18 Desember 2014

Mozarella Cake - Chapter 11



Chapter 11
Libur Panjang Dari Pekerjaan

Lanjutan Dari Chapter 10

Jam itirahat. Jihan mengunjungi kantin tapi, hari yang aneh, kantin penuh tidak seperti biasanya. Jihan memandang berkeliling. Sepertinya akan sulit mencari tempat. Juga tidak ada orang yang ia kenal dekat di sana. Jihan memutuskan untuk tidak makan siang di kantin. Ia hanya membeli dua bungkus roti dan dua kotak susu dingin. Jihan mengambil uang kembalian berupa koin receh sebelum akhirnya pergi.
Jihan berjalan membawa makanannya entah kemana. Kemudian ia teringat Satria. Mungkin Satria masih tetidur. Jihan lalu menuju GOR untuk memastikannya. Lagi pula GOR adalah satu-satunya tempat yang lumayan tidak ramai, bahkan nyaris sepi di jam-jam seperti ini.
Jihan sampai di GOR. Ia memperhatikan sekeliling. Hanya satu-dua orang di sana. Sedang menghapal pelajaran, mencatat ulang atau sedang mengerjakan tugas kuliah. Jihan masuk lebih dalam. Ia mencari Satria di setiap ruang. Jihan sampai di gedung lapangan basket. Ia melongok dari pintu. Sepi.
“Halo?” Jihan menguji kesepian ruang. Sepi.
Juna melintas. Ia melihat Jihan di depan pintu gedung basket. Juna memperhatikan. Ia lalu menghampiri Jihan.
“Hm, apa dia tidur di sini?’ gumam Jihan.
“Sedang apa kau?” Juna mengejutkan Jihan.
Jihan nyaris melompat. Kantong plastik berisi makanan dan uang kembaliannya terjatuh. “Apa kau tidak bisa tidak mengejutkan aku?”
Juna tertawa. “Kau saja yang aneh.”
Jihan membungkuk memungut plastik itu. “Aduh…uang kembaliannya mana?”
“Ng?” Juna ikut mencari. “Uang receh?”
“Iya. Itu koin terakhirku untuk naik bis nanti sore. Aku tidak punya receh lagi. Kalau tidak pakai receh, mereka suka mengembalikan seenaknya.” Jihan mengitari lantai sekitar sambil membungkuk mencari koinnya.
“Kenapa kau tidak protes?”
“Mana sempat. Kejadiannya terlalu cepat. Aku hanya akan menimbulkan kemacetan. Lagi pula aku malas ribut.” Jihan melihat sesuatu di samping sepatu Juna. Tampak seperti ujung koin. “Nah, itu dia!”
“Ng?” Juna membungkuk melihat sepatunya.
Jihan mendekati sepatu Juna. Ia memungut koin itu.
“Eh?” Juna ikut membungkuk.
“Nah! Dapat!” Jihan berdiri mendadak dengan girangnya.
Duk!!!
“Aww!!” Juna memekik menutupi wajahnya lalu mundur beberapa langkah.
“Aduh!” Jihan memegangi kepalanya. Dilihatnya Juna sedang kesakitan menyudutkan diri di tembok.
Juna membuka tangan. Ada darah di telapaknya.
“Haff!!” Jihan terkejut menutup mulut. “Kau terluka?”
Hidung Juna mengeluarkan darah. Juna menarik bibir bawahnya. Berdarah!
“Uwh!” Jihan meringis.
Juna melihat Jihan. “Kau benar-benar keras kepala! Lihat ini!” Jihan mengusap darah di hidungnya.
“Ma-maaf. Aku tidak sengaja. Lagi pula untuk apa kau ikut merunduk. Aku kan tidak tahu.”
Kepala Jihan menabrak hidung Juna dan membuat bibir Juna tergigit sendiri tidak sengaja.
“Kau ini! Sudah berbuat tiba-tiba, masih mengelak!”
“Aduh…sudah-sudah, sebaiknya kita ke ruang kesehatan. Itu pasti sakit sekali.” Jihan panik mendekati Juna.
“E-eh!” Juna mundur. “Tidak usah. Aku sendiri saja.”
“Hm? Kenapa?” Jihan tertahan.
“Aku baik-baik saja.” Tangan Juna berlumuran darah. Ia bingung untuk membersihkannya.
“Oh, iya!” Jihan merogoh saku celananya. “Ini! Pakai ini saja!”
Juna memperhatikan sapu tangan yang diberikan Jihan.
“Ini bersih. Aku baru mengambilnya dari lemariku. Belum kupakai sama sekali.”
Juna meraihnya.  Juna sedikit tersenyum. “Ini sapu tanganku.”
“Iya. Aku baru akan mengembalikannya. Tidak kusangka harus dikembalikan dengan cara seperti ini. Tapi aku benar-benar tidak sengaja.”
Juna membersihkan darah di hidung dan di tangannya. Juna memperhatikan Jihan yang menunggu.
“Sebaiknya kau segera ke perawatan.” Usul Jihan masih cemas.
“Aku tahu.” Juna pergi.
Juna pergi. Jihan menghela napas memperhatikan Juna. Jihan kembali pada tujuannya. Ia kembali melongok ke dalam gedung. Di bangku penonton, ia melihat sepatu seseorang naik ke bangku. Ia menduga itu Satria dengan kaki terangkat. Jihan menghampiri orang itu. Ternyata benar, Satria sedang tidur.
“Kak?” Jihan mencoba membangunkan.
“Hm…” gumam Satria masih tertidur.
“Aku Jihan. Apa aku mengganggumu?”
“Hm…” Satria mencoba membuka mata.
“Maaf. Kalau begitu, lain kali saja…”
“Eh,” Satria bangun. “tidak apa-apa.”
Satria duduk mengucek mata dan meregangkan tubuh. Ia lalu tersenyum melihat Jihan.
“Maaf. Aku tidak berniat mengganggumu. Aku juga tidak punya kepentingan khusus, sih…”
Satria tertawa. “Hm?” Ia melihat plastik yang dibawa Jihan.
“Oh! Ini,” Jihan tertawa. “tadi aku mau makan di kantin. Tapi sepertinya aku tidak akan kebagian tempat. Penuh. Jadi aku membeli roti dan susu dingin. Aku membelikan sedikit untukmu.”
“Wah!” Satria sumringah. “Kau baik sekali.”
“Maaf. Tapi tadi pagi, kau bilang sedang tidak berselera. Kupikir kau belum makan.”
Satria tersenyum. “Benar. Aku belum makan. Tapi, roti dan susu itu tetap tidak membuatku kenyang.”
“Oh, maaf…maksudku, mungkin kau bisa sedikit makan camilan.”
Satria tertawa lagi. “Baik. Akan kumakan. Nah, duduklah!” Satria menepuk kursi di sebelahnya.
Jihan menahan napas. “Aku duduk di samping Satria??”
“Kau akan memberikannya atau tidak?”
“I-iya!” Jihan duduk di sebelah Satria. Ia mengeluarkan roti dan susu dingin.
Satria mengambilnya dan memakannya. Jihan ikut makan. Meski sebenarnya, Jihan membeli dua roti dan dua susu dingin bukan untuk Satria dan hanya untuk dirinya, tapi ia harus memberikan sesuatu untuk membayar seseorang yang menemaninya makan siang. Satria memakan roti dengan raut muka senang. Ia juga menghabiskan susu dinginnya. Jihan ikut senang.
“Hmhaaa!” Satria menepuk-nepuk perutnya.
Jihan tersenyum sambil menyeruput sedotan terakhir susu dinginnya.
Tiba-tiba Satria memiringkan tubuhnya dan menyadarkan kepalanya di bahu Jihan.
“Hmf!” Jihan menahan napas.
“Terima kasih, ya!” kata Satria.
Jihan mengintip pandang. Satria sedang tersenyum dengan senangnya. Jihan memejamkan mata.
“Lumayan. Sekarang, aku benar-benar lapar. Aku ingin makan enak dan banyak. Kau tahu dimana tempat makan yang enak dan murah? Jadi aku bisa makan banyak.”
“Mmm…” Jihan membuka mata. “Ada, Kak!”
“Benarkah?” Satria bangkit meringankan bahu Jihan.
“Hm!” Jihan mengangguk. “Di sana enak dan murah. Hanya mie ayam sih…tapi aku sangat suka. Enak sekali.”
“Ayo kita ke sana!”
“Ayo! Aku yang traktir!”
“Tidak usah. Aku saja!”
“Tidak, Kak. Jangan kau, aku saja!”
“Hmh,” Satria berdiri. “begini saja. Bagaimana kalau kita berlomba? Siapa yang makan paling banyak, dia yang menang. Yang kalah yang bayar!”
Jihan tertawa. “Kau menantangku ya, Kak! Aku ini sangat kuat makan. Kau bisa kalah.”
“Benarkah? Kalau begitu ayo kita buktikan!”
“Ayo!” Jihan berdiri dan bersemangat.

Di sebuah stand mie ayam di depan kampus. Jihan sudah menghabiskan dua mangkuk mie ayam. Ia sedang menuju mangkuk ketiga. Satria baru akan menghabiskan mangkuk keduanya. Satria terengah-engah. Ia tidak kuat lagi. Rasanya memang sangat enak. Karena harganya murah, porsinya pun terbatas. Tapi sudah cukup jika dibantu minum.
Jihan menyeruput mie terakhirnya. “Nah! Aku menang!”
Satria tersenyum. Ia menyerah dan meneguk segelas air putih. “Baiklah. Aku menyerah.”
Jihan tersenyum puas.
“Aku yang traktir…kau memang luar biasa!” puji Satria.
Jihan menepuk-nepuk dadanya. Berlagak sombong.

“Hhh..hari yang menyenangkan!” Jihan menutup laci lokernya di ruang ganti karyawan hotel. Ia baru masuk bekerja setelah pulang kuliah dan langsung menuju hotel.
“Jihan!” Bibi tiba-tiba muncul.
“Ng?” Jihan terkejut melihat raut wajah Bibi yang cemas. “Kenapa?”
“Aku sudah memperingatimu, bekerjalah dengan serius.” Bibi manyun.
“Iya. Aku memang serius. Kenapa?”
“Pergi dan bereskan masalahmu di kamar nomor 1255 di lantai 4. Di sana ada tamu asing. Dia mengaku kehilangan kartu kreditnya!”
“Lalu?”
“Kau meninggalkan buku pelajaranmu di sana! Jadi kau tertuduh.”
“Apa??”
Bibi sangat cemas. “Aku percaya bukan kau pelakunya. Tapi…ahk! Sudah kubilang, pisahkan kepentingan kuliahmu dengan pekerjaanmu. Lihat apa yang kau lakukan!”
“Bibi, maaf. Aku tidak sengaja. Itu karena aku sedang terburu-buru pulang, tapi temanku memintaku menggantikannya sebentar karena ia sedang sakit perut dan harus ke kamar mandi. Aku sudah berganti pakaian dan akan pulang ketika aku bertemu dengannya. Jadi aku membantunya.”
“Ahk, sudah. Sekarang pergilah ke sana dan selesaikan pekerjaanmu!”
Jihan dituduh mencuri. Tapi ia sama sekali tidak melakukan apa-apa. Ia hanya membersihkan ruangan sebagaimana pekerjaannya sebagai roomgirl part time. Jihan di bawa ke ruang manajer dan diinterogasi. Jihan tetap mengelak karena tidak melakukan hal itu.
“Baiklah. Aku percaya kau tidak melakukannya. Kasus ini akan mencemarkan nama baik hotel kita. Kasus ini juga sudah ditangani polisi. Rekaman CCTV juga sudah di bawa mereka untuk barang bukti. Selama kasus ini belum selesai, kau akan di scors sampai waktu yang tidak bisa kupastikan.”
“T-tapi…aku…”
“Sudahlah. Kalau kau memang tidak bersalah, kau tenang saja.”
Jihan lesu.
“Hari ini, kau kuliburkan. Jadi beristirahatlah dengan tenang di rumah.” Manajernya menyerahkan buku pelajaran Jihan.
Jihan mengambilnya. Ia menyerah meski ia sudah berusaha menjelaskan. Tapi kesalahannya adalah memakai pakaian bebas saat bekerja, melakukan pekerjaan di luar jam kerja, membawa tas ke ruangan. Karena itulah ia dicurigai.
Jihan pulang denga lesu. Menunggu bis di halte dekat hotel lalu naik bis untuk pulang. Ia turun bis, lalu menyusuri jalan menuju rumah.
“Aku lebih baik mencari pekerjaan lain. Kalau begini, aku akan selalu dicurigai. Padahal bukan aku yang mengambilnya. Tapi dimana…?” keluh Jihan.

Pagi hari di kampus. Jihan pergi ke kampus sendirian. Anggi tidak ada kelas pagi jadi dia akan berangkat siang. Jihan berjalan lesu dan tidak bersemangat. Ia masih memikirkan kejadian kemarin. Ia tidak bisa tidak kuliah. Itu akan memberatkan nenek dan bibi. Jihan berhenti di sebuah papan pengumuman jalan masuk menuju gedung kampus.
“Benar! Biasanya di papan pengumuman banyak info lowongan pekerjaan paruh waktu untuk mahasiswa!”

Jihan sedang memperhatikan papan pengumuman di GOR. Biasanya di sana banyak terpampang info lowongan pekerjaan sampingan atau part time. Kalau di papan pengumuman dekat gedung kelas atau di lobby isinya lebih banyak hiburan. Tangan Jihan menyisir satu per satu iklan di sana. Tidak ada yang menarik. Jihan menghela napas sambil mengencangkan tali ranselnya.
Satria yang kebetulan lewat tersenyum melihat Jihan. Ia mendekati Jihan diam-diam. Ia berniat untuk mengagetkan Jihan.
Juna muncul. Ia juga kebetulan lewat. Ia berhenti melihat Satria yang mengendap-endap mendekati Jihan dari belakang. Jihan baru akan berbalik. Tiba-tiba Satria tersandung plastik berisi sedikit air. Juna terkejut menahan napas. Satria nyaris terjatuh dan menubruk Jihan.
 “Aaa!!!” Jihan terpejam sambil memekik. Kejadiannya begitu cepat, Jihan reflek menghalangi datangnya wajah Satria dengan tangan kirinya.
Jihan terkejut. Ia terdesak merapat ke papan pengumuman. Satria menahan diri dengan kedua tangan menyentuh papan dan mengurung Jihan di antaranya. Satria berhenti. Tangan Jihan menyentuh mulutnya. Jihan membuka sebelah mata secara perlahan lalu keduanya. Jihan terkejut melihat ia berhadapan sangat dekat dengan Satria. Keduanya beradu tatap dan diam selama beberapa detik. Satria meraih tangan Jihan yang menahan mulutnya.
“Kau bukan Rinjani. Kau sama sekali tidak sama. Sangat berbeda.” Satria mendekatkan wajahnya ke arah Jihan.
Jihan mundur menghindar. Matanya terbelalak lebar. Tangan Jihan menahan Satria. Jarak keduanya begitu dekat sampai Jihan bisa merasakan hembusan napas Satria. Jihan melihat kedua mata Satria. Tiba-tiba hatinya berdebar dan sedih tidak karuan.
Bukan Satria. Tapi Juna. Sorotan mata itu justru mengingatkannya pada Juna. Juna kecil yang beradu tatap saat berebut roti dengannya empat belas tahun lalu. Sorot mata Juna yang muncul menolong Jihan saat jatuh di gunung. Sorot mata Juna ketika Jihan meminta Juna menjauhinya. Sorot mata Juna waktu menolongnya di gedung tidak terpakai tempo hari. Jihan merasa sesuatu yang salah telah terjadi.
Juna berusaha membuang pandangan tapi selalu saja kembali. Juna akhirnya pergi. Satria menarik diri. Ia melepaskan tangan Jihan dari mulutnya.
“Aku..mengejutkanmu, ya?” kata Satria.
Jihan terbata belum menjawab.
“Aku memang akan mengejutkanmu. Tapi aku terpeleset.” Satria tertawa memperlihatkan plastik yang masih menempel di sepatu kets-nya. “Oh iya, aku baru akan mengajakmu pergi ke suatu tempat malam ini. Apa kau mau ikut?”
“A-aku…”
“Kau libur hari ini, kan? Aku tahu karena aku selalu menghitungnya.” Satria tersenyum.
Aku sedang di skors, jadi aku libur…” batin Jihan.
“Hanya undangan makan malam bersama. Di sebuah cafe biasa. Kalau kau tidak keberatan. Maksudku…” lanjut Satria.
Melihat sikap Satria yang seperti sangat berharap, Jihan merasa tidak enak untuk menolak. Lagi pula dia memang sedang libur. Bukankah Jihan juga menyukai Satria dan sangat berharap Satria memintanya menjadi pacarnya? Mungkin saja ini saatnya.
Jihan mengangguk. “Iya. Aku mau.”
Satria tersenyum lebar. “Baiklah. Jam tujuh malam. Kujemput.”
“Eh? Tidak usah. Nanti aku pergi ke sana sendiri saja. Hari ini Bibi masuk malam. Dia baru akan pergi jam delapan malam. Kalau dia tahu aku pergi bersama laki-laki, dia akan menyuruh Anggi untuk menemaniku. Ups!” Jihan menutup mulutnya.
Satria tertawa. “Baiklah. Kau sudah dewasa, tidak usah ditemani segala. Aku mengerti. Nanti kukirim pesan padamu dimana tempatnya. Nah, sampai jumpa nanti malam. Dandan yang cantik, ya!”
Satria pergi. Jihan menghela napas panjang. “Huhf….nyaris saja!” Jihan pergi ke kelas. Belum sampai kelas, Jihan dicegat Gilang dan kawan-kawannya.
“Nah, di sini kau rupanya!” kata Gilang.
Jihan terkejut nyaris melompat. Ia masih agak takut dengan Gilang.
“Aku ingin bicara empat mata denganmu.”
Muncul Argha, Kris dan Danu.
“Mungkin maksudmu empat orang.” Jihan memperhatikan ketiga teman Gilang.
Gilang melirik ketiga temannya. “Baiklah. Aku hanya ingin memastikan sesuatu padamu.”
“Apa kau sudah punya pacar?” tanya Kris.
“Ha?” Jihan melongo. “Kalian ini kenapa?”
“Katakan saja. Atau kau sedang menyukai seseorang?” Danu menggilir.
“Sebenarnya apa mau kalian?”
“Kau tidak sedang menggoda Juna dan berharap menjadi pacarnya, kan?” Gilang mempertegas.
Jihan tertawa meledek. “Juna? Kalian sudah gila? Minggir, aku mau ke kelas!”
“Hey, kau ini!” Kris menahan Jihan. “Biar pun sekarang kita berteman. Atau setidaknya kita tidak sedang bermusuhan, tapi kami ini juga kakak kelasmu. Jadi hormatilah. Seenaknya saja.”
“Apa?” Jihan mengernyitkan dahi.
Argha menengahi. Ia menahan ketiga temannya. “Maafkan kami. Mungkin kita bisa bicara berdua kalau kau punya waktu?”
Jihan menggelembungkan mulutnya. Ia memandang berkeliling empat sekawan itu. Kalau mereka sedikit sopan mungkin Jihan akan meladeni meski ia tidak mengerti apa maksud mereka.
“Baiklah. Lima menit.” kata Jihan.
Argha menengok Gilang. Dengan sendirinya Gilang, Danu dan Kris menjauh dan meninggalkan Argha sendiri.
“Karena waktuku hanya lima menit, aku akan langsung pada intinya saja. Apa kau menyukai Juna?” tanya Argha.
“Ha?” Jihan melongo sekali lagi. “Itu masih belum pada intinya. Aku masih tidak mengerti.”
“Jawab saja.”
Jihan memiringkan kepalanya dengan pandangan menyelidik ke arah Argha. “Tidak.”
“Baik. Apa kau pernah berpikir kalau Juna bisa menyukaimu?”
“Hah??” Jihan terkejut. “Bagaimana itu bisa terjadi? Tidak mungkin dan aku tidak pernah memikirkan itu.”
“Juna pernah bercerita. Bahwa kalian pernah bertemu waktu kalian masih anak-anak.”
“Hah, Itu lagi,” Jihan terkekeh. “Itu tidak seperti yang kau kira. Tidak seperti drama korea, dimana masa kecil yang baik bisa melibatkan cinta dan tumbuh di kemudian hari.”
Argha tersenyum. “Benar. Kalian sama sekali tidak berteman baik. Tidak ada hubungannya ke arah sana. Kalian hanya saling membenci. Aku tidak paham seberapa bencinya kalian. Tapi pernahkah kau tahu, ada sebuah larangan…jangan terlalu membenci orang secara berlebihan dengan alasan yang tidak jelas. Suatu saat, kau bisa jatuh cinta. Batas benci dan cinta itu setipis kulit bawang. Perasaan yang berlebihan bisa merobeknya dan merubah perasaanmu.”
“Tapi aku juga tidak membencinya separah itu. Aku sudah cukup senang tidak lelah karena berbalas-balasan dengan Juna. Maksudku, bermusuhan itu melelahkan. Aku sangat menikmati perbaikan ini, mungkin tidak berteman tapi tidak bermusuhan. Aku tidak ingin berpikir sejauh itu. Aku tidak ingin merubah keadaan sekarang dengan apa pun.”
“Kudengar kau sedang dekat dengan Satria.”
“Itu urusan pribadiku. Kenapa kalian ikut campur?”
“Tidak. Aku hanya merasa…” Argha mengorek telinganya. “Sedikit menggangguku. Bahwa kedekatan kalian karena…”
“Apa?”
“Maksudku, apa kau kenal Rinjani?”
Jihan tersenyum meledek. “Kenapa? Aku mirip dengannya?”
“Entahlah. Kadang aku merasa kalian seperti kembar.”
“Aku tahu maksudmu. Tapi pikiranmu terlalu sempit.”
Argha tertawa. “Juna. Meskipun dia keras, tegas dan galak. Tapi hatinya baik.”
“Oya? Hati yang baik seperti memacari banyak gadis hanya selama enam bulan? Kalian memang hidung belang.”
“Tidak. Mungkin kami playboy tapi kami bukan hidung belang. Itu dua hal yang berbeda. Lagi pula, mantan-mantan yang enam bulan itu hanya sekelompok gadis yang tidak mampu. Mereka berlomba berlama-lama pacaran dengan Juna. Kalau mereka tidak cocok, kenapa harus dipertahankan lama-lama? Kau tidak membuat survey berapa pacar Juna yang pacaran kurang dari enam bulan? Mereka tidak akan bersuara karena mereka sudah pasti kalah dan malu. Jadi yang mencapai enam bulan yang bersuara lantang.”
 “Lalu?”
“Juna itu mudah iba. Mungkin dia iba padamu.”
Jihan diam.
“Rasa iba menimbulkan rasa kasihan. Kasihan yang tidak ingin menyakiti. Kadang membuat seseorang merasa ingin melindungi. Bahkan menimbulkan rasa sayang dan membangkitkan semangat untuk membahagiakan orang itu.”
“Jadi, apa istimewanya rasa kasihan?”
“Aku tahu kau tidak ingin dikasihani. Tapi kau akan lihat sendiri bedanya. Jika kau mau tahu seperti apa, tunggulah di rumah malam ini jam sembilan malam.”
“Katakan saja ada apa! Aku tidak akan ada di rumah pada jam itu. Aku ada urusan.”
“Aku tidak memaksamu. Kalau kau tidak bisa tidak apa-apa. Tapi jika kau bersedia, kau bisa buktikan sendiri.”
Argha tersenyum lalu pergi. Jihan masih tidak mengerti. Ia berdiam diri memandangi Argha pergi.
Jihan berjalan lesu menuju kelasnya. Tiba-tiba ia melihat Juna di ujung koridor. Jihan memperhatikannya. Jihan berpikir sejenak. Sedetik kemudian, Jihan memutuskan untuk mengikuti Juna. Ia harus menanyakan langsung apa maksud keempat temannya menemui Jihan barusan. Mungkin saja itu suruhan Juna.
Jihan mengikuti Juna setengah berlari. Dari arahnya, sepertinya Juna menuju sebuah tempat yang bisa ditebak. Jihan merasa curiga. Ternyata benar. Juna masuk ke ruang sekretariat mahasiswa pecinta alam. Jihan menghampiri setengah mengendap.
“Kudengar kau mencariku. Ada apa?” tanya Juna.
Satria dan dua orang lainnya terkejut. Mereka berpandangan. Dari pandangan Juna yang melihat Satria, mereka mengerti. Kedua orang teman Satria keluar.
“Iya. Aku memang mencarimu. Ada yang harus kutanyakan padamu.” Jawab Satria.
Jihan baru sampai. Melihat dua orang keluar, Jihan bersembunyi di balik tembok. Pintu ditutup. Jihan semakin penasaran. Ia mendekati ruang itu. Ia menempelkan telinga di pintu sambil memperhatikan sekeliling. Aman. Sepi.
“Aku cukup tahu antara kau dan Jihan.” kata Satria.
Jihan menguping.
Juna terkekeh. “Antara aku dan Jihan? Apa maksudmu?”
“Kau selalu membuatnya dalam masalah. Aku ingin kau berhenti mempersulitnya.”
“Mempersulit? Seperti apa?”
“Aku menyukai Jihan.”
Jihan terkejut menutup mulut.
“Lalu? Kau berencana menjadikannya pacarmu lalu melarangku menghalanginya?”
“Mmm…bisa jadi. Tapi lebih pada melindunginya. Aku tidak mau kau mengerjainya. Karena aku yang akan menyelesaikannya. Meski kita satu angkatan.”
Juna menatap Satria lurus tanpa ekspresi. Satria membalas tatapan itu. Keduanya beradu tatap.
“Aku tidak suka kau mendekati Jihan!” kata Juna.
“Kenapa? Kau tidak mungkin cemburu bukan?” Satria dengan santai.
Jihan terkejut di balik pintu. Ia semakin penasaran dan mencuri pandang di sudut jendela.
“Kau mendekatinya bukan karena kau benar-benar menyukainya. Tapi karena dia mirip dengan Rinjani.”
Jihan berjongkok lagi. Jihan menahan napas. Jihan takut apa yang sempat dipikirkannya benar.
Satria diam. Mereka beradu tatap dan diam lagi.
“Lalu kenapa?” Satria buka suara. “Dia mirip atau tidak, aku tidak akan menyakitinya. Lagi pula dia juga menyukaiku.”
Juna diam mengepal tinju.
“Baiklah. Aku akui, aku tertarik untuk mendekatinya karena dia memang sangat mirip dengan Rinjani. Mungkin saja aku memang berjodoh dengan orang berwajah itu. Lalu kenapa?”
“Kalau begitu kau mati saja agar kau benar-benar bisa berjodoh dengan Rinjani! Tidak usah kau bawa-bawa Jihan dengan masa lalumu!”
“Rinjani belum mati! Dia hanya hilang dan belum ditemukan!” teriak Satria.
Jihan menutup mulutnya. Syok!
“Belum mati. Belum ditemukan. Lalu jika Rinjani kembali, bagaimana dengan Jihan?”
Jihan mengendap-endap lalu kabur.
“Kau sendiri, apa kau yakin dia masih hidup? Ini sudah dua tahun berlalu.” Lanjut Juna.
Satria diam sejenak. Melihat Satria tidak merespon, ia berniat untuk pergi. Juna berbalik.
“Jihan memang sangat mirip dengan Rinjani.” kata Satria.
Juna berhenti sejenak.
“Tapi karakter mereka berbeda. Jihan membuatku melupakannya. Bisa dibilang, aku lebih menyukai Jihan dari pada Rinjani.”
Juna diam tidak berkomentar. Ia lalu pergi meninggalkan Satria.
Jihan terus berlari. Ia tidak percaya dengan yang didengarnya. Ternyata Satria mendekatinya hanya karena dia mirip dengan kekasihnya yang dulu tersesat dan hilang di gunung. Satria memang benar, tidak apa-apa karena Satria tidak akan melukainya. Tapi tetap saja rasanya perasaan itu tidak sempurna. Perasaan apa? Jihan menggeleng lalu kembali berlari.


Bersambung ke Chapter 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya