18 Desember 2014

Korean Pine Love - Chapter 7






Chapter 7
Hyeon Joo Pemilik Joo Inhyeong






Lanjutan Dari Chapter 6

Jingga datang satu jam lebih awal dari jam masuk kerja. Ia diam sejenak berhenti memandang pabrik Joo Inhyeong. Ia menghela napas lalu masuk ke pabrik. Jingga menuju ruangan Hyeon Joo. Ia membawa selembar amplop berisi surat pengunduran dirinya. Jingga terkejut melihat Hyeon Joo tergeletak di lantai.
“Hyeon Joo!!” Jingga berlari menghampiri Hyeon Joo. Diguncang-guncangkan tubuh Hyeon Joo.
Hyeon Joo perlahan membuka matanya. Dilihatnya Jingga begitu cemas dan ketakutan. Wajahnya sedikit sedih. Hyeon Joo memegangi kepalanya, terasa pusing.
“Hyeon Joo, kau kenapa?” Jingga ketakutan.
Hyeon Joo menghalau Jingga. Ia berusaha bangun sendiri. Jingga kembali meraih Hyeon Joo dan membantunya untuk duduk.
“Aku bisa bangun sendiri!” omel Hyeon Joo.
Jingga murung dan sedih. Wajahnya seperti berair mata. Hyeon Joo duduk dan memijat tengkuknya yang pegal. Dilihatnya Jingga yang masih sedih dan ketakutan.
“Maafkan aku. Aku hanya membuatmu selalu dalam kesulitan.” Kata Jingga dengan tertunduk.
Hyeon Joo diam sejenak. Hyeon Joo menarik Jingga ke dalam peluknya. Jingga terkejut lalu berusaha lepas. Hyeon Joo menahannya.
“Diam saja! Ada yang harus kukatakan.” kata Hyeon Joo. “Aku minta maaf, kau dipecat. Mulai hari ini kau tidak usah bekerja sebagai QC lagi.”
Jingga diam lalu menangis. Ia malu sekaligus merasa bersalah. Sebenarnya ia ingin tetap bekerja membantu Hyeon Joo dan selalu berada di sisi Hyeon Joo. Jingga ingin bertemu Hyeon Joo setiap hari. Tapi ia tidak bisa memaksakan keadaan. Ia hanya orang biasa yang bodoh dan miskin, tidak boleh bermimpi seperti itu.
“Bekerjalah di sampingku. Sebagai sekretarisku. Kalau ada yang protes, akan kupecat mereka.”
Jingga syok. Hyeon Joo melepaskan pelukannya. Ia tersenyum. Hyeon Joo melihat amplop putih yang dibawa Jingga.
“Apa itu?” Hyeon Joo merebutnya. Ia membacanya. “Kau cengeng dan berlebihan.”
Hyeon Joo merobek kertas itu. Jingga terkejut. Hyeon Joo berdiri dan menarik tangan Jingga.
“Lihat bagaimana caraku menyelesaikan masalah! Bukan dengan menangis dan melarikan diri seperti caramu!” Hyeon Joo pergi sambil menuntun Jingga bersamanya.
“Oh? Mau kemana kita? Apa yang akan kau lakukan?” Jingga bingung dan terburu-buru mengikuti Hyeon Joo.
Hyeon Joo ke ruang staf HRD.
“Buatkan aku pengumuman yang besar, dibutuhkan lima ratus karyawan yang bisa menjahit, diutamakan pengalaman. Tidak diperlukan ijazah. Jika ada yang melamar, langsung lakukan pengetesan, jika bagus langsung pekerjakan. Selesaikan dalam setengah jam. Bawa turun dan pasang di gerbang utama.” Kata Hyeon Joo. “Buatkan juga surat pengangkatan Jingga sebagai sekertarisku.”
Jingga syok tapi tidak bisa berkata apa-apa. Para staf belum sempat menjawab, Hyeon Joo yang masih menggandeng Jingga menariknya lagi ke suatu tempat.
“Apa itu barusan?” seorang staf terkejut. “Apa mereka berpacaran? Jangan-jangan Jingga adalah mata-mata, sebenarnya mereka pacaran tapi berpura-pura sebagai staf QC biasa.”
Hyeon Joo masuk ke ruang staf produksi.
“Berapa banyak produksi yang tertinggal karena demo ini?” Hyeon Joo mengejutkan para staf. “Lakukan kalkulasi, jika aku memecat mereka semua, butuh berapa karyawan untuk mempercepat dua kali lipat produksi? Laporkan padaku satu jam lagi!”
Hyeon Joo tidak menunggu jawaban dan kembali membawa Jingga ke luar pabrik.
“Aku rasa, para pendemo sudah salah. Jingga mungkin saja memang benar pacarnya Tuan Kim Hyeon Joo. Dan dia diperkerjakan secara rahasia.” Komentar staf yang lain.
Hyeon Joo lalu turun dan memerintahkan semua petugas keamanan mencopot dan membakar segala atribut unjuk rasa. Hyeon Joo akhirnya melepaskan tangan Jingga. Ia turun tangan bersama para Security merobek spanduk dan atribut unjuk rasa lainnya.
Jingga yang melihat usaha Hyeon Joo tanpa ragu, akhirnya ikut turun tangan. Jingga merobek karton bertuliskan protes di pagar. Hyeon Joo di sebelahnya sedikit terkejut melihat Jingga.
Jingga tersenyum. “Aku sudah janji akan membantumu. Ayo kita lakukan sampai selesai!”
Hyeon Joo tersenyum puas.

Joo Inhyeong memasang spanduk besar; dibutuhkan karyawan sebanyak mungkin segera. Spanduk itu mengundang para pendemo datang. Hyeon Joo sengaja memancing para pendemo. Ia menunggu di ruangannya. Jingga juga menunggu di sofa.
“Kau lihat?” kata Hyeon Joo. “Orang yang berdemo bukan dengan alasan professional, hanya akan merugikan diri mereka sendiri. Mereka hanya iri, dan itu tidak ada hubungannya dalam pekerjaan. Mereka berlagak penting. Aku bisa mencari lebih banyak dari mereka.”
“Kau sombong sekali.” Kata Jingga.
Hyeon Joo tersenyum begitu melihat banyak juga yang datang untuk melamar pekerjaan. Massa semakin banyak. Mereka mulai rusuh. Hyeon Joo keluar dan berdiri di balkon. Semua orang memperhatikan Hyeon Joo. Jingga menunggu di ruangan.
“Aku, Kim Hyeon Joo. Pemilik Joo Inhyeong. Aku berhak merekrut, mengangkat dan memecat siapa saja sesukaku tanpa perlu pertimbangan kalian.” Hyeon Joo bicara dengan pengeras suara. “Siapa yang tidak mau bekerja dan mematuhi perintahku akan dipecat tanpa hormat dan tanpa pesangon. Kalian yang karyawan tetap, sudah menandatangani surat pengangkatan. Ingatkah kalian pada poin perjanjian kerja sama itu? Tidak melibatkan urusan pribadi dengan pekerjaan dan merugikan perusahaan? Karena kalian melanggar, aku berhak memecat kalian tanpa pesangon.”
Semua pendemo terkejut. Jingga juga terkejut.
“Dia sudah membuka lowongan, akan langsung merekrut karyawan baru dan mengabaikan karyawan lama.” Seorang pendemo berbisik khawatir.
“Jika kalian berubah pikiran, laporkan padaku siapa provokator kalian, siapa koordinator aksi mogok ini, siapa saja yang menulis dan mengotori pabrikku dengan tulisan mereka. Kalian akan kumaafkan dan kembali bekerja seperti biasa, detik ini juga.”
Suasana menjadi semakin ricuh. Mereka mulai saling menyalahkan dan berebut masuk menemui Hyeon Joo untuk mengadu dan membela diri.
Hyeon Joo masuk ke ruangannya. Dilihatnya Jingga berdiri menunggunya.
“Kau sudah gila.” Komentar Jingga sambil tersenyum.
Hyeon Joo tersenyum lalu duduk di mejanya. “Cobalah kursi dan mejamu. Pastikan komputernya berfungsi dengan baik.”
“Shezs…” Jingga mendesis. “Kau orang Korea yang jahat.”
Hyeon Joo tertawa. “Aku hanya sedikit ambisius. Tidak cengeng dan mudah menyerah sepertimu.”
“Apa?” Jingga tersinggung.
“Isz, kau cerewet sekali. Sudah sana coba!” omel Hyeon Joo.
Jingga duduk di kursinya. Ia meraba meja dan komputernya. Ia tersenyum sendu. Hyeon Joo menopang dagu memperhatikan Jingga. Jingga mengeluh.
“Hyeon Joo…bisakah aku meminta sesuatu padamu sebagai seorang teman?” kata Jingga.
“Katakan saja.” Hyeon Joo mengetik sesuatu di komputernya.
“Aku tidak bisa menjadi sekertaris. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kalau keadaan sudah membaik, ijinkan aku kembali di QC. Aku nyaman di sana.”
Hyeon Joo menghela napas. “Bukankah kau sudah berjanji akan membantuku dan menyelesaikan semuanya?”
Jingga murung. “Hyeon Joo…untuk yang ini aku merasa berat dan tidak bisa. Ini sangat tidak masuk akal.”
“Tidak masuk akal?” Hyeon Joo berdiri. Ia berjalan ke meja Jingga.
Hyeon Joo berdiri di sebelah Jingga. Ia menyalakan komputer, membuka dokumen kosong Ms Word dan mengambil secarik pamphlet iklan boneka Joo Inhyeong di meja. Hyeon Joo mulai mengetik di komputer Jingga.
Jingga merunduk karena leher Hyeon Joo berada tepat di atas kepalanya. Jingga terkurung. Diperhatikannya layar monitor. Ketikan Hyeon Joo sangat lambat meski sudah menggunakan dua tangan. Beberapa hurufnya tidak tepat dan sering menggunakan tombol backspace. Dilihatnya tangan Hyeon Joo. tangan kanannya bergetar tidak karuan. Jingga tertegun.
Aigoo…” gerutu Hyeon Joo. “Bagaimana caranya mengetik ini?”
Jingga diam tertunduk melihat tangan Hyeon Joo yang terus berusaha mengetik meski bergetar tidak karuan. Mata Jingga menggenang air mata.
Aigoo…salah lagi.” Hyeon Joo menekan tombol backspace lagi. Tapi karena bergetar, terlalu banyak yang dihapus. Hyeon Joo terpaksa memulainya lagi.
Jingga menangis. Ia tidak tega melihat Hyeon Joo seperti orang bodoh yang berlagak pintar.
“Sudah, hentikan.” Kata Jingga.
“Hmm…tunggu sebentar. Aku hampir menyelesaikan satu kalimat.” Hyeon Joo terus mengetik.
“Hentikan, Hyeon Joo!” Jingga setengah membentak. Ia menarik tangan kanan Hyeon Joo dan memeluknya.  Jingga menangis di tangan Hyeon Joo yang masih bergetar. “Kumohon hentikan…”
Hyeon Joo diam. Ia menarik napas dalam lalu meletakkan dagunya di ubun-ubun Jingga. Ia melingkarkan tangan kanannya ke leher Jingga. Tangan kirinya menopang di meja.
“Maafkan aku, Hyeon Joo…maafkan aku…” Jingga menangis sambil merunduk. “Aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku tidak memikirkanmu.”

Hyeon Joo pulang ke rumah. Nyonya Kim sudah lama menunggunya.
“Hyeon Joo…jelaskan padaku, kenapa kau mempertahankan perempuan itu bekerja di pabrik?” Eomma mendekati putranya yang baru saja tiba.
Annyeong Haseyo, Eomma..” Hyeon Joo memberi hormat pada ibunya.
Nyonya Kim tertegun. Hyeon Joo lalu pergi ke kamarnya. Nyonya Kim menyusul.
“Hyeon Joo, kenapa kau percaya pada orang itu?”
Hyeon Joo berhenti. Ia berbalik dan menatap kedua mata ibunya.
“Eomma, dia bukan pembohong, kenapa aku tidak boleh percaya padanya?”
“Hyeon Joo, dia hanya akan mengambil keuntungan darimu. Lihat masalah yang sudah diciptakannya?”
“Eomma. Eomma adalah Eomma-ku. Jika seorang teman tidak berbohong dan aku tidak boleh percaya padanya, lalu aku harus percaya pada siapa? Pada Eomma yang bilang kalau kalungnya hilang kubawa bermain atau mengatakan bahwa aku mencurinya sendiri untuk temanku lalu aku kecelakaan dan hilang ingatan?”
Nyonya Kim terkejut bukan main. Bagaimana anaknya bisa tahu?
“Aku tidak ingat, Eomma. Aku cacat. Aku kecelakaan dua kali dan harusnya aku cacat karenanya. Aku tidak tahu apa-apa, Eomma. Eomma selalu bilang, setelah Harabheojhi meninggal, kau sempat membawaku ke Indonesia untuk menghiburku karena sedih. Tapi tidak lama, hanya seminggu lalu aku kembali ke Seoul. Benarkah itu Eomma?”
Nyonya Kim terbata. Mata Hyeon Joo memerah. Hidung dan bibirnya ikut memerah. Hyeon Joo ingin menangis tapi tidak bisa.
“Aku sudah cacat fisik. Lalu ternyata aku cacat pikiran.”
Nyonya Kim mengelus dada. Ia memegangi kepalanya yang terasa berat.
“Eomma…aku masih tidak bisa mengingat apa pun tentang itu. Bisakah kau ceritakan padaku?”
Nyonya Kim memberi isyarat agar Hyeon Joo menjauhinya. Nyonya Kim menangis.

Hari pertama bekerja sebagai sekertaris. Jingga diamati sinis. Ia tidak perduli lagi. Beberapa memang memandang sini terhadapnya, tapi beberapa bersikap biasa saja. Tapi ia harus yakin demi Hyeon Joo.
Jingga diam sejenak. Ia menarik napas perlahan dan akan membuka pintu ruang CEO Joo Inhyeong. Jingga terkejut melihat Hyeon Joo tiba-tiba membuka pintu. Hyeon Joo sudah tiba lebih dulu.
“Kalau kau terlambat lagi, kau akan kena SP! Cepat masuk!” Hyeon Joo kembali masuk dan membiarkan pintu terbuka.
Jingga masuk dan menutup pintu. “Bukankah jam kantor itu jam delapan? Ini masih setengah jam lebih awal…”
“Protes?” Hyeon Joo melihat Jingga.
“Ah? Tidak…” Jingga cengengesan.
“Karena aku bos-mu, kau harus tiba lebih awal dari aku. Jika aku masuk jam delapan, kau setidaknya sudah di ruangan satu jam sebelum aku.”
“Apa?” Jingga bingung.
“Kau harus boleh pulang setelah aku pulang atau setelah kuijinkan.” Hyeon Joo mengambil berkas di  mejanya. Ia menyerahkan berkas itu untuk Jingga kerjakan.
“Aku akan ada pertemuan bisnis besok. Aku sedang membuat presentasinya. Kau salin beberapa yang sudah kutandai dengan stabilo.”
Jingga membuka tiap halaman berkas itu. Ia membacanya dan mulai mengetik.
“Kau bisa membuat presentasi di power point, kan? Buat semenarik mungkin. Aku tidak boleh kelihatan tidak kreatif di depan klienku nanti.” Hyeon Joo mondar-mandir.
Jingga terus mengetik sambil membaca. Hyeon Joo mendekati meja Jingga. Ia melongok di atas monitor melihat hasil kerja Jingga.
“Lumayan. Kau cukup mahir soal komputer. Cukup cepat juga.” Puji Hyeon Joo.
Jingga tersenyum. “Aku memang mahir. Di SMA, aku selau juara soal pelajaran komputer.”
“Aku bilang lumayan.” Hyeon Joo berputar arah.
Jingga kembali mengetik dengan sesungging senyum. Sepertinya ia menikmati tugas pertamanya. Hyeon Joo memperhatikan Jingga dari jauh.
“Apa mengetik saja sudah baik menjadi sekertaris?” Tanya Jinga melihat Hyeon Joo.
“Ah?” Hyeon Joo buyar dari lamunannya. “Oh…mmm…tidak juga. Kau masih harus banyak belajar.”

Hyeon Joo menyuruh Jingga mencari makanan karena dia akan makan di ruangan. Jingga juga disuruh menemaninya makan di ruangan.
“Aku datang, Bos!” Jingga membuka pintu sambil membawa meja dorong berisi beberapa makanan.
“Aku suruh kau memesankan makanan, bukan membawakan makanan. Kenapa harus kau yang bawa itu?”
“Tidak apa-apa. Aku senang melakukan ini. Sepertinya mereka juga sedang sibuk.” Jingga mulai menata makanan di meja tamu. “Kemarilah. Aku sudah lapar.”
Hyeon Joo meletakkan berkas yang sedang dibacanya lalu menghampiri Jingga. Ia duduk memperhatikan kerepotan Jingga di sofa.
“Ini. Makanlah.” Jingga memberikan sepiring nasi. “Kau ambil sendiri laukmu.”
Hyeon Joo menurut. Jingga mulai melahap makanannya. Ia terlihat sangat lapar. Hyeon Joo tersenyum sambil menyuap nasi.
Di tengah-tengah makan, ponsel Jingga berbunyi. Jingga agak kesulitan. Ia meletakkan piringnya di meja. Ia mengangkat telepon dengan mulut masih penuh makanan.
“Ng? Rio?” Jingga antusias. Ia menelan makanan lalu minum. “Bagaimana kabarmu? Kenapa baru meneleponku? Apa kau tidak tahu aku sangat merindukanmu?”
Hyeon Joo melirik sinis. Ia memperlambat kunyahan makanannya.
“Apa kau sedang sibuk?” Tanya Rio di telepon.
“Tidak. Aku sedang makan bersama Hyeon Joo.”
“Kau makan bersama orang Korea itu?” Rio sedikit mengeras. “Cepat pergi jauh-jauh darinya. Mereka suka merebut makanan orang lain ketika sangat lapar.”
“Kau lucu. Hyeon Joo sangat baik.” Jingga malah tertawa. Kemudian ia sedikit berbisik. “Tapi dia sedikit galak dan menakutkan.”
“Nah! Benar kan, kataku?!”
“Eh, Jingga! Makan yang banyak, kau sangat mudah lapar dan lelah. Jadi makanlah yang banyak dan bahagialah!”
Jingga tersenyum menyuap nasi. “Iya, aku tahu. Kau sangat perduli padaku. Kau memang teman terbaikku, kau sangat mengerti aku.”
Prang! Hyeon Joo meletakkan piringnya di meja dengan sangat keras dan mengejutkan Jingga. Hyeon Joo minum dan segera berdiri.
“Kenapa dia?” Jingga bingung.
“Hey, Jingga! Ada apa?” Tanya Rio.
Hyeon Joo meninggalkan Jingga dengan muka ditekuk. Hyeon Joo kembali bekerja tanpa menghabiskan makanannya. Jingga mengacuhkan Hyeon Joo. Ia masih lapar dan asik bertelepon dengan Rio.
“Rio, apa kau kesulitan tanpa aku di sana?” Jingga cengengesan melanjutkan obrolan.
Hyeon Joo terbelalak. Ia tidak percaya Jingga mengacuhkannya. Jingga terus saja menelepon bahkan sambil makan. Hyeon Joo kesal. Ia mencari sesuatu di mejanya untuk melempar Jingga. Hyeon Joo mengambil penghapus karet dan melemparnya kepada Jingga.
“Aw!” Jingga mengaduh memegangi telinganya yang terkena lemparan Hyeon Joo. Dilihatnya Hyeon Joo.
Hyeon Joo terlihat tidak baik. Ia melipat tangan di dada dan sedikit melotot pada Jingga. Ia menunjuk jam di tangannya.
“Oh…Rio, nanti lagi, ya! Aku mendadak ada pekerjaan.” Jingga baru sadar.
“Apa? Mana bisa begitu? Pasti Orang Korea itu memarahimu, ya!”
“Dagh!” Jingga mematikan teleponnya.
“Dilarang pacaran pada jam kerja!” omel Hyeon Joo.
“Tapi ini bukan jam kerja. Ini jam istirahat.” Jingga murung. “Lagi pula aku tidak sedang pacaran, aku sedang menelepon.”
“Pacaran di tempat kerja! Menelepon pacara sama dengan pacaran.” tegas Hyeon Joo.
“Kau galak sekali. Dia bukan pacarku. Dia temanku. Teman baikku.” Jingga membereskan meja.
“Dia temanmu. Aku temanmu. Dia teman terbaikmu. Lalu aku apa?”
“Kenapa kau marah?”
“Sudah bekerja lagi sana!” Hyeon Joo sibuk.
“Kau seorang pemarah. Kau menakutkan seperti pohon beringin. Dingin, kaku dan menyeramkan.” Jingga meletakkan piring kotor di meja dorong.
Mereka berkeja kembali tapi saling diam seperti perang dingin. Manager Rudi masuk, melihat keduanya diam dan merengut, Manager Rudi keluar lagi.
“Mungkin nanti saja. Maaf…” bisik Manager Rudi seraya menutup pintu.

Waktu sudah semakin sore. Jingga belum keluar ruangan, ia menunggu bos-nya duluan. Hyeon Joo juga belum keluar ruangan. Ia sengaja menunggu Jingga keluar duluan.
Jam Sembilan malam. Jingga menguap. Ia lelah dan mengantuk. Hyeon Joo masih dingin di depan komputer. Jingga kedinginan, AC di ruangan terasa semakin dingin. Di luar sudah sepi. Ia mengintip Hyeon Joo, masih sibuk bekerja sambil memakai earphone.
“Hyeon Joo…” Jingga mengetes dengan memanggil Hyeon Joo.
Hyeon Joo diam saja. Ia fokus pada komputer dengan kedua telinga tertutup earphone. Jingga mengeluh. Ia lalu ketiduran di meja.

Jam dua belas malam. Hyeon Joo mendekati meja Jingga. Jingga tertidur. Hyeon Joo tersenyum, ia mengeluarkan ponsel dan mengambil gambar Jingga. Hyeon Joo lalu membangunkannya. Jingga terlelap dengan sangat. Ia tidak terusik.
“Hyeon Joo…pohon beringin…” Jingga mengigau.
Hyeon Joo tersentak. “Ho! Dasar tukang tidur dan pengigau!”
“Hyeon Joo si pemarah, tolong ibuku…” Jingga mengigau menangis dalam mimpi.
Hyeon Joo diam sejenak. Ia lalu berteriak di telinga Jingga. “Aku mau pulang! Apa kau mau menginap di sini??”
“Oh! Ho??” Jingga bangun seketika. Ia terkejut dan kelabakan. Melihat Hyeon Joo berjalan mendekati pintu, Jingga buru-buru merapikan meja lalu menyusul Hyeon Joo.
Hyeon Joo berjalan dengan khas, tangan kanan dimasukkan ke saku celana dan tangan kiri berayun. Jingga memperhatikan tangan Hyeon Joo. Hyeon Joo sangat keren tapi siapa sangka alasan gayanya adalah kekurangannya. Jingga mengikuti Hyeon Joo dari belakang.
Sesampainya di bawah, Jingga berhenti. Hyeon Joo masuk ke mobil. Jingga tidak berharap diantar, dia hanya berpikir bisakah menumpang? Tapi Jingga urung, lalu ia pulang sendirian.
Keluar pabrik, Hyeon Joo berhenti. Ia membuka kaca mobilnya dan menyuruh Jingga masuk. Jingga masuk dan diam saja. Sepanjang jalan Hyeon Joo dan Jingga diam. Hyeon Joo lalu memutar musik di tape. Sebuah lagu Super Junior – Good Person. Jingga menikmati lagu itu. Jingga tiba-tiba tersenyum.
“Pasti menyenangkan bisa bahasa korea. Apa kau mau mengajariku?”
Anio.”
Jingga manyun. “Kenapa?’
“Karena aku bos-mu bukan teman atau gurumu.”
“Memang kau bukan guruku, tapi kau temanku…”
“Bisakah kau diam? Kau merusak lagunya.”
“Baiklah bos…” Jingga buang muka. Ia berbisik, “Hyeon Joo Si Pemarah. Dasar manusia pohon beringin.”
Hyeon Joo menurunkan Jingga di depan kost-nya. Jingga turun.
Jingga merunduk dan tersenyum. “Gamsahanmida.”
Jingga belum mengangkat kepala, Hyeon Joo sudah pergi.
“Huh dasar Hyeon Joo Si Pemarah!” Jingga mencibir.
Hyeon Joo memperhatikan Jingga dari spionnya, “gomawo, Tto Mannayo. Sampai jumpa lagi.
Hyeon Joo tiba di rumah. Ia lelah dan merebahkan diri di kasur lalu menyebut nama Jingga. Jingga melakukan hal yang sama, di kasur menyebut nama Hyeon Joo.

Pagi hari di pabrik. Hyeon Joo sudah tiba di ruangannya. Ia sedang memutar presentasinya menggunakan laser point dan infocus.
Jingga baru tiba. Melihat mobil Hyeon Joo sudah terparkir di tempat biasanya, Jingga mengeluh. Itu artinya, Hyeon Joo sudah datang lebih dulu. Jingga naik ke lantai dua menuju ruang CEO. Jingga membuka pintu perlahan dan mengintip. Hyeon Joo membelakanginya. Jingga masuk diam-diam tanpa diketahui Hyeon Joo. Dilihatnya Hyeon Joo dari dekat.
“Berikutnya adalah peluang pangsa pasar yang bisa Joo Inhyeong raih.” Kata Hyeon Joo seolah sedang presentasi secara live. Hyeon Joo beralih ke halaman berikutnya.
Jingga melihat titik laser point tidak beraturan. Jingga melirik tangan Hyeon Joo yang bergetar. Ia merasa kasihan. Ia mendekati Hyeon Joo dari belakang secara perlahan. Jingga memegang pergelangan tangan kanan Hyeon Joo dan membantunya menunjuk arah.
Hyeon Joo terkejut. Jingga sudah datang dan berdiri di belakangnya. Hyeon Joo menoleh.
Jingga tersenyum. “Bagaimana? Aku bisa membantumu, kan?”
Hyeon Joo menjitak Jingga.
“Auh…apa salahku?” Jingga mengaduh.
Hyeon Joo menyudahi presentasinya dan duduk di ujung meja. Hyeon Joo memarahi Jingga yang terlambat.
“Sudah kubilang, kau harus datang lebih awal dari aku. Kenapa masih terlambat? Sengaja?” omel Hyeon Joo.
“Maafkan aku…aku sedikit mengantuk, jadi bangun lima menit lebih lama dari biasanya.” Jelas Jingga.
“Jangan terlena. Posisi sekretaris itu hanya sementara. Sampai presentasi ini selesai, kau bisa kembali di QC.”
Jingga sedikit terkejut. “Apa kau masih marah?”
Anio..” jawab Hyeon Joo dengan logat khas Korea. “Wae?”
“Tapi tidak apa-apa, aku memang tidak pantas jadi sekretaris. Kalau begitu, baiklah. Aku akan bekerja sampai presentasimu berhasil.”
 Telepon di meja Hyeon Joo berbunyi. Hyeon Joo mengangkatnya dan wajahnya berubah sedikit murung.
Jingga memperhatikan Hyeon Joo. Sepertinya terjadi suatu masalah serius.
“Baiklah. Sampaikan maafku untuk mereka.” Kata Hyeon Joo kepada orang yang menelepon. “Katakan bahwa kami mengalami sedikit kendala produksi. Tapi sudah kami tanggulangi dengan memperkerjakan pegawai freelance lebih banyak untuk mengejar kekurangan produksi. Dalam seminggu ini, jika pesanannya kurang dan terlambat lagi, mereka tidak usah membayar apa yang sudah mereka terima. Aku menjaminnya.”
Hyeon Joo selesai menelepon.
“Ada apa? Kenapa kau terlihat tidak senang?” Tanya Jingga.
“Beberapa perusahaan rekanan complain. Mereka kecewa pesanannya terlambat dan jumlahnya kurang.” Jawab Hyeon Joo.
Jingga murung, ia merasa bersalah. “Aku memang tidak seharusnya berada di sini. Aku hanya membuatmu dalam masalah.”
Hyeon Joo membawa berkas ke meja Jingga. “Aku akan bertemu klien siang ini. Pelajari itu dan kau harus ikut.”
Jingga bingung lalu menurut mempelajari berkas dari Hyeon Joo. Sepertinya berkas itu adalah yang tadi dipresentasikan Hyeon Joo. Jingga melirik Hyeon Joo. Hyeon Joo kembali sibuk bekerja.

Di perjalanan menuju restoran tempat janji dengan klien. Hyeon Joo mengajak Jingga ke sebuah mall dan membeli beberapa pakaian dan alat make-up. Jingga yang mengikuti di belakang bingung kenapa Hyeon Joo membeli pakaian wanita dan alat make-up. Mereka kembali ke mobil.
“Pergi ke toilet. Ganti pakaianmu dan berdandanlah.” Hyeon Joo menyerahkan belanjaannya pada Jingga.
“Apa? Ini untukku?” Jingga menerima dengan bingung.
“Lihat dirimu! Memakai celana bahan hitam, kemeja biru polos. Tidak berdandan. Kau tidak mirip sekertaris, kau lebih mirip asisten produksi. Apa kau ingin klienku berpikir perusahaanku tidak bonafit?”
Jingga memandang dirinya sendiri. Ia murung. “Kau benar. Aku payah sekali.”
“Sana cepat!”
“Baiklah. Tapi, kau tidak memotong gajiku untuk ini, kan?”
Hyeon Joo tertawa. “Tergantung hasilnya.”
“Hasil apa?”
“Kau bisa cantik atau tidak. Sudah sana. Lambat sekali.”
Jingga manyun lalu pergi. Setengah jam berlalu. Hyeon Joo asik mendengarkan lagu Sorry, Sorry oleh Super Junior. Ia memainkan kepalanya dan mengetuk-ngetuk setir dengan jarinya. Jingga tiba-tiba datang mengejutkan Hyeon Joo.
Jingga tersenyum. “Apa aku sudah cantik? Terlihat seperti wanita karir sungguhan, ya!”
Hyeon Joo heran melihat senyum Jingga. Rasanya seperti dejavu. Senyum yang tidak asing.
“Hyeon Joo!” Jingga menyadarkan Hyeon Joo. “Kau terpesona, ya?”
“Lumayan.” Hyeon Joo menyalakan mesin dan mereka pergi menemui klien.
Jingga mengelus-elus rambutnya yang lurus sebahu. Ia memakai lipstick, bedak, mascara, blush on dan eye shadow. Sesekali Hyeon Joo melirik dan mencuri pandang. Jingga terlihat berbeda. Dia cantik dan manis. Hyeon Joo tidak menyangka Jingga bisa berdandan juga. Berpaduan make-up-nya natural, sederhana, tidak menor dan terlihat segar. Jingga memakai rok hitam span selutut, kemeja merah muda dan blazer hitam yang elegant. Ia juga memakai high heels berwarna senada dengan kemejanya.
Mereka menemui klien seorang  bule asal Australia. Hyeon Joo mengenalkan Jingga sebagai sekertarisnya dalam bahasa Inggris. Mereka terlibat percakapan. Hyeon Joo sangat fasih bahasa inggris. Jingga diam dan mentamengkan senyum manisnya. Presentasi dilakukan melalui laptop milik Hyeon Joo. Pertemuan sepertinya berhasil karena mereka terlihat sangat senang dan saling berjabat tangan.
Mereka selesai jam satu siang. Setelah makan siang bersama, Hyeon Joo dan Jingga pulang. Di perjalanan pulang, Jingga murung dan banyak diam.
“Kenapa diam saja?” Tanya Hyeon Joo.
“Apa presentasinya sudah selesai? Apa itu berhasil?” Jingga balik bertanya.
Hyeon Joo tersenyum puas. “Tentu saja. Sangat memuaskan.”
“Apa kau sudah tidak membutuhkan aku lagi?”
Hyeon Joo tersentak. “Kenapa?”
“Kau bilang, hanya sampai presentasimu selesai.”
“Benar. Tapi tugas lain menunggumu.”
“Apa?”
“Ayo kita ke sungai! Kakiku terasa panas dan ingin berendam.” Hyeon Joo tersenyum.
Jingga diam sejenak lalu sebuah senyum mengembang di wajahnya. Jingga semangat dan mengagguk.
Hyeon Joo memarkir mobilnya di tepi jalan dekat sungai. Mereka ke sungai. Bermain air di sungai. Duduk di batu besar dan melempar batu kecil. Hyeon Joo memotret Jingga diam-diam. Ia tersenyum melihat foto Jingga di ponselnya.
“Aku bosan. Aku lapar. Ayo kita cari makan.” Hyeon Joo pergi.
“Eh? Tunggu aku!” Jingga kelabakan menyusul. “Aku juga lelah. Kau saja yang pergi. Aku mau ke bukit.”
“Kau masih dalam jam kerja. Kenapa pergi sendiri?” Hyeon Joo sedikit marah.
“Kerja apa? Aku merasa tidak melakukan apa-apa. Apa ke sungai dan bermain itu pekerjaan?”
Hyeon Joo diam sejenak menatap Jingga. “Tugasmu adalah membuatku mengingat kembali 17 tahun lalu. Dan itu belum selesai.”
Jingga diam. Hyeon Joo pergi.
Jingga menyusul. “Baiklah. Dimulai darimana sekarang?”
Hyeon Joo diam saja dan terus berjalan.
“Tempat pertama kali bertemu sudah, tempat biasa bermain sudah, rumahku yang dulu sudah, lalu…” Jingga bicara sambil berjalan.
Hyeon Joo berhenti. Ia berbalik. “Dimana terakhir kalinya kita bertemu?”
Jingga tersentak. Ia teringat kecelakaan itu. Bulu kuduknya berdiri. Ia bergidik ngeri. “Kita tidak harus kesana. Kuceritakan saja sudah cukup.”
“Aku tidak bisa mengingat. Mungkin kalau aku melihat, mataku akan memberi sedikit petunjuk.”
“Tapi di sana mengerikan. Aku takut.”
“Apa itu jurang? Kandang harimau?”
Jingga menggeleng.
“Kalau begitu kita ke sana.” Hyeon Joo berjalan lagi.
“Hyeon Joo…” Jingga berusaha menolak, ia takut dan sedikit trauma.
Hyeon Joo memaksa dan akhirnya mereka ke tempat itu. Ke sebuah pasar, menelusuri blok demi blok pasar, memperhatikan setiap toko lalu sebuah toko emas tempat Jingga dan Hyeon Joo menjual kalung berlian Nyonya Kim.
“Itu toko penipu yang kuceritakan padamu. Dia bilang harga kalung Eomma-mu lima juta. Padahal dia tahu harga aslinya lebih mahal seratus kali lipat.” Jingga berdiri sedikit menjauh dari Hyeon Joo. “Sebaiknya jangan berurusan lagi dengannya. Karena ibuku sudah menyelesaikannya. Sebelum ia meninggal, ia sempat mencari kalung itu dan membelinya kembali. Ibuku bilang, aku harus mengembalikan kalung itu kepadamu.”
Hyeon Joo diam saja. Ia berusaha mengingat tapi tidak bisa. Jingga lalu membawa Hyeon Joo pergi menuju jalan besar.
“Di jalan itu. Terakhir kalinya kita bertemu.” Jingga menjauh dari jalan dan Hyeon Joo. Ia memeluk dirinya sendiri, ketakutan.
Hyeon Joo diam menonton keramaian. Jingga mengkerutkan dahi. Kepalanya sedikit sakit karena harus kembali ke tempat yang mengerikan itu.
“Bagaimana kejadiannya?” Tanya Hyeon Joo penasaran.
Jingga pucat. “Hyeon Joo, aku tidak mau mengingatnya. Lupakan saja.” Ia baru akan berbalik dan pergi.
Hyeon Joo menahan Jingga. “Ini bagian dari tugasmu! Aku tidak mau jadi cacat fisik sekaligus cacat ingatan!”
 Jingga menyerah. Ia lalu menggambarkan kejadian itu. Jingga menahan tangis ketakutan menceritakan sambil menunjuk posisi-posisi kecelakaan itu dengan jelas. Semua terasa seperti terulang kembali.
“Aku ketakutan melihatmu pingsan. Matamu mengeluarkan darah. Dokter bilang harus segera dilakukan tindakan operasi. Aku takut terjadi sesuatu dengan matamu, tapi syukurlah kau masih bisa melihat.” Jingga berusaha kuat. Tapi rasanya ia jadi sangat pusing dan merasa mual.
Jingga menutup mulutnya. Rasanya ingin muntah karena terlalu pusing. Hyeon Joo melihat Jingga sangat ketakutan dan pucat.
“Itu sudah cukup.” Hyeon Joo menuntun Jingga dan membawanya pulang.

 Bersambung ke Chapter 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya