Mozarella Cake - Chapter 11
Chapter
11
Libur
Panjang Dari Pekerjaan
Lanjutan Dari Chapter 10
Jam itirahat. Jihan
mengunjungi kantin tapi, hari yang aneh, kantin penuh tidak seperti biasanya. Jihan
memandang berkeliling. Sepertinya akan sulit mencari tempat. Juga tidak ada
orang yang ia kenal dekat di sana. Jihan memutuskan untuk tidak makan siang di
kantin. Ia hanya membeli dua bungkus roti dan dua kotak susu dingin. Jihan
mengambil uang kembalian berupa koin receh sebelum akhirnya pergi.
Jihan berjalan
membawa makanannya entah kemana. Kemudian ia teringat Satria. Mungkin Satria
masih tetidur. Jihan lalu menuju GOR untuk memastikannya. Lagi pula GOR adalah
satu-satunya tempat yang lumayan tidak ramai, bahkan nyaris sepi di jam-jam
seperti ini.
Jihan sampai di
GOR. Ia memperhatikan sekeliling. Hanya satu-dua orang di sana. Sedang
menghapal pelajaran, mencatat ulang atau sedang mengerjakan tugas kuliah. Jihan
masuk lebih dalam. Ia mencari Satria di setiap ruang. Jihan sampai di gedung
lapangan basket. Ia melongok dari pintu. Sepi.
“Halo?” Jihan
menguji kesepian ruang. Sepi.
Juna melintas.
Ia melihat Jihan di depan pintu gedung basket. Juna memperhatikan. Ia lalu
menghampiri Jihan.
“Hm, apa dia
tidur di sini?’ gumam Jihan.
“Sedang apa
kau?” Juna mengejutkan Jihan.
Jihan nyaris
melompat. Kantong plastik berisi makanan dan uang kembaliannya terjatuh. “Apa
kau tidak bisa tidak mengejutkan aku?”
Juna tertawa.
“Kau saja yang aneh.”
Jihan membungkuk
memungut plastik itu. “Aduh…uang kembaliannya mana?”
“Ng?” Juna ikut
mencari. “Uang receh?”
“Iya. Itu koin
terakhirku untuk naik bis nanti sore. Aku tidak punya receh lagi. Kalau tidak
pakai receh, mereka suka mengembalikan seenaknya.” Jihan mengitari lantai
sekitar sambil membungkuk mencari koinnya.
“Kenapa kau
tidak protes?”
“Mana sempat.
Kejadiannya terlalu cepat. Aku hanya akan menimbulkan kemacetan. Lagi pula aku
malas ribut.” Jihan melihat sesuatu di samping sepatu Juna. Tampak seperti
ujung koin. “Nah, itu dia!”
“Ng?” Juna
membungkuk melihat sepatunya.
Jihan mendekati
sepatu Juna. Ia memungut koin itu.
“Eh?” Juna ikut
membungkuk.
“Nah! Dapat!” Jihan
berdiri mendadak dengan girangnya.
Duk!!!
“Aww!!” Juna
memekik menutupi wajahnya lalu mundur beberapa langkah.
“Aduh!” Jihan
memegangi kepalanya. Dilihatnya Juna sedang kesakitan menyudutkan diri di
tembok.
Juna membuka
tangan. Ada darah di telapaknya.
“Haff!!” Jihan
terkejut menutup mulut. “Kau terluka?”
Hidung Juna
mengeluarkan darah. Juna menarik bibir bawahnya. Berdarah!
“Uwh!” Jihan
meringis.
Juna melihat Jihan.
“Kau benar-benar keras kepala! Lihat ini!” Jihan mengusap darah di hidungnya.
“Ma-maaf. Aku
tidak sengaja. Lagi pula untuk apa kau ikut merunduk. Aku kan tidak tahu.”
Kepala Jihan
menabrak hidung Juna dan membuat bibir Juna tergigit sendiri tidak sengaja.
“Kau ini! Sudah
berbuat tiba-tiba, masih mengelak!”
“Aduh…sudah-sudah,
sebaiknya kita ke ruang kesehatan. Itu pasti sakit sekali.” Jihan panik
mendekati Juna.
“E-eh!” Juna
mundur. “Tidak usah. Aku sendiri saja.”
“Hm? Kenapa?” Jihan
tertahan.
“Aku baik-baik
saja.” Tangan Juna berlumuran darah. Ia bingung untuk membersihkannya.
“Oh, iya!” Jihan
merogoh saku celananya. “Ini! Pakai ini saja!”
Juna
memperhatikan sapu tangan yang diberikan Jihan.
“Ini bersih. Aku
baru mengambilnya dari lemariku. Belum kupakai sama sekali.”
Juna meraihnya. Juna sedikit tersenyum. “Ini sapu tanganku.”
“Iya. Aku baru
akan mengembalikannya. Tidak kusangka harus dikembalikan dengan cara seperti
ini. Tapi aku benar-benar tidak sengaja.”
Juna membersihkan
darah di hidung dan di tangannya. Juna memperhatikan Jihan yang menunggu.
“Sebaiknya kau
segera ke perawatan.” Usul Jihan masih cemas.
“Aku tahu.” Juna
pergi.
Juna pergi. Jihan
menghela napas memperhatikan Juna. Jihan kembali pada tujuannya. Ia kembali
melongok ke dalam gedung. Di bangku penonton, ia melihat sepatu seseorang naik
ke bangku. Ia menduga itu Satria dengan kaki terangkat. Jihan menghampiri orang
itu. Ternyata benar, Satria sedang tidur.
“Kak?” Jihan
mencoba membangunkan.
“Hm…” gumam
Satria masih tertidur.
“Aku Jihan. Apa
aku mengganggumu?”
“Hm…” Satria
mencoba membuka mata.
“Maaf. Kalau
begitu, lain kali saja…”
“Eh,” Satria
bangun. “tidak apa-apa.”
Satria duduk
mengucek mata dan meregangkan tubuh. Ia lalu tersenyum melihat Jihan.
“Maaf. Aku tidak
berniat mengganggumu. Aku juga tidak punya kepentingan khusus, sih…”
Satria tertawa.
“Hm?” Ia melihat plastik yang dibawa Jihan.
“Oh! Ini,” Jihan
tertawa. “tadi aku mau makan di kantin. Tapi sepertinya aku tidak akan kebagian
tempat. Penuh. Jadi aku membeli roti dan susu dingin. Aku membelikan sedikit
untukmu.”
“Wah!” Satria
sumringah. “Kau baik sekali.”
“Maaf. Tapi tadi
pagi, kau bilang sedang tidak berselera. Kupikir kau belum makan.”
Satria
tersenyum. “Benar. Aku belum makan. Tapi, roti dan susu itu tetap tidak
membuatku kenyang.”
“Oh,
maaf…maksudku, mungkin kau bisa sedikit makan camilan.”
Satria tertawa
lagi. “Baik. Akan kumakan. Nah, duduklah!” Satria menepuk kursi di sebelahnya.
Jihan menahan
napas. “Aku duduk di samping Satria??”
“Kau akan
memberikannya atau tidak?”
“I-iya!” Jihan
duduk di sebelah Satria. Ia mengeluarkan roti dan susu dingin.
Satria
mengambilnya dan memakannya. Jihan ikut makan. Meski sebenarnya, Jihan membeli
dua roti dan dua susu dingin bukan untuk Satria dan hanya untuk dirinya, tapi
ia harus memberikan sesuatu untuk membayar seseorang yang menemaninya makan
siang. Satria memakan roti dengan raut muka senang. Ia juga menghabiskan susu
dinginnya. Jihan ikut senang.
“Hmhaaa!” Satria
menepuk-nepuk perutnya.
Jihan tersenyum
sambil menyeruput sedotan terakhir susu dinginnya.
Tiba-tiba Satria
memiringkan tubuhnya dan menyadarkan kepalanya di bahu Jihan.
“Hmf!” Jihan
menahan napas.
“Terima kasih,
ya!” kata Satria.
Jihan mengintip
pandang. Satria sedang tersenyum dengan senangnya. Jihan memejamkan mata.
“Lumayan.
Sekarang, aku benar-benar lapar. Aku ingin makan enak dan banyak. Kau tahu
dimana tempat makan yang enak dan murah? Jadi aku bisa makan banyak.”
“Mmm…” Jihan membuka
mata. “Ada, Kak!”
“Benarkah?”
Satria bangkit meringankan bahu Jihan.
“Hm!” Jihan
mengangguk. “Di sana enak dan murah. Hanya mie ayam sih…tapi aku sangat suka.
Enak sekali.”
“Ayo kita ke
sana!”
“Ayo! Aku yang
traktir!”
“Tidak usah. Aku
saja!”
“Tidak, Kak.
Jangan kau, aku saja!”
“Hmh,” Satria
berdiri. “begini saja. Bagaimana kalau kita berlomba? Siapa yang makan paling
banyak, dia yang menang. Yang kalah yang bayar!”
Jihan tertawa.
“Kau menantangku ya, Kak! Aku ini sangat kuat makan. Kau bisa kalah.”
“Benarkah? Kalau
begitu ayo kita buktikan!”
“Ayo!” Jihan
berdiri dan bersemangat.
Di sebuah stand mie ayam di depan kampus. Jihan
sudah menghabiskan dua mangkuk mie ayam. Ia sedang menuju mangkuk ketiga.
Satria baru akan menghabiskan mangkuk keduanya. Satria terengah-engah. Ia tidak
kuat lagi. Rasanya memang sangat enak. Karena harganya murah, porsinya pun
terbatas. Tapi sudah cukup jika dibantu minum.
Jihan menyeruput
mie terakhirnya. “Nah! Aku menang!”
Satria tersenyum.
Ia menyerah dan meneguk segelas air putih. “Baiklah. Aku menyerah.”
Jihan tersenyum
puas.
“Aku yang
traktir…kau memang luar biasa!” puji Satria.
Jihan
menepuk-nepuk dadanya. Berlagak sombong.
“Hhh..hari yang
menyenangkan!” Jihan menutup laci lokernya di ruang ganti karyawan hotel. Ia
baru masuk bekerja setelah pulang kuliah dan langsung menuju hotel.
“Jihan!” Bibi
tiba-tiba muncul.
“Ng?” Jihan
terkejut melihat raut wajah Bibi yang cemas. “Kenapa?”
“Aku sudah
memperingatimu, bekerjalah dengan serius.” Bibi manyun.
“Iya. Aku memang
serius. Kenapa?”
“Pergi dan
bereskan masalahmu di kamar nomor 1255 di lantai 4. Di sana ada tamu asing. Dia
mengaku kehilangan kartu kreditnya!”
“Lalu?”
“Kau
meninggalkan buku pelajaranmu di sana! Jadi kau tertuduh.”
“Apa??”
Bibi sangat
cemas. “Aku percaya bukan kau pelakunya. Tapi…ahk! Sudah kubilang, pisahkan
kepentingan kuliahmu dengan pekerjaanmu. Lihat apa yang kau lakukan!”
“Bibi, maaf. Aku
tidak sengaja. Itu karena aku sedang terburu-buru pulang, tapi temanku
memintaku menggantikannya sebentar karena ia sedang sakit perut dan harus ke
kamar mandi. Aku sudah berganti pakaian dan akan pulang ketika aku bertemu
dengannya. Jadi aku membantunya.”
“Ahk, sudah.
Sekarang pergilah ke sana dan selesaikan pekerjaanmu!”
Jihan dituduh
mencuri. Tapi ia sama sekali tidak melakukan apa-apa. Ia hanya membersihkan
ruangan sebagaimana pekerjaannya sebagai roomgirl
part time. Jihan di bawa ke ruang
manajer dan diinterogasi. Jihan tetap mengelak karena tidak melakukan hal itu.
“Baiklah. Aku
percaya kau tidak melakukannya. Kasus ini akan mencemarkan nama baik hotel
kita. Kasus ini juga sudah ditangani polisi. Rekaman CCTV juga sudah di bawa
mereka untuk barang bukti. Selama kasus ini belum selesai, kau akan di scors
sampai waktu yang tidak bisa kupastikan.”
“T-tapi…aku…”
“Sudahlah. Kalau
kau memang tidak bersalah, kau tenang saja.”
Jihan lesu.
“Hari ini, kau
kuliburkan. Jadi beristirahatlah dengan tenang di rumah.” Manajernya menyerahkan
buku pelajaran Jihan.
Jihan
mengambilnya. Ia menyerah meski ia sudah berusaha menjelaskan. Tapi
kesalahannya adalah memakai pakaian bebas saat bekerja, melakukan pekerjaan di
luar jam kerja, membawa tas ke ruangan. Karena itulah ia dicurigai.
Jihan pulang
denga lesu. Menunggu bis di halte dekat hotel lalu naik bis untuk pulang. Ia
turun bis, lalu menyusuri jalan menuju rumah.
“Aku lebih baik
mencari pekerjaan lain. Kalau begini, aku akan selalu dicurigai. Padahal bukan
aku yang mengambilnya. Tapi dimana…?” keluh Jihan.
Pagi hari di
kampus. Jihan pergi ke kampus sendirian. Anggi tidak ada kelas pagi jadi dia
akan berangkat siang. Jihan berjalan lesu dan tidak bersemangat. Ia masih
memikirkan kejadian kemarin. Ia tidak bisa tidak kuliah. Itu akan memberatkan nenek
dan bibi. Jihan berhenti di sebuah papan pengumuman jalan masuk menuju gedung
kampus.
“Benar! Biasanya
di papan pengumuman banyak info lowongan pekerjaan paruh waktu untuk
mahasiswa!”
Jihan sedang
memperhatikan papan pengumuman di GOR. Biasanya di sana banyak terpampang info
lowongan pekerjaan sampingan atau part
time. Kalau di papan pengumuman dekat gedung kelas atau di lobby isinya
lebih banyak hiburan. Tangan Jihan menyisir satu per satu iklan di sana. Tidak
ada yang menarik. Jihan menghela napas sambil mengencangkan tali ranselnya.
Satria yang
kebetulan lewat tersenyum melihat Jihan. Ia mendekati Jihan diam-diam. Ia berniat
untuk mengagetkan Jihan.
Juna muncul. Ia
juga kebetulan lewat. Ia berhenti melihat Satria yang mengendap-endap mendekati
Jihan dari belakang. Jihan baru akan berbalik. Tiba-tiba Satria tersandung
plastik berisi sedikit air. Juna terkejut menahan napas. Satria nyaris terjatuh
dan menubruk Jihan.
“Aaa!!!” Jihan terpejam sambil memekik. Kejadiannya
begitu cepat, Jihan reflek menghalangi datangnya wajah Satria dengan tangan
kirinya.
Jihan terkejut.
Ia terdesak merapat ke papan pengumuman. Satria menahan diri dengan kedua
tangan menyentuh papan dan mengurung Jihan di antaranya. Satria berhenti.
Tangan Jihan menyentuh mulutnya. Jihan membuka sebelah mata secara perlahan
lalu keduanya. Jihan terkejut melihat ia berhadapan sangat dekat dengan Satria.
Keduanya beradu tatap dan diam selama beberapa detik. Satria meraih tangan Jihan
yang menahan mulutnya.
“Kau bukan Rinjani. Kau sama sekali tidak sama. Sangat
berbeda.” Satria
mendekatkan wajahnya ke arah Jihan.
Jihan mundur
menghindar. Matanya terbelalak lebar. Tangan Jihan menahan Satria. Jarak
keduanya begitu dekat sampai Jihan bisa merasakan hembusan napas Satria. Jihan
melihat kedua mata Satria. Tiba-tiba hatinya berdebar dan sedih tidak karuan.
Bukan Satria.
Tapi Juna. Sorotan mata itu justru mengingatkannya pada Juna. Juna kecil yang beradu
tatap saat berebut roti dengannya empat belas tahun lalu. Sorot mata Juna yang
muncul menolong Jihan saat jatuh di gunung. Sorot mata Juna ketika Jihan meminta
Juna menjauhinya. Sorot mata Juna waktu menolongnya di gedung tidak terpakai
tempo hari. Jihan merasa sesuatu yang salah telah terjadi.
Juna berusaha
membuang pandangan tapi selalu saja kembali. Juna akhirnya pergi. Satria
menarik diri. Ia melepaskan tangan Jihan dari mulutnya.
“Aku..mengejutkanmu,
ya?” kata Satria.
Jihan terbata
belum menjawab.
“Aku memang akan
mengejutkanmu. Tapi aku terpeleset.” Satria tertawa memperlihatkan plastik yang
masih menempel di sepatu kets-nya. “Oh iya, aku baru akan mengajakmu pergi ke
suatu tempat malam ini. Apa kau mau ikut?”
“A-aku…”
“Kau libur hari
ini, kan? Aku tahu karena aku selalu menghitungnya.” Satria tersenyum.
“Aku sedang di skors, jadi aku libur…” batin
Jihan.
“Hanya undangan
makan malam bersama. Di sebuah cafe
biasa. Kalau kau tidak keberatan. Maksudku…” lanjut Satria.
Melihat sikap
Satria yang seperti sangat berharap, Jihan merasa tidak enak untuk menolak.
Lagi pula dia memang sedang libur. Bukankah Jihan juga menyukai Satria dan
sangat berharap Satria memintanya menjadi pacarnya? Mungkin saja ini saatnya.
Jihan
mengangguk. “Iya. Aku mau.”
Satria tersenyum
lebar. “Baiklah. Jam tujuh malam. Kujemput.”
“Eh? Tidak usah.
Nanti aku pergi ke sana sendiri saja. Hari ini Bibi masuk malam. Dia baru akan
pergi jam delapan malam. Kalau dia tahu aku pergi bersama laki-laki, dia akan
menyuruh Anggi untuk menemaniku. Ups!” Jihan menutup mulutnya.
Satria tertawa.
“Baiklah. Kau sudah dewasa, tidak usah ditemani segala. Aku mengerti. Nanti
kukirim pesan padamu dimana tempatnya. Nah, sampai jumpa nanti malam. Dandan
yang cantik, ya!”
Satria pergi. Jihan
menghela napas panjang. “Huhf….nyaris saja!” Jihan pergi ke kelas. Belum sampai
kelas, Jihan dicegat Gilang dan kawan-kawannya.
“Nah, di sini
kau rupanya!” kata Gilang.
Jihan terkejut
nyaris melompat. Ia masih agak takut dengan Gilang.
“Aku ingin
bicara empat mata denganmu.”
Muncul Argha,
Kris dan Danu.
“Mungkin
maksudmu empat orang.” Jihan memperhatikan ketiga teman Gilang.
Gilang melirik
ketiga temannya. “Baiklah. Aku hanya ingin memastikan sesuatu padamu.”
“Apa kau sudah
punya pacar?” tanya Kris.
“Ha?” Jihan
melongo. “Kalian ini kenapa?”
“Katakan saja.
Atau kau sedang menyukai seseorang?” Danu menggilir.
“Sebenarnya apa
mau kalian?”
“Kau tidak
sedang menggoda Juna dan berharap menjadi pacarnya, kan?” Gilang mempertegas.
Jihan tertawa
meledek. “Juna? Kalian sudah gila? Minggir, aku mau ke kelas!”
“Hey, kau ini!”
Kris menahan Jihan. “Biar pun sekarang kita berteman. Atau setidaknya kita
tidak sedang bermusuhan, tapi kami ini juga kakak kelasmu. Jadi hormatilah.
Seenaknya saja.”
“Apa?” Jihan
mengernyitkan dahi.
Argha menengahi.
Ia menahan ketiga temannya. “Maafkan kami. Mungkin kita bisa bicara berdua
kalau kau punya waktu?”
Jihan
menggelembungkan mulutnya. Ia memandang berkeliling empat sekawan itu. Kalau
mereka sedikit sopan mungkin Jihan akan meladeni meski ia tidak mengerti apa
maksud mereka.
“Baiklah. Lima
menit.” kata Jihan.
Argha menengok
Gilang. Dengan sendirinya Gilang, Danu dan Kris menjauh dan meninggalkan Argha
sendiri.
“Karena waktuku
hanya lima menit, aku akan langsung pada intinya saja. Apa kau menyukai Juna?”
tanya Argha.
“Ha?” Jihan
melongo sekali lagi. “Itu masih belum pada intinya. Aku masih tidak mengerti.”
“Jawab saja.”
Jihan
memiringkan kepalanya dengan pandangan menyelidik ke arah Argha. “Tidak.”
“Baik. Apa kau
pernah berpikir kalau Juna bisa menyukaimu?”
“Hah??” Jihan
terkejut. “Bagaimana itu bisa terjadi? Tidak mungkin dan aku tidak pernah
memikirkan itu.”
“Juna pernah bercerita.
Bahwa kalian pernah bertemu waktu kalian masih anak-anak.”
“Hah, Itu lagi,”
Jihan terkekeh. “Itu tidak seperti yang kau kira. Tidak seperti drama korea,
dimana masa kecil yang baik bisa melibatkan cinta dan tumbuh di kemudian hari.”
Argha tersenyum.
“Benar. Kalian sama sekali tidak berteman baik. Tidak ada hubungannya ke arah
sana. Kalian hanya saling membenci. Aku tidak paham seberapa bencinya kalian.
Tapi pernahkah kau tahu, ada sebuah larangan…jangan terlalu membenci orang
secara berlebihan dengan alasan yang tidak jelas. Suatu saat, kau bisa jatuh
cinta. Batas benci dan cinta itu setipis kulit bawang. Perasaan yang berlebihan
bisa merobeknya dan merubah perasaanmu.”
“Tapi aku juga
tidak membencinya separah itu. Aku sudah cukup senang tidak lelah karena
berbalas-balasan dengan Juna. Maksudku, bermusuhan itu melelahkan. Aku sangat
menikmati perbaikan ini, mungkin tidak berteman tapi tidak bermusuhan. Aku
tidak ingin berpikir sejauh itu. Aku tidak ingin merubah keadaan sekarang
dengan apa pun.”
“Kudengar kau
sedang dekat dengan Satria.”
“Itu urusan
pribadiku. Kenapa kalian ikut campur?”
“Tidak. Aku
hanya merasa…” Argha mengorek telinganya. “Sedikit menggangguku. Bahwa kedekatan
kalian karena…”
“Apa?”
“Maksudku, apa
kau kenal Rinjani?”
Jihan tersenyum
meledek. “Kenapa? Aku mirip dengannya?”
“Entahlah.
Kadang aku merasa kalian seperti kembar.”
“Aku tahu
maksudmu. Tapi pikiranmu terlalu sempit.”
Argha tertawa. “Juna.
Meskipun dia keras, tegas dan galak. Tapi hatinya baik.”
“Oya? Hati yang
baik seperti memacari banyak gadis hanya selama enam bulan? Kalian memang
hidung belang.”
“Tidak. Mungkin
kami playboy tapi kami bukan hidung
belang. Itu dua hal yang berbeda. Lagi pula, mantan-mantan yang enam bulan itu
hanya sekelompok gadis yang tidak mampu. Mereka berlomba berlama-lama pacaran
dengan Juna. Kalau mereka tidak cocok, kenapa harus dipertahankan lama-lama?
Kau tidak membuat survey berapa pacar Juna yang pacaran kurang dari enam bulan?
Mereka tidak akan bersuara karena mereka sudah pasti kalah dan malu. Jadi yang
mencapai enam bulan yang bersuara lantang.”
“Lalu?”
“Juna itu mudah
iba. Mungkin dia iba padamu.”
Jihan diam.
“Rasa iba
menimbulkan rasa kasihan. Kasihan yang tidak ingin menyakiti. Kadang membuat
seseorang merasa ingin melindungi. Bahkan menimbulkan rasa sayang dan
membangkitkan semangat untuk membahagiakan orang itu.”
“Jadi, apa
istimewanya rasa kasihan?”
“Aku tahu kau
tidak ingin dikasihani. Tapi kau akan lihat sendiri bedanya. Jika kau mau tahu
seperti apa, tunggulah di rumah malam ini jam sembilan malam.”
“Katakan saja
ada apa! Aku tidak akan ada di rumah pada jam itu. Aku ada urusan.”
“Aku tidak
memaksamu. Kalau kau tidak bisa tidak apa-apa. Tapi jika kau bersedia, kau bisa
buktikan sendiri.”
Argha tersenyum
lalu pergi. Jihan masih tidak mengerti. Ia berdiam diri memandangi Argha pergi.
Jihan berjalan
lesu menuju kelasnya. Tiba-tiba ia melihat Juna di ujung koridor. Jihan
memperhatikannya. Jihan berpikir sejenak. Sedetik kemudian, Jihan memutuskan
untuk mengikuti Juna. Ia harus menanyakan langsung apa maksud keempat temannya
menemui Jihan barusan. Mungkin saja itu suruhan Juna.
Jihan mengikuti Juna
setengah berlari. Dari arahnya, sepertinya Juna menuju sebuah tempat yang bisa
ditebak. Jihan merasa curiga. Ternyata benar. Juna masuk ke ruang sekretariat
mahasiswa pecinta alam. Jihan menghampiri setengah mengendap.
“Kudengar kau
mencariku. Ada apa?” tanya Juna.
Satria dan dua
orang lainnya terkejut. Mereka berpandangan. Dari pandangan Juna yang melihat
Satria, mereka mengerti. Kedua orang teman Satria keluar.
“Iya. Aku memang
mencarimu. Ada yang harus kutanyakan padamu.” Jawab Satria.
Jihan baru
sampai. Melihat dua orang keluar, Jihan bersembunyi di balik tembok. Pintu
ditutup. Jihan semakin penasaran. Ia mendekati ruang itu. Ia menempelkan
telinga di pintu sambil memperhatikan sekeliling. Aman. Sepi.
“Aku cukup tahu
antara kau dan Jihan.” kata Satria.
Jihan menguping.
Juna terkekeh.
“Antara aku dan Jihan? Apa maksudmu?”
“Kau selalu
membuatnya dalam masalah. Aku ingin kau berhenti mempersulitnya.”
“Mempersulit?
Seperti apa?”
“Aku menyukai Jihan.”
Jihan terkejut
menutup mulut.
“Lalu? Kau
berencana menjadikannya pacarmu lalu melarangku menghalanginya?”
“Mmm…bisa jadi.
Tapi lebih pada melindunginya. Aku tidak mau kau mengerjainya. Karena aku yang
akan menyelesaikannya. Meski kita satu angkatan.”
Juna menatap
Satria lurus tanpa ekspresi. Satria membalas tatapan itu. Keduanya beradu
tatap.
“Aku tidak suka
kau mendekati Jihan!” kata Juna.
“Kenapa? Kau tidak
mungkin cemburu bukan?” Satria dengan santai.
Jihan terkejut
di balik pintu. Ia semakin penasaran dan mencuri pandang di sudut jendela.
“Kau
mendekatinya bukan karena kau benar-benar menyukainya. Tapi karena dia mirip
dengan Rinjani.”
Jihan berjongkok
lagi. Jihan menahan napas. Jihan takut apa yang sempat dipikirkannya benar.
Satria diam.
Mereka beradu tatap dan diam lagi.
“Lalu kenapa?” Satria
buka suara. “Dia mirip atau tidak, aku tidak akan menyakitinya. Lagi pula dia
juga menyukaiku.”
Juna diam
mengepal tinju.
“Baiklah. Aku
akui, aku tertarik untuk mendekatinya karena dia memang sangat mirip dengan
Rinjani. Mungkin saja aku memang berjodoh dengan orang berwajah itu. Lalu
kenapa?”
“Kalau begitu
kau mati saja agar kau benar-benar bisa berjodoh dengan Rinjani! Tidak usah kau
bawa-bawa Jihan dengan masa lalumu!”
“Rinjani belum
mati! Dia hanya hilang dan belum ditemukan!” teriak Satria.
Jihan menutup
mulutnya. Syok!
“Belum mati.
Belum ditemukan. Lalu jika Rinjani kembali, bagaimana dengan Jihan?”
Jihan
mengendap-endap lalu kabur.
“Kau sendiri,
apa kau yakin dia masih hidup? Ini sudah dua tahun berlalu.” Lanjut Juna.
Satria diam
sejenak. Melihat Satria tidak merespon, ia berniat untuk pergi. Juna berbalik.
“Jihan memang
sangat mirip dengan Rinjani.” kata Satria.
Juna berhenti
sejenak.
“Tapi karakter
mereka berbeda. Jihan membuatku melupakannya. Bisa dibilang, aku lebih menyukai
Jihan dari pada Rinjani.”
Juna diam tidak
berkomentar. Ia lalu pergi meninggalkan Satria.
Jihan terus
berlari. Ia tidak percaya dengan yang didengarnya. Ternyata Satria mendekatinya
hanya karena dia mirip dengan kekasihnya yang dulu tersesat dan hilang di
gunung. Satria memang benar, tidak apa-apa karena Satria tidak akan melukainya.
Tapi tetap saja rasanya perasaan itu tidak sempurna. Perasaan apa? Jihan
menggeleng lalu kembali berlari.
Bersambung ke Chapter 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar