Mozarella Cake - Chapter 12
Chapter
12
Pilihan
Untuk Menyenangkan Hati
Lanjutan Dari Chapter 11
Jihan di kamar.
Sudah rapi dengan pakaian yang lebih bagus dan feminim dari biasanya. Dengan make-up sederhana dan segar. Ia
termenung di depan cermin. Ia terus teringat kejadian pagi tadi di kampus.
Anggi masuk
tanpa mengetuk pintu. Ia lalu duduk di sebelah Jihan. “Kau belum berangkat?”
Jihan diam
sesaat. Ia menghela napas. “Entahlah. Aku mendadak tidak bersemangat.”
“Eh? Kenapa?” Anggi
penasaran. “Kau sudah cantik. Kau tidak perlu rendah diri lagi, Satria sudah
pasti menyukaimu. Dia tidak akan seperti Raffi. Bukankah kau juga menyukainya?”
Jihan melirik Anggi.
“Kau…kenapa mundur untuk mendekati Juna?”
Anggi merengut.
“Aku…merasa tidak memiliki sesuatu yang kuat sepertimu.”
“Apa?”
“Entahlah. Aku
hanya merasa pihak ketiga dan aku terlambat.”
“Maksudmu?”
“Ahk, sudahlah.
Nanti kau terlambat. Ayo berangkat!” Anggi menarik tangan Jihan.
Di sebuah café
dengan suasana romantis. Jihan terlambat lima belas menit dari waktu yang
dijanjikan. Jihan memasuki café itu semakin dalam dan mencari Satria.
Suasananya agak remang dan Jihan agak kesulitan. Seseorang melambaikan
tangannya. Jihan memperhatikan. Ternyata Satria sudah di sana. Jihan menghampiri
Satria.
“Maaf terlambat,
Kak!” Jihan tersenyum. “Kau pasti sudah lama menunggu.”
Satria
tersenyum. “Tidak juga. Berapa pun lamanya kau terlambat aku akan menunggumu
sampai datang.”
Jihan tersipu.
Satria mempersilahkan duduk. Keduanya duduk berhadapan.
“Aku…mendadak
sakit perut dan kepalaku pusing.” kata Jihan.
“Hm? Kenapa kau
tidak mengabariku? Kalau tahu begitu, kita batalkan saja.”
“Tidak usah, Ka.
Aku hanya…” Jihan merunduk. “Aku gugup.”
Satria tertawa.
“Ini pertama
kalinya aku pergi ke sebuah tempat bersama seorang laki-laki. Maksudku, ini
seperti berkencan. Aku gugup. Aku bingung harus seperti apa.”
“Tidak usah
begitu. Aku suka kau apa adanya.”
Jihan mengangkat
kepalanya. Ia menatap Satria.
“Kau harus jadi
dirimu sendiri.” kata Satria.
“Iya, baiklah.” Jihan
tersenyum. “Tapi tetap saja, aku terlalu gugup. Aku terlalu tidak sabar dan
antusias dengan undanganmu, Kak. Jantungku berdegup dua kali lebih cepat setiap
mengingat ini. Saking gugupnya, sampai-sampai perutku sakit dan kepalaku pusing.”
Satria tertawa.
“Kau polos sekali.”
“Aku tidak
polos. Aku hanya berkata apa adanya.”
“Baiklah. Kau
mau pesan apa? Aku yang traktir.”
“Apa Kakak sudah
lapar?”
“Kenapa?”
“Aku belum lapar.
Aku hanya sedikit haus.”
“Baiklah. Kita pesan
minuman saja dulu.”
Jihan tersenyum.
Ia memandang berkeliling sementara Satria memesan minuman. Sebuah pesan masuk
ke ponselnya : SEMANGAT!!!
Anggi
mengiriminya pesan. Jihan tersenyum. Dulu ketika ia berhasil membuat Juna mau
berkencan dengan Anggi, Jihan juga mengiriminya pesan yang sama. Tiba-tiba Jihan
teringat sesuatu.
“Kau naik apa ke
sini? Harusnya, tadi kujemput saja.” kata Satria.
Jihan tertunduk.
Satria
memperhatikan Jihan yang agak murung. Padahal musik di café itu sangat romantis
dan tenang. Tapi Jihan seperti sedang memikirkan sesuatu di luar sana. Jihan
terlihat sangat terganggu.
Jihan teringat
kalimat Argha siang tadi : Tapi kau akan
lihat sendiri bedanya. Jika kau mau tahu seperti apa, tunggulah di rumah malam
ini jam sembilan malam.
“Apa yang akan dia lakukan? Apa yang akan terjadi?” Jihan berpikir keras.
“Jihan…” Satria memanggil
Jihan.
Jihan mendadak
terngiang kalimat Anggi :
“Entahlah. Aku hanya merasa pihak ketiga dan aku
terlambat.”
“Kenapa kau tidak bilang padaku bahwa kalian sudah
saling kenal sejak lama? Aku merasa seperti parasit.”
“Aku tidak mengerti ada apa. Aku hanya merasa terjadi
sesuatu sejak dulu dan aku tidak bisa mengakumulasi waktu dalam sekali kencan.”
Kemudian
kalimat-kalimat Feni :
“Apa aku juga harus menyirammu dengan air seperti saat
pertama kau bertemu Jihan?”
“Apa yang harus aku lakukan agar kau bisa menyukaiku?”
“Apa yang terjadi antara kau dan Jihan, kenapa kalian
seperti memiliki ikatan yang tidak kumengerti? Apa itu? Jelaskan padaku?”
“Jihan, apa kau
masih sakit?” Satria mencondongkan tubuhnya ke arah Jihan.
Jihan tersentak.
Ia seperti terkejut bangun dari lamunan flashback-nya.
“Kau baik-baik
saja?” tanya Satria.
“Aku…” Jihan
melirik jam di tangannya. Dua puluh menit menjelang jam sembilan malam.
“Kulihat kau
sedang tidak baik.”
“Aku baik-baik
saja. Aku hanya…”
“Baiklah. Kita
tidak akan lama-lama di sini,” Satria kembali ke posisi normalnya. “Sebenarnya
aku sudah merencanakan ini. Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu.”
Jihan diam
mendengarkan.
“Jihan,
sebenarnya aku ingin kau…”
Jihan tiba-tiba
berdiri. “Kak, maaf. Aku harus segera pulang.”
“A-apa? Kenapa
tiba-tiba?”
Jihan merapatkan
telapak tangannya dan mendekatkannya di dada. “Maaf. Maaf. Maaf”
Satria yang
terkejut bingung tidak mengerti ada apa lalu tersenyum memaklumi. Jihan berlari
ke luar café. Ia menyetop sebuah taksi dan segera pulang. Satria memperhatikan Jihan
di kejauhan.
Taksi berhenti
di depan rumah Jihan. Jihan keluar dan memperhatikan sekelilingnya. Taksi
pergi. Jihan berputar mencari sesuatu. Jihan berjalan perlahan ke rumah. Ia
membuka pintu rumahnya.
“Tuhan. Aku bersalah. Aku bersalah pada banyak orang.
Aku menjauh dari sesuatu yang hatiku menuju ke sana. Aku tersiksa karena
melawannya. Kali ini, aku ingin tidak perduli. Tidak perduli tidak tahu malu
atau tidak tahu diri, aku ingin sekali ini saja membahagiakan hatiku.
Melepaskan diri dari rasa bersalah dan memiliki sesuatu yang kusukai. Semoga
aku tidak terlambat.”
Jihan kembali
memandang sekeliling sebelum akhirnya masuk dan menutup pintu.
Beberapa detik
kemudian. Juna tiba di depan rumah Jihan. Ia membuka helmnya lalu berlari
menuju pintu rumah Jihan. Ia mengetuk pintu tiga kali. Sepi.
Diketuk lagi.
Tidak ada respon. Karena tidak sabar, Juna mengetuk pintu berkali-kali dan agak
keras. Juna masih berusaha mengetuk. Tangannya mendadak tidak menyentuh daun
pintu.
Pintu terbuka. Juna
terkejut. Tangannya berhenti di udara dengan posisi mengetuk.
“Kenapa kau
ini?” Jihan muncul.
“A-aku…” Juna
terbata. Juna menurunkan tangannya. “Kau mau kemana?”
“Hm?” Jihan
memperhatikan dirinya dari bawah. Ia belum berganti pakaian.
“Apa kau
baik-baik saja?”
“A-apa?” Jihan
bingung dengan pertanyaan Juna. Ia kembali memperhatikan dirinya. Semuanya
baik.
Juna megeluarkan
ekspresi bingung. Sedetik kemudian ia tertawa kecil. “Aku dipermainkan rupanya.
Argha bilang kau mengalami kecelakaan di jalan dekat rumahmu dan tidak ada yang
mengantarmu ke rumah sakit jadi kau di rumah saja menunggu bibimu datang.”
Jihan
memperhatikan Juna tanpa komentar.
“Hah! Baiklah,
maaf mengganggu.” Juna berbalik dan beranjak pergi.
“Juna!” baru
tiga langkah, Jihan memanggilnya.
Juna berhenti.
“Apa aku boleh
bertanya sesuatu padamu?” kata Jihan.
Juna berbalik. “Apa?”
Juna balik bertanya.
“Apa…yang
dikatakan teman-temanmu benar?”
“Hm?” alis Juna
meninggi. “Soal apa?”
“Apa kau…” Jihan
kelihatan bingung. “Maksudku, apa benar kau…”
“Kau ini bicara
apa sih? Kalau bicara itu yang jelas! Seperti anak kecil saja.”
“Baik, baik.
Dengar, yah!” Jihan terlihat tidak suka. “Bisa tidak kau serius sedikit saja?”
“Kenapa?”
“Bisa tidak kau
tidak menyebalkan?”
“Soal apa?”
“Kalau kau
menyebalkan dan tidak serius seperti itu, bagaimana aku tahu?”
“Tahu apa?”
“Apa kau
benar-benar menyukaiku?”
“A-apa?” Juna
terkejut.
“Bisa tidak kau
tidak mempermainkan aku?”
Juna diam
memperhatikan Jihan yang bicara sedikit tertahan.
“Kalau ini tidak
benar, tidak apa-apa. Anggap saja aku tidak pernah mengatakannya padamu.”
Juna masih diam.
Juna memasukkan kedua tangannya ke saku jaket.
“Kalau kau
benar-benar menyukaiku, kenapa tidak kau katakan saja? Ini membuatku bingung,
teman-temanmu bilang kau menyukaiku.”
“Lalu?”
“Kau tidak
terlihat seperti orang yang menyukaiku,” Jihan manyun. “kau tidak serius dan
menyebalkan. Kau juga seorang playboy.”
Juna menarik
napas dalam-dalam.
“Kau suka
mempermainkan perempuan. Kau hanya memacari mereka selama enam bulan. Selalu
bergonta-ganti. Dan bodohnya mereka, sudah tahu kau seperti itu, masih saja
jatuh korban.”
Juna menutup
mulutnya lalu tertawa dibaliknya.
“Aku tidak akan
menerimamu karena kau seorang playboy.”
“Lalu kenapa kau
membahasnya?”
“Aku tidak akan
menerimamu karena kau tidak pernah serius.”
Juna diam.
“Aku tidak akan
menerimamu karena kau hanya mempermainkan aku.”
Juna masih diam.
Jihan ikut diam. Keduanya terdiam cukup lama.
Juna menghela
napas panjang, “Baiklah. Aku tidak akan mengulanginya, jadi dengarkan
baik-baik.”
Jihan menunggu.
“Iya. Aku
menyukaimu. Eh, tidak!”
Jihan melotot.
“Aku tidak
menyukaimu. Aku hanya benar-benar menyukaimu. Apa itu yang mau kau dengar?”
“Hah…sudah kuduga
kau tidak akan pernah serius.”
“Aku serius. Aku
tidak main-main. Aku benar-benar menyukaimu. Aku tidak akan mempermainkanmu.”
Jihan diam
mencoba menyelami kedalaman tatapan Juna. “Benarkah? Selama enam bulan?”
“Apa?”
“Kau sudah
menentukan selama enam bulan bukan?”
“Sebenarnya kau
ingin aku mengatakan apa, sih?”
“Aku mau kau
berjanji, bahwa ini serius. Bahwa kau tidak akan mempermainkan aku. Kalau kau
berani mempermainkan aku, aku bersumpah akan membuat tidurmu tidak pernah
nyaman.”
Juna merunduk
dan tertawa. “Memang kenapa? Kau merampas bantalku? Atau kau merobek-robek
selimutku?”
Jihan mencopot
sandalnya lalu melemparnya ke arah Juna. Dengan sigap Juna menghindar.
“Apa kau mau kuingatkan bagimana kita dulu
bermusuhan?” omel Jihan.
Juna masih dalam
posisi miring menghindari serangan Jihan.
“Kau ini sadis
sekali.” Juna meluruskan posisi. “Iya aku berjanji, bahkan kupastikan kau akan
menjadi pengantin sungguhanku suatu hari nanti.”
Jihan terkejut
mendengarnya dan disusul senyum. Ia buru-buru merubah ekspresinya menjadi
seolah biasa saja. “Sudah sana pulang! Aku mau tidur. Kau menggangguku!” Jihan
berbalik dan hendak masuk.
“Hey, tunggu!” Juna
menahannya.
“Ada apa lagi?”
“Apa-apaan kau
ini?” Juna mendekati Jihan. “Aku tidak akan menjalin hubungan dengan orang yang
tidak menyukaiku.”
“Lalu?”
“Enak saja kau
ini. Aku juga perlu tahu, kau menyukaiku atau tidak.”
“Itu tidak
penting.” Jihan berbalik lagi.
Juna menarik
tangan Jihan. “Bukankah sudah kukatakan aku tidak akan menjalin hubungan dengan
orang yang tidak menyukaiku?”
Jihan
mengeluarkan ekspresi tidak suka. Ia menginjak kaki Juna. Juna memekik
kesakitan.
“Kau ini
benar-benar tidak romantis. Kau ini tidak mengerti atau pura-pura, sih? Aku ini
perempuan! Tidak mudah bagiku untuk mengatakan aku menyukaimu!”
“Apa yang salah?
Memangnya tidak boleh seorang perempuan menyukai laki-laki?
“Itu membuatku
terasa konyol dan sama bodohnya dengan perempuan di kampus yang menyukaimu
tanpa alasan yang jelas!” Jihan langsung masuk dan membanting pintu menutupnya.
Juna
cengengesan. “Kalau begitu aku ingin tahu alasanmu kalau kau punya alasan!”
teriak Juna dibalik pintu.
Jihan malu.
Wajahnya memerah padam. Jihan berlari ke kamarnya, menutup pintu dan mematikan
lampu.
Anggi muncul di
balik sofa. Ia bersembunyi di sana dan menyimak percakapan Juna-Jihan barusan.
“Yang tidak romantis
itu dirimu, Jihan.” Anggi mencibir. “Harusnya kau biarkan Juna memelukmu
seperti adegan roamtis drama korea. Dasar bodoh.”
Juna memakai
helmnya. Dipandanginya sejenak jendela kamar Jihan di lantai dua. Juna pergi
dengan motornya. Anggi menutup tirai jendela ruang tamu tempat ia mengintip
kepergian Juna.
“Hah…habislah
sudah pria tampan di dunia ini.” Anggi berjalan lesu ke kamarnya. “Sepupuku Jihan
memang payah. Dia benar-benar tidak tahu kalau Juna menyukainya.”
Pagi hari. Bibi
baru saja berangkat bekerja. Tidak lama terdengar pintu diketuk seseorang. Anggi
yang sedang memasak telur mata sapi bingung.
“Untuk apa Ibu
kembali?” Anggi mematikan kompor dan menuju pintu. “J-Juna!!”
“Apa sepupumu Si
Tukang Tidur masih mengukur kasur?” tanya Juna.
“Di-dia…dia.
Sebentar kupanggilkan. Apa kau mau masuk dulu?”
“Tidak usah. Aku
tunggu di sini.”
“Baiklah.” Anggi
pergi ke kamar Jihan.
Anggi
menggedor-gedor pintu kamar Jihan. Membuat gaduh dan membangunkan Jihan. Jihan
membuka pintu kamarnya. Masih dengan piyama dan rambut berantakan.
“Ada apa, sih? Mengganggu
saja!” omel Jihan.
“Juna di depan.
Dia mencarimu!” kata Anggi.
“Apa??” Jihan
terbelalak. “Mau apa dia?”
“Entahlah. Sebaiknya
cepat temui dia!” Anggi menarik Jihan keluar kamar lalu mendorongnya untuk
turun.
“Aduh…kau tidak
lihat aku seperti apa?” Jihan menahan diri. “Ini memalukan kalau aku bertemu
dalam keadaan seperti ini.”
“Biar saja.
Kalau dia mencintaimu, dia akan menerimamu apa pun keadaanmu.” Anggi mendorong Jihan
lagi.
Jihan terpaksa
turun. Ia merapikan rambutnya dan menemui Juna. “Ada apa?”
Juna
memperhatikan Jihan dari ujung kaki hingga ke kepala. Ia melirik jam tangannya.
“Kau baru bangun?”
“Tidak. Aku
tidur lagi.”
“Dasar tukang
tidur. Kau banyak alasan. Cepatlah mandi dan bersiap-siap. Jangan temui aku
sebelum kau benar-benar rapi.” Omel Juna. “Ayo, sana!”
Jihan mencibir.
“Baiklah. Jadi kau ingin menjemputku…” kata Jihan sambil berlalu.
Jihan ke kampus
dengan Juna. Begitu mereka memasuki kawasan kampus, jutaan pasang mata memburu
mereka. Termasuk Feni yang belum keluar dari mobilnya di tempat parkir.
“Berikan
ponselmu!” pinta Juna. Ia melepas helm dan menaruhnya di stang motor.
“Untuk apa?” Jihan
membersihkan celananya yang sedikit berdebu.
“Berikan saja!”
Dengan manyun, Jihan
memberikan ponsel jadulnya. “Ini!”
Juna membongkar
ponsel Jihan. Ia mengambil SIM cardnya. Juna mengeluarkan ponsel lain dari saku
jaketnya. Kemudian memasangkan SIM card Jihan ke ponsel itu.
“Ini!” Juna
memberikan ponsel itu.
“Apa ini?” Jihan
bingung seraya menerimanya.
“Itu smartphone. Sudah ada GPS. Kau harus
selalu menyalakan ponsel itu. Kalau mati, kau tidak boleh membiarkannya mati
lebih dari satu menit.”
“Eh? Kenapa?”
“Nanti meledak!”
“Kau bercanda!”
“Sudah tahun
berapa ini, masih memakai ponsel biasa. Sekarang jamannya smartphone touchscreen. Ini! Berikan saja ini pada anak kecil
tetanggamu, mereka butuh mainan menarik.” Juna memberikan ponsel lama Jihan.
“Enak saja kau
bicara. Ini aku beli dengan gaji pertamaku dulu. Lagi pula, aku tidak mengerti
untuk apa kau mengganti ponselku seenakmu?”
“Karena kau
terlalu kecil, akan sulit mencarimu kalau hilang. Jadi aku perlu melacakmu
dengan GPS itu. Lagi pula apa istimewanya gaji pertama? Suatu saat akan ada
gaji ke sepuluh, seratus, bahkan seribu yang jauh lebih fantastis nilainya.”
“Tapi…sepertinya
ini mahal.” Jihan melihat-lihat ponsel itu.
“Memang. Jadi
kau harus menjaganya baik-baik.”
“Aku…tidak mau.”
Jihan menyodorkan ponsel itu pada Juna.
“Ng? Kenapa?”
“Aku takut
rusak. Aku takut merepotkanmu saja. Kalau rusak aku tidak bisa menggantinya.”
“Selama kau
tidak membantingnya, dia tidak akan rusak. Kalau terpaksa rusak, nanti kuganti
yang baru. Justru kalau kau tidak memakainya, kau akan merepotkanku.” Juna
mendorong ponsel itu ke arah Jihan lagi
“Tapi…apa tidak
apa-apa.”
“Ahk, kau
cerewet sekali. Sudah sana ke kelas.” Juna baru akan pergi.
Satria datang
dengan motornya. Ia membuka helm. “Jihan!”
Jihan tersentak.
Juna berhenti.
“Kau baik-baik
saja?” Satria turun dari motornya yang belum diparkir dengan baik.
“A-aku…aku
baik-baik saja.” Jihan memperhatikan Juna.
Juna mundur dan
berdiri di samping Jihan.
“Syukurlah. Aku
mencemaskanmu. Kau pulang tiba-tiba.” Satria tersenyum mengacuhkan Juna. “Makan
malam kita terpaksa batal.”
“Iya, maaf.” Jihan
berusaha tersenyum.
“Tidak apa-apa.
Nanti kujadwal ulang.”
“Kau jadwal
ulang apa maksudmu?” Juna sedikit terpancing.
Satria menoleh
sekali pada Juna lalu melihat Jihan lagi. “Apa kau pergi bersama Juna?”
Jihan mengangguk
sambil tertawa ringan. “Iya. Aku pergi bersama Juna. Aku baik-baik saja.
Mungkin kami akan sering pergi bersama. Maaf merepotkanmu.”
Satria diam
mengerti apa yang dimaksud Jihan. Bahwa mulai hari ini, Jihan sudah milik Juna.
Jihan mendorong Juna memberi isyarat untuk pergi. Juna pergi setelah sebelumnya
beradu tatap dengan Satria. Satria masih diam di tempatnya, setelah cukup lama,
Satria berbalik memperhatikan Juna-Jihan. Juna-Jihan terlihat saling mendorong
dan bercanda. Satria menghela napas lalu memindahkan motornya.
Bersambung ke Chapter 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar