18 Desember 2014

Korean Pine Love - Chapter 6








Chapter 6
Pekerjaan Yang Sulit






Lanjutan Dari Chapter 5

Setiap hari, Jingga tidak sabar menunggu hari minggu tiba. Ia selalu ingin menemui Hyeon Joo temannya. Hyeon Joo pun demikian. Meski sibuk, Hyeon Joo hampir selalu melirik ke jendela dan melihat apa ada Jingga di luar sana. Mengetahui tidak ada, Hyeon Joo lemas. Hyeon Joo duduk di kursinya memperhatikan ponselnya.
“Kenapa hari minggu terasa sangat lama?” Hyeon Joo bergumam.
Jingga juga mengucapkan hal yang sama sambil memperhatikan ponselnya.
“Kenapa kau tidak mengirimku pesan? Apa kau tidak tahu aku menunggu?” kata Hyeon Joo.
“Kenapa kau tidak meneleponku? Apa kau tidak tahu aku merindukanmu?” kata Jingga.

Minggu yang dinanti tiba. Jingga berlari di trotoar ruko menuju café. Ponselnya berdering. Jingga mengangkatnya sambil berlari.
“Halo?” sapa Jingga.
Yeobseyo?” Hyeon Joo menelepon.
“Hyeon Joo!” Jingga berhenti. “Apa kau sudah sampai?”
Ne. Aku di belakangmu.”
Jingga berbalik. Mobil Hyeon Joo melaju perlahan di belakang Jingga. Jingga tersenyum dengan telepon masih tersambung.
“Ayo masuk, sebelum pacarmu melihat!” Hyeon Joo meledek.
Jingga manyun mematikan panggilan. “Pacar apa katamu?”
Jingga masuk ke mobil. Hyeon Joo tertawa melihat Jingga merengut. Ia memacu mobilnya dan pergi.
“Hey, orang yang berpacaran dengan Rio. Aku sudah membawa pakaian ganti. Main apa kita hari ini?”
“Aku bukan pacarnya Rio. Dia temanku.” Jingga makin manyun.
“Oh, ya?” Hyeon Joo meledek.
“Aku tidak akan main lumpur lagi. Juga tidak akan berendam di sungai lagi.”
“He? Kenapa? Kau marah?”
“Tidak. Aku ingin kau mengajakku berkeliling pabrik.”
“Ide bagus. Tapi kenapa?”
“Kau dulu mengajakku ke sana. Aku pernah meminta boneka jerapah tapi kau melarangku.”
“Oo…” Hyeon Joo mengangguk dan tancap gas.

Hyeon Joo mengajak Jingga ke pabrik. Mereka berkeliling area produksi, melihat banyak mesin produksi. Mereka juga ke ruang bahan baku. Hyeon Joo juga mengajak Jingga ke ruangannya.
Jingga memandang berkeliling. Ia mendekati meja Hyeon Joo. Terdapat plakat nama Kim Hyeon Joo – CEO Joo Inhyeong. Corp.
“Wah! Kau seorang CEO?” Jingga mengambil plakat itu.
“Sepertinya yang tertulis di sana begitu.”
Jingga meletakkannya lagi. Ia melihat boneka jerapah yang dulu dilihatnya tujuh belas tahun silam di lemari hias. Jingga mengambilnya. Ia terlihat senang.
“Apa ini boleh untukku?” Jingga memeluk boneka jerapah.
“Apa itu boneka yang kau maksud?”
Jingga mengangguk. “Dulu aku tidak tahu kau anak pemilik pabrik ini. Ketika aku memintanya kau bilang tidak boleh. Sekarang kau bos di pabrik ini. Apa boleh?”
“Ambil saja.” Hyeon Joo duduk di sofa menyalakan tv dan mencari chanel.
Jingga senang dan memeluk boneka itu. “Hyeon Joo, apa ruanganmu tidak terlalu besar?”
“Besar. Karena aku sendiri.”
“Hyeon Joo. Aku sudah bosan berkeliling di pabrik. Kita ke bukit, yuk!” Jingga duduk di sebelah Hyeon Joo.
Hyeon Joo melirik Jingga. “Berjalan kaki?”
Jingga mengagguk.
“Aku lelah.”
“Ah…” Jingga lesu.
Hyeon Joo melirik lalu tersenyum. “Bagaimana kalau naik sepeda?”

Jingga membonceng di belakang. Hyeon Joo mengayuh sepedanya dengan santai. Mereka melewati jembatan di atas sungai tempat mereka berendam minggu lalu. Banyak anak kecil bermain di sana. Jingga dan Hyeon Joo sangat menikmati perjalanannya. Mereka tersenyum menikmati hembusan lembut angin membelai wajah mereka.
“Hyeon Joo, lebih cepat lagi. Lebih kencang lagi!” kata Jingga di belakang.
“Kau cerewet sekali! Aku sudah berusaha!” Hyeon Joo mempercepat kayuhannya.
Jingga tertawa karena Hyeon Joo kelelahan.
“Hyeon Joo, ayo semangat!”
“Apa tidak bisa kau diam dan duduk saja? Kalau kau ingin cepat pergi naik motor saja!”
Jingga tertawa lagi. “Ahk, kau cepat sekali marah. Seperti perempuan saja!”
“Apa?” Hyeon Joo memainkan sepedanya membuat Jingga sedikit oleng dan berpegangan kuat pada Hyeon Joo. Hyeon Joo tertawa mengerjai Jingga.
Di bukit, di bawah pohon akasia. Mereka duduk bersama bersebelahan. Jingga mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
“Apa itu?” Tanya Hyeon Joo.
“Makan siang.” Jingga membuka bekal makanannya.
Hyeon Joo melirik. “Apa itu enak?”
Jingga mencuci tangannya lalu mengambil sesuap nasi dan sedikit tumis daun kangkung dan sambal. Ia menyodorkannya pada Hyeon Joo.
Mwo?” Hyeon Joo mundur sedikit. “Kau akan menyuapiku dengan bertelanjang tangan begitu?”
“Iya. Cobalah!”
Anio. Apa tidak ada sendok atau sumpit?”
“Tidak ada. Ibuku pernah menyuapimu dengan bertelanjang tangan. Kau sangat suka masakan buatan ibuku. Persis seperti ini. Sekarang, biarkan aku menyuapimu.”
Hyeon Joo sedikit ragu.
“Aku tidak akan meracunimu.”
Hyeon Joo mendekat perlahan. Ia membuka mulutnya dan membuat Jingga tersenyum. Jingga menyuapi Hyeon Joo dengan tangan kanannya. Hyeon Joo mengunyah makanannya lalu sedikit berpikir.
“Mm…Mats Isso yo!” Hyeon Joo membuka mulut lagi.
Jingga mengambil suapan lagi. Hyeon Joo menunggu dengan mulut terbuka. Jingga malah hendak menyuap sendiri. Hyeon Joo terkejut dan menahan tangan kanan Jingga.
“Apa kau juga akan makan langsung dari tanganmu itu?”
“Iya. Kenapa? Aku juga lapar.”
“Tapi itu bekasku. Eh! Maksudku, apa setelah itu kau juga akan menyuapiku lagi??”
“Iya. Lalu kenapa? Aku sudah mencuci tangan.”
“Aku tidak mau. Kau saja yang makan.” Hyeon Joo melepaskan tangan Jingga.
“Ibuku juga menyuapimu lalu aku secara bergantian dengan tangannya sendiri. Hyeon Joo temanku tidak merasa risih. Tangan ibuku bersih.”
Hyeon Joo melirik Jingga.
“Kalau kau bilang menggores pohon untuk menghitung waktu menunggu seseorang adalah romantis, ini juga romantis. Di Indonesia, hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang tua kepada anak atau sebaliknya, adik atau kakak, dan sepasang kekasih yang sudah menikah.”
Hyeon Joo memperhatikan Jingga makan sesuap demi sesuap. Hyeon Joo menelan ludah. Hyeon Joo lalu mencondongkan diri pada Jingga. Jingga tersenyum dan menyuapi Hyeon Joo lagi. Keduanya tersenyum.

“Jingga, tidak bisakah kau berhenti bekerja dari café dan pindah ke Bogor?” Hyeon Joo duduk bersila memandangi indahnya pemandangan bukit berilalang.
Jingga sedang merapikan isi tasnya. “Tidak bisa. Kan sudah kukatakan.”
“Tidak bisakah kau pindah dari tempat yang hina itu?”
Jingga tersentak. Ia berhenti dan melihat Hyeon Joo.
“Ma-maksudku…bukankah menjadi sekertaris jauh lebih baik? Kalau kau di café, selamanya orang akan menganggapmu seorang pelayan. Hanya melayani dan disuruh-suruh.”
“Benar juga.” Jingga berpikir. “Tapi aku tidak bisa.”
“Kenapa? Kau tidak bisa berjauhan dari pacarmu itu?”
“Bukan itu.”
“Lalu apa? Sepertinya kau menyukainya.”
“Rio memang baik. Aku tidak punya alasan untuk tidak menyukainya.”
“Ah…jadi benar kau menyukainya.”
“Kenapa? Suka bukan berarti cinta, kan?”
“Oya? Lalu kau jatuh cinta padanya?”
“Apa maksudmu? Dia temanku.”
“Aku juga temanmu. Tapi kulihat kau sangat akrab dengannya sampai tidak ingin berpisah begitu. Kau jatuh cinta padanya, kan? Apa dia cinta pertamamu? Hah?” Hyeon Joo menyelidik.
“Kau ini bicara apa? Dia hanya temanku. Aku tidak mungkin jatuh cinta padanya.”
“Bohong. Sepertinya dia menyukaimu. Maksudku, dia jatuh cinta padamu.”
“Benar. Dia sering merayuku dan memintaku menjadi pacarnya.” Jingga tersenyum.
Hyeon Joo mundur. “Kalau begitu kenapa kalian tidak pacaran saja?”
“Tidak bisa. Sudah jangan bahas itu lagi.”
“Kalau begitu kenapa kau tidak ingin berpisah dengannya?”
“Tidak bisa bukan berarti tidak ingin.”
“Jadi apa kau ingin bekerja bersamaku?”
“Hyeon Joo…jangan membuatku bingung dengan pertanyaan berulang-ulang.”
Hyeon Joo menarik napas. Ia duduk tegak dan memandang lurus. “Bisakah aku percaya padamu?”
“Ng?”
“Dua tahun lalu, aku bertengkar dengan Cyril di mobil. Dia mengambil alih kemudi. Aku mengacuhkan omelannya dengan memasang earphone dan menutup kepalaku dengan jaket. Cyril tersinggung. Dia bilang, jika ingin mati, matilah bersamaku.” Hyeon Joo mengehal napas. “Kemudian dia menambah kecepatan dan menabrakkan diri ke pembatas jalan. Mobil kami terjun dan terjadi kecelakaan beruntun. Cyril tewas di tempat dengan darah mengucur dari hidung dan mulutnya. Aku panik dan berusaha menolongnya, tapi tanganku tidak bisa bergerak.”
Jingga diam mendengarkan dan ngeri.
“Tulang selangka di bahuku patah.” Hyeon Joo melihat Jingga. “Kau lihat? Bahu kanan dan kiriku tidak sejajar. Sedikit miring.”
“Ho?”
“Tidak hanya itu.” Hyeon Joo melipat lengan kemeja kanannya hingga ke sikut. “Perhatikan ini.”
Jingga melihat tangan kanan Hyeon Joo. Semakin dilihat semakin aneh. Tangan Hyeon Joo bergetar perlahan lalu cepat dan jelas.
“Sepertinya terjadi kerusakan saraf dan membuat tanganku mengalami tremor tidak terkendali saat aku memfokuskan diri pada tangan ini.”
Jingga murung dan sedih.
“Aku tidak bisa menulis dengan rapi dan tidak bisa mengetik dengan cepat.” Hyeon Joo mengulurkan kemejanya lagi.
“Itukah kenapa kau selalu memakai kemeja panjang dan berjalan sambil memasukkan tangan kananmu ke saku?” Jingga menggenang air mata.
Hyeon Joo mengangguk. “Aku harus bekerja keras tapi aku terbatas. Aku tidak bisa percaya pada sembarang orang. Meski aku tidak bisa mengingatmu, tapi aku percaya kau tidak bohong bahwa kita pernah berteman baik. Apa aku bisa percaya padamu?”
Hyeon Joo menatap Jingga sendu. Jingga tersenyum.
“Apa yang bisa kulakukan untukmu?”
“Jadilah sekertarisku. Agar kau selalu ada di dekatku. Membantuku. Membantu pekerjaanku dan membantuku lebih sering untuk mengingat semuanya lagi dengan baik.”
Jingga mengucek matanya. Ia tersenyum dan mengangguk. Hyeon Joo ikut tersenyum.

Jingga meminta maaf pada Rio. Ia meminta ijin untuk berhenti bekerja, Jingga bahkan berencana untuk pindah ke Bogor. Rio terkejut dan marah. Ia tidak setuju.
“Apa orang bermata sipit itu yang menyuruhmu?” Rio kesal.
Jingga menggeleng. “Itu keinginanku sendiri. Aku hanya ingin lebih sering mengunjungi makam ibuku.”
“Kau sudah pintar berbohong, ya!” Rio tidak percaya. “Apa kau juga membohongi bibimu?”
Jingga menggeleng lagi. “Aku tidak bohong. Itu keinginanku. Bibi tidak apa-apa. Aku juga akan sering mengunjunginya. Aku tidak akan lupa pada kalian semua.”
“Tidak. Aku tidak akan mengijinkanmu tinggal di sana sendirian.”
“Rio, kau akan menghemat pengeluaran jika melepasku. Bonusku terlalu besar. Kalau aku tidak bekerja di sini, bonus itu milikmu. Kau bisa mengembangkan café-mu jadi lebih baik lagi.”
Rio diam dan kesal. Ia tidak ingin Jingga pergi. Bonus itu hanya alasan, tapi itu murni tulus dari hatinya hanya untuk menyenangkan Jingga saja.
“Aku mengkhawatirkanmu. Bagaimana kau akan tinggal? Bagaimana kau akan bekerja untuk makan dan apa kau akan menyewa sebuah rumah atau kamar yang sangat kecil?”
Jingga tersenyum. “Kau sangat baik padaku. Kau tidak usah terlalu khawatir. Aku akan baik-baik saja.”
Rio menghela napas. Ia menyerah. “Kapan kau akan berangkat?”
“Besok. Aku langsung berkemas setelah bibi menyetujuinya.” Jingga antusias.
“Apa?” Rio terkejut. “Bahkan kau tidak membiarkan kita berpamitan dulu.”
“Ini sudah kulakukan.”
“Setidaknya, kita harus makan malam yang romantis. Kau selalu menolakku untuk jadi pacarmu, bisakah berkencan denganku satu jam….saja.”
Jingga manyun. “Tidak bisa.”
Rio murung. “Tapi berjanjilah kau akan sering datang ke sini. Kuberi kau makan gratis.”
“Ooh…” Jingga berlagak terharu menopang dagu dengan kedua tangannya.
Rio tersipu malu. Rio langsung memeluk Jingga dan berputar-putar. “Oh, Jingga…aku akan sangat merindukanmu!”
Jingga melepaskan diri. Mereka berpandangan. Rio menyentil kening Jingga lalu tertawa.
Hyeon Joo buang muka. Ia baru akan masuk ke café tapi urung. Ia kembali ke mobilnya dengan wajah murung. Sejenak Hyeon Joo diam memegangi setir lalu menghela napas dan pergi.

Jingga pindah ke Bogor. Ia menyewa sebuah kamar kost tidak jauh dari lokasi pabrik. Jingga merapikan barang-barangnya sejak pagi hingga siang. Selesai dengan cepat karena hanya sedikit. Jingga merebahkan diri di kasur lipatnya.
“Ah…rasanya lelah tapi menantang.” Jingga tersenyum. Ia teringat Hyeon Joo. Hyeon Joo belum tahu kalau Jingga sudah pindah ke Bogor. Ia akan membuat kejutan.
Jingga mengambil ponselnya dan menelepon Hyeon Joo. Tidak ada jawaban. Jingga mencoba sekali lagi, masih tidak ada jawaban.
“Apa dia sedang sibuk?” pikir Jingga.
Hyeon Joo di ruangannya. Ia mendiamkan ponselnya di meja. Sengaja Hyeon Joo tidak menjawab telepon Jingga. Sepertinya ia sedang menghindari Jingga.
“Kalau begitu akan kutemui saja dia.” Jingga mengambil sweater dan bergegas.
Jingga berjalan kaki dua puluh menit menuju pabrik. Jingga bersemangat akan mengejutkan Hyeon Joo karena muncul di hari kerja, bukan di hari minggu. Jingga sampai di pabrik, ia bertanya pada Security Arif. Security Arif bilang Hyeon Joo tidak keluar pabrik sejak pagi.
“Sepertinya ia sibuk.” Kata Security Arif.
“Umm…” Jingga mengangguk lalu menunggu di bawah pohon biasa. Ia melirik ponselnya. Jingga mengirim pesan pada Hyeon Joo.
Aku datang. Kau dimana?
Tidak ada balasan.
Aku sudah putuskan untuk membantumu. Kenapa tidak menjawab teleponku?
Hyeon Joo di ruangannya. Membaca pesan Jingga sambil memperhatikan Jingga dari jendela. Hyeon Joo diam saja tidak membalas pesan Jingga. Ia teringat kejadian semalam. Hyeon Joo terlihat tidak suka. Ternyata Hyeon Joo cemburu. Hyeon Joo mengetik pesan.
Aku sibuk. Pergilah bekerja, pacarmu pasti menunggumu.
Jingga terkejut membaca pesan Hyeon Joo. Ia tidak mengerti maksud Hyeon Joo. Jingga menelepon Hyeon Joo lagi tapi tidak dijawab. Jingga merasa ditipu. Ia sudah berhenti bekerja untuk Hyeon Joo bahkan pindah ke Bogor untuk kejutan. Tapi Hyeon Joo tidak perduli. Hyeon Joo mengecewakannya. Jingga kesal dan merasa konyol, merasa dibodohi. Jingga membalas pesan Hyeon Joo dengan kesal.
Baik. Aku juga akan sangat sibuk. Maaf kalau setelah ini aku tidak bisa menemanimu bermain lagi.
Jingga pulang dengan kesal. Ia menepuk-nepuk kepalanya menyesali keputusan konyolnya. Ia benar-benar bodoh. Ia malu kembali pada Rio, tapi ia butuh uang. Jingga mengeluh sambil terus berjalan.
Sehari tanpa telepon dan pesan dari Jingga dan Hyeon Joo. Keduanya dilanda rindu. Sebentar-sebentar melirik ponsel lalu mengeluh. Jingga berdiam diri di kamar kost-nya. Ia lapar, ia rindu Rio. Saat Jingga kelaparan, Rio dengan senang hati memasakkannya makanan serba enak di café, gratis. Gaji utuh, bahkan ada bonus tak terduga.
Hyeon Joo belum tahu Jinggga sudah berhenti bekerja dan pindah ke Bogor. Hyeon Joo datang ke café dan menonton di mobilnya. Ia tidak melihat Jingga. Justru Rio yang galau mondar-mandir melihat keluar seperti menunggu seseorang. Sampai toko tutup, Hyeon Joo tidak melihat Jingga.
Karena penasaran, Hyeon Joo turun dan mendekati café. Rio terkejut melihat Hyeon Joo.
“Eh? Sedang apa kau ke sini?” Tanya Rio.
“Oh…a…aku kebetulan lewat.” Hyeon Joo berpura-pura.
Rio sedikit tidak percaya. “Mana Jingga?”
“Apa?” Hyeon Joo bingung. “Bukankah dia bekerja denganmu?”
“Bicara apa kau?” Rio emosi. “Dia berhenti bekerja sejak kemarin. Mendadak sekali dan pindah ke Bogor. Itu pasti karena kau menyuruhnya, kan?”
Mwo?” Hyeon Joo semakin bingung. Jingga memang setuju untuk membantunya tapi tidak tahu kalau secepat itu.
“Kau menipunya, ya??” Rio menarik kerah kemeja Hyeon Joo.
Hyeon Joo diam dan bingung. Ia teringat pesan Jingga kemarin siang. Hyeon Joo melepaskan tangan Rio lalu pergi terburu-buru.
“Hey, tunggu!” teriak Rio. Ia hendak mengejar tapi belum mengunci café. Rio mengerang kesal.
Hyeon Joo pulang ke Bogor. Berkali-kali Hyeon Joo menelepon Jingga tapi tidak ada jawaban. Rio juga mengkhawatirkan Jingga. Ia juga terus mencoba menelepon Jingga tapi sibuk lalu tidak diangkat.
Jingga tertidur di kamar kost-nya. Ponselnya bergetar tanpa suara. Jingga tidur kelelahan dan kelaparan. Ia tidak menyadari Hyeon Joo dan Rio berkali-kali meneleponnya. Hyeon Joo dan Rio tidak bisa tidur, mereka sama-sama mengkhawatirkan Jingga. Mereka terus menunggu kabar dari Jingga tapi tidak ada.
Pagi hari. Jingga terbangun dengan perut lapar. Ia ke kamar mandi dan mebersihkan diri. Setelah beres, Jingga baru mengambil ponselnya di lantai. Dilihatnya call log, ia mendapat dua puluh tujuh kali panggilan tidak terjawab. Hyeon Joo dan Rio. Jingga bingung, kenapa mereka berkali-kali menelepon?
Jingga memutuskan untuk menghubungi Rio dari pada Hyeon Joo. Ia masih kesal dengan sikap Hyeon Joo kemarin.
“Jingga?!!” Rio sangat mencemaskan Jingga. “Kau dimana? Apa kau baik-baik saja?”
“Rio, aku…”
“Cepat pulang! Atau aku akan menjemputmu. Katakan, dimana posisimu sekarang?”
“Rio! Aku baik-baik saja!” Jingga kesal dan mematikan panggilan. Jingga juga mencabut baterai ponselnya
“Halo?” Rio terkejut dan menelepon balik. Telepon diluar jangkauan. Rio berteriak kesal.
“Aku baru akan mengadu dan menangis padamu, tapi kau seperti itu…” Jingga gagal menangis.
Hyeon Joo mondar-mandir di ruangannya. Berkali-kali ia melihat keluar jendela. Tidak ada Jingga. Hyeon Joo menelepon pun masih tidak aktif.
Jingga memakai t-shirt bergaris biru putih dan celana jeans biru. Ia meninggalkan ponselnya di kamar kost dengan kondisi baterai terlepas dari ponsel. Jingga mengambil cardigan merah dan pergi.

Jingga membaca buku ensiklopedia tentang pohon sambil makan camilan. Buah ceri liar yang banyak dan merah. Jingga asik membaca sambil memakan buah ceri liar sebagai camilannya. Sesekali ia terkejut membaca dan meneguk air minum yang dibawanya.
Menjelang tengah hari, Hyeon Joo semakin khawatir Jingga belum muncul dan tidak bisa dihubungi. Hyeon Joo diam sejenak. Hyeon Joo langsung mengambil jas-nya dan bergegas pergi. Hyeon Joo ngebut dengan mobilnya dan berhenti di jalan dimana ia bisa melihat bukit pohon akasia dari sana. Hyeon Joo turun, mengunci mobilnya dan pergi ke bukit dengan berlari.
Jingga tertidur sambil melipat kaki dan menopang dagu dengan lututnya. Buku ensiklopedia tentang pohon terbuka di sebelahnya. Pohon pinus, halaman yang terbuka.
Pohon pinus adalah 'pohon cinta'. Orang-orang di Korea mengambil pohon pinus sebagai filosofi. Karena melambangkan cinta yang kokoh, lurus, dan tidak pernah berakhir
Entah darimana, terngiang begitu saja di telinga Hyeon Joo. Hyeon Joo duduk di sebelah Jingga. Ia meniru posisi Jingga lalu memiringkan kepalanya melihat Jingga. Diperhatikannya Jingga. Gadis yang manis. Sangat manis. Bagaimana Hyeon Joo bisa berteman dengan seorang anak perempuan semanis itu? Dekat dengan perempuan saja ia merasa risih, kenapa ia membiarkan Jingga berada di sisinya berkali-kali dan lama?
“Hyeon Joo, bagaimana bisa laki-laki berwajah cantik? Hmmm…” Jingga mengigau. “ Aku menyukaimu.”
Deg! Hyeon Joo terbelalak. Jantungnya berdebar lembut dan berpacu. Hyeon Joo tidak berkedip.
“Aku sangat menyukaimu, Hyeon Joo…” Jingga bergeser dan nyaris terjatuh.
Hyeon Joo menjulurkan tangannya menahan Jingga. Jingga oleng, Hyeon Joo menahannya. Jingga terbangun dan terkejut melihat Hyeon Joo di sebelahnya. Keduanya saling memandang dengan mata terbelalak. Hyeon Joo memerah. Jingga heran melihat wajah putih Hyeon Joo mendadak sangat merah merona.
“Hyeon Joo…” gumam Jingga.
Hyeon Joo melepaskan tangannya. Jingga terjatuh. Jingga mengaduh dan memperbaiki posisinya.
“Sejak kapan kau di sini?” Tanya Jingga.
“Ng? A…aku…” Hyeon Joo berpikir. Ia berdiri dan berpaling. “Aku mencari orang yang mau menjadi sekretarisku.”
Jingga memungut bukunya lalu berdiri. “Aku menunggu seseorang yang mau memberiku pekerjaan.”
Hyeon Joo tersenyum. Tanpa melihat Jingga, ia menarik tangan Jingga dan pergi.
“Tugas pertama, ayo cari makan. Baegopa.” Hyeon Joo santai menggandeng Jingga. “Aku lapar.”
Jingga senyam-senyum. “Benar. Aku juga lapar.”

Mereka makan di restoran lalu kembali ke pabrik. Hyeon Joo memesan sebuah meja dan diatur satu ruangan dengannya. Di sanalah Jingga akan bekerja.
Jingga senang lalu merengut. “Tapi aku malu. Aku hanya lulusan SMA biasa, tidak pantas.”
“Tidak masalah. Ini rahasia kita berdua.” Kata Hyeon Joo.
Jingga tersenyum mengenang kalimat Hyeon Joo waktu kecil, “ini rahasia kita berdua.”
Jingga membungkuk. “Gamsahanmida. Tapi…maafkan aku, Hyeon Joo. Aku akan bekerja di pabrikmu tapi tidak sebagai sekertaris dan satu ruangan dengan CEO Kim Hyeon Joo. Mohon berikan aku pekerjaan lain yang sesuai denganku.”
Hyeon Joo menghela napas. Ia buang muka lalu kembali melihat Jingga. Tiba-tiba Hyeon Joo tersenyum. Menurutnya Jingga sangat lucu.
“Baiklah. Meja itu kubiarkan kosong, kalau-kalau kau berubah pikiran. Kau akan kutempatkan di bagian QC.” Hyeon Joo duduk di sudut mejanya.
“Ha??!!” Jingga girang. “Gamsahanmida. Gamsahanmida. Gamsahanmida…itu sangat cocok untukku. Aku ini galak dan ditakuti pelanggan sewaktu di café. Itu akan jadi modal untukku.”
Hyeon Joo tertawa.

Hari-hari bekerja di pabrik jadi menyenangkan. Hyeon Joo selalu bersemangat pergi ke pabrik. Jingga juga demikian. Karena pekerjaan QC sangat sibuk memeriksa hasil kerja dari lima ratus pekerja, Jingga jadi jarang bertemu Hyeon Joo.
 Jam istirahat di pabrik. Jingga menyodorkan piringnya kepada petugas kantin. Petugas menuangkan sayur dan lauk di piring Jingga. Seseorang juga menyodorkan piringnya. Jingga menoleh.
“Oh? Hyeon Joo?” Jingga heran melihat Hyeon Joo di sebelahnya.
Wae?” Hyeon Joo tersenyum.
“Bukankah kau seharusnya makan di ruanganmu? Kenapa ke sini?”
“Ini pabrikku. Apa tidak boleh?”
“Terserah, sih…”
Hyeon Joo sedikit merunduk dan bilang terima kasih pada pelayan kantin.
Jingga berdiri mencari tempat.
“Di sana!” Hyeon Joo menunjuk meja kosong.
“Ng?” Jingga bingung lagi. “Itu bukan tempatmu. Tempat makan para staf dan direksi itu di lantai dua.”
Hyeon Joo menghiraukan ocehan Jingga. Ia menarik tangan Jingga, membawa piring dengan satu tangan menujut tempat itu.
“E-eh…” Jingga terpaksa mengkuti.
Mereka menjadi pusat pemandangan yang aneh. Mereka duduk berhadapan. Masih ada satu bangku kosong lagi di sebelah Jingga. Hyeon Joo memandang berkeliling.
“Manager Rudi!” panggil Hyeon Joo. “Kemarilah! Makan di sini!”
Jingga, Manager Rudi dan hampir seluruh pengunjung kantin terkejut. Manager Rudi menurut. Ia membawa piring nasinya dan makan di meja yang sama dengan Hyeon Joo dan Jingga.
“Aku sangat merindukanmu. Apa tidak boleh kita makan bersama?” kata Hyeon Joo pada Jingga.
Manager Rudi terbatuk dan buru-buru minum. Jingga diam saja dan menghabiskan makanannya.
“Bukan begitu. Aku tidak ingin orang salah paham melihat kedekatan kita. Lagi pula kalau berhadapan begini, aku jadi malu. Terasa sekali jarak antara kita. Bawahan dan bos. Kalau di luar, aku merasa tidak ada jarak.” Batin Jingga.

Hyeon Joo keluar ruangan untuk mengecek mesin yang bermasalah. Ia menuruni tangga dan mencari Manager Rudi. Ia melihat karyawan lain sedang mengomel.
“Kau ini bodoh sekali! Sudah kubilang, jangan seperti ini lagi!” omel orang yang memakai seragam QC. Dia kepala QC, Dira.
“Isz, dia galak sekali.” Hyeon Joo berpaling mencari ke arah lain.
“Oh…Bu, ini sudah bagus. Coba kulihat!” Jingga mengambil boneka lain di keranjang. Ia membandingkan boneka di keranjang dengan yang dipegangnya. “Bu, tapi jahitannya sedikit lebih longgar dari yang ini. Bisa sedikit dirapatkan? Supaya pelanggan berpikir bahwa kualitas boneka kita bagus dan awet karena jahitannya yang kuat.”
“O? Benarkah?” Ibu penjahit mengambil boneka hasil jahitannya. “Benar juga. Terima kasih, akan kuperbaiki.”
“Hm!” Jingga mengangguk dan tersenyum.
“Ah…itukah galak dan menakutkan yang kau maksud sebagai modal seorang QC?” Hyeon Joo nyengir melihat Jingga.
Jingga melihat Hyeon Joo. Hyeon Joo tersenyum melambaikan tangan. Jingga menyambutnya. Seseorang memanggil Jingga. Jingga pergi mendatangi.
Hyeon Joo turun dan mencari Manager Rudi.
“Bukankah mereka aneh?” bisik pekerja lain.
“Apa? Jingga satu-satunya QC yang baik dan sabar di pabrik ini. Kadang kala aku ingin berhenti bekerja setiap masuk ke pabrik untuk bekerja. Tapi sejak Jingga bekerja di sini, aku merasa tenang dan bekerja dengan semangat.”
“Tidak, bukan itu, Bu. Tuan Kim dan Jingga. Mereka seperti sangat akrab.”
“Bagus. Itu artinya Tuan Kim yang memperkerjakan Jingga tahu bahwa Jingga baik dan ia puas dengan hasil kerja Jingga. Jadi mereka bisa akrab.”

Hyeon Joo memanggil Manager Rudi, kepala QC, dan beberapa kepala lainnya. Ia merapatkan masalah kerusakan mesin yang sudah cukup parah tapi baru dilaporkan.
“Apa kalian tidak tahu, akibat kerusakan mesin itu? Produksi kita terhambat. Meski kita harus kejar target untuk valentine yang masih empat bulan lagi, tapi kalau ini belum diselesaikan, akan sulit mencapai target.” Kata Hyeon Joo.
Semua peserta rapat diam dan murung.
“Kau!” Hyeon Joo menunjuk kepala QC, perempaun yang marah-marah tadi pagi. “Kau bilang ini semua karena para pekerja keteteran. Ternyata kendalanya di mesin.”
“Ma-maaf…” ia merunduk.
“Aku tidak suka dengan cara kerjamu memarahi pekerja. Tidak bisakah kau lihat apa masalah mereka?”
“Maaf, Tuan…”
“Kau akan kupindahkan ke bagian gudang. Aku akan mengangkat kepala QC yang baru. Kau dalam pengawasan selama tiga bulan. Kalau tiga bulan kau menunjukkan perbaikan, akan kukembalikan ke bagian QC.”
Kepala QC terkejut.
“Apa ada yang ingin protes?”
Semua diam.
“Baik. Rapat selesai. Aku menunggu kabar selanjutnya dari tim teknisi. Aku ingin mesin segera diperbaiki kurang dari satu minggu.” Hyeon Joo menutup rapat. “Manager Rudi, tolong panggilkan Jingga ke ruanganku dan buatkan surat pengangkatan untuknya segera.”
Seisi ruangan kembali terkejut. Tapi mereka tidak bisa protes.
Manager Rudi memanggil Jingga dan menyuruhnya menemui Hyeon Joo di ruangan. Kepala QC terlihat tidak suka dan cemburu dengan pengangkatan Jingga yang belum genap satu bulan bekerja. Baginya sangat tidak masuk akal.
“Hyeon Joo, kau mencariku?” Jingga masuk.
“Siapa kau? Beraninya memanggilku Hyeon Joo. Panggil aku, Kim Hyeon Joo.” Hyeon Joo sedang mengetik di komputernya.
“Ehm! Baiklah, Tuan Kim Hyeon Joo…apa anda memanggilku?”
“Aku ingin dengar laporan pekerjaanmu hari ini. Apa saja?”
“Apa?” Jingga bingung.
“Mulai besok, kau harus ke ruanganku setiap jam dua siang, dan lapor secara pribadi kepadaku apa saja yang berkaitan dengan pekerjaanmu.”
“Kenapa begitu?”
“Mulai besok kau akan bekerja sebagai kepala QC.”
“Apa? Tapi…”
“Berani menolakku? Kau akan kupecat.”
Jingga manyun. Ia menghela napas. Sepertinya Hyeon Joo sedang tidak baik suasana hatinya. Mungkin terjadi suatu masalah di rapat tadi. Jingga melirik meja sekertaris yang masih kosong.
“Baiklah, Tuan Kim Hyeon Joo. Itu masih lebih baik dari pada menjadi sekertarismu.”
Hyeon Joo terbelalak. “Wae?”
“Kalau sudah selesai, boleh aku pamit? Pekerjaanku masih banyak. Maaf…” Jingga keluar.
“Shees…apa-apaan dia? Seenaknya begitu…” Hyeon Joo menggerutu. “Apa dia tidak tahu aku merindukannya? Sebentar saja kulihat dirimu. Dasar sok sibuk.”
Hyeon Joo membuka email. Ia mendapat penawaran kerja sama. Tapi klien-nya di luar kota. Hyeon Joo membalas email dan mereka sepakat untuk melakukan review dan itu dilakukan di luar kota.
Jingga keluar loker karyawan. Ia berjalan melewati halaman parkir untuk pulang. Hyeon Joo baru akan masuk ke mobil, melihat Jingga, ia menghampirinya.
“Hey, orang yang berpacaran dengan Rio!”
Jingga menoleh. Ia melihat Hyeon Joo lalu membungkuk. “Annyeong haseyo…”
“Wah…kau meniru aku, ya?” Hyeon Joo semakin mendekat.
“Ada apa?”
“Aku akan pulang cepat. Ada beberapa berkas yang tertinggal di rumah. Aku…akan pergi ke luar kota dalam beberapa hari ini.” Hyeon Joo lesu. “Tapi aku tidak bersemangat.”
“Ho? Mana bisa begitu? Jika itu berhubungan dengan pekerjaan, kau harus melakukannya!”
“Tapi aku tidak mau.” Hyeon Joo melipat tangan di dada. “Aku takut merindukanmu.”
“Dengar ya, kalau itu mendatangkan keuntungan untuk perusahaan, itu artinya akan ada tambahan pemasukan. Kau harus melakukannya. Mungkin kesejahteraan karyawan bisa meningkat jika kesuksesan perusahaan juga meningkat.”
Hyeon Joo menghela napas. “Begitu, ya?”
“Hm!” Jingga mengangguk. “Hyeon Joo temanku selalu bersemangat. Dia baik dan cerdas.”
“Apa kau suka orang seperti itu?”
“A-apa?” Jingga bingung. “Aku tidak punya alasan untuk tidak suka, kan?”
“Bagus. Kalau begitu aku akan pergi. Mungkin sekitar empat hari. Jaga dirimu baik-baik. Aku akan segera pulang, jangan terlalu merindukanku, ya!” Hyeon Joo tersenyum.
“Isz…” Jingga tersenyum meledek.
Percakapan mereka didengar Kepala QC, Dira. Ia mencurigai Hyeon Joo dan Jingga tidak hanya dekat secara rekan kerja. Kepala QC sangat tidak suka posisinya direbut anak baru. Ia sangat membenci Jingga.

Hyeon Joo pergi keluar kota selama empat hari. Sementara, Manager Rudi mengambil alih tanggung jawab di pabrik. Hari pertama Hyeon Joo tidak masuk kerja, Jingga mendapat masalah. Beberapa pekerja sepertinya tidak suka dengan pengangkatan Jingga sebagai kepala QC. Mereka tidak mau mendengar Jingga dan menganggap Jingga tidak ada. Jingga berusaha biasa saja karena mungkin ia belum terbiasa.
Hari kedua Hyeon Joo di luar kota. Pekerja bagian produksi mogok kerja. Mereka tidak setuju dengan pengankatan Jingga. Manager Rudi panik karena produksi tidak boleh berhenti. Jingga bingung mendengar alasan mereka mogok adalah karena dirinya. Jingga kembali bersikap seolah tidak perduli dan tetap bekerja seperti biasanya.
Hari ketiga lebih parah. Hampir satu pabrik tidak masuk kerja. Mereka melakukan demo dengan memasang spanduk penolakan terhadap Jingga. Mereka mogok kerja. Jingga cemas dan takut membuat masalah. Ia menemui Manager Rudi di ruangannya. Semua staf bersikap dingin pada Jingga. Manager Rudi membawa Jingga ke ruangannya.
“Dengar, aku sendiri serba salah dengan ini. Tapi lebih dari setengah karyawan kita mogok kerja. Aku harus melaporkannya pada Hyeon Joo. Maafkan aku akan menyebut namamu juga yang menjadi alasan mereka berdemo.” Manager Rudi mengangkat telepon.
Jingga menahan dan menutupnya kembali. “Jangan, Pak. Aku tidak ingin Hyeon Joo khawatir. Dia sedang dalam tugas besar. Dia sedang berjuang untuk kemajuan perusahaan. Aku tidak ingin berita ini mengacaukan konsentrasinya. Aku akan menyelesaikannya.”
“Apa? Bagaimana?”
“Aku akan mengerjakannya sendiri, sebisaku sampai Hyeon Joo kembali. Setelah itu terserah apa yang akan kalian lakukan aku akan siap apa pun resikonya.”
“Apa?” Manager Rudi terkejut. “Kau bukan mesin. Bahkan jika kau lembur semalaman pun kau tidak akan menyelesaikannya. Kau tidak bisa menjadi lima ratus pekerja yang mogok sendirian.”
“Sehari lagi. Hyeon Joo akan segera pulang. Aku hanya akan mengerjakan beberapa pekerjaan ringan yang bisa kulakukan. Kumohon jangan beritahu Hyeon Joo dulu.”
Manager Rudi menyerah.
Jingga menguatkan tekad. Ia merasa bersalah sekaligus merasa bertanggung jawab. Jingga melihat seisi ruang produksi. Kosong. Bahkan mesin pun seolah mati. Jingga melirik tumpukan keranjang di sudut ruang. Ia duduk dan mengerjakannya. Memasukkan spons dan material lain ke dalam boneka yang masih kempis.
“Besok, kau akan dijahit. Jadi aku akan mengisinya lebih dulu. Supaya mereka tidak keteteran setelah selesai berdemo.” Kata Jingga.
Hingga semua staf pulang, Jingga masih bekerja memasukkan material pengisi boneka. Manager Rudi pun tidak tega tapi ia juga serba salah.
Manager Rudi tidak ingin masalah ini berlarut-larut. Tapi ia tidak bisa menghubungi Hyeon Joo seperti yang dikatakan Jingga. Manager Rudi lalu menghubungi Tuan Kim di Seoul.
Yeobseyo?” Nyonya Kim yang menjawab telepon.
“Ah? Apa ini Nyonya Kim?” Tanya Manager Rudi.
“Benar. Ini siapa?” Nyonya Kim pikir itu telepon dari anaknya, Kim Hyeon Joo.
“Nyonya, bisakah aku bicara dengan Tuan Kim? Ini penting.”
Nyonya Kim melihat suaminya. Masih belum selesai mandi. Ia baru pulang kerja.
“Ia sedang sibuk. Akan kusampaikan. Ada apa?”
“Aduh…bagaimana ini…aku bingung. Tuan Hyeon Joo sedang keluar kota.”
“Katakan saja ada apa?”
Meski sedikit ragu, Manager Rudi akhirnya menceritakan masalahnya. Nyonya Kim terkejut. Apalagi mendengar alasan mogok pekerja adalah karena pengangkatan karyawan yang tidak jelas alasannya.
Jingga terus bekerja hingga larut malam. Jingga sudah menyelesaikan empat keranjang sendirian. Ia juga merapikan hasil kerjanya di tempat terpisah.
Security Arif yang berdinas malam hari mengintip dan merasa kasihan. Ia mendekati Jingga yang tampak kelelahan.
“Jingga! Ini, minumlah ini sedikit. Kau sangat lelah. Ini susu bandrek plus jahe. Bisa mngehangatkan tubuh. Kau jadi segar lagi.” Security Arif memberi secangkir minuman panas.
Jingga tersenyum seraya mengambil cangkir itu. “Terima kasih, Pak. Kau baik sekali.”
“Aku…sebenarnya tidak suka padamu sejak kau sering datang kemari mencari Tuan Hyeon Joo.” Security Arif bercerita. “Aku juga tidak ingin menjadi penjilat yang berubah baik padamu setelah tahu kau berteman baik dengan Hyeon Joo. Tapi…aku tidak tega melihatmu begini. Aku jadi kasihan…”
Jingga tersenyum sendu. “Aku tidak marah. Aku tahu kau sangat baik.”

Security Arif kembali ke pos-nya. Ia masih tidak tega pada Jingga. Ia memikirkan sesuatu. Ia lalu mengambil telepon dan mulai menekan nomor.
“Ha-halo? Tuan Kim?” Security sedikit ragu dan takut.

Hari keempat. Jingga ketiduran di tumpukan material pengisi boneka. Ia bangun dan terkejut. Ia bergegas mencuci muka dan kembali bekerja. Beberapa staf yang datang memperhatikan Jingga. Mereka mulai kasihan tapi juga tidak suka. Mereka akhirnya membiarkan Jingga bekerja sendirian. Manager Rudi pun demikian. Ia serba salah. Ia berharap Nyonya Kim menghubungi anaknya dan segera pulang mengurus semuanya sebelum terlambat.
Pabrik masih sepi operasi. Jingga juga tidak bisa makan karena kantin terpaksa tidak masak karena sepi karyawan. Jingga hanya membuat minuman sereal dan kembali bekerja. Jingga sudah menyelesaikan sepuluh keranjang dari enam puluh keranjang. Meski masih sangat jauh, Jingga tetap tidak putus asa. Ia kembali bekerja.
Menjelang sore hari, sebuah mobil mewah masuk ke pabrik. Security terkejut dan membiarkan.
Nyonya Kim datang ke pabrik. Ia melihat kekacauan di luar dan di dalam pabrik. Banyak spanduk dan pamphlet yang menurutnya merusak pemandangan. Nyonya Kim masuk dan mencari Manager Rudi. Ia tidak melihat siapa-siapa kecuali seorang perempuan yang terlihat lusuh dan lelah bekerja sendirian. Ia mendekati perempuan itu.
“Apa kau kepala QC yang baru itu?” Nyonya Kim terlihat sedikit menahan marah.
Jingga terkejut. Ia berdiri dan sedikit membungkuk. “Iya, Nyonya.”
“Hah!” Nyonya Kim sangat gusar. “Pergi dari sini!”
“Ng?” Jingga terkejut.
“Karena dirimu, perusahaan anakku nyaris bangkrut. Apa kau tidak tahu akibat mogok kerja ini? Kau merugikan perusahaan!”
Jingga tertunduk sedih. “Maaf.”
“Anakku, lulus universitas terkenal di Singapur dengan predikat cumlaude. Tidak kusangka dia bisa bodoh juga merekrut karyawan sepertimu!”
Jingga membendung air mata. Ia takut.
“Keluar!!” teriak Nyonya Kim.
“Eomma!” Hyeon Joo muncul.
Nyonya Kim dan Jingga terkejut melihat Hyeon Joo yang harusnya belum pulang. Security Arif datang menyusul di belakang. Ia berhenti terkejut dan mundur. Beberapa staf keluar ruangan dan melihat keributan itu, termasuk Manager Rudi.
“Hyeon Joo?!” Nyonya Kim belum pulih dari terkejutnya.
Hyeon Joo terlihat kesal. Ia melewati ibunya mendekati Jingga. “Pulanglah. Kau sudah bekerja keras. Security akan mengantarmu.”
Jingga tertegun. “Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Aku bisa pulang sendiri.”
Jingga berjalan dan sedikit terhuyung. Ia nyaris jatuh karena pusing kelelahan. Hyeon Joo menahan bahu Jingga. Semua orang terkejut melihatnya.
“Hyeon Joo!” panggil Nyonya Kim.
Jingga melepaskan diri. “Aku baik-baik saja.”
Hyeon Joo melihat ke arah Security. Dengan sigap, Security datang dan menjemput  Jingga.
“Antarkan dia sampai ke rumahnya.” Kata Hyeon Joo pada Security Arif. Ia kemudian melihat Jingga. “Jangan melawan, atau kau akan dapat masalah!”
Security Arif membawa Jingga pergi. Setelah Jingga dan Security pergi…
“Hyeon Joo! Apa yang kau lakukan?” Nyonya Kim marah.
“Eomma. Pabrik ini milikku. Apa pun yang kulakukan adalah hak-ku. Eomma, pulanglah. Eomma tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.” Hyeon Joo terlihat sedih melihat hasil kerja Jingga.
“Hyeon Joo!” Nyonya Kim semakin kesal.
Hyeon Joo mengacuhkan. Ia berjongkok mengambil salah satu hasil kerja Jingga. Ia terlihat tidak tega.
“Hah…beginikah caramu menyambut Eomma-mu?” Nyonya Kim menggigit bibirnya. “Baik. Jelaskan padaku di rumah nanti.”
Nyonya Kim pergi. Semua staf masuk ke ruangan termasuk Manager Rudi.
Hyeon Joo tidak pulang. Ia sibuk melamun dan memikirkan banyak hal di ruangannya. Kepalanya sangat pusing. Hyeon Joo mulai merasa sesak. Asmanya kambuh. Hyeon Joo gelagapan mencari obat asmanya di laci. Hyeon Joo terjatuh, obat asmanya terpental cukup jauh. Hyeon Joo merangkak mengambil obatnya. Hyeon Joo menghirup swinghaler dan perlahan membaik. Hyeon Joo kelelahan, ia tertidur di lantai sampai pagi.

 Bersambung ke Chapter 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya