18 Desember 2014

Korean Pine Love - Chapter 9 (End)






Chapter 9
Kalung Berlian Yang Membawa Ingatan






Lanjutan Dari Chapter 8

Di kantor, Hyeon Joo sudah di ruangan lebih dulu. Jingga masuk dan terkejut. Padahal ia merasa sudah sangat pagi. Jingga permisi dan bermaksud untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya. Hyeon Joo diam saja mengacuhkannya.
Annyeong haseyo.” Jingga membungkuk di depan meja Hyeon Joo. Jingga mengulurkan Surat pengunduran dirinya pada Hyeon Joo. “Aku…sangat mengkhawatirkan Bibi. Aku tidak bisa lama-lama jauh darinya. Aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta…”
“Kenapa kau sangat nyaman tinggal di tempat seorang pelacur?” Hyeon Joo memotong kalimat Jingga. “Kau tidak takut tergoda menjadi pelacur juga?”
Jingga tersentak. Ia tersinggung sekaligus bingung bagaimana Hyeon Joo bisa tahu. Hyeon Joo berdiri. Ia merapikan jasnya mengambil sesuatu di lacinya dan berputar mendekati Jingga.
“Apa gaji seorang waitress lebih besar dari gaji menjadi sekertarisku?” Hyeon Joo lalu menyodorkan amplop coklat tebal pada Jingga. “Ini satu juta. Dalam pecahan dolar Amerika. Apa aku bisa menyewamu?”
Jingga nanar menatap Hyeon Joo lalu beralih ke amplop itu.
“Ambil dan buatlah keputusan dengan baik.” Hyeon Joo sinis.
Jingga tersenyum kecut. “Apa maksudmu, kau ingin membayarku dengan itu dan memdandingkan aku dengan pelacur?”
“Jadi bukan? Lalu apa namanya?” Hyeon Joo tertawa. “Kau bilang aku cinta pertamamu. Kau bilang tidak bisa jatuh cinta lagi karenanya. Kenapa kau biarkan orang lain memeluk dan menciummu?”
Mereka berpandangan menahan marah masing-masing.
“Apa maumu? Aku tidak begitu mengerti maksudmu.” Tanya Jingga dengan mata merah membendung air mata dan marah.
 “Berapa dia membayarmu untuk itu?!” Hyeon Joo bergetar marah dan berteriak. “Berapa harganya?!”
Jingga diam di tempat. Air matanya jatuh ke lantai. Jingga menangis melihat mata Hyeon Joo. “Ibu…matamu sangat bagus. Tidak kusangka aku bisa melihatnya lagi setelah belasan tahun kurindukan. Tidak apa-apa kau di sana. Hyeon Joo orang baik. Dia akan sangat menjaga mata indahmu. Kau memberikannya pada orang yang tepat, bu.”
“Apa aku sudah terlihat bodoh?” Jingga menghapus air matanya. “Aku bodoh menunggumu dan berada di tempat yang tidak seharusnya. Harusnya aku tidak mendengarmu yang melarangku menghapus perasaanku. Harusnya sejak dulu aku ikuti kata Rio, bahwa jika mengingatmu adalah menyakitkan, maka itu tidak baik untukku dan aku harus meninggalkannya.”
Hyeon Joo diam mendengarkan. Jingga merogoh tasnya. Ia mengambil amplop coklat yang sama dengan yang disodorkan Hyeon Joo. Jingga menarik tangan kanan Hyeon Joo yang masih memegang amplop itu dan meletakkan amplop dari tasnya di tangan Hyeon Joo.
“Sampaikan salam ini untuk Eomma-mu yang sangat menyayangi anaknya dan bisa melakukan apa saja untukmu.” Jingga menumpuk amplop itu lalu surat pengunduran dirinya. “Simpan saja ini. Kau tidak akan pernah bisa membayarku hanya dengan ini. Seseorang pernah kucium dan tidur bersamaku. Ia membayarnya dengan sangat mahal bahkan aku harus menebusnya dengan nyawa ibuku. Tapi aku tidak meminta bayaran padanya. Aku membuatnya gratis. Ini yang terakhir kalinya aku menulis surat pengunduran diriku. Aku tidak akan menulisnya lagi dan tidak akan kembali lagi.”
Jingga menangis dan pergi. Hyeon Joo diam di tempat. Tangannya bergetar kuat. Dua amplop dan surat pengunduran diri Jingga terjatuh di lantai. Hyeon Joo menitikkan air mata saking marahnya.
“Tuan Kim Hyeon Joo…” Manager Rudi masuk. Ia terkejut melihat Hyeon Joo terlihat sangat marah dan sedih. “Apa aku mengganggumu?”
“Tidak. Masuklah.” Hyeon Joo mengacuhkan amplop-amplop itu dan kembali duduk di kursinya.
Manager Rudi masuk. Ia meletakkan secarik kertas di meja Hyeon Joo.  “Maafkan aku.”
“Ada apa?” Tanya Hyeon Joo. Ia membaca surat itu lalu tersenyum meledek.
“Aku merasa bersalah padamu.” Kata Manager Rudi.
Wae?”
“Aku sudah menipumu. Aku berbohong dengan bilang kau dan Jingga berteman baik sejak kecil.”
Hyeon Joo tersentak. Ia terkejut mendengarnya.
“Aku melakukannya demi uang.”
Hyeon Joo tertawa meledek. Terdengar konyol.
“Kau hanya sekali ke Bogor pada saat peresmian pabrik ini, tujuh belas tahun lalu. Nyonya Kim memakai kalung berlian kesayangannya. Kau sangat suka itu dan memintanya untuk dimainkan. Kau lalu membawanya bermain sambil berkeliling pabrik. Nuria yang miskin dan penyakitan itu melihatnya. Dia membodohimu dan mencurinya darimu.”
Hyeon Joo serius mendengarkan.
“Aku melihatnya. Nuria menangis memohon dibiarkan. Ia lalu mengatakan untuk menjualnya dan membagi dua hasilnya denganku. Ia butuh uang untuk berobat dan sekolah anaknya. Kecelakaan yang kuceritakan itu tidak pernah terjadi. Nyonya Kim memarahimu karena menghilangkan kalung itu. Kalung pemberian almarhum kakekmu. Mendengar  Nyonya Kim menyebut nama kakekmu, kau sedih dan merasa bersalah. Kau sangat menyayangi kakekmu. Tuan Kim menyuruh semua karyawan mencari kalung itu tapi tidak ditemukan. Kau terlalu sedih dan merasa bersalah, kau lalu jatuh sakit. Tidak mau makan dan lemah. Kau mengalami panas tinggi lalu di rawat di rumah sakit. Kau juga sempat koma dan bangun dengan hilang ingatan. Dokter bilang kau terlalu depresi berat dan melewati batas sehingga stress membuatmu menekan diri dan hilang ingatan. Kalian lalu pindah ke Seoul dan tidak pernah kembali.”
Hyeon Joo tersenyum. “Siapa yang menyuruhmu mengatakan itu? Eomma-ku?”
Manager Rudi terkejut. “Tidak. Bukan dia. Aku tahu dari Jingga bahwa kalung itu sudah dikembalikan. Aku merasa bersalah karena keserakahanku.”
“Ah…jadi kalau kalung itu masih ada pada Jingga kau tidak akan merasa bersalah?”
Manager Rudi terlihat gugup. “Maafkan aku, Tuan Kim Hyeon Joo.”
“Lalu apa peran Jingga selanjutnya?”
“Dia…diamanatkan ibunya yang terlambat untuk pengobatan dan akan segera mati untuk menunggumu dan memberikan kalung itu padamu. Jingga tidak ingin nama ibunya kotor, jadi dia menipuku yang serakah untuk bersandiwara seolah kecelakaan itu benar terjadi. Dia bilang akan mendapatkan uang banyak dan membayarku setelah dia berhasil mendapatkanmu.”
Hyeon Joo tertawa. “Baiklah. Untuk menebus segala rasa bersalahmu, pergilah ke ruang HRD. Mereka tahu apa yang akan dilakukan untukmu. Katakan aku sudah menerimanya.”
Setelah Manager Rudi pergi, Hyeon Joo menelepon Nyonya Kim.
Yeobseyo?” sapa Eomma.
“Eomma, odi?” Hyeon Joo bertanya dimana ibunya berada.
Wae?” Eomma tersenyum. “Bukankah kau tidak membutuhkanku lagi?”
“Eomma…” Hyeon Joo malas bertele-tele.
“Itu benar. Aku sedang di bandara. Aku akan kembali ke Seoul menemui ayahmu dan tinggal di sana.”
“Eomma…” Hyeon Joo berpikir Eomma bercanda.
“Kau dengar ini!” Eomma mengarahkan teleponnya ke lapangan udara. Memperdengarkan suara pesawat yang bersiap untuk tinggal landas.
Hyeon Joo kesal. Ia mematikan teleponnya. Mesin faks di ruangan Hyeon Joo berbunyi. Sedetik kemudian sebuah pesan masuk ke ponsel Hyeon Joo dari seseorang dengan nama kontak Detektif.
“Aku sudah melakukan penyelidikan seperti yang kau minta. Informasinya terputus dan terpencar. Aku mengirimkan datanya ke nomor faks kantormu. Ada empat data. Data kepolisian tentang kecelakaan tujuh belas tahun lalu, data para korban dan orang tua korban, data mereka sebagai pasien di rumah sakit tempat mereka dilarikan pasca kecelakaan, dan beberapa data lain yang belum akurat. Jika kau minta, aku akan menyelidikinya lagi.”
Hyeon Joo melihat mesin faks mencetak pesan yang dikirim detektif itu.
“Terima kasih. Akan kulihat dulu. Akan kuhubungi jika ada yang kurang jelas. Akan kutransfer segera bayarannya.” balas Hyeon Joo.
Rupanya Hyeon Joo tidak percaya begitu saja pada Eomma, Dokter Zia bahkan Jingga. Ia harus membuktikannya sendiri dengan menyewa jasa detektif. Hyeon Joo mengambil hasil cetak pesan faks itu, ia membacanya.
21 Maret 1996. Terjadi kecelakaan di jalan raya pasar Ciluar Bogor. Kecelakaan beruntun melibatkan dua mobil dan dua motor. Tidak ada korban meninggal. Korban luka-luka, Jingga Neola dan Kim Hyeon Joo. Jingga Neola, anak perempuan berusia tujuh tahun mengalami luka di keningnya dan mendapat sepuluh jahitan. Kim Hyeon Joo, anak laki-laki berusia sepuluh tahun, mengalami perdarahan di dalam otak kanan dan kerusakan pada kedua kornea matanya. Kim Hyeon Joo mengalami koma selama satu bulan dan bangun dari koma dalam keadaan buta. Dua minggu setelah bangun dari koma, keluarga Kim pindah ke Seoul, Korea Selatan.
Nuria, ibu dari korban Jingga Neola. Bekerja di pabrik boneka Joo Inhyeong sebagai buruh jahit. Kim Joon Tae dan Shinta Dewi, orang tua dari korban Kim Hyeon Joo. Kim Joon Tae pemilik pabrik Joo Inhyeong. Terlampir foto mereka satu per satu.
Informasi terakhir ditemukan secara terputus dan terpencar karena informasinya sengaja dirahasiakan dan disamarkan. Nuria dan Jingga pindah ke Jakarta. Nuria mengidap kanker paru stadium akhir. Ia sangat terlambat untuk menjalani pengobatan, ia memutuskan untuk mendonorkan kornea matanya. Sebagai konsekuensi pendonor kornea, pendonornya haruslah orang yang sudah mati, maka Nuria menyerah pada penyakitnya dan menandatangani tindakan suntik mati dengan sukarela. Ada informasi bahwa Nuria melakukannya untuk mendapatkan dana pertanggungan asuransi. Juga ada informasi bahwa Nuria menjual kornea matanya untuk membiayai hidup anaknya yang dititipkan pada seorang pelacur di Jakarta.
Data Kim Hyeon Joo yang sudah di Seoul agak sulit terlacak. Hanya sedikit akses untuk menyelidikinya lebih lanjut. Ada kabar lain yang didapat dari rumah sakit swasta di Seoul, bahwa Kim Hyeon Joo menjalani operasi kornea. Operasinya berhasil dan Kim Hyeon Joo bisa melihat kembali. Diisukan pendonor itu berasal dari Indonesia.
Dana pertanggungan yang dibicarakan menjadi motif Nuria ternyata tidak pernah terbukti. Data lainnya, seminggu sebelum keluarga Kim kembali ke Seoul, Nyonya Kim sempat mengeluarkan uang sebanyak satu juta US Dollar dari kas Joo Inhyeong. Kemungkinan untuk operasi kornea anaknya. Tapi ada juga yang mengisukan untuk membayar kompensasi atas kematian Nuria yang diduga menjual korneanya untuk Kim Hyeon Joo.
Hyeon Joo terkejut membacanya. Ia sama sekali tidak ingat pernah buta. Hyeon Joo terlalu syok dan memaksa pikirannya. Ia mulai merasa pusing.
Hyeon Joo melihat amplop yang diberikan Jingga di lantai. Ia mengambil dan membukanya. Isinya uang dalam pecahan dolar Amerika. Hyeon Joo menghitungnya. Satu juta dolar Amerika. Hyeon Joo teringat kalimat Jingga soal amplop itu.
“Sampaikan salam ini untuk Eomma-mu yang sangat menyayangi anaknya dan bisa melakukan apa saja untukmu.”
Itukah uang yang dimaksud detektif itu? Satu juta dolar Amerika sebagai kompensasi atas kornea mata Nuria untuk Kim Hyeon Joo, dirinya sendiri. Hyeon Joo kembali ke mejanya, ia membuka laporan keuangan tujuh belas tahun lalu.
Hyeon Joo terkejut. Nyonya Kim mengambil uang kas perusahaan sebesar satu juta dolar Amerika untuk keperluan pribadi beberapa waktu sebelum ia berangkat ke Seoul atau dua hari sebelum Nuria dinyatakan meninggal.
Hyeon Joo semakin pusing. Ia tidak percaya dengan segala kemungkinan dan hubungan semuanya. Ia sudah salah paham pada Jingga. Hyeon Joo menangis. Jika ini kenyataannya, berarti Hyeon Joo dan Eomma patut disalahkan atas penderitaan Jingga.
Hyeon Joo marah. Ia berteriak kesal lalu membanting apa saja yang ada di depannya. Mengacak-acak ruangannya dan terjadi keributan. Beberapa pekerja mendengarnya dan mencoba melihat apa yang terjadi. Seseorang berusaha mengetuk pintu dan berusaha masuk justru dilempar vas oleh Hyeon Joo dan tidak jadi masuk. Cukup lama Hyeon Joo mengamuk tapi tidak ada yang berani masuk untuk menghentikannya.
Asma Hyeon Joo kambuh. Ia mencari obatnya di laci. Karena sulit dan tangannya terlalu bergetar yang justru memperlambat dan semakin mengacak-acak isi laci, Hyeon Joo menarik paksa lacinya terlepas dan terlempar dari meja. Isinya berserakan. Hyeon Joo melihat obatnya jatuh dan terlempar cukup jauh ke sudut ruangan. Ia berusaha mendekat lalu terjatuh karena pusing dan sesak napas. Hyeon Joo tertatih mendekati obatnya sambil menitikkan air mata. Hyeon Joo berhasil mendapatkan obatnya dan segera menghirupnya. Hyeon Joo memejamkan mata dan menangis. Beberapa detik kemudian obatnya terlepas. Tangan Hyeon Joo jatuh lemas. Ia pingsan.

Pesawat akan segera tinggal landas. Nyonya Kim menyempatkan diri menelepon Manager Rudi.
“Apa kau sudah melakukannya?” Tanya Nyonya Kim to the point.
“Sudah kulakukan sesuai perintahmu, Nyonya. Aku sudah dipecat. Kudengar Jingga juga sudah dipecat.”
“Bagus. Periksa rekeningmu dan pergilah yang jauh.” Nyonya Kim tersenyum menutup telepon.

Jingga sedang berkemas di kamar kost-nya. Ia melirik jam di dinding. Jam sepuluh malam. Jingga merasa lelah. Ia menelepon Rio untuk menghiburnya.
“Apa kau sibuk?” Tanya Jingga di telepon. “Aku merindukanmu. Kau bos yang baik yang pernah kumiliki.”
Rio tertawa. “Akhirnya kau merindukanku juga. Orang Korea itu tidak baik menjadi bos-mu, kan?”
“Hyeon Joo…juga baik.”
“Apa??” Rio sewot. “Setelah apa yang dilakukannya, kau masih bilang dia baik? Kau benar-benar buta.”
“Aku…hanya akan membuatnya menderita.” Jingga tersenyum sendu.
Rio diam mendengarkan.
“Dia sudah melalui masa sulit yang begitu lama karena aku. Aku berusaha keras membuatnya mengingat masa sulit itu.” lanjut Jingga. “Padahal ia berusaha keras untuk melupakannya dan itu sangat sakit. Setelah ia berhasil dengan baik, aku justru membawanya kembali pada kesakitan itu. Aku akan berhenti dan menjauhinya. Tidak apa-apa, bukan masalah dia tidak mengingatku lagi. Aku tetap akan mengingatnya. Bukankah itu baik-baik saja?”
Rio sedih dan merasa kasihan. Jingga menangis lagi.
“Sudah. Aku muak dengan tangisanmu. Bereskan barang-barangmu cepat lalu istirahat! Besok aku akan menjemputmu. Nah, sudah dulu ya! Mmuach!”
Jingga tersenyum menghapus air matanya. “Heh, kau teman yang paling tidak tega melihatku menangis, kan?”
Pabrik menelepon Jingga. Jingga sengaja mengacuhkannya. Dua kali Jingga membiarkannya. Lalu menelepon nomor baru. Jingga ragu dan mengangkatnya.
“Halo? Jingga?” suara yang dikenal. Security Arif.
“Pak Security? Kenapa meneleponku?” Jingga bingung.
“Terjadi sesuatu di ruangan CEO Kim Hyeon Joo.” Kata Security dengan panik. “Tuan Kim mengamuk di ruangannya dan tidak keluar ruangan sejak sore. Mobilnya masih terparkir di sini.”
“Pak, aku sudah bukan sekertarisnya. Hubungi saja Manager Rudi.”
“Apa? Sebenarnya ada apa ini? Manager Rudi juga sudah berhenti bekerja per hari ini.”
“Apa?” Jingga terkejut. “Coba kau periksa saja. Aku tidak bisa.”
Jingga mematikan teleponnya. Ia diam dan berlagak cuek. Tapi terpikirkan juga. Jingga teringat Hyeon Joo yang mendadak sakit dan pingsan setelah ribut dengan Nyonya Kim tempo hari ketika kasus demo pekerja. Jingga khawatir Hyeon Joo sakit lagi.
“Ibu, aku harus bagaimana?” gumam Jingga.
Bebera detik kemudian Jingga mengambil sweaternya lalu bergegas ke pabrik. Ia berlari malam-malam untuk menemui Hyeon Joo.

Jingga sampai di pabrik. Ia terengah-engah. Security Arif yang panik menceritakan keributan sore tadi. Tanpa  pikir panjang, Jingga langsung masuk ke pabrik menuju ruangan CEO.
Ruangannya gelap dan berantakan. Hanya diterangi lampu dari luar jendela. Jingga meraba dinding mencari saklar lampu. Jingga menyalakan lampu. Ia terkejut melihat ruangan CEO sangat berantakan. Ia mencari Hyeon Joo. Jingga melihat Hyeon Joo tergeletak di pojok ruangan.
Jingga menuju Hyeon Joo yang masih pingsan. Jingga berusaha membangunkan Hyeon Joo tapi tidak bereaksi. Jingga mencari sesuatu di meja Hyeon Joo tapi ia syok melihat lacinya terpisah dari meja. Jingga kemudian pergi ke mejanya. Dicarinya minyak kayu putih tapi tidak ada. Jingga panik memandang berkeliling. Kemudian ia melihat sebotol parfum di kolong meja Hyeon Joo. Jingga memungutnya. Jingga berhenti. Ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.
Jingga memungut kertas di dekat parfum itu. Ia membacanya. Jingga syok menutup mulut. Jingga menangis mengetahui kenyataan itu. Ternyata apa yang dikatakan Nyonya Kim tentang ibu dan Hyeon Joo benar. Jingga melihat Hyeon Joo yang masih pingsan. Inikah penyebab Hyeon Joo marah dan sakit? Ternyata Hyeon Joo menyelidikinya sendiri. Hyeon Joo sudah tahu semuanya.
Jingga kembali pada Hyeon Joo. Ia mengoleskan parfum pada hidung Hyeon Joo. Hyeon Joo bereaksi dan sadar.
“Hyeon Joo…” Jingga menangis di sebelah Hyeon Joo.
Hyeon Joo menghalau Jingga dan berusaha bangun. “Pergilah! Aku tidak membutuhkanmu.”
Jingga menangis. Hyeon Joo bangun dan mencoba untuk berdiri tegak. Kepalanya terasa sakit. Pandangannya berkunang-kunang. Hyeon Joo sempoyongan. Jingga bangkit menahannya. Hyeon Joo menghalaunya lagi, ia marah. Ia berpegangan pada tepian meja.
“Kenapa menangis? Kau kasihan padaku?” Hyeon Joo menatap mata Jingga yang penuh air mata. “Harusnya kau membenciku yang merebut ibumu.”
Jingga menangis sangat sedih dan dalam. Ia tidak bisa bicara sesuatu. Hyeon Joo mulai berjalan. Baru selangkah, ia lalu terjatuh.
“Hyeon Joo!” Jingga terkejut.
Jingga membantu Hyeon Joo bangun dan duduk bersandar pada sisi meja. Jingga menangisi Hyeon Joo dengan tersedu. Hyeon Joo lemas dan pingsan. Mengalir setetes bening dari mata Hyeon Joo yang terpejam.
“Hyeon Joo, kau bisa bertahan sebentar?” Jingga baru akan berdiri.
Hyeon Joo menahan tangan Jingga. Hyeon Joo membuka matanya perlahan. “Aku hanya bisa mengingatmu ketika terakhir kali kita bertemu. Kau memanggilku di seberang jalan dengan berlumur darah.”
Jingga terkejut sambil menangis. “Maafkan aku, Hyeon Joo…sepanjang pertemuan aku hanya menyusahkanmu. Membawa masalah dan celaka untukmu. Aku janji, ini yang terakhir. Aku akan mencari bantuan tunggulah di sini.”
Jingga berdiri. Hyeon Joo lemas bersandar di sisi meja kerjanya. Jingga tertahan. Ia kembali melihat Hyeon Joo sambil menangis. Hyeon Joo terpejam lagi. Ia sangat pucat. Jingga berjongkok mendekati Hyeon Joo lalu mencium pipinya.
“Aku akan segera membawa bantuan. Tunggulah.” Jingga pergi.
Hyeon Joo mendengar kalimat Jingga. Kepalanya terasa sangat sakit. Terngiang kembali kalimat itu. Seseorang mencium pipinya lalu berkata, “aku akan segera kembali membawa bantuan, tunggulah.”
Kenapa Jingga mengatakan kalimat yang sama tanpa kata ‘kembali’?
Hyeon Joo memegangi kepalanya yang semakin sakit. Berkelebatan bayangan kecelakaan tujuh belas tahun lalu persis seperti yang diceritakan Jingga. Lalu mundur ke pasar, kalung berlian, toko emas, rumah gubuk, melihat Jingga kecil ketika ia terbangun dari tidurnya dan mereka dalam satu selimut lalu wajah Nuria yang sedang sakit batuk berdarah.
Jingga berlari ke pos utama di gerbang masuk pabrik. Ia berteriak memanggil Security meminta tolong. Security Arif menghampiri Jingga dan pergi ke ruangan CEO. Jingga tidak ikut, ia menunggu di bawah pohon tempat ia dulu biasa menunggu Hyeon Joo di luar pabrik.
Tidak lama, Hyeon Joo dibawa turun oleh dua orang Security. Mereka membawa Hyeon Joo dengan mobil Hyeon Joo ke rumah sakit. Jingga tidak menghampiri Hyeon Joo, ia hanya menangis melihat Hyeon Joo di pintu gerbang.
Hyeon Joo setengah sadar melihat keluar jendela mobil. Ia melihat Jingga menangis dan khawatir di bawah pohon di depan gerbang pabrik.

Siang hari, di Rumah sakit.
Nyonya Kim menunggui anaknya dengan cemas. Ia terus memegangi tangan anaknya. Hyeon Joo terlelap karena pengaruh obat penenang dan tertidur semalaman. Hyeon Joo terbangun. Nyonya Kim senang sekaligus sedih mengkhawatirkan anaknya.
“Hyeon Joo…Kim Hyeon Joo, anakku…” Eomma menciumi tangan Hyeon Joo sambil menangis.
Hyeon Joo melirik Eomma lalu memandang berkeliling. Ia memegangi kepalanya yang masih sedikit pusing. Hyeon Joo kembali melihat Eomma.
“Hyeon Joo…apa kau baik-baik saja? Apa yang kau rasakan, sayang?” Eomma sangat cemas.
“Eomma…kali ini apa lagi?” Hyeon Joo sedih menatap Nyonya Kim.
Eomma bingung.
“Apa aku masih tidak boleh mengingat kejadian tujuh belas tahun lalu itu lagi?” mata Hyeon Joo memerah seperti ingin menangis.
Eomma menangis.
“Eomma, aku sakit. Sampai tidak bisa tidur, kepalaku pusing. Rasanya asmaku bisa kambuh kapan saja dan mendadak.” Kata Hyeon Joo.
Eomma tersedu mengangguk sambil menepuk-nepuk punggung tangan anaknya.
“Kali ini, maukah Eomma mengabulkan permohonanku? Sekali ini saja.”
Eomma mengangguk. “Katakan saja. Apa pun akan kulakukan untuk Hyeon Joo,  anak Eomma…”
Hyeon Joo tersenyum. “Eomma, jangan pisahkan aku dengan masa laluku lagi.”
Eomma terkejut mendengarnya.
“Aku menderita karena harus terpisah dari itu. Aku sakit dan sulit tidur bukan karena membencinya tapi karena perasaan bersalah dan megkhawatirkan seseorang. Aku menyesal tidak bisa melakukan apa-apa dan itu selalu menghantuiku. Bagaimana pun caranya ditutupi, itu tetap terjadi dan hanya semakin menumpuk rasa bersalahku.” Hyeon Joo menitikkan air mata. “Eomma, aku mencuri kalung berlianmu untuk menolong Nuria, ibu temanku yang sakit  seperti Harabeheoji. Aku yang mengajaknya pergi ke pasar dan menjual kalung Eomma. Aku yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi. Jangan salahkan dia lagi, Eomma.”
Eomma merunduk menangis di punggung tangan Hyeon Joo.
“Aku marah dan takut. Takut terjadi sesuatu padanya karena kesalahanku.” Lanjut Hyeon Joo. “Bukan dokter, obat bius, psikiater atau ahli hipnoteraphy yang bisa menyembuhkanku. Tapi aku sendiri. Aku hanya perlu menghadapi dan menyelesaikan semuanya. Bukan lari, sembunyi, takut dan berusaha melupakannya. Temanku sebatang kara dan hidup dengan sulit karenaku. Ibunya mati demi membuatku bisa melihat lagi. Teman macam apa aku? Setelah apa yang mereka lakukan, aku malah melupakannya begitu saja.”
Mianhanmida…Hyeon Joo…” kata Eomma.
“Nuria sangat baik seperti Eomma. Memberiku makan, menyuapiku dengan bertelanjang tangan seperti Eomma. Memandikanku dan menidurkanku bersama Jingga, anaknya. Anaknya menungguku selama tujuh belas tahun hanya untuk memberikan kalung berlian Eomma yang kucuri. Kenapa aku tidak boleh percaya padanya? Bukankah Eomma juga memberi Nuria uang, dan kalung itu bersama mereka? Kenapa Jingga mengembalikan uang dan kalung itu dengan utuh?  Mereka pasti butuh uang tapi tidak menggunakannya sama sekali. Bisakah aku percaya padanya? Bolehkah, Eomma?”
Eomma mengangguk dan menghapus air matanya. Ia mencoba tersenyum. “Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Eomma tidak akan menahanmu lagi. Tapi berjanjilah kau akan baik-baik saja. Mianhanmida, Hyeon Joo…maafkan Eomma yang salah mengartikan dirimu. Yang tidak mengerti apa maumu. Mianhanmida, Hyeon Joo…”
Mereka berpelukan.

Seminggu kemudian, di café Rio. Jingga sedang mencuci piring sambil melamun. Rio kesal melihatnya. Sudah seminggu ini, dia tidak melihat Jingga tersenyum ceria atau bercanda. Kerjaannya hanya melamun saja.
Ponsel Jingga berbunyi. Sebuah nomor baru. Rio mendekati Jingga. Jingga mengeluh dan membiarkan teleponnya terus berdering.
Rio menghela napas. “Angkatlah.”
Jingga terkejut. “Oh, itu nomor baru. Aku tidak akan mengangkatnya.”
Rio mengambil ponselnya. “Kalau begitu aku saja yang bicara.”
Jingga merebut kembali ponselnya. “Jangan! Itu Hyeon Joo!”
Rio heran. “Katamu nomor baru. Kau menghapus nomor orang korea itu?”
Jingga mengangguk. “Dia bukan orang korea sepenuhnya. Ibunya orang Indonesia, asli bogor berdarah sunda. Ayahnya yang orang korea.”
“Tetap saja…” Rio berpura-pura cuek. “Hah…meskipun sudah kau hapus, kau masih mengingatnya. Bahkan mungkin jika kau juga hilang ingatan, kau akan tetap menyukainya, kan?”
Telepon brhenti. Jingga lesu lagi. Telepon berbunyi, nomor yang sama lagi.
“Sudah angkat dan bicaralah!” Rio sewot. “Aku kesal melihatmu tidak bersemangat seminggu ini karena dia. Selesaikan masalahmu dan kembalilah ceria. Aku tidak tahan melihatmu begitu. Seperti seisi wajahmu berisi air mata!”
Jingga tersenyum. “Kau sangat memahamiku.”
“Ayo angkat! Atau aku yang bicara!” ancam Rio.
“I-iya baiklah…” Jingga pergi ke belakang dan mengangkat telepon.
Yeoboseyo?” suara Hyeon Joo.
“Ng? Hyeon Joo…Joo…” Jingga ragu.
Ne. Ah! Annyeong haseyo?” dari suaranya sepertinya Hyeon Joo baik-baik saja dan sedang bersemangat.
“Kenapa tiba-tiba menelepon?”
“Apa kau sibuk? Bisakah kau menemuiku sekarang?”
“Apa? Kenapa?”
“Cepatlah! Aku tidak akan pulang sebelum kau datang. Kutunggu di bukit pohon akasia, ya! Pogosippo! Setengah mati.”
Klik. Telepon terputus. Jingga terkejut. Jingga menelepon balik, tidak aktif. Hyeon Joo mencabut baterainya dan mematikan ponsel.
 “Dasar Hyeon Joo Si Pemarah.” Sesungut Jingga. “Seenaknya menyuruh orang datang dan pergi. Kau kira Jakarta-bogor sedekat hidung dan matamu!”
“Dia bilang pogosippo…setengah mati…” Jingga diam sejenak. Ia murung. “Aku juga, Pabo!”
Jingga baru akan masuk. Ia terkejut melihat Rio. Rio mendengar semuanya.
“Pergilah, sebelum aku berubah pikiran.” Kata Rio. “Kunaikkan gajimu, kau tidak senang. Kupotong kau tetap murung. Aku serba salah. Sudah sana temui dia dan jangan kembali tanpa senyum dan cerewetmu lagi.”
Rio pergi. Jingga tersenyum menyusul dan tiba-tiba muncul di hadapan Rio.
“Aku akan segera kembali. Terima kasih.” Jingga tersenyum bersemangat.
Rio mencibir. Beberapa detik kemudian ia juga tersenyum.
Jingga tiba di bukit. Ia tidak melihat siapa-siapa. Sepi. Ia memandang berkeliling, tidak ada orang.
“Apa Hyeon Joo membohongiku?” gumam Jingga. “Hyeon Joo?”
Sepi.
“Hyeon Joo?” masih sepi. “Apa aku terlalu cepat? Tapi dia bilang dia menungguku di sini.”
Hyeon Joo berlari di belakang Jingga. Sesampainya, “nah!”
Jingga terkejut dan berbalik. Hyeon Joo tersenyum seperti anak kecil yang polos.
“Kau sudah datang? Ayo!” Hyeon Joo menarik tangan Jingga mengajak pergi.
Jingga bertahan. Hyeon Joo bingung dengan wajah yang masih cerah ceria.
“Kau kenapa? Apa terjadi sesuatu denganmu?” Tanya Jingga.
Wae?” Hyeon Joo bingung. Ia lalu tersenyum mengerti. Ia melepaskan tangan Jingga lalu sedikit membungkuk. “Gomawo! Sudah menungguku. Sekarang, aku sudah ingat semuanya. Jangan sia-siakan, ayo kita bermain sepuasnya! Ke sungai, ke sawah lalu kembali ke sini lagi. Ah! Oh, iya! Aku juga akan menanam pohon pinus. Bukankah kau bilang ingin melihat pohon pinus itu seperti apa?”
Jingga tersenyum lalu tertawa. “Dasar bodoh, aku sudah sebesar ini.” Jingga mengukur dirinya.
Hyeon Joo tersenyum. Baginya Jingga tetap saja pendek.
“Aku seorang perempuan dewasa, bukan anak kecil lagi. Aku tidak akan bermain seperti itu. Lagi pula aku bisa melihat pohon pinus dimana-mana. Di internet pun bisa. Kau meledekku. Memangnya aku sekuno itu tidak pernah melihat pohon pinus.” Kata Jingga.
Hyeon Joo tertawa. “Iya, kau benar.”
Jingga tersenyum melihat Hyeon Joo sangat ceria. Ia hampir sepenuhnya mirip dengan Hyeon Joo teman kecilnya. Hyeon Joo menjulurkan tangannya ke arah Jingga. Jingga sedikit terpejam dan agak menghindar. Hyeon Joo menyentuh kepala Jingga dan mengusapnya lembut. Jingga membuka mata perlahan.
Hyeon Joo tersenyum. “Kau tumbuh sangat cepat. Tidak kusangka kau seorang anak perempuan.”
Jinjja? Benarkah? Tapi aku sekarang cantik bukan?” Jingga cengengesan.
Hyeon Joo nyengir. “Anio. Kau hanya sedikit manis. Sedikit saja.”
Hyeon Joo menyentil jari dengan ujung kukunya. Jingga mendesis.
“Kalau begitu, ayo kita bermain permainan yang tidak boleh selesai!” kata Hyeon Joo.
“Apa itu? Apa ada permainan seperti itu?” Tanya Jingga.
Hyeon Joo tersenyum. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Sebuah benda berkilauan. Kalung emas putih dengan bandul berlian kecil. Hyeon Joo mendekat dan memasangkannya di leher Jingga. Jingga diam saja meski sedikit bingung.
“Ini kubeli dengan uangku sendiri. Nah, segitu saja dulu. Nanti kubeli yang lain untukmu. Maeume deureo? Apa kau suka?” kata Hyeon Joo.
Bagus. Jingga menyentuh bandul itu. Jingga tersenyum memandanginya seperti anak kecil yang senang dapat hadiah. Ia melihat Hyeon Joo.
Hyeon Joo menjitak kepala Jingga. Jingga terkejut.
“Kau sangat agresif. Mencium laki-laki duluan itu tidak dibenarkan. Apa kau sangat menyukaiku sampai seperti itu?” kata Hyeon Joo.
“A-apa?” Jingga terbata.
“Apa kau sangat, sangat menyukaiku?” ulang Hyeon Joo.
Jingga ragu lalu perlahan mengangguk dan merunduk.
“Kalau begitu, ayo kita berkencan! Jingga teman kecilku yang ternyata seorang perempuan!”
Jingga terkejut. “Apa permainan yang tidak boleh selesai itu sudah dimulai?”
Hyeon Joo tersenyum mengangguk. “Baiklah! Kencan pertama ke sungai, ke sawah, lalu ke bukit. Aku akan menanam banyak pohon pinus di sepanjang jalan ini. Kau harus menemaniku!”
Jingga manyun. “Kencan macam apa itu? Tidak romantis!”

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya