18 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 12



Chapter 12
Pilihan Untuk Menyenangkan Hati

Lanjutan Dari Chapter 11

Jihan di kamar. Sudah rapi dengan pakaian yang lebih bagus dan feminim dari biasanya. Dengan make-up sederhana dan segar. Ia termenung di depan cermin. Ia terus teringat kejadian pagi tadi di kampus.
Anggi masuk tanpa mengetuk pintu. Ia lalu duduk di sebelah Jihan. “Kau belum berangkat?”
Jihan diam sesaat. Ia menghela napas. “Entahlah. Aku mendadak tidak bersemangat.”
“Eh? Kenapa?” Anggi penasaran. “Kau sudah cantik. Kau tidak perlu rendah diri lagi, Satria sudah pasti menyukaimu. Dia tidak akan seperti Raffi. Bukankah kau juga menyukainya?”
Jihan melirik Anggi. “Kau…kenapa mundur untuk mendekati Juna?”
Anggi merengut. “Aku…merasa tidak memiliki sesuatu yang kuat sepertimu.”
“Apa?”
“Entahlah. Aku hanya merasa pihak ketiga dan aku terlambat.”
“Maksudmu?”
“Ahk, sudahlah. Nanti kau terlambat. Ayo berangkat!” Anggi menarik tangan Jihan.

Di sebuah café dengan suasana romantis. Jihan terlambat lima belas menit dari waktu yang dijanjikan. Jihan memasuki café itu semakin dalam dan mencari Satria. Suasananya agak remang dan Jihan agak kesulitan. Seseorang melambaikan tangannya. Jihan memperhatikan. Ternyata Satria sudah di sana. Jihan menghampiri Satria.
“Maaf terlambat, Kak!” Jihan tersenyum. “Kau pasti sudah lama menunggu.”
Satria tersenyum. “Tidak juga. Berapa pun lamanya kau terlambat aku akan menunggumu sampai datang.”
Jihan tersipu. Satria mempersilahkan duduk. Keduanya duduk berhadapan.
“Aku…mendadak sakit perut dan kepalaku pusing.” kata Jihan.
“Hm? Kenapa kau tidak mengabariku? Kalau tahu begitu, kita batalkan saja.”
“Tidak usah, Ka. Aku hanya…” Jihan merunduk. “Aku gugup.”
Satria tertawa.
“Ini pertama kalinya aku pergi ke sebuah tempat bersama seorang laki-laki. Maksudku, ini seperti berkencan. Aku gugup. Aku bingung harus seperti apa.”
“Tidak usah begitu. Aku suka kau apa adanya.”
Jihan mengangkat kepalanya. Ia menatap Satria.
“Kau harus jadi dirimu sendiri.” kata Satria.
“Iya, baiklah.” Jihan tersenyum. “Tapi tetap saja, aku terlalu gugup. Aku terlalu tidak sabar dan antusias dengan undanganmu, Kak. Jantungku berdegup dua kali lebih cepat setiap mengingat ini. Saking gugupnya, sampai-sampai perutku sakit dan kepalaku pusing.”
Satria tertawa. “Kau polos sekali.”
“Aku tidak polos. Aku hanya berkata apa adanya.”
“Baiklah. Kau mau pesan apa? Aku yang traktir.”
“Apa Kakak sudah lapar?”
“Kenapa?”
“Aku belum lapar. Aku hanya sedikit haus.”
“Baiklah. Kita pesan minuman saja dulu.”
Jihan tersenyum. Ia memandang berkeliling sementara Satria memesan minuman. Sebuah pesan masuk ke ponselnya : SEMANGAT!!!
Anggi mengiriminya pesan. Jihan tersenyum. Dulu ketika ia berhasil membuat Juna mau berkencan dengan Anggi, Jihan juga mengiriminya pesan yang sama. Tiba-tiba Jihan teringat sesuatu.
“Kau naik apa ke sini? Harusnya, tadi kujemput saja.” kata Satria.
Jihan tertunduk.
Satria memperhatikan Jihan yang agak murung. Padahal musik di café itu sangat romantis dan tenang. Tapi Jihan seperti sedang memikirkan sesuatu di luar sana. Jihan terlihat sangat terganggu.
Jihan teringat kalimat Argha siang tadi : Tapi kau akan lihat sendiri bedanya. Jika kau mau tahu seperti apa, tunggulah di rumah malam ini jam sembilan malam.
“Apa yang akan dia lakukan? Apa yang akan terjadi?” Jihan berpikir keras.
“Jihan…” Satria memanggil Jihan.
Jihan mendadak terngiang kalimat Anggi :
“Entahlah. Aku hanya merasa pihak ketiga dan aku terlambat.”
“Kenapa kau tidak bilang padaku bahwa kalian sudah saling kenal sejak lama? Aku merasa seperti parasit.”
“Aku tidak mengerti ada apa. Aku hanya merasa terjadi sesuatu sejak dulu dan aku tidak bisa mengakumulasi waktu dalam sekali kencan.”
Kemudian kalimat-kalimat Feni :
“Apa aku juga harus menyirammu dengan air seperti saat pertama kau bertemu Jihan?”
“Apa yang harus aku lakukan agar kau bisa menyukaiku?”
“Apa yang terjadi antara kau dan Jihan, kenapa kalian seperti memiliki ikatan yang tidak kumengerti? Apa itu? Jelaskan padaku?”
“Jihan, apa kau masih sakit?” Satria mencondongkan tubuhnya ke arah Jihan.
Jihan tersentak. Ia seperti terkejut bangun dari lamunan flashback-nya.
“Kau baik-baik saja?” tanya Satria.
“Aku…” Jihan melirik jam di tangannya. Dua puluh menit menjelang jam sembilan malam.
“Kulihat kau sedang tidak baik.”
“Aku baik-baik saja. Aku hanya…”
“Baiklah. Kita tidak akan lama-lama di sini,” Satria kembali ke posisi normalnya. “Sebenarnya aku sudah merencanakan ini. Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu.”
Jihan diam mendengarkan.
“Jihan, sebenarnya aku ingin kau…”
Jihan tiba-tiba berdiri. “Kak, maaf. Aku harus segera pulang.”
“A-apa? Kenapa tiba-tiba?”
Jihan merapatkan telapak tangannya dan mendekatkannya di dada. “Maaf. Maaf. Maaf”
Satria yang terkejut bingung tidak mengerti ada apa lalu tersenyum memaklumi. Jihan berlari ke luar café. Ia menyetop sebuah taksi dan segera pulang. Satria memperhatikan Jihan di kejauhan.

Taksi berhenti di depan rumah Jihan. Jihan keluar dan memperhatikan sekelilingnya. Taksi pergi. Jihan berputar mencari sesuatu. Jihan berjalan perlahan ke rumah. Ia membuka pintu rumahnya.
“Tuhan. Aku bersalah. Aku bersalah pada banyak orang. Aku menjauh dari sesuatu yang hatiku menuju ke sana. Aku tersiksa karena melawannya. Kali ini, aku ingin tidak perduli. Tidak perduli tidak tahu malu atau tidak tahu diri, aku ingin sekali ini saja membahagiakan hatiku. Melepaskan diri dari rasa bersalah dan memiliki sesuatu yang kusukai. Semoga aku tidak terlambat.”
Jihan kembali memandang sekeliling sebelum akhirnya masuk dan menutup pintu.
Beberapa detik kemudian. Juna tiba di depan rumah Jihan. Ia membuka helmnya lalu berlari menuju pintu rumah Jihan. Ia mengetuk pintu tiga kali. Sepi.
Diketuk lagi. Tidak ada respon. Karena tidak sabar, Juna mengetuk pintu berkali-kali dan agak keras. Juna masih berusaha mengetuk. Tangannya mendadak tidak menyentuh daun pintu.
Pintu terbuka. Juna terkejut. Tangannya berhenti di udara dengan posisi mengetuk.
“Kenapa kau ini?” Jihan muncul.
“A-aku…” Juna terbata. Juna menurunkan tangannya. “Kau mau kemana?”
“Hm?” Jihan memperhatikan dirinya dari bawah. Ia belum berganti pakaian.
“Apa kau baik-baik saja?”
“A-apa?” Jihan bingung dengan pertanyaan Juna. Ia kembali memperhatikan dirinya. Semuanya baik.
Juna megeluarkan ekspresi bingung. Sedetik kemudian ia tertawa kecil. “Aku dipermainkan rupanya. Argha bilang kau mengalami kecelakaan di jalan dekat rumahmu dan tidak ada yang mengantarmu ke rumah sakit jadi kau di rumah saja menunggu bibimu datang.”
Jihan memperhatikan Juna tanpa komentar.
“Hah! Baiklah, maaf mengganggu.” Juna berbalik dan beranjak pergi.
“Juna!” baru tiga langkah, Jihan memanggilnya.
Juna berhenti.
“Apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?” kata Jihan.
Juna berbalik. “Apa?” Juna balik bertanya.
“Apa…yang dikatakan teman-temanmu benar?”
“Hm?” alis Juna meninggi. “Soal apa?”
“Apa kau…” Jihan kelihatan bingung. “Maksudku, apa benar kau…”
“Kau ini bicara apa sih? Kalau bicara itu yang jelas! Seperti anak kecil saja.”
“Baik, baik. Dengar, yah!” Jihan terlihat tidak suka. “Bisa tidak kau serius sedikit saja?”
“Kenapa?”
“Bisa tidak kau tidak menyebalkan?”
“Soal apa?”
“Kalau kau menyebalkan dan tidak serius seperti itu, bagaimana aku tahu?”
“Tahu apa?”
“Apa kau benar-benar menyukaiku?”
“A-apa?” Juna terkejut.
“Bisa tidak kau tidak mempermainkan aku?”
Juna diam memperhatikan Jihan yang bicara sedikit tertahan.
“Kalau ini tidak benar, tidak apa-apa. Anggap saja aku tidak pernah mengatakannya padamu.”
Juna masih diam. Juna memasukkan kedua tangannya ke saku jaket.
“Kalau kau benar-benar menyukaiku, kenapa tidak kau katakan saja? Ini membuatku bingung, teman-temanmu bilang kau menyukaiku.”
“Lalu?”
“Kau tidak terlihat seperti orang yang menyukaiku,” Jihan manyun. “kau tidak serius dan menyebalkan. Kau juga seorang playboy.”
Juna menarik napas dalam-dalam.
“Kau suka mempermainkan perempuan. Kau hanya memacari mereka selama enam bulan. Selalu bergonta-ganti. Dan bodohnya mereka, sudah tahu kau seperti itu, masih saja jatuh korban.”
Juna menutup mulutnya lalu tertawa dibaliknya.
“Aku tidak akan menerimamu karena kau seorang playboy.”
“Lalu kenapa kau membahasnya?”
“Aku tidak akan menerimamu karena kau tidak pernah serius.”
Juna diam.
“Aku tidak akan menerimamu karena kau hanya mempermainkan aku.”
Juna masih diam. Jihan ikut diam. Keduanya terdiam cukup lama.
Juna menghela napas panjang, “Baiklah. Aku tidak akan mengulanginya, jadi dengarkan baik-baik.”
Jihan menunggu.
“Iya. Aku menyukaimu. Eh, tidak!”
Jihan melotot.
“Aku tidak menyukaimu. Aku hanya benar-benar menyukaimu. Apa itu yang mau kau dengar?”
“Hah…sudah kuduga kau tidak akan pernah serius.”
“Aku serius. Aku tidak main-main. Aku benar-benar menyukaimu. Aku tidak akan mempermainkanmu.”
Jihan diam mencoba menyelami kedalaman tatapan Juna. “Benarkah? Selama enam bulan?”
“Apa?”
“Kau sudah menentukan selama enam bulan bukan?”
“Sebenarnya kau ingin aku mengatakan apa, sih?”
“Aku mau kau berjanji, bahwa ini serius. Bahwa kau tidak akan mempermainkan aku. Kalau kau berani mempermainkan aku, aku bersumpah akan membuat tidurmu tidak pernah nyaman.”
Juna merunduk dan tertawa. “Memang kenapa? Kau merampas bantalku? Atau kau merobek-robek selimutku?”
Jihan mencopot sandalnya lalu melemparnya ke arah Juna. Dengan sigap Juna menghindar.
 “Apa kau mau kuingatkan bagimana kita dulu bermusuhan?” omel Jihan.
Juna masih dalam posisi miring menghindari serangan Jihan.
“Kau ini sadis sekali.” Juna meluruskan posisi. “Iya aku berjanji, bahkan kupastikan kau akan menjadi pengantin sungguhanku suatu hari nanti.”
Jihan terkejut mendengarnya dan disusul senyum. Ia buru-buru merubah ekspresinya menjadi seolah biasa saja. “Sudah sana pulang! Aku mau tidur. Kau menggangguku!” Jihan berbalik dan hendak masuk.
“Hey, tunggu!” Juna menahannya.
“Ada apa lagi?”
“Apa-apaan kau ini?” Juna mendekati Jihan. “Aku tidak akan menjalin hubungan dengan orang yang tidak menyukaiku.”
“Lalu?”
“Enak saja kau ini. Aku juga perlu tahu, kau menyukaiku atau tidak.”
“Itu tidak penting.” Jihan berbalik lagi.
Juna menarik tangan Jihan. “Bukankah sudah kukatakan aku tidak akan menjalin hubungan dengan orang yang tidak menyukaiku?”
Jihan mengeluarkan ekspresi tidak suka. Ia menginjak kaki Juna. Juna memekik kesakitan.
“Kau ini benar-benar tidak romantis. Kau ini tidak mengerti atau pura-pura, sih? Aku ini perempuan! Tidak mudah bagiku untuk mengatakan aku menyukaimu!”
“Apa yang salah? Memangnya tidak boleh seorang perempuan menyukai laki-laki?
“Itu membuatku terasa konyol dan sama bodohnya dengan perempuan di kampus yang menyukaimu tanpa alasan yang jelas!” Jihan langsung masuk dan membanting pintu menutupnya.
Juna cengengesan. “Kalau begitu aku ingin tahu alasanmu kalau kau punya alasan!” teriak Juna dibalik pintu.
Jihan malu. Wajahnya memerah padam. Jihan berlari ke kamarnya, menutup pintu dan mematikan lampu.
Anggi muncul di balik sofa. Ia bersembunyi di sana dan menyimak percakapan Juna-Jihan barusan.
“Yang tidak romantis itu dirimu, Jihan.” Anggi mencibir. “Harusnya kau biarkan Juna memelukmu seperti adegan roamtis drama korea. Dasar bodoh.”
Juna memakai helmnya. Dipandanginya sejenak jendela kamar Jihan di lantai dua. Juna pergi dengan motornya. Anggi menutup tirai jendela ruang tamu tempat ia mengintip kepergian Juna.
“Hah…habislah sudah pria tampan di dunia ini.” Anggi berjalan lesu ke kamarnya. “Sepupuku Jihan memang payah. Dia benar-benar tidak tahu kalau Juna menyukainya.”

Pagi hari. Bibi baru saja berangkat bekerja. Tidak lama terdengar pintu diketuk seseorang. Anggi yang sedang memasak telur mata sapi bingung.
“Untuk apa Ibu kembali?” Anggi mematikan kompor dan menuju pintu. “J-Juna!!”
“Apa sepupumu Si Tukang Tidur masih mengukur kasur?” tanya Juna.
“Di-dia…dia. Sebentar kupanggilkan. Apa kau mau masuk dulu?”
“Tidak usah. Aku tunggu di sini.”
“Baiklah.” Anggi pergi ke kamar Jihan.
Anggi menggedor-gedor pintu kamar Jihan. Membuat gaduh dan membangunkan Jihan. Jihan membuka pintu kamarnya. Masih dengan piyama dan rambut berantakan.
“Ada apa, sih? Mengganggu saja!” omel Jihan.
“Juna di depan. Dia mencarimu!” kata Anggi.
“Apa??” Jihan terbelalak. “Mau apa dia?”
“Entahlah. Sebaiknya cepat temui dia!” Anggi menarik Jihan keluar kamar lalu mendorongnya untuk turun.
“Aduh…kau tidak lihat aku seperti apa?” Jihan menahan diri. “Ini memalukan kalau aku bertemu dalam keadaan seperti ini.”
“Biar saja. Kalau dia mencintaimu, dia akan menerimamu apa pun keadaanmu.” Anggi mendorong Jihan lagi.
Jihan terpaksa turun. Ia merapikan rambutnya dan menemui Juna. “Ada apa?”
Juna memperhatikan Jihan dari ujung kaki hingga ke kepala. Ia melirik jam tangannya. “Kau baru bangun?”
“Tidak. Aku tidur lagi.”
“Dasar tukang tidur. Kau banyak alasan. Cepatlah mandi dan bersiap-siap. Jangan temui aku sebelum kau benar-benar rapi.” Omel Juna. “Ayo, sana!”
Jihan mencibir. “Baiklah. Jadi kau ingin menjemputku…” kata Jihan sambil berlalu.
Jihan ke kampus dengan Juna. Begitu mereka memasuki kawasan kampus, jutaan pasang mata memburu mereka. Termasuk Feni yang belum keluar dari mobilnya di tempat parkir.
“Berikan ponselmu!” pinta Juna. Ia melepas helm dan menaruhnya di stang motor.
“Untuk apa?” Jihan membersihkan celananya yang sedikit berdebu.
“Berikan saja!”
Dengan manyun, Jihan memberikan ponsel jadulnya. “Ini!”
Juna membongkar ponsel Jihan. Ia mengambil SIM cardnya. Juna mengeluarkan ponsel lain dari saku jaketnya. Kemudian memasangkan SIM card Jihan ke ponsel itu.
“Ini!” Juna memberikan ponsel itu.
“Apa ini?” Jihan bingung seraya menerimanya.
“Itu smartphone. Sudah ada GPS. Kau harus selalu menyalakan ponsel itu. Kalau mati, kau tidak boleh membiarkannya mati lebih dari satu menit.”
“Eh? Kenapa?”
“Nanti meledak!”
“Kau bercanda!”
“Sudah tahun berapa ini, masih memakai ponsel biasa. Sekarang jamannya smartphone touchscreen. Ini! Berikan saja ini pada anak kecil tetanggamu, mereka butuh mainan menarik.” Juna memberikan ponsel lama Jihan.
“Enak saja kau bicara. Ini aku beli dengan gaji pertamaku dulu. Lagi pula, aku tidak mengerti untuk apa kau mengganti ponselku seenakmu?”
“Karena kau terlalu kecil, akan sulit mencarimu kalau hilang. Jadi aku perlu melacakmu dengan GPS itu. Lagi pula apa istimewanya gaji pertama? Suatu saat akan ada gaji ke sepuluh, seratus, bahkan seribu yang jauh lebih fantastis nilainya.”
“Tapi…sepertinya ini mahal.” Jihan melihat-lihat ponsel itu.
“Memang. Jadi kau harus menjaganya baik-baik.”
“Aku…tidak mau.” Jihan menyodorkan ponsel itu pada Juna.
“Ng? Kenapa?”
“Aku takut rusak. Aku takut merepotkanmu saja. Kalau rusak aku tidak bisa menggantinya.”
“Selama kau tidak membantingnya, dia tidak akan rusak. Kalau terpaksa rusak, nanti kuganti yang baru. Justru kalau kau tidak memakainya, kau akan merepotkanku.” Juna mendorong ponsel itu ke arah Jihan lagi
“Tapi…apa tidak apa-apa.”
“Ahk, kau cerewet sekali. Sudah sana ke kelas.” Juna baru akan pergi.
Satria datang dengan motornya. Ia membuka helm. “Jihan!”
Jihan tersentak. Juna berhenti.
“Kau baik-baik saja?” Satria turun dari motornya yang belum diparkir dengan baik.
“A-aku…aku baik-baik saja.” Jihan memperhatikan Juna.
Juna mundur dan berdiri di samping Jihan.
“Syukurlah. Aku mencemaskanmu. Kau pulang tiba-tiba.” Satria tersenyum mengacuhkan Juna. “Makan malam kita terpaksa batal.”
“Iya, maaf.” Jihan berusaha tersenyum.
“Tidak apa-apa. Nanti kujadwal ulang.”
“Kau jadwal ulang apa maksudmu?” Juna sedikit terpancing.
Satria menoleh sekali pada Juna lalu melihat Jihan lagi. “Apa kau pergi bersama Juna?”
Jihan mengangguk sambil tertawa ringan. “Iya. Aku pergi bersama Juna. Aku baik-baik saja. Mungkin kami akan sering pergi bersama. Maaf merepotkanmu.”
Satria diam mengerti apa yang dimaksud Jihan. Bahwa mulai hari ini, Jihan sudah milik Juna. Jihan mendorong Juna memberi isyarat untuk pergi. Juna pergi setelah sebelumnya beradu tatap dengan Satria. Satria masih diam di tempatnya, setelah cukup lama, Satria berbalik memperhatikan Juna-Jihan. Juna-Jihan terlihat saling mendorong dan bercanda. Satria menghela napas lalu memindahkan motornya.


Bersambung ke Chapter 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya