.” Jihan terlihat kelelahan.
“Heu? Pulang?” Juna melirik jam tangannya. “Ini masih jam delapan malam.”
“Memangnya masih ada tempat hiburan yang buka jam segini?”
Juna tertawa. “Kau lucu sekali. Di Jakarta, segala tempat hiburan bisa sepanjang malam.”
“Maksudmu diskotik?”
“Salah satunya.”
“Apa kau berniat mengajakku ke sana?” Jihan memincingkan matanya.
“Hm?” Juna mengernyitkan dahi. “Tidak.”
“Lalu?”
“Aku tidak suka pergi ke tempat seperti itu. Terlalu berisik. Terlalu ramai. Terlalu sumpek dan bau. Pencahayaannya bisa membuatku pusing dan mual.” Juna kembali berjalan santai.
Jihan mengikuti di sebelahnya, sedikit tertinggal. “Apa kau pernah ke sana?”
“Pernah. Sekali. Waktu SMA, diajak Gilang. Hanya sebentar karena aku tidak suka suasananya.”
“Kau tidak akan mengajakku ke tempat yang aneh-aneh, kan?”
“Aneh bagaimana?” Juna mengaruk telinganya yang tidak gatal. “Aku tidak akan membawa pengaruh buruk untukmu.”
Jihan tersenyum mengikuti.
“Itulah perlunya kita pergi bersama. Di tempat yang bisa dikatakan umum, akan terlihat seperti apa dirimu. Dengan sendirinya kau akan tahu karakter pasanganmu, apa kesukaannya dan lain-lain.”
Jihan diam mengekor. Sebuah senyum mengembang di bibirnya. Ia memandangi bahu Juna yang kekar karena terlalu tinggi untuk melihat wajahnya.
“Lalu, kita mau kemana lagi?”
“Makan.”
“Makan lagi? Dua jam lalu kita baru saja makan sepuasnya.”
“Aku mudah lapar. Kalau kau tidak mau ya sudah, aku saja.” Juna mempercepat jalannya.
“Eh, iya. Aku mau!” Jihan menyusul.
Mereka makan di sebuah kedai kopi yang full music. Suasananya tenang dan sedikit redup.
Juna melahap banana cake kesukaannya. Di sebelahnya segelas mocachino panas dan masih mengepul. Jihan hanya makan pudding coklat dan mocachino ice-nya.
“Tempat ini bagus. Makanannya enak. Suasananya tenang. Apa kau suka ke sini?” Jihan membuka obrolan.
Juna meneguk minumannya. “Aku dan teman-temanku.”
Jihan lebih banyak diam. Sebenarnya ia mulai merasa canggung. Ini pertama kalinya ia duduk berhadapan dengan Juna dalam waktu yang lama. Ia bingung harus bicara soal apa.
Juna sendiri juga lebih banyak diam. Ia terlihat sangat menikmati dengan santai makanannya. Semakin Juna diam, semakin Jihan canggung. Mendadak Jihan merasa sedikit gemetar. Ada getaran halus yang semakin memburu di dadanya. Jihan gelisah dan sedikit sakit leher. Ia serba salah harus memandang ke arah mana. Memandang lurus, ada Juna. Ia takut dikira sengaja memandang Juna. Jihan mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya. Juna masih tenang menyeruput minumannya.
“Kau sudah bosan?” tanya Juna.
“Hm?” Jihan terkejut.
“Kau kenapa?” Juna memandang menyelidik.
Jihan merasakan hawa panas di wajahnya. Ia merasa sangat canggung.
“Mukamu memerah.” Juna semakin menegaskan pandangannya.
Jihan meraba kedua pipinya. Ia merunduk. “Masak?”
Juna tersenyum. “Kau malu padaku, ya?”
“K-kenapa harus malu?” Jihan sedikit terbata.
“Aku senang melihatmu seperti itu. Kau terlihat lucu dan aneh.”
Jihan merengut. “Kau mengerjaiku, ya?”
“Tidak. Untuk apa?” Juna melahap kue-nya lagi.
“Sembilan jam di kampus, aku hanya bisa bertemu dua jam denganmu. Saat datang dan pulang. Kalau kebetulan, kita bisa bertemu di kantin atau berpapasan di jalan. Aku tidak bisa melihatmu lebih dekat. Hari ini aku puas. Aku sengaja membawamu ke tempat yang kau tidak akan bisa leluasa mengalihkan pandangan dariku. Aku bisa melihat sikap aslimu saat hanya bersamaku. Kau benar-benar terlihat lucu dan aneh.”
Juna senyum-senyum di balik cangkir minumannya. Ia memang sengaja mengerjai Jihan.
“Nah, aku sudah selesai. Ayo kita pulang!” Juna mengambil jaketnya.
Jihan menghela napas. Satu jam ia tersiksa. Lehernya terasa kaku karena harus melarikan diri dari pandangan frontal dengan Juna.

Jam sepuluh malam. Jihan tiba di rumah diantar Juna.  Jihan turun dari motornya. Ia sedikit mengantuk karena perjalanan pulang yang santai dan sejuk angin malam.
“Terima kasih. Tapi maaf, aku tidak bisa menawarimu masuk. Ini sudah malam. Aku bisa dipukul Bibi kalau membawa masuk laki-laki malam hari begini.” Jihan menarik tali ranselnya.
Juna membuka kaca helmnya. “Tidak apa-apa. Ini sudah terlalu malam. Sudah sana masuk.”
“Hm!” Jihan mengangguk.
Juna masih di tempat dengan motor masih menyala. Jihan juga masih berdiri di tempat.
“Tunggu apa lagi? Ayo sana masuk!” titah Juna.
“He? Aku menunggumu pulang. Kau sendiri tunggu apa lagi?” Jihan balik bertanya.
“Aku harus memastikanmu benar-benar masuk ke rumah. Sudah sana, cepat!”
Jihan manyun. “Baiklah. Lihat aku, ya!”
Jihan berbalik dan berjalan memasuki halaman rumah Bibi. Juna tersenyum di balik helmnya. Bagi Juna, Jihan terlihat sangat lucu dan aneh. Juna menutup kaca helmnya setelah Jihan masuk dan menutup pintu. Juna memacu motornya dan pergi. Jihan mengintip di balik jendela. Ia tersenyum sendiri. Ini pertama kalinya Jihan pergi berkencan dengan seorang laki-laki. Apalagi dengan laki-laki yang ia suka dan sudah menjadi pacarnya.
“Darimana kau?” Anggi tiba-tiba muncul mengejutkan Jihan.
“Huh, kau mengagetkan saja!” Jihan merebahkan diri di sofa ruang tamu.
Anggi duduk di sebelah Jihan. Ia mengenakan piyama lengkap dengan sandalnya.
“Kalian berkencan?” tanya Anggi.
Jihan mengangguk. “Untuk pertama kalinya.”
“Aku tidak cemburu. Aku sudah pernah berkencan dengan Juna sebelum kau.”
Jihan mengulum bibir.
“Lagi pula. Aku sudah berjanji tidak akan kecewa. Aku sudah menyerah sejak lama.”
Jihan mendengarkan.
“Aku benar, kan? Sudah kuduga Juna menyukaimu.”
“Eh? Bagaimana?”
“Waktu aku berkencan dengannya. Sikapnya biasa saja. Dia banyak diam. Aku kehabisan bahan obrolan. Lalu kutanya soal dirimu. Aku ingin tahu darinya soal ceritamu waktu kalian masih anak-anak itu.”
“Lalu?”
“Aku cemburu lalu sedih karena ternyata aku hanya orang ketiga yang hadir diantara kalian.”
“Ma-maafkan aku, tapi aku tidak mengerti…”
“Tidak apa-apa. Aku tahu dirimu. Aku hanya kesal kau tidak menyadarinya sejak lama. Juna sangat menyukaimu, hanya saja dia tidak ingin mengacaukanmu. Jadi dia tidak mengatakannya atau berusaha meraih simpatimu.”
“Benarkah?”
“Saat itu kau sedang dekat dengan Satria. Lagi pula semua orang tahu kau dan Juna bermusuhan. Akan aneh jika tiba-tiba Juna mendekatimu. Kau pasti akan menganggapnya berpura-pura. Aku rasa, dia pria baik-baik.”
“Oya? Bagaimana kau bisa tahu?”
“Kudengar, semua perempuan yang pernah menjadi pacarnya Juna hanya bertahan selama enam bulan. Karena Juna hanya main-main dan sebagai trend saja.”
“Itu jahat namanya!”
“Memang. Tapi tahu tidak, bahwa semua mantan pacarnya ternyata tidak pernah pergi berkencan bersama selain pergi ke kampus saja?”
“Hah?” Jihan tidak percaya.
“Perempuan-perempuan itu kelas atas. Cantik seperti model dan kaya. Mereka juga menerima Juna pasti karena dia kaya dan tampan. Hanya untuk menopang pamor mereka saja. Salah seorang mantannya pernah bilang, Juna homo. Karena selama mereka pacaran, Juna tidak pernah menggandeng tangannya bahkan menciumnya!”
“Owh…!!” Jihan menyeringai.
“Lalu mantannya yang lain juga mengatakan hal yang sama. Mencurigai Juna homo dan hanya menjadikan mereka alasan bahwa Juna laki-laki normal. Bayangkan saja, ada mantannya yang bilang bahwa dia pernah memakai pakaian minim tapi Juna tidak merespon sama sekali. Dia malah melempar jaket lalu memutuskan hubungan.”
Jihan tertawa miris.
“Lalu, setelah lima bulan kalian pacaran, apa kalian sudah pernah berciuman?”
“Apa??” Jihan terperanjat. Ia teringat kejadian di bioskop tadi. Ia buru-buru menggeleng.
“Benarkah?” Anggi memburu. “Jika benar, kau harus khawatir.”
“Kh-khawatir kenapa?”
“Juna homo!”
“Tidak! Juna tidak seperti itu. Dia memang pria baik-baik. Dia tidak suka diskotik. Bahkan saat di bioskop pun dia tidak mencari kesempatan mojok. Dia pernah menarik tanganku. Aku…aku…”
“Apa??”
“Aku…” Jihan teringat kejadian di cafe tadi. Ia merasa Juna memperhatikannya. “Kau benar. Dia…”
Anggi melotot melihat Jihan yang tersenyum. “Dia homo??”
“Tidak. Dia menyukaiku!” Jihan berdiri.

“Kau sengaja mengajakku ke cafe itu, kan?”
Sebuah pesan masuk ke ponsel Juna. Juna baru selesai mandi dan sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia tertawa membaca pesan dari Jihan.
“Kenapa?”
“Kau mencuri pandang dariku, ya?”
Juna tertawa lagi. “Bagaimana caranya?”
“Di tempat yang tenang, dimana kau bisa merasa private tapi di tempat umum. Kau akan membuatku salah tingkah dan kau bisa memperhatikan aku!”
Juna mengirim emoticon tertawa. Jihan manyun membacanya.
“Kalau kau tahu, kenapa tidak kau balas melihatku?”
Jihan terbelalak membacanya.
“Iya. Aku mengerjaimu. Hari ini aku puas bisa melihatmu dari dekat dan lama. Kau lucu sekali. Terlihat gugup dan salah tingkah. Apa aku membuatmu gemetar?”
Jihan kesal. Ia mengirim emoticon marah. Jihan mematikan teleponnya. Dengan perasaan kesal, Jihan menutup selimut lalu tidur.

Pagi hari. Juna menjemput Jihan seperti biasa. Jihan sudah menunggunya di halaman rumah. Dengan malas Jihan menghampiri Juna.
“Kau kenapa?” tanya Juna membuka kaca helmnya.
“Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit ingin tahu.” Jihan terlihat lesu.
“Kenapa?”
“Ihk, kau ini! Sudah kubilang aku tidak apa-apa.”
“Maksudku, kenapa kau tidak segera naik. Cepat sedikit!” Juna menutup kaca helmnya.
“Isz!” Jihan mencibir. Jihan lalu naik ke motor.
Juna memacu motornya. Jihan diam saja sepanjang perjalanan.

“Kau ingin tahu soal apa?” tanya Juna sesampainya di kampus. Juna melepas helmnya.
“Kenapa kau ingin tahu soal itu?” Jihan merapikan sweaternya.
“Kau sedang bermain-main denganku, ya?” Juna turun dari motor.
Jihan manyun. “Sejak kapan kau menyukaiku?”
Mata Juna melebar. Ia lalu tertawa kecil. “Pertanyaan macam apa? Itu terkesan menyudutkan.”
Juna pergi. Jihan menghentakkan kakinya lalu menyusul. “Aku hanya ingin tahu. Apa tidak  boleh?”
Juna berhenti dan berbalik. “Baik. Setelah aku tahu jawabanmu jika aku bertanya seperti itu.”
“A-aku…aku…” Jihan sedang berpikir.
“Tidak tahu kapan persisnya, ya?” Juna menyela.
Jihan manyun.
“Hari ini aku akan mengantarmu bekerja lalu menjemputmu pulang kerja. Sudah sana ke kelas. Sampai bertemu pulang nanti.” Juna pergi begitu saja.
Jihan masih manyun. Ia memandangi kepergian Juna sebelum akhirnya ia juga pergi.

 Bersambung ke Chapter 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya