18 Desember 2014

Korean Pine Love - Chapter 8






Chapter 8
Cinta Pertama Jingga Neola





Lanjutan Dari Chapter 7

Jingga merunduk memijat kepalanya. Sekuat tenaga Jingga menahan rasa mual karena terlalu pusing. Bahkan ia harus berair mata karenanya. Hyeon Joo diam memperhatikan Jingga. Ia merasa bersalah dan kasihan. Tapi Hyeon Joo sangat penasaran.
Mianhanmida. Maafkan aku.” Kata Hyeon Joo sambil mengemudi.
“Hyeon Joo…bolehkah aku pulang saja? Aku tidak bisa bekerja seperti ini…”
“Baiklah. Aku akan mengantarmu pulang.”
Mereka terdiam sesaat. Jingga mengangkat kepala. Ia menyandarkan kepalanya di kursi. Ia memejamkan matanya. Air matanya menetes perlahan. Hyeon Joo sangat menyesal melihatnya.
“Jingga…kenapa kau tidak menelepon Rio saja?” usul Hyeon Joo.
Jingga membuka mata dan melihat Hyeon Joo. “Kenapa?”
“Aku rasa dia teman terbaikmu. Dia paling mengerti dirimu. Dia pasti tahu apa yang harus dilakukan untuk membuatmu tidak menangis lagi. Aku…hanya membuatmu sakit dan menangis saja.” Hyeon Joo tersenyum sendu.
Jingga menghapus sisa-sisa air matanya lalu tersenyum. “Kau juga teman terbaikku.”
Anio…Rio menemanimu selama tujuh belas tahun. Aku berteman denganmu tidak sampai setahun. Dia jelas lebih banyak tahu tentangmu daripada aku. Bukankah dia sangat baik padamu?”
Jingga hanya tersenyum.
“Apa kau menyukainya?”
“Ng?” Jingga bingung. “Aku…tidak punya alasan untuk tidak menyukainya. Sama sepertimu.”
“Jangan coba menghiburku. Kau yang butuh hiburaan. Aku rasa, Rio pacar yang baik untukmu.”
“Hyeon Joo, Rio adalah teman baikku. Dia bukan pacarku.”
“Tapi sepertinya kalian sangat dekat. Lebih dari sekedar teman biasa.”
“Tentu saja. Dia bisa menjadi teman sekaligus kakak bagiku.”
“Apa kau pernah jatuh cinta padanya?”
“Apa?” Jingga terkejut. “Yang benar saja.”
“Kulihat, dia memandangmu bukan sebagai teman atau adik. Dia melihatmu seperti gadis dewasa lainnya. Dia menyukaimu.”
Jingga tersenyum. “Aku tahu. Dia selalu mengatakannya. Dia sering memintaku untuk jadi pacarnya.”
“Benarkah?” Hyeon Joo balik terkejut. “Lalu kalian berpacaran?”
“Tidak. Aku tidak bisa jatuh cinta padanya.”
“Ng? Kenapa?”
“Tidak bisa…”
“Aku dengar. Tapi kenapa?”
“Kenapa kau ingin tahu?”
“Kalau itu benar, artinya aku menyakiti dua orang sekaligus. Kau dan Rio. Artinya aku memisahkan kalian. Aku harus mengembalikanmu padanya.” Hyeon Joo terlihat serius.
“Ng? Tidak. Aku tidak jatuh cinta padanya. Aku tidak bisa jatuh cinta padanya.”
“Kenapa?”
“Aku…” Jingga murung dan merunduk. “Sudah jatuh cinta sejak pertama kalinya pada seseorang.”
“O? Siapa?” Hyeon Joo menyelidik.
Jingga mengangkat kepala melihat Hyeon Joo. “Pada Hyeon Joo teman kecilku.”
“A-apa?” wajah Hyeon Joo memerah. Ia berusaha tetap fokus pada kemudinya.
“Benar. Aku sangat menyukai Hyeon Joo temanku. Dia baik, murah senyum, cantik, dan tidak pernah marah.”
“Cantik? Kau pikir aku perempuan?”
“Siapa bilang itu kau?” tantang Jingga. “Hyeon Joo temanku tidak pernah marah sepertimu. Kau bukan Hyeon Joo yang kumaksud meski kau juga temanku. Kau adalah Hyeon Joo Si Artis dan Hyeon Joo Si Pemarah.”
Hyeon Joo diam pura-pura tidak perduli.
“Aku selalu menunggunya datang. Aku merindukannya. Aku ingin terus bermain dengannya. Tapi karena sesuatu, jadi tidak bisa. Semakin lama, aku semakin merindukannya. Setengah mati, seperti orang bodoh.” Jingga murung. “Ketika aku beranjak dewasa, aku mengenal banyak laki-laki tapi tidak ada yang sebaik Hyeon Joo temanku. Itu membuatku terperangkap dan tidak bisa menyukai orang lain selain dia. Setiap aku kembali dari Bogor untuk menunggunya, aku selalu pulang dengan wajah murung dan sedih. Rio bilang, jika menyukai seseorang dan membuatku sedih terus adalah tidak baik dan aku harus melupakannya.”
Hyeon Joo diam mendengarkan.
“Aku juga ingin begitu. Tapi kalau aku melupakan Hyeon Joo, aku tidak bisa mengembalikan kalung itu.” lanjut Jingga. “Aku lalu merubah kebiasaanku. Aku mulai meniru Hyeon Joo dan lebih banyak mengingat hal-hal baik tentang Hyeon Joo. Semakin banyak kuingat, semakin aku merasa senang dan seolah Hyeon Joo selalu ada di sekitarku. Apa saja kuhubungkan dengan Hyeon Joo. Aku sudah gila.”
Hyeon Joo mengambil posisi menyeberang. Mereka hampir sampai.
“Hah…ternyata melegakan sudah bsia mengatakannya.” Jingga tersenyum.
“Apa karena itu kau ingin membantuku juga?” Tanya Hyeon Joo. Mereka memasuki jalan kecil menuju pabrik dan tempat kost Jingga.
Jingga mengangguk lalu mengangkat kepala. “Maafkan aku, Hyeon Joo. Aku sudah bertindak tidak professional sebagai teman dan karyawanmu. Aku sedang berusaha dan akan terus berusaha untuk tidak lagi mencampur adukkan perasaan dengan pekerjaan. Kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan menggodamu dan melakukan hal aneh atau merepotkanmu karena perasaan itu. Aku akan menghapusnya. Aku akan mulai move-on!”
Andhweyo. Tidak boleh!” kata Hyeon Joo. Ia berhenti di gang dekat rumah kost Jingga.
“Ng?” Jingga bingung.
“Kau tidak boleh melupakannya seperti aku melupakanmu. Kau tidak boleh menghapusnya.” Hyeon Joo menoleh pada Jingga. “Aku tidak tahu perasaanku padamu ketika menjadi Hyeon Joo waktu itu. Tapi aku rasa Hyeon Joo yang dulu juga akan mengatakan hal yang sama padamu.”
Jingga diam. Matanya kembali memerah melihat Hyeon Joo.
“Kau tidak boleh menghapus perasaan yang membuatmu kuat bertahan dan menungguku selama ini.” Lanjut Hyeon Joo. “Kalau bukan karena itu, kau sudah menyerah dan kita tidak akan sampai di sini.”
Keduanya bertatapan. Hyeon Joo mematikan mesin mobilnya, mereka sudah sampai. Jingga berkaca-kaca. Ia buru-buru menghapusnya.
“Tapi itu tidak mudah. Bukankah kau juga sudah melupakannya? Itu tidak akan sama lagi.” Kata Jingga.
“Jika aku bisa memilih, aku tidak menginginkannya. Aku tidak ingin melupakanmu.”
Jingga menangis lagi. Karena tidak tahan, Jingga hanya melempar senyum lalu turun dan keluar dari mobil Hyeon Joo. Jingga berjalan cepat menuju tempat kost-nya. Hyeon Joo turun dari mobilnya dan mengejar Jingga. Hyeon Joo memeluk Jingga dari belakang. Ia melingkarkan lengannya ke bahu Jingga.
“Kau harus menungguku lagi sampai aku berhasil mengingatnya. Kau harus terus membantuku untuk itu. Jika menurutmu aku bukan Hyeon Joo temanmu itu, maka aku harus kembali menjadi Hyeon Joo yang dulu.”
Jingga diam dan menangis. “Bagaimana jika itu tidak akan berhasil? Bagaimana kalau selamanya kau akan melupakanku? Atau kembali mengingatnya tapi kau berpikir bahwa persahabatan kita hanya omong kosong?”

Hyeon Joo kembali ke pabrik. Ia bahkan lembur hingga larut malam. Ketika pabrik mulai ditinggalkan sebagian besar pekerjanya, Hyeon Joo mulai merasa kesepian. Ia termenung di ruangannya. Mencoba mengingat sesuatu. Sesuatu yang diceritakan Jingga siang tadi. Hyeon Joo percaya pada Jingga, bahwa ia tidak bohong. Tapi kenapa sulit sekali otaknya mengiyakan dengan ingatan.
Hyeon Joo teringat dokter teman Eomma, Dokter Zia. Terakhir yang diingatnya, Hyeon Joo sedang di Seoul, di sebuah rumah sakit ketika Harabheojhi dirawat karena penyakitnya. Lalu terbangun di rumah sakit tempat Dokter Zia bekerja.
Eomma bilang, Hyeon Joo sangat sedih karena kematian Harabheojhi dan kurang tidur. Eomma dan Appa bermaksud mengajak liburan dengan pulang ke Indonesia. Selama perjalanan pulang, Hyeon Joo mengalami sakit demam tinggi. Hyeon Joo dilarikan ke rumah sakit tempat Dokter Zia bekerja. Anehnya Hyeon Joo tidak ingat apa-apa lagi selain dia sudah kembali lagi ke Korea dan menyelesaikan sekolahnya hingga tingkat SMP. Hyeon Joo melanjutkan sekolahnya hingga lulus universitas di Singapur. Di sanalah ia bertemu Aru, Joe, Nael dan Cyril. Mereka selalu bermain bersama, membentuk grup band dan berkarir sebagai musisi di Indonesia sebagai negara asal keempat temannya.
Entah penting atau tidak, tapi rasanya ia penasaran dan selalu merasa kekurangan jika tidak mengingatnya. Hyeon Joo mencari nomor telepon Dokter Zia di ponsel dan menghubunginya.
Annyeong haseyo…Dokter Zia?” sapa Hyeon Joo.
“Iya. Ini siapa?” Tanya Dokter Zia sedikit bingung.
“Aku, Kim Hyeon Joo. Ingat aku?”
“Oh…Shinta’s son…” Dokter Zia tertawa.
Ne. apa kau sedang sibuk?”
“Tidak. Aku sudah di rumah. Kenapa?”
“Ada yang ingin aku tanyakan.”
“Hm? Soal apa?”
“Tujuh belas tahun lalu…”
Dokter Zia sedikit terkejut.
“Aku ingin tahu riwayat kesehatanku sejak tujuh belas tahun lalu.”
“Ng…aku tidak mengerti maksudmu. Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Apa aku pernah mengalami kecelakaan dan aku terluka sangat parah? Bisa kau ceritakan detailnya?”
Dokter Zia pucat. Ia ingat Shinta pernah memintanya untuk merahasiakan itu. Tapi kenapa Hyeon Joo tiba-tiba menanyakannya. “Tidak. Kau baik-baik saja. Kecuali kau sakit demam tinggi karena stress dan mengalami koma. Kau terbangun dan hilang ingatan. Tim dokter bilang, kau melalui waktu yang sulit dan sangat tertekan. Kemungkinan otakmu tidak sanggup menerimanya jadi kau kehilangan sebagian ingatanmu.”
 “Benarkah?” Hyeon Joo tidak percaya.
“Benar. Kenapa kau bertanya soal itu? itu sudah lama sekali, Hyeon Joo…”
“Aku hanya ingin tahu. Karena…” Hyeon Joo tertegun. “Ada korban lain dan dia adalah temanku. Sekarang dia menemuiku tapi aku tidak mengingatnya.”
“K-kecelakaan apa?” Dokter Zia syok. Ia ketakutan. “Aku tidak mengerti apa maksudmu. Hyeon Joo, kau hilang ingatan dan orang tahu kau bukan orang sembarangan. Kau orang kaya. Berhati-hatilah terhadap orang asing yang tidak kau kenali. Mungkin mereka memanfaatkan kekuranganmu.”
Hyeon Joo diam sejenak. “Baiklah. Terima kasih. Selamat malam.”
Hyeon Joo menutup telepon. Ia belum puas. Ia tahu Dokter Zia telah berbohong dan ceritanya sama persis dengan yang Eomma ceritakan. Tapi kenapa mereka harus berbohong?
“Benar. Aku harus berhati-hati, tidak bisa percaya begitu saja pada siapa pun. Aku perlu membuktikannya sendiri.” Gumam Hyeon Joo.
Dokter Zia menelepon Nyonya Kim dan menceritakan semuanya. Bahwa Hyeon Joo meneleponnya dan menanyakan soal kecelakaan itu. Nyonya Kim terkejut.
“Zia, apa yang kau lakukan sudah benar. Sebaiknya kau hindari dulu anakku. Aku takut dia akan terus mencurigaimu.” Kata Nyonya Kim.
Nyonya Kim khawatir. Ia memutuskan untuk pergi ke Bogor dan tinggal bersama anaknya.

Hyeon Joo baru pulang kerja. Ia heran melihat mobil Eomma ada di rumahnya. Hyeon Joo masuk dan menemukan Eomma menunggunya di ruang tamu.
“Hyeon Joo!” panggil Eomma. “Apa pekerjaanmu terlalu banyak sampai kau pulang selarut ini?”
Anio.” Kata Hyeon Joo. “Aku hanya bermain-main di pabrik.”
“Hyeon Joo…dengarkan Eomma!” Eomma menahan anaknya. “Aku tidak tahu apa yang kau inginkan. Tapi berhentilah mencari tahu yang tidak pernah terjadi dan membuang-buang waktumu.”
“Ng? Terjadi apa?” Hyeon Joo bertingkah bingung.
“Hyeon Joo, apa kau tidak percaya padaku? Seseorang mungkin sedang memanfaatkan keadaan ini. Aku terlalu takut dan trauma mengingat bagaimana tertekannya dirimu waktu itu. Aku takut kau mengingatnya dan akan tertekan lagi.”
“Kenapa aku harus tertekan?”
“Hyeon Joo, kau sangat sedih dan tidak bisa mengendalikan dirimu. Kau menyakiti dirimu sendiri, tidak bisa tidur, tidak mau makan…itu membuatku menderita, Hyeon Joo. Kalau kau bertindak seperti ini, artinya kau tidak percaya padaku. Kau tega sekali, Hyeon Joo. Aku eomma-mu, Hyeon Joo…” Eomma menangis.
Hyeon Joo mendekat. Ia memeluk Eomma. “Eomma, aku bukan anak kecil lagi. Aku akan baik-baik saja. Eomma tidak usah terlalu khawatir. Aku tahu apa yang aku lakukan dan apa resikonya.” Kata Hyeon Joo lalu pergi.

Pagi hari di pabrik. Hyeon Joo baru tiba. Ia dikejutkan Jingga yang sudah ada di ruangan sebelum dirinya.
“Ah, Hyeon Joo!” Jingga terlihat semangat. “Oh! Annyeong haseyo…”
Hyeon Joo bingung melihat Jingga begitu bersemangat. Jingga membungkuk lalu berdiri dengan senyum lebar. Hyeon Joo menghela napas lalu berjalan ke mejanya. Hyeon Joo sedikit terkejut, mejanya berubah menjadi sangat rapi. Bahkan ada vas minimalis dengan bunga segar berisi air di mejanya.
“Aku tidak terlambat.” Kata Jingga. “Aku bahkan sempat membersihkan ruangan ini.”
Hyeon Joo memandang berkeliling. Semuanya rapi. Rak buku, rak merchandise. Hyeon Joo melirik komputernya.
“Ng?” Hyeon Joo bingung. “Apa ini?”
“Itu foto aku dan ibuku.” Jingga mendekat.
Hyeon Joo memperhatikan foto yang diselipkan diantara tombol keyboard-nya. Seorang anak kecil dengan seorang perempuan berseragam pabrik Joo Inhyeong. Anak kecil yang mirip laki-laki.
“Dia tidak mirip denganmu.” komentar Hyeon Joo.
“Benarkah?” Jingga melihat fotonya di tangan Hyeon Joo. “Aku…memang tomboy seperti anak laki-laki. Ibu bilang, kalau rambutku panjang, aku harus merawatnya, mengikatnya dan menghiasnya dengan aksesoris yang manis. Tapi Ibu tidak bisa membelikannya untukku. Jadi aku tidak bisa memiliki rambut panjang. Lagi pula itu membuatku gerah.”
“Ibumu.” Kata Hyeon Joo. “Dia tidak mirip denganmu. Dia cantik sementara kau tidak.”
“Isz…” Jingga manyun. “Aku mungkin tidak secantik ibuku. Tapi aku sangat manis. Bukankah begitu?”
Hyeon Joo mundur melihat Jingga tersenyum menggodanya. “Kenapa kau taruh ini di mejaku?”
“Supaya kau mengingatku.” Jingga mundur ke mejanya. “Kalau kau berusaha mengingatku sekarang ini, itu sedikit sulit karena aku sudah berubah. Aku sudah dewasa dan cantik. Jadi kau tidak akan ingat. Kalau kau lihat aku sewaktu masih kecil, siapa tahu kau akan mengenaliku dan mengingat semuanya.”
Hyeon Joo duduk di kursinya. “Baiklah. Kebetulan di rumah ada sedikit masalah dengan tikus.”
“Ng? Apa maksudmu?”
Wae?”
Jingga mendekati Hyeon Joo. “Kembalikan! Itu satu-satunya foto ibuku yang aku punya. Kami dulu sangat miskin bahkan untuk sekedar berfoto mengabadikan setiap momen.”
Anio!” Hyeon Joo menolak. “Kau bilang kau memberikannya untukku. Kenapa kau minta lagi?”
“Kembalikan!” Jingga berusaha merebutnya dari tangan Hyeon Joo.
Anio!” Hyeon Joo bersikeras menolak dan meledek.
Mereka saling berebut dan beradu kelihaian tangan. Hyeon Joo mengoper foto dari satu tangan ke tangan yang lain. Jingga yang kalah tinggi sedikit kesulitan. Manager Rudi mengetuk pintu dan masuk. Ia terkejut melihat Hyeon Joo dan Jingga sangat dekat.
Menyadari sesuatu terlihat aneh, Jingga berhenti dan mundur dari Hyeon Joo. Hyeon Joo bingung.
“Ma-maaf. Ada yang kulupakan. Nanti aku kembali. Permisi.” Manager Rudi pamit.
“Harusnya kuperbanyak dulu baru kuberikan satu untukmu.” Jingga sesungut lalu pergi ke mejanya.
Hyeon Joo membuka laci dan menyimpan foto itu. Ia mulai bekerja.

Jam makan siang tiba. Jingga menawarkan untuk makan bersama. Hyeon Joo bilang dia ingin makan di ruangan saja dan menyuruh Jingga menyiapkannya. Jingga keluar mencari makanan.
Hyeon Joo meneruskan pekerjaannya. Tidak lama Hyeon Joo teringat sesuatu. Ia membuka laci melihat foto itu. Tidak ingat. Hyeon Joo menutup lacinya. Lalu terhenti dan berpikir sejenak. Hyeon Joo kembali membuka laci dan melihat foto itu lagi. Dilihatnya Jingga kecil dengan senyum manisnya. Sangat manis seperti anak perempuan. Sayangnya, dia berpenampilan seperti anak laki-laki.
“Apa kau temanku? Apa kau ingat aku?” gumam Hyeon Joo memandangi foto itu. “Kau sudah dewasa dan cantik? Baiklah, kau benar. Kau juga sangat manis.”
Jingga kembali. Hyeon Joo menutup lacinya.
“Ayo makan! Aku lapar sekali.” Kata Jingga.
Mereka makan bersama di ruangan. Jingga sangat lapar dan dia tidak perduli dengan siapa ia makan, Jingga terus makan sesukanya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Telepon dari Rio. Jingga melirik Hyeon Joo dengan mulut penuh makanan. Hyeon Joo sedang menyuap dan melihat Jingga berhenti makan. Mereka saling melihat.
Jingga menelan makanannya. Ia menolak panggilan dan mencabut baterai. Hyeon Joo yang tidak tahu masalahnya bingung melihat sikap Jingga yang aneh. Jingga tersenyum dan melanjutkan makannya. Hyeon Joo kembali makan.

Sore hari. Waktunya pulang bekerja.
“Hyeon Joo, apa apa yang bisa kubantu lagi?” Tanya Jingga.
Anio.” Jawab Hyeon Joo tanpa melihat Jingga. “Wae?”
“Apa aku boleh pulang duluan? Cucianku menumpuk.” Jingga memelas.
“Sebentar lagi aku selesai. Kita pulang bersama saja.”
“Oh, tidak, tidak!” Jingga kelabakan.
Hyeon Joo melihat tingkah Jingga.
“Aku…tidak mau orang salah paham dengan kita.”
Hyeon Joo kembali bekerja. “Baiklah. Hati-hati.”
Jingga tersenyum. “Gamsahanmida….”
Hyeon Joo pulang satu jam kemudian. Eomma menunggunya untuk makan bersama, tapi Hyeon Joo menolak dengan alasan lelah dan ingin langsung tidur.
“Nanti aku turun untuk makan. Aku ingin istirahat dulu.” Hyeon Joo pergi ke kamarnya.
Eomma mengeluh di meja makan.
Hyeon Joo selesai mandi dan berbaring di kasur. Ia membaca pesan yang dikirim Jingga.
“Bos, besok kupinjam foto itu ya, aku perlu membuat arsip juga.”
Hyeon Joo tersenyum lalu tertawa. Ia tidak membalas pesan Jingga. Ia membuka laci dan mengambil agendanya. Diselipkan foto dari Jingga di agenda itu. Hyeon Joo memandanginya sambil berbaring. Semakin lama semakin terasa lelah dan mengantuk. Hyeon Joo akhirnya tertidur dengan foto Jingga di tangannya.
Nyonya Kim mengetuk pintu kamar Hyeon Joo. Tidak ada jawaban. Ia lalu membuka pintu sendiri dan melihat Hyeon Joo sedang tertidur. Nyonya Kim menghela napas mendekati anaknya. Ia duduk di sisi Hyeon Joo. Dipandanginya anak semata wayangnya. Nyonya Kim melihat Hyeon Joo begitu nyenyak tidur dan terlihat sangat lelah. Ia tiba-tiba menangis mengingat Hyeon Joo kecil.
Sejak kecelakaan tujuh belas tahun lalu, Hyeon Joo yang ketakutan karena tidak bisa melihat selalu menangis. Ia tidak mau makan dan selalu memanggil Harabheojhi. Hyeon Joo selalu takut untuk pergi tidur karena ia akan terbangun dengan menangis dan ketakutan. Hyeon Joo bermimpi buruk setiap harinya, melihat seorang anak kecil menangis berlumuran darah memanggil-manggil Hyeon Joo. Betapa sakitnya ia melihat Hyeon Joo terpaksa disuntik penenang agar ia bisa tidur dan beristirahat. Bahkan setelah Hyeon Joo kembali mendapatkan penglihatannya, Hyeon Joo tetap menjadi anak yang pendiam, pemurung dan sulit bersosialisasi. Hyeon Joo terpaksa dibawa ke psikolog anak bahkan menjalani terapi hipnotis untuk menghilangkan rasa trauma dan mimpi buruknya. Sebuah perjalanan yang berat dan menyakitkan.
Nyonya Kim bahkan tidak tega melihat anaknya harus mengalami kecelakaan untuk kedua kalinya. Ia nyaris kehilangan anaknya. Ia melihat tangan kanan Hyeon Joo yang mengalami kelainan saraf setelah kecelakaan dua tahun lalu.
Nyonya Kim tersentak. Ia melihat sesuatu di tangan anaknya. Perlahan Nyonya Kim mengambilnya. Nyonya Kim terkejut. Nyonya Kim keluar kamar Hyeon Joo dan menelepon Manager Rudi.
“Manager Rudi, apa kau tahu anak kecil yang dulu membuat anakku kecelakaan?” Tanya Nyonya Kim cemas.
“I-iya, Nyonya. Sekarang mereka berteman lagi.” Jawab Manager Rudi yang tidak mengerti Nyonya Kim menanyakan itu.
“Apa??” Nyonya Kim terkejut. “Sejak kapan? Bagaimana itu bisa terjadi?”
“Nyonya, bukankah anda pernah bertemu dengannya waktu demo pekerja itu? Satu-satunya pekerja yang ada di pabrik waktu itu dan menjadi pemicu demo para pekerja.”
Nyonya Kim menerawang mengingat sesuatu. “Petugas QC itu?”
“Iya, Nyonya. Namanya Jingga Neola. Sekarang bahkan dia sudah menjadi sekertaris CEO Kim Hyeon Joo dan bekerja satu ruangan dengan Hyeon Joo.”
Nyonya Kim lemas terduduk di lantai. “Itukah sebabnya? Itukah sebabnya anakku tidak mempercayaiku dan menyelidiki kecelakaan itu? Tidak. Ini tidak boleh dibiarkan. Aku tidak ingin anakku sakit lagi. Aku harus melakukan sesuatu.”
“Halo? Halo, Nyonya Kim?” Manager Rudi masih di telepon.
“Manager Rudi, dimana dia tinggal sekarang?” Nyonya Kim sudah mendapati dirinya kembali.

Nyonya Kim mendatangi tempat kost Jingga. Ia menemui Jingga malam itu juga. Jingga syok dan bingung ada perlu apa dan bagaimana Nyonya Kim bisa tahu tempat kostnya. Nyonya Kim mengajak Jingga bicara di luar. Jingga menurut meski Nyonya Kim terlihat menakutkan seperti yang dikatakan Hyeon Joo waktu kecil, seperti pohon beringin.
“Apa kau akan benar-benar membunuh anakku, Hyeon Joo?” Tanya Nyonya Kim menahan emosi.
“Apa?” Jingga bingung.
“Apa salah anakku sampai kau terus berusaha mencelakainya??” Nyonya Kim berteriak kesal.
Jingga diam. Ia bingung dan takut.
“Aku berusaha keras membuat ia melupakan masa lalunya yang mengerikan tapi kau malah membawanya kembali. Apa kau tidak tahu betapa menderitanya aku melihat anakku sakit?” mata Nyonya Kim memerah. “Setiap malam ia tidak bisa tidur dan tidak mau tidur karena takut melihatmu dalam mimpi, berlumuran darah memanggl-manggil nama Hyeon Joo. Aku bahkan harus menyewa dokter untuk berjaga di rumah, menyuntikkan penenang di usianya yang masih kecil. Mengajaknya ke psikolog, bahkan psikiater seolah orang gila dan berhasil sembuh melupakan semuanya dengan hipnoterapi setiap minggu. Sekarang kau membangkitkan penderitaannya lagi! Kenapa kau dan ibumu sangat ingin Hyeon Joo-ku mati?”
Jingga menangis. Ia benar-benar tidak tahu Hyeon Joo semenderita itu. Ia sama sekali tidak pernah tahu dan tidak pernah sengaja melakukannya.
“Bukankah sudah kuberikan uang pada ibumu agar menjauhi anakku? Kenapa kau kembali?”
“Ibuku sudah mati.” Kata Jingga. “Dia tidak bersalah. Aku yang patut disalahkan, Nyonya.”
Nyonya Kim tertawa sambil menangis. “Iya, dia memang akan mati. Kalau kau tahu diri seperti ibumu, jauhilah anakku!”
Nyonya Kim pergi. Jingga terududuk di tanah. Ia menangis tertunduk meremas tanah menahan emosi.

Hyeon Joo mengigau. Ia berkeringat dingin. Hyeon Joo terbangun dan berteriak. Napasnya tersengal, ia ketakutan.
“Jingga!” kata Hyeon Joo. Hyeon Joo menangis ketakutan.
Hyeon Joo mencari foto Jingga dan ibunya. Tapi tidak ada. Padahal ia yakin, ia memgangnya sebelum tidur. Tapi dimana sekarang? Hyeon Joo mengacak kasurnya mencari foto itu tapi tidak ditemukan. Hyeon Joo sesak napas. Asmanya kambuh. Hyeon Joo mencari obatnya di laci. Segera Hyeon Joo menghirup obatnya dan berusaha tenang. Hyeon Joo melihat pintu kamarnya tidak tertutup sempurna. Seseorang sepertinya telah masuk ke kamarnya ketika ia tertidur.
Terdengar suara mobil berhenti. Nyonya Kim baru pulang. Hyeon Joo bangun, ia menduga ibunya yang mengambil foto itu. Hyeon Joo berniat menemui ibunya.
“Anak itu muncul lagi. Dia akan merebut Hyeon Joo-ku. Dia ingin membunuh Hyeon Joo-ku.” Nyonya Kim panik berbicara di telepon dengan seseorang. “Hyeon Joo tidak boleh mengingat semuanya. Hyeon Joo tidak boleh sakit lagi. Aku akan sekarat melihatnya. Aku sudah memperingati anak itu, tapi aku masih saja takut.”
Hyeon Joo memperhatikan Eomma dari atas tangga. Ia diam membiarkan Eomma selesai bicara.
“Bisakah kau minta Hyeon Joo kembali ke Seoul saja? Biarkan saja dia melepaskan pabrik ini. Kumohon, sayang…” Rupanya Eomma menelepon Appa.
Hyeon Joo mundur. Ia kembali ke kamarnya tanpa setahu Eomma. Hyeon Joo menelepon Jingga. Tidak diangkat.
Jingga tidak tahu Hyeon Joo meneleponnya. Ponselnya hanya digetarkan dan berada jauh darinya. Jingga menangis di kamar tidak mengerti, uang apa yang dimaksud Nyonya Kim. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kata-kata Nyonya Kim begitu menyakitkan hatinya.
Hyeon Joo mengkhawatirkan Jingga. Karena tidak mendapat jawaban, Hyeon Joo berniat menemui Jingga.
“Hyeon Joo, kau mau kemana malam-malam begini?” Eomma menutup telepon melihat Hyeon Joo menuruni tangga.
“Aku ingin makan sesuatu di luar.” Hyeon Joo acuh dan pergi meninggalkan Eomma.
Jingga terlalu pusing dan bingung. Ia memutuskan untuk pergi ke Jakarta malam itu juga. Ia harus menemui Bibi Wuri. Mungkin bibi bisa menjelaskan semuanya. Bukankah mereka teman baik dan ibu sangat mempercayai Bibi Wuri. Itulah sebabnya ibu menitipkan Jingga pada Bibi Wuri. Jingga mengambil ponselnya dan melihat panggilan tidak terjawab dari Hyeon Joo. Jingga mematikan ponselnya dan mencabut baterainya. Jingga pergi.

Hyeon Joo tiba di tempat kost Jingga. Hyeon Joo terlambat. Jingga sudah pergi. Hyeon Joo menelepon tapi tidak aktif. Hyeon Joo berpikir pasti terjadi sesuatu dan Jingga sengaja menolak panggilan, bahkan mematikan ponselnya. Hyeon Joo menanyakan Jingga pada tetangganya, mereka bilang Jingga pergi beberapa jam yang lalu entah kemana. Tapi sepertinya terburu-buru.
Jingga sampai di Jakarta. Bibi Wuri baru selesai melayani pelanggan. Bibi terkejut melihat Jingga di rumahnya.
“Bibi, ceritakan padaku, apa yang Bibi ketahui tentang kematian ibuku?” Jingga terlihat sedih.
“Kematian apa?” Bibi bingung. “Bukankah kau sendiri tahu dia sakit parah? Kenapa tiba-tiba datang untuk menanyakan itu?”
“Bi, jujurlah padaku. Aku sudah dewasa dan berhak tahu yang sebenarnya. Apa ibuku menerima uang dari seseorang untuk kematiannya?”
Bibi Wuri terkejut. Ia berubah pucat dan ketakutan. “Ada apa denganmu? Aku tidak mengerti yang kau katakan.”
Bibi hendak meninggalkan Jingga di ruang tamu. Jingga tidak tahan untuk tidak menangis.
“Aku bertemu Hyeon Joo temanku, Bi.” Kata Jingga.
Bibi terhenti.
“Dia hilang ingatan.” Lanjut Jingga. “Aku kembali ke Bogor untuk membantunya mengingat semuanya lagi. Tapi ibunya datang dan memarahiku. Dia bilang, aku dan ibuku hanya ingin mencelakai Hyeon Joo. Aku tidak mengerti, kenapa ia membawa-bawa nama Ibu yang sudah mati. Dia lalu mengatakan soal uang.”
Bibi Wuri menangis.
“Uang apa, Bi?” Jingga menatap punggung bibi yang sudah seperti ibunya sendiri. “Aku sangat merindukan Hyeon Joo dan aku menyukainya. Tapi dia melupakanku. Aku berusaha keras membuatnya mengingatku. Tapi kenapa tidak boleh?”
Bibi berbalik melihat Jingga berair mata.
“Aku bekerja di pabriknya sebagai sekertaris. Kalau begini, aku tidak akan bisa bersamanya lagi. Aku akan jadi gelandangan dan hidup menyedihkan. Aku tidak akan kembali pada Rio juga Bibi. Aku tidak akan hidup bersama orang yang membohongiku seumur hidupnya.”
Bibi datang dan memeluk Jingga. Ia menangis juga. Bibi lalu menceritakan semuanya. Bibi bahkan masih menyimpan uang yang diberikan Nuria dari Nyonya Kim waktu itu. Ia tidak sudi menggunakannya.
Jingga syok dan menangis sejadi-jadinya. Kenapa ibu tega meninggalkannya sendirian. Kenapa Nyonya Kim begitu jahat pada ibunya yang miskin. Padahal ibunya sangat sayang pada Hyeon Joo, memberi makan, memandikan bahkan menidurkan Hyeon Joo di rumah gubuknya waktu kecil. Hyeon Joo mengalami kecelakaan demi menyembuhkan ibunya, tapi Nyonya Kim justru menyuruh ibunya bunuh diri. Jingga marah, ia mengacak-acak ruangan. Bibi berusaha menahannya dan terjadi keributan.
Rio baru pulang dan mengetahui keributan itu. Rio masuk ke rumah Bibi Wuri, ia menahan Jingga yang terus mengamuk dan berontak. Karena kesal, Rio lalu menggendong Jingga di bahunya keluar dan pergi meninggalkan rumah. Jinga meronta dan berontak untuk melepaskan diri. Tapi Rio terlalu kuat. Banyak orang memperhatikan mereka.
Rio membawa Jingga menjauh dari pemukiman. Mereka sampai di jalan masuk gang rumahnya yang sepi. Hanya disinari lampu jalan yang remang. Rio menurunkan Jingga yang sudah tidak begitu berontak. Jingga marah dan memukuli Rio. Rio diam saja menerima pukulan tidak bersalah dari orang yang dicintainya bertahun-tahun. Rio semakin tidak tega. Rio lalu memeluk Jingga menahan pukulan Jingga sekuat tenaga. Rio ikut menitikkan air mata. Meski ia tidak tahu masalahnya, tapi melihat orang yang dicintainya begitu frustasi, Rio tetap saja ingin menangis.
Hyeon Joo turun dari mobil dan berjalan kaki mencari Jingga. Hyeon Joo baru datang. Ia melihat Rio memeluk Jingga. Hyeon Joo berhenti. Ia cemburu dan marah.
Rio menenangkan Jingga. Ia menarik Jingga dari peluknya, memegang kepala Jingga dan membuat wajah mereka bertatapan.
“Kau tidak boleh seperti ini. Aku akan memecatmu kalau kau menangis segila ini. Kau harus tersenyum supaya kuberikan bonus pada gajimu.” Rio sudah tidak menangis tapi masih terlihat sisa air matanya.
Jingga tertawa meledek sambil menangis. “Aku memang sudah bukan karyawanmu lagi, bodoh.”
“Kau benar. Aku lupa.” Rio mengadu keningnya dengan kening Jingga.
Jingga berusaha tersenyum.
“Lupakanlah Hyeon Joo. Dia juga tidak mengingatmu. Kembalilah padaku, kau tidak akan menyesal. Aku akan membuatmu bahagia selalu.” Kata Rio.
“Bagaimana caranya?”
“Ayo kita pacaran dan memulai semuanya dari awal sebagai pasangan kekasih dan berakhir bahagia.”
Jingga melotot. Hyeon Joo menggeretakkan giginya yang rapi, ia tidak tahan melihat Rio dan Jingga berdua. Mereka terlihat seperti sedang menikmati musik dan berdansa bersama. Rio mendekatkan wajahnya seperti ingin mencium Jingga. Hyeon Joo tidak tahan dan pergi.
Jingga sigap menutup mulut Rio dengan kedua telapaknya. Jingga tersenyum sendu. Beberapa detik kemudian, Rio melepaskan Jingga.
“Kau tidak menyukaiku?” Tanya Rio. “Apa kau tidak bisa, sebentar saja menyukaiku. Jatuh cinta padaku dan melupakan orang korea itu?”
“Aku tidak bisa.” Jingga mundur selangkah. “Tidak apa-apa, bukan masalah jika Hyeon Joo melupakanku. Karena aku tidak akan melupakannya.”
Rio memandangi Jingga. Jingga tersenyum menghapus air matanya
“Aku baru menyadarinya. Aku menyukai Hyeon Joo lebih dari sekedar teman. Aku selalu merindukannya, menunggunya kembali. Tidak tahu kenapa, tidak mengerti sebodoh apa, aku terus saja menunggunya.” Lanjut Jingga. “Awalnya hanya karena dia temanku, lalu berubah menjadi sebuah harapan dan aku berdiri di sini. Aku marah karena aku menyukai orang itu. Menyukai orang yang membuat ibuku mempercepat kematiannya. Dan matanya…”
Jingga tertunduk menangis lagi. Jingga berusaha menahannya dan megeakkan kepala. “Mata sipit orang korea itu adalah mata ibuku.”
“Apa? Bagaimana bisa?” Rio terkejut.
“Aku juga baru mengetahuinya dan sangat marah. Tapi apa yang bisa kulakukan? Ternyata cinta membuatku sangat bodoh dan idiot.” Jingga beranjak pergi.
Rio menyusul dan menahan Jingga. “Lalu apa kau akan terus mendekatinya? Dia tidak akan mengingatmu. Kalau pun dia ingat, kau bukan apa-apa selain teman masa lalu yang tidak penting.”
Jingga tersenyum lirih. “Apa kau masih buka lowongan waitress? Aku tidak bisa menjadi pacarmu, hanya bisa menjadi teman dan pegawaimu. Aku tidak akan menemui Hyeon Joo lagi. Meski, ada ibuku di matanya.”
Rio mendekat. Ia merangkul Jingga dan mengajaknya pulang. “Tergantung dari usahamu. Berapa gaji yang kau minta?”
Jingga tersenyum lalu tertawa mendorong Rio.
Hyeon Joo pulang ke Bogor. Ia patah hati. Ia kesal, cemburu dan marah. Ia masih tidak ingat masa kecilnya. Ia hanya berhasil mengingat terakhir kali melihat Jingga di kecelakaan waktu itu.


Bersambung ke Chapter 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya