Korean Pine Love - Chapter 7
Chapter
7
Hyeon
Joo Pemilik Joo Inhyeong
Lanjutan Dari Chapter 6
Jingga datang satu jam lebih awal dari jam masuk kerja.
Ia diam sejenak berhenti memandang pabrik Joo Inhyeong. Ia menghela napas lalu
masuk ke pabrik. Jingga menuju ruangan Hyeon Joo. Ia membawa selembar amplop
berisi surat pengunduran dirinya. Jingga terkejut melihat Hyeon Joo tergeletak
di lantai.
“Hyeon Joo!!” Jingga berlari menghampiri Hyeon Joo. Diguncang-guncangkan
tubuh Hyeon Joo.
Hyeon Joo perlahan membuka matanya. Dilihatnya Jingga
begitu cemas dan ketakutan. Wajahnya sedikit sedih. Hyeon Joo memegangi
kepalanya, terasa pusing.
“Hyeon Joo, kau kenapa?” Jingga ketakutan.
Hyeon Joo menghalau Jingga. Ia berusaha bangun
sendiri. Jingga kembali meraih Hyeon Joo dan membantunya untuk duduk.
“Aku bisa bangun sendiri!” omel Hyeon Joo.
Jingga murung dan sedih. Wajahnya seperti berair mata.
Hyeon Joo duduk dan memijat tengkuknya yang pegal. Dilihatnya Jingga yang masih
sedih dan ketakutan.
“Maafkan aku. Aku hanya membuatmu selalu dalam
kesulitan.” Kata Jingga dengan tertunduk.
Hyeon Joo diam sejenak. Hyeon Joo menarik Jingga ke
dalam peluknya. Jingga terkejut lalu berusaha lepas. Hyeon Joo menahannya.
“Diam saja! Ada yang harus kukatakan.” kata Hyeon Joo.
“Aku minta maaf, kau dipecat. Mulai hari ini kau tidak usah bekerja sebagai QC
lagi.”
Jingga diam lalu menangis. Ia malu sekaligus merasa
bersalah. Sebenarnya ia ingin tetap bekerja membantu Hyeon Joo dan selalu
berada di sisi Hyeon Joo. Jingga ingin bertemu Hyeon Joo setiap hari. Tapi ia
tidak bisa memaksakan keadaan. Ia hanya orang biasa yang bodoh dan miskin,
tidak boleh bermimpi seperti itu.
“Bekerjalah di sampingku. Sebagai sekretarisku. Kalau
ada yang protes, akan kupecat mereka.”
Jingga syok. Hyeon Joo melepaskan pelukannya. Ia
tersenyum. Hyeon Joo melihat amplop putih yang dibawa Jingga.
“Apa itu?” Hyeon Joo merebutnya. Ia membacanya. “Kau
cengeng dan berlebihan.”
Hyeon Joo merobek kertas itu. Jingga terkejut. Hyeon
Joo berdiri dan menarik tangan Jingga.
“Lihat bagaimana caraku menyelesaikan masalah! Bukan
dengan menangis dan melarikan diri seperti caramu!” Hyeon Joo pergi sambil
menuntun Jingga bersamanya.
“Oh? Mau kemana kita? Apa yang akan kau lakukan?” Jingga
bingung dan terburu-buru mengikuti Hyeon Joo.
Hyeon Joo ke ruang staf HRD.
“Buatkan aku pengumuman yang besar, dibutuhkan lima
ratus karyawan yang bisa menjahit, diutamakan pengalaman. Tidak diperlukan
ijazah. Jika ada yang melamar, langsung lakukan pengetesan, jika bagus langsung
pekerjakan. Selesaikan dalam setengah jam. Bawa turun dan pasang di gerbang
utama.” Kata Hyeon Joo. “Buatkan juga surat pengangkatan Jingga sebagai
sekertarisku.”
Jingga syok tapi tidak bisa berkata apa-apa. Para staf
belum sempat menjawab, Hyeon Joo yang masih menggandeng Jingga menariknya lagi
ke suatu tempat.
“Apa itu barusan?” seorang staf terkejut. “Apa mereka
berpacaran? Jangan-jangan Jingga adalah mata-mata, sebenarnya mereka pacaran
tapi berpura-pura sebagai staf QC biasa.”
Hyeon Joo masuk ke ruang staf produksi.
“Berapa banyak produksi yang tertinggal karena demo
ini?” Hyeon Joo mengejutkan para staf. “Lakukan kalkulasi, jika aku memecat mereka
semua, butuh berapa karyawan untuk mempercepat dua kali lipat produksi?
Laporkan padaku satu jam lagi!”
Hyeon Joo tidak menunggu jawaban dan kembali membawa Jingga
ke luar pabrik.
“Aku rasa, para pendemo sudah salah. Jingga mungkin
saja memang benar pacarnya Tuan Kim Hyeon Joo. Dan dia diperkerjakan secara
rahasia.” Komentar staf yang lain.
Hyeon Joo lalu turun dan memerintahkan semua petugas
keamanan mencopot dan membakar segala atribut unjuk rasa. Hyeon Joo akhirnya
melepaskan tangan Jingga. Ia turun tangan bersama para Security merobek spanduk
dan atribut unjuk rasa lainnya.
Jingga yang melihat usaha Hyeon Joo tanpa ragu,
akhirnya ikut turun tangan. Jingga merobek karton bertuliskan protes di pagar. Hyeon
Joo di sebelahnya sedikit terkejut melihat Jingga.
Jingga tersenyum. “Aku sudah janji akan membantumu.
Ayo kita lakukan sampai selesai!”
Hyeon Joo tersenyum puas.
Joo Inhyeong memasang spanduk besar; dibutuhkan
karyawan sebanyak mungkin segera. Spanduk itu mengundang para pendemo datang. Hyeon
Joo sengaja memancing para pendemo. Ia menunggu di ruangannya. Jingga juga
menunggu di sofa.
“Kau lihat?” kata Hyeon Joo. “Orang yang berdemo bukan
dengan alasan professional, hanya akan merugikan diri mereka sendiri. Mereka
hanya iri, dan itu tidak ada hubungannya dalam pekerjaan. Mereka berlagak
penting. Aku bisa mencari lebih banyak dari mereka.”
“Kau sombong sekali.” Kata Jingga.
Hyeon Joo tersenyum begitu melihat banyak juga yang
datang untuk melamar pekerjaan. Massa semakin banyak. Mereka mulai rusuh. Hyeon
Joo keluar dan berdiri di balkon. Semua orang memperhatikan Hyeon Joo. Jingga
menunggu di ruangan.
“Aku, Kim Hyeon Joo. Pemilik Joo Inhyeong. Aku berhak
merekrut, mengangkat dan memecat siapa saja sesukaku tanpa perlu pertimbangan
kalian.” Hyeon Joo bicara dengan pengeras suara. “Siapa yang tidak mau bekerja
dan mematuhi perintahku akan dipecat tanpa hormat dan tanpa pesangon. Kalian
yang karyawan tetap, sudah menandatangani surat pengangkatan. Ingatkah kalian
pada poin perjanjian kerja sama itu? Tidak melibatkan urusan pribadi dengan
pekerjaan dan merugikan perusahaan? Karena kalian melanggar, aku berhak memecat
kalian tanpa pesangon.”
Semua pendemo terkejut. Jingga juga terkejut.
“Dia sudah membuka lowongan, akan langsung merekrut
karyawan baru dan mengabaikan karyawan lama.” Seorang pendemo berbisik
khawatir.
“Jika kalian berubah pikiran, laporkan padaku siapa
provokator kalian, siapa koordinator aksi mogok ini, siapa saja yang menulis
dan mengotori pabrikku dengan tulisan mereka. Kalian akan kumaafkan dan kembali
bekerja seperti biasa, detik ini juga.”
Suasana menjadi semakin ricuh. Mereka mulai saling
menyalahkan dan berebut masuk menemui Hyeon Joo untuk mengadu dan membela diri.
Hyeon Joo masuk ke ruangannya. Dilihatnya Jingga
berdiri menunggunya.
“Kau sudah gila.” Komentar Jingga sambil tersenyum.
Hyeon Joo tersenyum lalu duduk di mejanya. “Cobalah
kursi dan mejamu. Pastikan komputernya berfungsi dengan baik.”
“Shezs…” Jingga mendesis. “Kau orang Korea yang
jahat.”
Hyeon Joo tertawa. “Aku hanya sedikit ambisius. Tidak
cengeng dan mudah menyerah sepertimu.”
“Apa?” Jingga tersinggung.
“Isz, kau cerewet sekali. Sudah sana coba!” omel Hyeon
Joo.
Jingga duduk di kursinya. Ia meraba meja dan
komputernya. Ia tersenyum sendu. Hyeon Joo menopang dagu memperhatikan Jingga. Jingga
mengeluh.
“Hyeon Joo…bisakah aku meminta sesuatu padamu sebagai
seorang teman?” kata Jingga.
“Katakan saja.” Hyeon Joo mengetik sesuatu di
komputernya.
“Aku tidak bisa menjadi sekertaris. Aku tidak tahu apa
yang harus kulakukan. Kalau keadaan sudah membaik, ijinkan aku kembali di QC.
Aku nyaman di sana.”
Hyeon Joo menghela napas. “Bukankah kau sudah berjanji
akan membantuku dan menyelesaikan semuanya?”
Jingga murung. “Hyeon Joo…untuk yang ini aku merasa
berat dan tidak bisa. Ini sangat tidak masuk akal.”
“Tidak masuk akal?” Hyeon Joo berdiri. Ia berjalan ke
meja Jingga.
Hyeon Joo berdiri di sebelah Jingga. Ia menyalakan komputer,
membuka dokumen kosong Ms Word dan mengambil secarik pamphlet iklan boneka Joo Inhyeong
di meja. Hyeon Joo mulai mengetik di komputer Jingga.
Jingga merunduk karena leher Hyeon Joo berada tepat di
atas kepalanya. Jingga terkurung. Diperhatikannya layar monitor. Ketikan Hyeon
Joo sangat lambat meski sudah menggunakan dua tangan. Beberapa hurufnya tidak
tepat dan sering menggunakan tombol backspace.
Dilihatnya tangan Hyeon Joo. tangan kanannya bergetar tidak karuan. Jingga
tertegun.
“Aigoo…”
gerutu Hyeon Joo. “Bagaimana caranya mengetik ini?”
Jingga diam tertunduk melihat tangan Hyeon Joo yang
terus berusaha mengetik meski bergetar tidak karuan. Mata Jingga menggenang air
mata.
“Aigoo…salah
lagi.” Hyeon Joo menekan tombol backspace
lagi. Tapi karena bergetar, terlalu banyak yang dihapus. Hyeon Joo terpaksa
memulainya lagi.
Jingga menangis. Ia tidak tega melihat Hyeon Joo
seperti orang bodoh yang berlagak pintar.
“Sudah, hentikan.” Kata Jingga.
“Hmm…tunggu sebentar. Aku hampir menyelesaikan satu
kalimat.” Hyeon Joo terus mengetik.
“Hentikan, Hyeon Joo!” Jingga setengah membentak. Ia
menarik tangan kanan Hyeon Joo dan memeluknya.
Jingga menangis di tangan Hyeon Joo yang masih bergetar. “Kumohon
hentikan…”
Hyeon Joo diam. Ia menarik napas dalam lalu meletakkan
dagunya di ubun-ubun Jingga. Ia melingkarkan tangan kanannya ke leher Jingga.
Tangan kirinya menopang di meja.
“Maafkan aku, Hyeon Joo…maafkan aku…” Jingga menangis
sambil merunduk. “Aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku tidak memikirkanmu.”
Hyeon Joo pulang ke rumah. Nyonya Kim sudah lama
menunggunya.
“Hyeon Joo…jelaskan padaku, kenapa kau mempertahankan
perempuan itu bekerja di pabrik?” Eomma mendekati putranya yang baru saja tiba.
“Annyeong Haseyo,
Eomma..” Hyeon Joo memberi hormat pada ibunya.
Nyonya Kim tertegun. Hyeon Joo lalu pergi ke kamarnya.
Nyonya Kim menyusul.
“Hyeon Joo, kenapa kau percaya pada orang itu?”
Hyeon Joo berhenti. Ia berbalik dan menatap kedua mata
ibunya.
“Eomma, dia bukan pembohong, kenapa aku tidak boleh
percaya padanya?”
“Hyeon Joo, dia hanya akan mengambil keuntungan darimu.
Lihat masalah yang sudah diciptakannya?”
“Eomma. Eomma adalah Eomma-ku. Jika seorang teman
tidak berbohong dan aku tidak boleh percaya padanya, lalu aku harus percaya
pada siapa? Pada Eomma yang bilang kalau kalungnya hilang kubawa bermain atau
mengatakan bahwa aku mencurinya sendiri untuk temanku lalu aku kecelakaan dan
hilang ingatan?”
Nyonya Kim terkejut bukan main. Bagaimana anaknya bisa
tahu?
“Aku tidak ingat, Eomma. Aku cacat. Aku kecelakaan dua
kali dan harusnya aku cacat karenanya. Aku tidak tahu apa-apa, Eomma. Eomma
selalu bilang, setelah Harabheojhi meninggal, kau sempat membawaku ke Indonesia
untuk menghiburku karena sedih. Tapi tidak lama, hanya seminggu lalu aku
kembali ke Seoul. Benarkah itu Eomma?”
Nyonya Kim terbata. Mata Hyeon Joo memerah. Hidung dan
bibirnya ikut memerah. Hyeon Joo ingin menangis tapi tidak bisa.
“Aku sudah cacat fisik. Lalu ternyata aku cacat
pikiran.”
Nyonya Kim mengelus dada. Ia memegangi kepalanya yang
terasa berat.
“Eomma…aku masih tidak bisa mengingat apa pun tentang
itu. Bisakah kau ceritakan padaku?”
Nyonya Kim memberi isyarat agar Hyeon Joo menjauhinya.
Nyonya Kim menangis.
Hari pertama bekerja sebagai sekertaris. Jingga
diamati sinis. Ia tidak perduli lagi. Beberapa memang memandang sini
terhadapnya, tapi beberapa bersikap biasa saja. Tapi ia harus yakin demi Hyeon
Joo.
Jingga diam sejenak. Ia menarik napas perlahan dan akan
membuka pintu ruang CEO Joo Inhyeong. Jingga terkejut melihat Hyeon Joo tiba-tiba
membuka pintu. Hyeon Joo sudah tiba lebih dulu.
“Kalau kau terlambat lagi, kau akan kena SP! Cepat
masuk!” Hyeon Joo kembali masuk dan membiarkan pintu terbuka.
Jingga masuk dan menutup pintu. “Bukankah jam kantor
itu jam delapan? Ini masih setengah jam lebih awal…”
“Protes?” Hyeon Joo melihat Jingga.
“Ah? Tidak…” Jingga cengengesan.
“Karena aku bos-mu, kau harus tiba lebih awal dari
aku. Jika aku masuk jam delapan, kau setidaknya sudah di ruangan satu jam
sebelum aku.”
“Apa?” Jingga bingung.
“Kau harus boleh pulang setelah aku pulang atau
setelah kuijinkan.” Hyeon Joo mengambil berkas di mejanya. Ia menyerahkan berkas itu untuk Jingga
kerjakan.
“Aku akan ada pertemuan bisnis besok. Aku sedang
membuat presentasinya. Kau salin beberapa yang sudah kutandai dengan stabilo.”
Jingga membuka tiap halaman berkas itu. Ia membacanya
dan mulai mengetik.
“Kau bisa membuat presentasi di power point, kan? Buat
semenarik mungkin. Aku tidak boleh kelihatan tidak kreatif di depan klienku
nanti.” Hyeon Joo mondar-mandir.
Jingga terus mengetik sambil membaca. Hyeon Joo
mendekati meja Jingga. Ia melongok di atas monitor melihat hasil kerja Jingga.
“Lumayan. Kau cukup mahir soal komputer. Cukup cepat
juga.” Puji Hyeon Joo.
Jingga tersenyum. “Aku memang mahir. Di SMA, aku selau
juara soal pelajaran komputer.”
“Aku bilang lumayan.” Hyeon Joo berputar arah.
Jingga kembali mengetik dengan sesungging senyum. Sepertinya
ia menikmati tugas pertamanya. Hyeon Joo memperhatikan Jingga dari jauh.
“Apa mengetik saja sudah baik menjadi sekertaris?”
Tanya Jinga melihat Hyeon Joo.
“Ah?” Hyeon Joo buyar dari lamunannya. “Oh…mmm…tidak
juga. Kau masih harus banyak belajar.”
Hyeon Joo menyuruh Jingga mencari makanan karena dia
akan makan di ruangan. Jingga juga disuruh menemaninya makan di ruangan.
“Aku datang, Bos!” Jingga membuka pintu sambil membawa
meja dorong berisi beberapa makanan.
“Aku suruh kau memesankan makanan, bukan membawakan
makanan. Kenapa harus kau yang bawa itu?”
“Tidak apa-apa. Aku senang melakukan ini. Sepertinya
mereka juga sedang sibuk.” Jingga mulai menata makanan di meja tamu.
“Kemarilah. Aku sudah lapar.”
Hyeon Joo meletakkan berkas yang sedang dibacanya lalu
menghampiri Jingga. Ia duduk memperhatikan kerepotan Jingga di sofa.
“Ini. Makanlah.” Jingga memberikan sepiring nasi. “Kau
ambil sendiri laukmu.”
Hyeon Joo menurut. Jingga mulai melahap makanannya. Ia
terlihat sangat lapar. Hyeon Joo tersenyum sambil menyuap nasi.
Di tengah-tengah makan, ponsel Jingga berbunyi. Jingga
agak kesulitan. Ia meletakkan piringnya di meja. Ia mengangkat telepon dengan
mulut masih penuh makanan.
“Ng? Rio?” Jingga antusias. Ia menelan makanan lalu
minum. “Bagaimana kabarmu? Kenapa baru meneleponku? Apa kau tidak tahu aku
sangat merindukanmu?”
Hyeon Joo melirik sinis. Ia memperlambat kunyahan
makanannya.
“Apa kau sedang sibuk?” Tanya Rio di telepon.
“Tidak. Aku sedang makan bersama Hyeon Joo.”
“Kau makan bersama orang Korea itu?” Rio sedikit
mengeras. “Cepat pergi jauh-jauh darinya. Mereka suka merebut makanan orang
lain ketika sangat lapar.”
“Kau lucu. Hyeon Joo sangat baik.” Jingga malah
tertawa. Kemudian ia sedikit berbisik. “Tapi dia sedikit galak dan menakutkan.”
“Nah! Benar kan, kataku?!”
“Eh, Jingga! Makan yang banyak, kau sangat mudah lapar
dan lelah. Jadi makanlah yang banyak dan bahagialah!”
Jingga tersenyum menyuap nasi. “Iya, aku tahu. Kau
sangat perduli padaku. Kau memang teman terbaikku, kau sangat mengerti aku.”
Prang! Hyeon Joo meletakkan piringnya di meja dengan
sangat keras dan mengejutkan Jingga. Hyeon Joo minum dan segera berdiri.
“Kenapa dia?” Jingga bingung.
“Hey, Jingga! Ada apa?” Tanya Rio.
Hyeon Joo meninggalkan Jingga dengan muka ditekuk. Hyeon
Joo kembali bekerja tanpa menghabiskan makanannya. Jingga mengacuhkan Hyeon Joo.
Ia masih lapar dan asik bertelepon dengan Rio.
“Rio, apa kau kesulitan tanpa aku di sana?” Jingga
cengengesan melanjutkan obrolan.
Hyeon Joo terbelalak. Ia tidak percaya Jingga
mengacuhkannya. Jingga terus saja menelepon bahkan sambil makan. Hyeon Joo
kesal. Ia mencari sesuatu di mejanya untuk melempar Jingga. Hyeon Joo mengambil
penghapus karet dan melemparnya kepada Jingga.
“Aw!” Jingga mengaduh memegangi telinganya yang
terkena lemparan Hyeon Joo. Dilihatnya Hyeon Joo.
Hyeon Joo terlihat tidak baik. Ia melipat tangan di
dada dan sedikit melotot pada Jingga. Ia menunjuk jam di tangannya.
“Oh…Rio, nanti lagi, ya! Aku mendadak ada pekerjaan.” Jingga
baru sadar.
“Apa? Mana bisa begitu? Pasti Orang Korea itu
memarahimu, ya!”
“Dagh!” Jingga mematikan teleponnya.
“Dilarang pacaran pada jam kerja!” omel Hyeon Joo.
“Tapi ini bukan jam kerja. Ini jam istirahat.” Jingga
murung. “Lagi pula aku tidak sedang pacaran, aku sedang menelepon.”
“Pacaran di tempat kerja! Menelepon pacara sama dengan
pacaran.” tegas Hyeon Joo.
“Kau galak sekali. Dia bukan pacarku. Dia temanku.
Teman baikku.” Jingga membereskan meja.
“Dia temanmu. Aku temanmu. Dia teman terbaikmu. Lalu
aku apa?”
“Kenapa kau marah?”
“Sudah bekerja lagi sana!” Hyeon Joo sibuk.
“Kau seorang pemarah. Kau menakutkan seperti pohon
beringin. Dingin, kaku dan menyeramkan.” Jingga meletakkan piring kotor di meja
dorong.
Mereka berkeja kembali tapi saling diam seperti perang
dingin. Manager Rudi masuk, melihat keduanya diam dan merengut, Manager Rudi
keluar lagi.
“Mungkin nanti saja. Maaf…” bisik Manager Rudi seraya
menutup pintu.
Waktu sudah semakin sore. Jingga belum keluar ruangan,
ia menunggu bos-nya duluan. Hyeon Joo juga belum keluar ruangan. Ia sengaja
menunggu Jingga keluar duluan.
Jam Sembilan malam. Jingga menguap. Ia lelah dan
mengantuk. Hyeon Joo masih dingin di depan komputer. Jingga kedinginan, AC di
ruangan terasa semakin dingin. Di luar sudah sepi. Ia mengintip Hyeon Joo,
masih sibuk bekerja sambil memakai earphone.
“Hyeon Joo…” Jingga mengetes dengan memanggil Hyeon
Joo.
Hyeon Joo diam saja. Ia fokus pada komputer dengan
kedua telinga tertutup earphone. Jingga
mengeluh. Ia lalu ketiduran di meja.
Jam dua belas malam. Hyeon Joo mendekati meja Jingga. Jingga
tertidur. Hyeon Joo tersenyum, ia mengeluarkan ponsel dan mengambil gambar Jingga.
Hyeon Joo lalu membangunkannya. Jingga terlelap dengan sangat. Ia tidak
terusik.
“Hyeon Joo…pohon beringin…” Jingga mengigau.
Hyeon Joo tersentak. “Ho! Dasar tukang tidur dan
pengigau!”
“Hyeon Joo si pemarah, tolong ibuku…” Jingga mengigau
menangis dalam mimpi.
Hyeon Joo diam sejenak. Ia lalu berteriak di telinga Jingga.
“Aku mau pulang! Apa kau mau menginap di sini??”
“Oh! Ho??” Jingga bangun seketika. Ia terkejut dan
kelabakan. Melihat Hyeon Joo berjalan mendekati pintu, Jingga buru-buru
merapikan meja lalu menyusul Hyeon Joo.
Hyeon Joo berjalan dengan khas, tangan kanan
dimasukkan ke saku celana dan tangan kiri berayun. Jingga memperhatikan tangan Hyeon
Joo. Hyeon Joo sangat keren tapi siapa sangka alasan gayanya adalah
kekurangannya. Jingga mengikuti Hyeon Joo dari belakang.
Sesampainya di bawah, Jingga berhenti. Hyeon Joo masuk
ke mobil. Jingga tidak berharap diantar, dia hanya berpikir bisakah menumpang?
Tapi Jingga urung, lalu ia pulang sendirian.
Keluar pabrik, Hyeon Joo berhenti. Ia membuka kaca
mobilnya dan menyuruh Jingga masuk. Jingga masuk dan diam saja. Sepanjang jalan
Hyeon Joo dan Jingga diam. Hyeon Joo lalu memutar musik di tape. Sebuah lagu Super
Junior – Good Person. Jingga menikmati lagu itu. Jingga tiba-tiba tersenyum.
“Pasti menyenangkan bisa bahasa korea. Apa kau mau
mengajariku?”
“Anio.”
Jingga manyun. “Kenapa?’
“Karena aku bos-mu bukan teman atau gurumu.”
“Memang kau bukan guruku, tapi kau temanku…”
“Bisakah kau diam? Kau merusak lagunya.”
“Baiklah bos…” Jingga buang muka. Ia berbisik, “Hyeon
Joo Si Pemarah. Dasar manusia pohon beringin.”
Hyeon Joo menurunkan Jingga di depan kost-nya. Jingga
turun.
Jingga merunduk dan tersenyum. “Gamsahanmida.”
Jingga belum mengangkat kepala, Hyeon Joo sudah pergi.
“Huh dasar Hyeon Joo Si Pemarah!” Jingga mencibir.
Hyeon Joo memperhatikan Jingga dari spionnya, “gomawo, Tto
Mannayo. Sampai
jumpa lagi.”
Hyeon Joo tiba di rumah. Ia lelah dan merebahkan diri
di kasur lalu menyebut nama Jingga. Jingga melakukan hal yang sama, di kasur
menyebut nama Hyeon Joo.
Pagi hari di pabrik. Hyeon Joo sudah tiba di
ruangannya. Ia sedang memutar presentasinya menggunakan laser point dan
infocus.
Jingga baru tiba. Melihat mobil Hyeon Joo sudah
terparkir di tempat biasanya, Jingga mengeluh. Itu artinya, Hyeon Joo sudah
datang lebih dulu. Jingga naik ke lantai dua menuju ruang CEO. Jingga membuka
pintu perlahan dan mengintip. Hyeon Joo membelakanginya. Jingga masuk diam-diam
tanpa diketahui Hyeon Joo. Dilihatnya Hyeon Joo dari dekat.
“Berikutnya adalah peluang pangsa pasar yang bisa Joo Inhyeong
raih.” Kata Hyeon Joo seolah sedang presentasi secara live. Hyeon Joo beralih ke halaman berikutnya.
Jingga melihat titik laser point tidak beraturan. Jingga
melirik tangan Hyeon Joo yang bergetar. Ia merasa kasihan. Ia mendekati Hyeon
Joo dari belakang secara perlahan. Jingga memegang pergelangan tangan kanan Hyeon
Joo dan membantunya menunjuk arah.
Hyeon Joo terkejut. Jingga sudah datang dan berdiri di
belakangnya. Hyeon Joo menoleh.
Jingga tersenyum. “Bagaimana? Aku bisa membantumu,
kan?”
Hyeon Joo menjitak Jingga.
“Auh…apa salahku?” Jingga mengaduh.
Hyeon Joo menyudahi presentasinya dan duduk di ujung
meja. Hyeon Joo memarahi Jingga yang terlambat.
“Sudah kubilang, kau harus datang lebih awal dari aku.
Kenapa masih terlambat? Sengaja?” omel Hyeon Joo.
“Maafkan aku…aku sedikit mengantuk, jadi bangun lima
menit lebih lama dari biasanya.” Jelas Jingga.
“Jangan terlena. Posisi sekretaris itu hanya sementara.
Sampai presentasi ini selesai, kau bisa kembali di QC.”
Jingga sedikit terkejut. “Apa kau masih marah?”
“Anio..”
jawab Hyeon Joo dengan logat khas Korea. “Wae?”
“Tapi tidak apa-apa, aku memang tidak pantas jadi
sekretaris. Kalau begitu, baiklah. Aku akan bekerja sampai presentasimu
berhasil.”
Telepon di meja
Hyeon Joo berbunyi. Hyeon Joo mengangkatnya dan wajahnya berubah sedikit
murung.
Jingga memperhatikan Hyeon Joo. Sepertinya terjadi
suatu masalah serius.
“Baiklah. Sampaikan maafku untuk mereka.” Kata Hyeon
Joo kepada orang yang menelepon. “Katakan bahwa kami mengalami sedikit kendala
produksi. Tapi sudah kami tanggulangi dengan memperkerjakan pegawai freelance lebih banyak untuk mengejar
kekurangan produksi. Dalam seminggu ini, jika pesanannya kurang dan terlambat
lagi, mereka tidak usah membayar apa yang sudah mereka terima. Aku
menjaminnya.”
Hyeon Joo selesai menelepon.
“Ada apa? Kenapa kau terlihat tidak senang?” Tanya Jingga.
“Beberapa perusahaan rekanan complain. Mereka kecewa pesanannya terlambat dan jumlahnya kurang.”
Jawab Hyeon Joo.
Jingga murung, ia merasa bersalah. “Aku memang tidak
seharusnya berada di sini. Aku hanya membuatmu dalam masalah.”
Hyeon Joo membawa berkas ke meja Jingga. “Aku akan
bertemu klien siang ini. Pelajari itu dan kau harus ikut.”
Jingga bingung lalu menurut mempelajari berkas dari Hyeon
Joo. Sepertinya berkas itu adalah yang tadi dipresentasikan Hyeon Joo. Jingga
melirik Hyeon Joo. Hyeon Joo kembali sibuk bekerja.
Di perjalanan menuju restoran tempat janji dengan
klien. Hyeon Joo mengajak Jingga ke sebuah mall dan membeli beberapa pakaian
dan alat make-up. Jingga yang
mengikuti di belakang bingung kenapa Hyeon Joo membeli pakaian wanita dan alat make-up. Mereka kembali ke mobil.
“Pergi ke toilet. Ganti pakaianmu dan berdandanlah.” Hyeon
Joo menyerahkan belanjaannya pada Jingga.
“Apa? Ini untukku?” Jingga menerima dengan bingung.
“Lihat dirimu! Memakai celana bahan hitam, kemeja biru
polos. Tidak berdandan. Kau tidak mirip sekertaris, kau lebih mirip asisten
produksi. Apa kau ingin klienku berpikir perusahaanku tidak bonafit?”
Jingga memandang dirinya sendiri. Ia murung. “Kau
benar. Aku payah sekali.”
“Sana cepat!”
“Baiklah. Tapi, kau tidak memotong gajiku untuk ini,
kan?”
Hyeon Joo tertawa. “Tergantung hasilnya.”
“Hasil apa?”
“Kau bisa cantik atau tidak. Sudah sana. Lambat
sekali.”
Jingga manyun lalu pergi. Setengah jam berlalu. Hyeon
Joo asik mendengarkan lagu Sorry, Sorry oleh Super Junior. Ia memainkan
kepalanya dan mengetuk-ngetuk setir dengan jarinya. Jingga tiba-tiba datang
mengejutkan Hyeon Joo.
Jingga tersenyum. “Apa aku sudah cantik? Terlihat
seperti wanita karir sungguhan, ya!”
Hyeon Joo heran melihat senyum Jingga. Rasanya seperti
dejavu. Senyum yang tidak asing.
“Hyeon Joo!” Jingga menyadarkan Hyeon Joo. “Kau
terpesona, ya?”
“Lumayan.” Hyeon Joo menyalakan mesin dan mereka pergi
menemui klien.
Jingga mengelus-elus rambutnya yang lurus sebahu. Ia
memakai lipstick, bedak, mascara, blush on dan eye shadow. Sesekali Hyeon Joo melirik dan mencuri pandang. Jingga
terlihat berbeda. Dia cantik dan manis. Hyeon Joo tidak menyangka Jingga bisa
berdandan juga. Berpaduan make-up-nya
natural, sederhana, tidak menor dan terlihat segar. Jingga memakai rok hitam
span selutut, kemeja merah muda dan blazer hitam yang elegant. Ia juga memakai high heels berwarna senada dengan
kemejanya.
Mereka menemui klien seorang bule asal Australia. Hyeon Joo mengenalkan Jingga
sebagai sekertarisnya dalam bahasa Inggris. Mereka terlibat percakapan. Hyeon
Joo sangat fasih bahasa inggris. Jingga diam dan mentamengkan senyum manisnya. Presentasi
dilakukan melalui laptop milik Hyeon Joo. Pertemuan sepertinya berhasil karena
mereka terlihat sangat senang dan saling berjabat tangan.
Mereka selesai jam satu siang. Setelah makan siang
bersama, Hyeon Joo dan Jingga pulang. Di perjalanan pulang, Jingga murung dan
banyak diam.
“Kenapa diam saja?” Tanya Hyeon Joo.
“Apa presentasinya sudah selesai? Apa itu berhasil?” Jingga
balik bertanya.
Hyeon Joo tersenyum puas. “Tentu saja. Sangat
memuaskan.”
“Apa kau sudah tidak membutuhkan aku lagi?”
Hyeon Joo tersentak. “Kenapa?”
“Kau bilang, hanya sampai presentasimu selesai.”
“Benar. Tapi tugas lain menunggumu.”
“Apa?”
“Ayo kita ke sungai! Kakiku terasa panas dan ingin
berendam.” Hyeon Joo tersenyum.
Jingga diam sejenak lalu sebuah senyum mengembang di
wajahnya. Jingga semangat dan mengagguk.
Hyeon Joo memarkir mobilnya di tepi jalan dekat
sungai. Mereka ke sungai. Bermain air di sungai. Duduk di batu besar dan
melempar batu kecil. Hyeon Joo memotret Jingga diam-diam. Ia tersenyum melihat
foto Jingga di ponselnya.
“Aku bosan. Aku lapar. Ayo kita cari makan.” Hyeon Joo
pergi.
“Eh? Tunggu aku!” Jingga kelabakan menyusul. “Aku juga
lelah. Kau saja yang pergi. Aku mau ke bukit.”
“Kau masih dalam jam kerja. Kenapa pergi sendiri?” Hyeon
Joo sedikit marah.
“Kerja apa? Aku merasa tidak melakukan apa-apa. Apa ke
sungai dan bermain itu pekerjaan?”
Hyeon Joo diam sejenak menatap Jingga. “Tugasmu adalah
membuatku mengingat kembali 17 tahun lalu. Dan itu belum selesai.”
Jingga diam. Hyeon Joo pergi.
Jingga menyusul. “Baiklah. Dimulai darimana sekarang?”
Hyeon Joo diam saja dan terus berjalan.
“Tempat pertama kali bertemu sudah, tempat biasa
bermain sudah, rumahku yang dulu sudah, lalu…” Jingga bicara sambil berjalan.
Hyeon Joo berhenti. Ia berbalik. “Dimana terakhir
kalinya kita bertemu?”
Jingga tersentak. Ia teringat kecelakaan itu. Bulu
kuduknya berdiri. Ia bergidik ngeri. “Kita tidak harus kesana. Kuceritakan saja
sudah cukup.”
“Aku tidak bisa mengingat. Mungkin kalau aku melihat,
mataku akan memberi sedikit petunjuk.”
“Tapi di sana mengerikan. Aku takut.”
“Apa itu jurang? Kandang harimau?”
Jingga menggeleng.
“Kalau begitu kita ke sana.” Hyeon Joo berjalan lagi.
“Hyeon Joo…” Jingga berusaha menolak, ia takut dan
sedikit trauma.
Hyeon Joo memaksa dan akhirnya mereka ke tempat itu. Ke
sebuah pasar, menelusuri blok demi blok pasar, memperhatikan setiap toko lalu
sebuah toko emas tempat Jingga dan Hyeon Joo menjual kalung berlian Nyonya Kim.
“Itu toko penipu yang kuceritakan padamu. Dia bilang
harga kalung Eomma-mu lima juta. Padahal dia tahu harga aslinya lebih mahal seratus
kali lipat.” Jingga berdiri sedikit menjauh dari Hyeon Joo. “Sebaiknya jangan
berurusan lagi dengannya. Karena ibuku sudah menyelesaikannya. Sebelum ia
meninggal, ia sempat mencari kalung itu dan membelinya kembali. Ibuku bilang,
aku harus mengembalikan kalung itu kepadamu.”
Hyeon Joo diam saja. Ia berusaha mengingat tapi tidak
bisa. Jingga lalu membawa Hyeon Joo pergi menuju jalan besar.
“Di jalan itu. Terakhir kalinya kita bertemu.” Jingga
menjauh dari jalan dan Hyeon Joo. Ia memeluk dirinya sendiri, ketakutan.
Hyeon Joo diam menonton keramaian. Jingga mengkerutkan
dahi. Kepalanya sedikit sakit karena harus kembali ke tempat yang mengerikan
itu.
“Bagaimana kejadiannya?” Tanya Hyeon Joo penasaran.
Jingga pucat. “Hyeon Joo, aku tidak mau mengingatnya.
Lupakan saja.” Ia baru akan berbalik dan pergi.
Hyeon Joo menahan Jingga. “Ini bagian dari tugasmu!
Aku tidak mau jadi cacat fisik sekaligus cacat ingatan!”
Jingga menyerah.
Ia lalu menggambarkan kejadian itu. Jingga menahan tangis ketakutan
menceritakan sambil menunjuk posisi-posisi kecelakaan itu dengan jelas. Semua
terasa seperti terulang kembali.
“Aku ketakutan melihatmu pingsan. Matamu mengeluarkan
darah. Dokter bilang harus segera dilakukan tindakan operasi. Aku takut terjadi
sesuatu dengan matamu, tapi syukurlah kau masih bisa melihat.” Jingga berusaha
kuat. Tapi rasanya ia jadi sangat pusing dan merasa mual.
Jingga menutup mulutnya. Rasanya ingin muntah karena
terlalu pusing. Hyeon Joo melihat Jingga sangat ketakutan dan pucat.
“Itu sudah cukup.” Hyeon Joo menuntun Jingga dan membawanya
pulang.
Bersambung ke Chapter 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar