18 Desember 2014

Korean Pine Love - Chapter 5



 



Chapter 5
Hyeon Joo Teman Yang Hilang Ingatan





Lanjutan Dari Chapter 4

Minggu berikutnya, Hyeon Joo sengaja tidur di kantor untuk melihat Jingga di minggu pagi. Hyeon Joo bahkan memasang alarm untuk membangunkannya jam delapan pagi. Tapi karena kelelahan, Hyeon Joo mengabaikan alarmnya. Setelah cukup lama terlena, Hyeon Joo tiba-tiba terbangun. Diliriknya jam di tangan. Sudah lewat setengah jam dari alarm. Hyeon Joo melihat ke jendela. Jingga baru saja pergi dan belum jauh dari pabrik. Hyeon Joo bergegas mencuci muka di washtafel lalu berlari menyusul Jingga.
“Selamat pagi, Tuan Kim Hyeon Joo…” Security Arif pun diacuhkan kedua kalinya.
Hyeon Joo terengah-engah mengejar Jingga untuk memperhatikannya lagi. Jingga tidak begitu jauh dari posisinya. Mereka berjalan di jalan yang sama. Jingga masih terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Hyeon Joo mengikuti sambil memperhatikan Jingga.
Hyeon Joo mendapat telepon. Ponselnya berdering. Hyeon Joo terkejut. Ia buru-buru mematikan ponselnya. Jingga berhenti dan berbalik. Ia sedikit terkejut melihat Hyeon Joo ada di belakangnya.
“Ho? Kau lagi?” Jingga bingung.
“Ng? A-aku…” Hyeon Joo bingung mencari alasan.
Jingga melihat Hyeon Joo dengan tatapn curiga. “Apa mobilmu mogok lagi?”
Hyeon Joo bingung dan terpaksa mengangguk.
“Kusarankan agar kau menjual mobilmu itu dan membeli yang baru. Sepertinya mobilmu bermasalah.” Kata Jingga. “Mobil butut dipakai.”
Hyeon Joo terkejut mendengar kalimat terakhir Jingga. Ia sedikit tersinggung. “Apa katamu?”
“Apa? Aku hanya menyarankanmu membeli mobil baru. Kenapa?”
Hyeon Joo mendekat buru-buru. “Kau bilang mobilku butut!”
“Oya? Apa kau mendengarnya?”
“Kau menghinaku, ya! Apa kau tidak tahu berapa harga mobilku? Kau bicara seolah kau bisa membelinya. Sombong sekali!”
“Kau galak sekali. Hyeon Joo Si Pemarah!”
“Lalu kenapa? Apa kau takut?”
“Takut? Aku bukan penakut, tapi kau yang menakutkan, seperti…”
“Kau mau bilang aku seperti pohon beringin?”
Jingga tersentak. Ia diam sejenak dilihatnya Hyeon Joo baik-baik. Matanya, hidungnya, pipinya dan bibirnya. Tiba-tiba hatinya berdebar tidak karuan. Jingga terpaku melihat kedua mata Hyeon Joo. Jingga teringat kata Security Arif di pabrik itu minggu lalu.
“Dia itu bos di sini. Dia anak pemilik pabrik ini.”
Mata Jingga memerah. Rasanya seperti ingin berteriak menumpahkan isi hatinya. Matanya menggenang air mata. Hyeon Joo bingung melihat Jingga yang diam tiba-tiba dan terlihat seperti ingin menangis.
“Aku benar-benar bodoh. Tidak menyadarinya sejak awal…” batin Jingga. Air matanya menetes dan langsung jatuh ke tanah.
Hyeon Joo menarik napas. Ia bingung kenapa Jingga tiba-tiba menangis.
“Hyeon Joo…” kata Jingga perlahan.
Hyeon Joo mundur selangkah.
“Apa kau Hyeon Joo-ku?” Jingga melangkah maju mendekati Hyeon Joo. “Maksudku, Hyeon Joo temanku?”
Hyeon Joo semakin mundur. Ia menghindar dan tidak mengerti apa masalahnya. Hyeon Joo lalu berbalik dan pergi.
Jingga menyusul. “Hyeon Joo, tunggu! Apa kau tidak ingat aku?”
Hyeon Joo mempercepat langkahnya. Jingga berlari mengejar Hyeon Joo.
“Hyeon Joo, aku temanmu, Jingga. Kau tidak ingat aku?”
Hyeon Joo diam saja dan terus berjalan.
 “Hyeon Joo, apa yang terjadi? Kenapa kau pergi tidak kembali lagi? Bukankah kau berjanji akan menolong ibuku? Kau tahu, ibuku sekarang sudah tidak ada?”
Jingga berhenti kelelahan berjalan sambil menangis.
“Ibuku sudah mati, Hyeon Joo!” teriak Jingga.
Hyeon Joo berhenti. Ia berbalik dan melihat Jingga menangis tertunduk sambil berdiri. Jingga mengangkat kepala melihat Hyeon Joo. Jinga merogoh tasnya dan mengambil kantung merah. Ia berjalan mendekati Hyeon Joo. Jingga lalu menyusul di hadapan Hyeon Joo dan menyodorkan benda itu.
“Kau memberikan ini dan mengajakku ke pasar untuk menjualnya.” Jingga berusaha menahan tangisnya agar ia bisa leluasa bicara.
Hyeon Joo diam. Ia melihat benda itu. Ia tidak ingat apa-apa. Hyeon Joo sangat bingung harus bagaimana.
“Itu terakhir kalinya aku melihatmu.” Jingga menyingkap poninya dan menunjukkan luka di kening kirinya. “Kita kecelakaan. Mereka bilang matamu harus segera dioperasi. Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?”
Hyeon Joo semakin bingung dan tidak mengerti. Hyeon Joo mengahalau benda itu. Kantung merah itu terlempar cukup jauh. Jingga syok dan pergi memungutnya. Selagi Jingga sibuk dengan kantungnya, Hyeon Joo pergi mengacuhkan Jingga. Jingga mengambil kantungnya dan segera menyusul Hyeon Joo.
“Hyeon Joo!” panggil Jingga.
Hyeon Joo diam saja dan terus melangkah dengan cepat.
“Hyeon Joo!!” teriak Jingga.
Hyeon Joo tetap tidak berhenti dan berbalik. Hyeon Joo terus berjalan meninggalkan Jingga.
Jingga kesal ia mengumpulkan segenap kekuatannya dan mengejar Hyeon Joo. Setelah cukup dekat, Jingga langsung memeluk Hyeon Joo dari belakang untuk menahannya. Hyeon Joo terkejut dan tertahan.
Di saat yang bersamaan, Rio muncul. Ia sengaja datang ke Bogor untuk menjemput Jingga.
“Hyeon Joo, dengarkan aku!” Jingga memeluk Hyeon Joo dengan kuat. “Sebenarnya aku marah padamu kenapa kau tidak kembali dan menolong ibuku? Ibuku sudah mati, seperti katamu, kakekmu mati setelah sakit batuk berdarah dan kau ingin menolong ibuku supaya tidak terlambat. Tapi kenapa kau pergi dan membiarkan ibuku mati?”
Jingga menangis lagi. Hyeon Joo terpaksa diam mendengarkan.
“Ibuku pergi mencari toko emas penipu itu untuk mencari benda ini. Ia berpesan untuk mengembalikannya padamu sebelum ia meninggal. Kau lama sekali, Hyeon Joo. Aku seperti orang bodoh menunggumu di sini setiap minggu.”
Beberapa detik lamanya mereka terdiam. Hyeon Joo meraih tangan Jingga. Ia melepaskan pelukan Jingga. Hyeon Joo berbalik dan mereka berhadapan.
“Aku tidak mengenalmu.” Kata Hyeon Joo. “Aku lahir dan besar di Seoul. Memang akhirnya aku ke Indonesia. Tapi aku tidak pernah punya teman dekat perempuan.’
Jingga menggeleng. “Kau bohong! Berarti waktu itu, Hyeon Joo yang kutemui di café dua tahun lalu adalah Hyeon Joo temanku. Iya, kan?”
“Sebenarnya apa maumu? Sudah kubilang aku tidak mengenalmu!” Hyeon Joo mulai kesal.
Rio datang. Ia menarik Jingga menjauh dari Hyeon Joo. Rio menatap Hyeon Joo.
“Pria sombong! Jangan berteriak di depannya! Dia tidak tuli!” Rio balik membentak Hyeon Joo. “Dia bukan pembohong sepertimu. Dia memang pernah tinggal di desa ini dan bertemu denganmu. Kalau kau malu mengakuinya jangan perlakukan dia seperti orang bodoh!”
Rio dan Hyeon Joo saling berpandangan. Jingga menghapus air matanya. Rio mengambil kantung itu dari Jingga. Ia melemparkannya ke Hyeon Joo lalu menarik Jingga serta pergi.  Hyeon Joo menderu napas. Ia benar-benar tidak ingat apa-apa. Siapa Jingga? Benda apa itu?
“Sudah kukatakan dia tidak akan mengingatmu, kenapa masih nekat mencarinya?!” omel Rio pada Jingga.
Jingga tidak bisa berkata-kata. Sebelum pergi, ia menoleh ke belakang melihat Hyeon Joo sekali lagi. Rio meluruskan pandangan Jingga lalu benar-benar pergi.
Setelah Jingga dan Rio pergi, Hyeon Joo memungut benda itu. Hyeon Joo membukanya, kalung berlian. Hyeon Joo ingat kalung itu. Pernah dipakai ibunya dan ada dalam foto keluarga. Hyeon Joo semakin bingung, kenapa benda berharga ini bisa ada pada Jingga? Bagaimana bisa sampai di tangan orang yang menurutnya tidak dikenal?

Hyeon Joo pulang ke rumahnya di Jakarta. Lama ia diam memandangi foto keluarga di kamarnya. Dipegangnya kalung berlian yang ternyata selama ini ingin disampaikan oleh Jingga padanya. Hyeon Joo terus berusaha mengingat tapi tidak ada bayangan sama sekali. Hyeon Joo mendesah dan menyerah.
Hyeon Joo memotret kalung berlian itu dan mengirimnya pada Eomma di Korea dengan MMS. Mungkin Eomma punya penjelasan soal kalung itu. Lama Hyeon Joo menunggu, belum ada balasan. Ponsel Hyeon Joo berbunyi. Hyeon Joo bergegas mengambilnya dan membuka sebuah pesan masuk.
“Hyeon Joo, Eomma terkejut melihatnya. Kau temukan dimana?” pesan dari Eomma.
“Bagaimana itu bisa tidak ada pada Eomma?” balas Hyeon Joo.
“Bukankah itu bagus? Kau sangat suka melihatku memakainya waktu kecil. Lalu kau meminjamnya dan membawanya bermain kemudian hilang di pabrik ketika peresmian pabrik. Kau mungkin lupa menaruhnya dimana. Aku sudah berusaha mencari tapi tidak kutemukan. Akhirnya kau temukan. Dimana?”
Hyeon Joo diam. Ia tahu Eomma berbohong. Tapi ia sendiri tidak bisa meminta penjelasan lebih jauh. Jika Eomma tidak bisa mengatakan hal sebenarnya, bahkan ia tidak pernah menceritakan soal kecelakaan tujuh belas tahun lalu, maka Eomma pasti merahasiakan sesuatu. Eomma punya alasan yang Hyeon Joo tidak boleh tahu. Hyeon Joo kemudian menelepon Appa.
Yeobseyo. Appa?” sapa Hyeon Joo.
Ne, Hyeon Joo. Ada apa?” jawab Appa.
“Appa dimana? Apa Eomma bersamamu?”
“Aku masih di perjalanan pulang. Wae?”
“Bisakah aku percaya padamu?”
Appa bingung. Ia tidak mengerti kenapa Hyeon Joo tiba-tiba bertanya itu. “Wae?”
“Appa kenal Jingga?”
Appa terkejut dan diam sejenak. “Ne. Dia temanmu.”
“Appa, apa yang terjadi padaku tujuh belas tahun lalu? Kenapa aku tidak ingat sama sekali bahwa aku pernah bertemu dengannya. Kenapa, Appa?”
Appa menarik napas perlahan. “Hyeon Joo, mianhamnida…”
Hyeon Joo mendengarkan dengan perasaan campur aduk. Semua yang dikatakan Appa sama persis dengan yang diceritakan Jingga dan Manager Rudi. Hanya saja, Appa tidak mengatakan kalau Hyeon Joo sempat mengalami kebutaan dan frustasi selama satu bulan pasca siuman dari koma. Tuan Kim tahu apa yang dilakukan istrinya untuk Hyeon Joo. Tuan Kim sebenarnya juga tidak setuju, tapi ia juga tidak bisa tahan melihat kesakitan anaknya.
Tuan Kim melamun sepanjang perjalanan. Dia berharap Hyeon Joo tidak akan tahu bahwa ia sempat buta dan bisa melihat lagi. Jika Hyeon Joo tahu bagaimana ia bisa melihat lagi, ia pasti akan sangat sedih dan hancur.
Hyeon Joo terduduk di lantai, bersandar pada rangka kasurnya. Pandangannya kosong. Ia lemas dan lelah. Ia bingung harus bagaimana dan kenapa harus dialaminya. Hyeon Joo lalu mengingat Jingga pagi tadi di Bogor. Gadis berambut lurus sebahu itu benar-benar menangisinya tapi Hyeon Joo menyakitinya. Bagaimana mengembalikan semuanya seperti semula? Hyeon Joo tidak tahu harus memulai darimana atau membiarkan semuanya seolah Hyeon Joo tidak pernah tahu itu.

Jingga sedang mencuci piring di dapur. Ia murung dan sedih. Rio memperhatikan serius dari meja kasir.
“Zss. Dasar perempuan” desis Rio dan kembali menghitung uang.
Seseorang masuk. Rio terkejut dan langsung ingin marah.
“Mau apa kau kesini? Aku sudah tutup! Cepat pergi!” omel Rio seraya menutup laci kasir.
Hyeon Joo berdiri mencari seseorang.
“Hey, dasar orang ini!” Rio menghampiri Hyeon Joo. Mereka berhadapan dan hampir sama tinggi. “Kubilang, pergi! Kenapa kau diam saja!”
Jingga mendengar keributan. Ia menyudahi pekerjaannya lalu keluar.
“Aku mencari Jingga.” Kata Hyeon Joo.
“Mencarinya? Untuk apa?” Rio marah. “Ah…kau baru tahu kalau dia menarik dan kau berniat memanfaatkannya, kan?”
“Hyeon Joo?” Jingga sedikit terkejut.
“Argh!” gerutu Rio.
Hyeon Joo membungkuk. “Annyeong Haseyo.”
Rio terbelalak melihat tingkah Hyeon Joo. Ia cemburu melihat Jingga dan Hyeon Joo saling memandang.
“Bisa kita bicara sebentar?” Hyeon Joo bertanya pada Jingga.
Rio mendorong Hyeon Joo dan sedikit berpindah. “Tidak bisa!”
Hyeon Joo tidak melawan. Ia diam saja mengacuhkan Rio. Ia kembali melihat Jingga seolah memohon.
“Rio, sebentar saja!” Jingga menahan Rio. Ia memasang senyum.
Rio tidak suka Jingga berubah tiba-tiba dan melupakan apa yang dilakukan Hyeon Joo kemarin. Tanpa menunggu jawaban Rio, Jingga langsung membuka apronnya dan keluar. Hyeon Joo melihat Rio sejenak. Rio buang muka dan berbalik. Hyeon Joo menyusul Jingga ke luar.
Di halaman parkir. Hyeon Joo menghampiri Jingga sedikit ragu. Ia sedikit bingung harus mengatakan apa.
“Apa kau sudah menyimpan benda itu?” Jingga berbalik dan melihat Hyeon Joo.
Mwo?” Hyeon Joo agak bingung. “Oh…Ne.”
“Bagus. Tugasku sudah selesai. Ibuku menyuruhku memberikannya langsung padamu. Tidak perduli berapa lama dan berapa sulit, aku harus tetap menjaganya dan memastikan itu sampai kepadamu dengan utuh. Sekarang aku tidak punya alasan lagi untuk menunggumu di pabrik.” Jingga tersenyum. Tapi hatinya terasa sakit.
Mianhanmida.” Hyeon Joo membungkuk lagi. “Aku melanggar janjiku padamu dan membuatmu dalam kesulitan.”
Jingga mulai merasa ingin menangis. Jingga menegakkan kepala, menengadah ke langit melihat bintang-bintang. Tapi rasanya tetap saja tidak kuat. Rasanya ingin menjerit.
“Kecelakaan itu…aku tidak ingat bukan karena aku sengaja melupakannya.”
Jingga memberanikan diri menatap Hyeon Joo.
“Appa bilang, aku koma selama satu bulan dan bangun dengan tidak tahu apa-apa selain sebulan sebelum aku ke Indonesia.”
“Maksudmu…kau kehilangan ingatanmu?”
“Mungkin.”
“Ng?”
“Menurut Appa begitu. Tapi karena aku sendiri tidak ingat jadi aku tidak tahu.” Hyeon Joo berusaha tersenyum.
Jingga justru sebaliknya. Ia menggigit bibir menahan sekuat tenaga agar tidak menangis. Tapi tetap saja menangis. Jingga merunduk memperhatikan sepatunya lalu mulai memainkan kakinya di tanah. Jingga menyembunyikan tangisannya.
“Maafkan aku.” Kata Hyeon Joo lagi.
Jingga masih menangis. Ia mengangkat kepala, menghapus air mata  lalu tersenyum. “Tidak apa-apa. Memang lebih baik dilupakan.”
Hyeon Joo menatap Jingga sedih. Ia bingung, di saat seperti itu apa yang dilakukan Hyeon Joo kecil pada sahabatnya? Atau dia harus bretindak sebagai Hyeon Joo si orang asing untuk Jingga?
“Itu sudah tidak penting lagi.” Jingga berusaha tegar. “Aku sudah memikirkannya bertahun-tahun, apa yang akan aku lakukan jika akhirnya aku bertemu denganmu suatu hari nanti? Apa harus menangis? Bersorak gembira? Atau memelukmu dan mengatakan aku merindukanmu? Apa lagi selain mengembalikan benda itu?”
Keduanya terdiam. Mereka saling bertatapan.
“Aku terus memikirkanmu setiap hari. Aku merindukanmu setiap minggu. Aku menyukaimu setiap bulan dan membuatku mengkhayalkan pertemuan ini setiap tahunnya. Aku menyukaimu, Hyeon Joo. Satu-satunya orang yang sangat baik dan cantik. Aku menyebutnya cinta pertamaku. Aku selalu memikirkan apa lagi? Apa lagi yang harus dilakukan setelah bertemu nanti?” batin Jingga.
“Sudah, ya! Gamsahanmida” kata Jingga lalu membungkuk. “Annyeong-hi gyeseyo.”
Jingga tersenyum. Kemudian ia pergi meninggalkan Hyeon Joo yang masih mematung. Ketika berpapasan, air mata Jingga jatuh lagi. Rasanya sakit jika harus bertemu tapi Hyeon Joo tidak mengenalnya atau mengingat apa pun. Tidak ada lagi yang harus dibahas untuk sekedar memperpanjang waktu bersama Hyeon Joo.
“Bisakah…” kata Hyeon Joo.
Jingga berhenti sejenak mendengarkan.
Hyeon Joo berbalik. “…kau membantuku mengingat semuanya dengan baik lagi?”
Jingga berbalik. Dilihatnya Hyeon Joo sedang tersenyum. Senyum lembut dan hangat. Jingga lalu ikut tersenyum. Keduanya saling melempar senyum.
“Kau akan membayarku berapa untuk itu?”
Mwo?”
Jingga tertawa. “Hari minggu, jemput aku. Aku akan mengajakmu bertualang, Coboy!”
Jingga lalu pergi dengan senang. Hyeon Joo tersenyum sambil sesekali tertawa. Hyeon Joo memperhatikan Jingga yang meski sedikit cengeng tapi ternyata periang juga.

Hari minggu yang dinanti tiba. Hyeon Joo menjemput Jingga di café. Meski Jingga libur di hari minggu, tapi Jingga tetap datang ke café untuk bertemu Hyeon Joo tanpa setahu Rio.
Di perjalanan, Jingga banyak diam karena sedikit canggung bersama Hyeon Joo yang meski sahabat lamanya tapi muncul kembali dengan kepribadian yang berbeda. Jingga merasa sedikit asing. Hyeon Joo melaju dengan Toyota Fortuner hitamnya di sepanjang jalan Tol Jagorawi. Mereka sudah hampir sampai ke Bogor.
Hyeon Joo juga banyak diam. Ia sendiri juga merasa canggung. Meski ia percaya Jingga sahabat masa kecilnya tapi Hyeon Joo tidak ingat dan merasa asing. Apalagi Jingga seorang perempuan. Hyeon Joo hampir tidak pernah berteman dekat dengan seorang perempuan, kecuali Cyril.
Jingga melihat ke luar jendela. Ia melihat pemandangan sepanjang jalan Tol Jagorawi. Jingga kadang tersenyum sendiri.
“Ehm!” Hyeon Joo terbatuk.
Jingga sedikit tersentak. Hyeon Joo menyalakan radio. Berkali-kali ia memutar chanel tapi tidak ada yang pas menurutnya.
“Kenapa?” Tanya Jingga yang bingung melihat Hyeon Joo.
“Oh?” Hyeon Joo menoleh Jingga sekali. “Aku mencari chanel dengan lagu yang enak.”
“Tidak akan ketemu…” Jingga tersenyum.
“Kenapa?” Hyeon Joo sedikit gugup.
“Kau lama di Korea, ketika di Indonesia kau akan sedikit sulit menyesuaikan. Jenis musik kedua negara ini tidak sepenuhnya sama. Jadi kau akan sulit.”
“Ooh…” Hyeon Joo kembali menyetir. “Apa kau tahu beberapa lagu Korea?”
“Mmm…sedikit. Aku pernah mendengarnya di radio. Di chanel itu memutar hampir selama dua jam lagu-lagu korea.”
“Oo…lagu apa yang kau suka?”
“Lagunya Super Junior, Big Bang, Seven juga beberapa soundtrack drama.”
“Wah, kau cukup tahu banyak.”
“Hm.” Jingga mengangguk. “Aku kurang begitu hapal.”
“Lho? Kenapa? Kau kan orang Korea?”
“Tapi aku kurang begitu suka. Aku lebih suka musik Jepang. Inoe Joe adalah musisi kesukaanku. Yui, Utada Hikaru, dan Larc En Ciel. Dan nama Inoe Band kuambil dari musisi asal Jepang Joe Inoe. Tapi aliran musikku kebanyakan terpengaruh dari Larc En Ciel.”
“Ooo…” Jingga tidak mengerti tapi ia berpura-pura paham.
“Apa kau punya CD Super Junior?” Jingga antusias.
Hyeon Joo tersenyum melihat Jingga seolah memecahkan suasana kaku. “Coba kau lihat di situ!”
Jingga melirik sebuah tempat CD di atas tape mobil. Ia mengambilnya. Dilihatnya satu per satu. “Wah…apa ini semua original?”
Hyeon Joo tersenyum dan mengangguk.
“Ini dia. Dengarkan, ya!” Jingga memutar CD Super Junior.
NeorNeorago (Neorago)Nan noppunirago (Neorago)Neorago (Neorago)
Dareum saram pilyo obseo nan geunyang neorago
Dashi hanbon mullo bwado nan geunyang neorago
Imi noneun dareun saranghaet kkaetjiman
Ojol suga obseo dashi dorikilsu obseo oh~
Nae nunbit chi deuroodon keu sungane
, Gaseum gipsul moseul bakdon sungane
Miryeon obshi baro nohreul sontaekhaeseo
, Geurae nan neorago
Oh nan, geu nuga nuga mworaedo naneun sangwan obgado
Geu nuga nuga yokhaedo nomanbarabun dago
Na dashi taeor nandedo ojik noppunirago
, Tic Toc Tic Toc Shigani heullodo

Oh nan...Nol sarang handa malhaedo chonbumanbon malhaedo
Nae gaseumsok dabultago mareun ibsol daldeorok
Na dashi taeor nande do ojik noppunirago
, Tic Toc Tic Toc Shigani heullodo
Jingga memainkan jemarinya mengikuti irama. Kepalanya sesekali mengangguk menikmati musik. Hyeon Joo memperhatikan Jingga yang asik sendiri. Hyeon Joo diam, ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Hyeon Joo?” panggil Jingga membuyarkan Hyeon Joo. “Apa artinya lagu ini?”
“O?” Hyeon Joo sedikit terkejut. “Kau suka lagu itu?”
Jingga mengangguk tersenyum.
“Kenapa kau suka sebuah lagu tapi tidak tahu artinya? Setidaknya kau bisa mencari tahu.”
“Iya. Aku tidak punya waktu untuk itu. Itu sebabnya aku bertanya padamu, mencari tahu.”
Hyeon Joo tersenyum menyetir. “Intinya…lagu itu bercerita tentang cinta.”
“Aha.” Jingga mendengarkan sambil menatap Hyeon Joo.
“Tentang seseorang yang terlambat bertemu orang yang dicintainya. Orang yang dicintainya itu berbeda dari yang lain. Si penyanyi membutuhkan kekasihnya dan bilang kalau cinta yang dirasakannya berbeda saat dia mengenal kekasihnya itu. Orang itu sangat merindukan kekasihnya sampai…” Hyeon Joo tiba-tiba berhenti bercerita.
“Sampai apa?”
Hyeon Joo tertegun. “Sampai…” Hyeon Joo melirik Jingga sejenak lalu berpaling mengemudi.
Jingga masih menunggu. Ia penasaran.
“Sampai air matanya tumpah ketika mereka bertemu. Orang itu memiliki perasaan yang sangat dalam terhadap kekasihnya. Selama dia belum bertemu kekasihnya, ia banyak mengalami kesulitan. Orang itu tidak perduli siapa kekasihnya, dia akan tetap mencintainya dan mengatakannya beribu-ribu kali.”
“Ooh…” Jingga mengangguk lalu fokus ke jalan di depannya.
Mereka terdiam lagi. Saling menyelami pikiran dan perasaan masing-masing.
“Kupikir lagunya tentang cinta yang ceria.” Kata Jingga kemudian. “Habis musiknya ceria.”
Hyeon Joo tersenyum sesungging. “Itu ceria, karena akhirnya mereka bertemu.”
Jingga tersenyum juga. “Sepertinya aku mempunyai ikatan dengan lagu ini. Aku juga merindukan Hyeon Joo dan menangis ketika bertemu lagi untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Karena aku memiliki perasaan yang dalam padanya. Aku juga mengalami kesulitan selama aku tidak bertemu dengan Hyeon Joo.” Jingga membatin.

Mereka sampai di Bogor. Hyeon Joo memarkir mobilnya di pabrik. Jingga menunggu di luar. Mereka pergi bersama dengan berjalan kaki.
“Astaga…ini seperti dongeng pangeran dan putri buruk rupa…” gumam Security Arif memperhatikan Jingga dan Hyeon Joo yang sudah jauh.
Jingga sangat santai dengan setelan jeans biru keabu-abuan dan jaket berbahan jeans dengan warna yang sama, memakai kaos putih dan tas selempang. Rambutnya dibiarkan tergerai. Hyeon Joo memakai celana jeans biru, kaos putih dilapis kemeja bergaris ungu biru dengan tiga kancing atas dibiarkan terbuka. Keduanya memakai sepatu kets berwarna putih.
Jingga membawa Hyeon Joo ke sawah. Mereka berjalan di pematang sawah.
“Lihat semua ini! Bagus bukan?” Jingga merentangkan tangannya menghadap Hyeon Joo.
Hyeon Joo memandang berkeliling. Ia tersenyum bukan berarti tidak pernah melihat ini sebelumnya. Di Korea juga banyak yang seperti ini.
“Ini desa kelahiranku dan tempat pertama aku bermain denganmu.” kata Jingga.
Hyeon Joo berdiri melipat tangan di dada. Ia diam memperhatikan Jingga. Jingga melipat celananya hingga ke lutut, melepas tas, membuka sepatu dan jaket lalu menaruhnya di rumput. Jingga masuk ke sawah. Hyeon Joo terkejut melihatnya.
“Apa yang kau lakukan?” Hyeon Joo bingung.
“Buka sepatumu. Kita bermain lumpur. Sini!”
“Apa?” Hyeon Joo melihat sepatu mahalnya. Warna putih. Sayang kalau kotor. Hyeon Joo menggeleng.
“Ini seru! Coba saja!” Jingga mengambil segenggam lumpur.
“Hey, hati-hati dengan itu! Jangan sampai mengotoriku.”
“Ini menarik. Di Indonesia, tidak ada salju. Bermain air di musim panas akan boros. Bermain air musim hujan akan sakit. Jadi bermain lumpur saja. Anggap saja ini salju.” Jingga melempar lumpur dan mengenai jeans Hyeon Joo.
Hyeon Joo terkejut tidak sempat menghindar. “Kau!”
Jingga malah tertawa. “Kau sama bodohnya seperti pertama kali.”
“Ini tidak lucu. Aku tidak punya pakaian ganti. Bagaimana aku bisa pulang?”
“Siapa suruh. Katanya kau seorang coboy petualang. Apa ada seorang petualang hanya membawa satu pakaian yang dipakainya saja? Hah?” Jingga melempar lumpur lagi.
“Kau meledekku?” tantang Hyeon Joo.
Pabo!” Jingga nyengir.
Mwo?” Hyeon Joo terperanjat. Hyeon Joo membuka sepatunya lalu ikut turun dan membalas Jingga.
Mereka berperang lumpur. Baju dan celana mereka kotor semua. Keduanya jadi perhatian orang-orang yang lewat. Sebagian mencibir mereka pasangan aneh, gila dan bodoh.
“Hey!!” teriak seorang laki-laki paruh baya. Ia tampak marah setengah berlari melihat Jingga dan Hyeon Joo.
“Ho??” Jingga terkejut. “Ayo pergi!”
“Apa??” Hyeon Joo bingung.
Jingga naik lalu bergegas mengambil tas, sepatu dan jaketnya. “Ayo cepat naik!”
Hyeon Joo menuruti. Mereka mulai berlari. Tiba-tiba Hyeon Joo berhenti. “Sepatuku!”
“Aduh…” Jingga menggerutu tidak sabar.
Si pemilik sawah semakin dekat. Ia membawa-bawa sebatang kayu sambil berlari.
Hyeon Joo memungut sepatunya lalu berlari sambil menyambar tangan Jingga. Jingga sedikit syok. Hyeon Joo menggandengnya sambil berlari. Hyeon Joo sedikit takut dan terburu-buru. Jingga tersenyum. Dulu, Jingga yang menggandeng Hyeon Joo sambil berlari. Sekarang, Hyeon Joo yang menggandengnya dan berlari bersama.
Si Pemilik sawah berhenti di petak sawahnya. Ia terangah-engah kelelahan. “Jaman macam apa ini? Masih ada dua orang dewasa bodoh yang bermain lumpur di sawah.”
Hyeon Joo berlari cukup kencang dan Jingga mulai kesulitan mengimbangi. Tiba-tiba Hyeon Joo tersenyum lalu tertawa sambil berlari. Jingga yang kelelahan ikut tersenyum melihat Hyeon Joo.
Si Pemilik memegangi lututnya yang nyeri. “Aduh. Aduh…ini mengingatkanku pada beberapa tahun yang lalu. Dua orang anak kecil mengacak-acak sawahku yang siap kutanam benih. Oh, ya ampun…aku harus bekerja dua kali.”
Jingga dan Hyeon Joo tiba di sungai. Jingga meletakkan sepatu, tas dan jaketnya di atas batu. Ia berendam dengan pakaian lengkap di sungai. Hyeon Joo sedang mencuci muka di batu yang lain. Jingga menenggelamkan diri lalu muncul kembali membersihkan pakaian yang dikenakannya. Hyeon Joo nyengir lalu kembali membasuh muka berkali-kali. Rasanya panas setelah berlari cukup jauh.
Jingga naik. Ia melihat Hyeon Joo belum selesai-selesai membasuh muka. Muncul ide jahilnya. Jingga mendekati Hyeon Joo diam-diam. Setelah dekat, ia mengejutkan Hyeon Joo dan mendorongnya. Hyeon Joo jatuh ke sungai. Jingga menertawakan Hyeon Joo.
Hyeon Joo gelagapan. Ia sepertinya tidak bisa berenang. Jingga mulai panik. Hyeon Joo menjulurkan tangan minta tolong. Jingga meraihnya.
“Dapat!” Hyeon Joo tersenyum licik dan menarik Jingga hingga tercebur.
Jingga panik. Arusnya lumayan deras dan cukup dalam. Jingga tidak bisa berenang. Hyeon Joo menertawainya.
“Hey, orang usil. Ayo berenang. Jangan menjebakku lagi!” kata Hyeon Joo.
Jingga tidak menjawab. Ia berusaha keras bertahan di permukaan. Tapi terlalu berat. Jingga kelelahan. Ia tenggelam dan tidak muncul lagi. Hyeon Joo panik dan langsung menyelam menyusul Jingga. Hyeon Joo meraih Jingga dan membawanya ke tepi. Jingga terbatuk. Hyeon Joo terengah-engah.
“Bercandamu tidak asik!” omel Hyeon Joo masih khawatir.
“Aku memang tidak bisa berenang.” Jingga berdiri. Ia mengambil barang-barangnya dan pergi.
“Eh, tunggu!” Hyeon Joo mengambil sepatunya dan menyusul Jingga.

“Hey, apa kau marah?” Hyeon Joo berjalan di belakang Jingga.
Jingga diam saja.
“Harusnya aku yang marah. Kenapa malah kau yang marah?”
Jingga masih diam.
“Kita mau kemana? Aku sudah kedinginan. Bisakah kita kembali ke pabrik sebentar? Mungkin aku bisa meminjam beberapa pakaian di sana. Lagi pula kau juga masih basah kuyup. Kau tidak kedinginan?”
Mereka tiba di bukit. Hyeon Joo menunggu agak jauh dari pohon akasia besar. Ia berdiri di bawah pohon ceri liar. Jingga berganti pakaian di balik pohon akasia.
Hyeon Joo memetik beberapa buah ceri liar. Dicicipinya buah itu. “Manis.”
“Hyeon Joo!” panggil Jingga.
Hyeon Joo menoleh. Jingga sudah selesai berganti pakaian. Masih dengan jeans dan kaos biasa, hanya berbeda warna. Jingga mendekati Hyeon Joo. Ia mengambil buah ceri liar dari tangan Hyeon Joo dan memakannya.
“Hm…manis, bukan?” Jingga tersenyum.
Hyeon Joo tersenyum dan memakai buah ceri lagi. Ia melihat Jingga. “Ne, darayo. Manis.”
Jingga menyentuh goresan di pohon akasia.
“Apa itu?” Tanya Hyeon Joo.
“Aku menghitung kedatanganku ke tempat ini.” Kata Jingga.
“Kenapa tidak kau tambahkan lagi hari ini?”
“Tidak. Karena aku sudah bertemu denganmu.”
“Ng?” Hyeon Joo bingung. Ia melihat goresan di pohon itu. Hyeon Joo ikut meraba dan menghitungnya. “Delapan ratus enam belas.”
Jingga tersenyum.
“Kau tidak curang kan?” Hyeon Joo meledek.
“Tidak. Itu bahkan terlalu sedikit. Karena hanya setiap hari minggu aku ke sini. Bahkan ketika aku masih kecil, aku merengek pada Bibi untuk mengantarku ke sini. Aku jiarah ke makam ibuku, ke pohon ini lalu menunggumu di pabrik. Bibi bilang, waktu maksimal untuk menunggu adalah tiga puluh menit. Itu sebabnya aku menunggu selama tiga puluh menit di gerbang pabrik.”
Hyeon Joo tersenyum. “Kau baik sekali. Kalau kita sepasang kekasih, ini adalah kisah yang romantis.”
“Apa?” wajah Jingga memerah.
Hyeon Joo hanya tersenyum melihat Jingga.
“Hyeon Joo, apa kau ingat sesuatu?”
“Ng…nghm!” Hyeon Joo menggeleng.
“Oh...” Jingga lesu. “Tapi tidak apa-apa. Aku akan terus berusaha membantumu mengingatnya lagi.”
Jingga duduk di rumput. Ia mengeluarkan sebuah buku. Ensiklopedia tanaman. Hyeon Joo ikut duduk tidak jauh di sebelah Jingga.
“Pohon pinus. Dulu kau berjanji akan membawakanku buku ensklopedia tentang pohon. Aku sudah punya sekarang.” Jingga membuka halaman tentang pohon pinus.
Hyeon Joo memperhatikan halaman di buku itu.
“Kau banyak menceritakan hal seru soal pohon. Aku berusaha mencari sumber yang kau katakan waktu itu tentang pohon pinus.” Jingga membuka lembar lainnya. “Pohon abadi. Pohon paling tua. Pohon mematikan.”
“Iya. Aku punya buku itu di rumah.” Kata Hyeon Joo.
Jingga tersenyum melihat Hyeon Joo.
“Kemana lagi kita biasa bermain?” Tanya Hyeon Joo.
“Ng…ke rumahku. Tapi sekarang sudah tidak ada. Dulu kami hanya menyewa. Sekarang sudah dijual oleh pemiliknya.”
“Oo…” Hyeon Joo mengangguk. “Apa yang kita lakukan di sana? Apa yang aku lakukan di rumahmu?”
“Banyak. Kita bermain lumpur bersama ibuku di sawah, lalu berenang bersama di sungai. Kita naik sepeda bertiga. Aku di depan, kau membonceng di belakang.”
“Oya?”
“Hm!” Jingga mengangguk. “Lalu kita pulang kelelahan. Ibu menyuapimu makan dan aku bergantian. Kemudian kita tidur…” Jingga berhenti tertahan.
“Tidur?”
Mendadak wajah Jingga memerah.
“Apa aku tidur di rumahmu?”
Jingga semakin memerah dan malu.
“Kau kenapa?” Hyeon Joo mencondongkan tubuhnya.
Jingga menghindar. Ia merunduk malu. “Mana mungkin kukatakan kita tidur bersama dan aku pernah mencium pipimu yang merah.”
“Hey, kau baik-baik saja?” Hyeon Joo menyelidik.
“Tidak apa-apa.” Jingga berusaha biasa saja. “Tidak ada yang kau lakukan lagi selain menumpang makan, tidur lalu pergi.”
Mwo?” Hyeon Joo tertawa. “Itu konyol.”

Di perjalanan pulang. Hyeon Joo mengantar Jingga ke Jakarta dengan mobilnya. Jingga memutar lagu CD album Super Junior lagi. Meski tidak mengerti, Jingga tetap menikmatinya.
Oneureun museun irin geoni, ureoteon eolgul gateun geol
Geuga neoye ma eumeul apeuge haeni, naeyegen sesang jelso junghan neo inde
Japangi keopireul nae mireo geu soge gamchwo on nae mameul dama
Gomawo, oppan neomu joheun saramiya geu han madiye nan useul ppun
Hokshi neon giyeok hago isseulkka, nae chingu hakgyo ape nolleo wateon nal
Urideul yeonin gata jang nan chyeosseul ttae neon usseogo nan bamji saewoji

Niga useumyeon nado joha neon jang nanira haedo
Neol gidaryeoteon nal neol bogo shipdeon bam naegen beokchan haeng bok gadeukhande
Naneun honja yeodo gwaen chanha neol bolsuman itamyeon
Neul neoye dwiyeseo neul neol bara boneun geuge naega gajin mokshin geoman gata

Chingu deulji gyeopda malhaji neul gateun norael bureuneun nayege
Hajiman geuge baro naema eumin geol geudae meon geoman boneyo
Hokshi neon geunal nae mameul alkka, urireul aneun chingu modu moin bam
Sul chihan neol derireo on geureul naege insashi kyeoteon naye saengil nal

Niga joheu myeon nado joha ni yeope geureul bomyeo
Nawan neomu dareun nan chora haejineun geuyege neol butakhan daneun mal bakke
“Apa artinya lagu ini?” Tanya Jingga. “Sepertinya enak.”
“Kau cari sendiri saja di internet.” Hyeon Joo tidak bersemangat.
“Apa kau lelah?”
“Lelah? Tidak. Aku sakit.”
“Ho?”
“Lain kali beri tahu aku apa yang harus kubawa untuk bermain seperti tadi. Bajuku basah semua. Untung aku punya satu kemeja di mobil. Coba kalau tidak?”
“Oh…maafkan aku.” Jingga murung dan merunduk. “Mianhanmida.”
Hyeon Joo melirik Jingga. Memperhatikan wajah memelas temannya. Hyeon Joo tersenyum. Menurutnya Jingga sangat berbeda. Dia konyol, sedikit cuek dan polos. Lepas dari itu, dia manis, mungil dan menggemaskan. Hyeon Joo jadi ingin menggodanya supaya Jingga mengeluarkan ekspresi polos dan bodoh terus.
Mereka sampai di ruko tempat café Rio. Mereka berhenti sedikit lebih jauh dari café. Jingga melepas safe belt dan bersiap turun.
“Dimana rumahmu?” Tanya Hyeon Joo.
“O? Rumahku…rahasia.”
“Ng? Kenapa?”
“Rahasia.” Jingga tersenyum meledek.
“Aku tinggal di Bogor. Rumah lamaku juga di Jakarta. Tapi aku membeli rumah di sana supaya lebih dekat. Kapan-kapan, kau boleh mampir ke sana. Aku tinggal sendiri dengan seorang pembantu dan seorang tukang kebun. Mereka suami istri. Mereka baik dan ramah.”
“Aha. Akan kupertimbangkan.” Jingga memegang pintu.
“Bisa tidak kau pindah ke Bogor juga?”
Jingga berhenti. Ia berbalik. “Kenapa?”
“Aku harus bekerja sendirian mengurus pabrik. Appa dan Eomma di Seoul. Aku sedikit kurang memahami orang Indonesia. Meski Eomma sering bicara dengan bahasa Indonesia saat bersamaku, tapi tetap saja aku canggung.”
“Lalu?”
“Aku butuh sekertaris. Apa kau bisa?”
“Apa?” Jingga terbelalak. “Aku hanya lulusan SMA biasa. Apa bisa?”
“Tidak masalah jika kau mau.”
Jingga berpikir sejenak. “Tapi sepertinya tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Rio sangat baik padaku. Dia adalah bos pertamaku. Café itu adalah tempat kerja pertamaku. Aku nyaman di sana. Rio suka memberiku tips jika aku bekerja sangat cepat dan rapi. Bahkan aku sering mendapat bonus tak terduga.”
“Berapa gajimu? Aku bisa membayar yang lebih dari yang dia bayar.”
“Bukan itu…tapi gajiku sekarang saja sudah lebih dari cukup. Aku tidak berniat untuk mengkhianatinya.”
Hyeon Joo menyerah. Ia lalu mengambil ponsel di tangan Jingga.
“Ng?” Jingga bingung.
Hyeon Joo mengetik sebuah nomor dan menelepon dengan ponsel Jingga. Ponsel Hyeon Joo berbunyi. Hyeon Joo mematikan panggilan dan mengembalikan ponsel Jingga.
Gamsahanmida.” Hyeon Joo tersenyum.
Jingga ikut tersenyum lalu pergi.

“Ah…darimana saja kau?” Rio menangkap basah Jingga di depan cafenya.
“Kenapa? Bukankah sudah tahu jadwalku setiap hari minggu?” Jingga mengacuhkan Rio.
Rio menahannya. “Kau pergi bersama orang Korea itu?”
“Kenapa? Dia temanku.”
“Ini bukan masalah teman atau orang asing. Tapi dia jahat. Dia sombong dan melupakanmu. Kenapa masih mendekatinya?”
“Kau tidak mengerti dia. Jadi biarkan saja aku.”
“Baiklah. Terserah, tapi kenapa baru pulang jam tujuh malam begini?”
“Aku sudah pulang sejak jam empat sore. Perjalanan jauh dan macet. Apa itu salah?”
“Ayo pulang, kuantar kau ke rumah.” Rio menarik tangan Jingga.
“Eh? Bukankah café belum tutup?”
“Biarkan saja. Masih ada pekerja lain.”
Rio membonceng Jingga dengan motornya. Mereka pulang ke daerah pemukiman yang tidak jauh dari café. Hyeon Joo diam-diam mengikuti mereka. Sampai di sebuah gang kecil, Hyeon Joo kehilangan jejak. Hyeon Joo lalu turun dan masuk ke gang itu. Hyeon Joo sedikit terkejut. Di gang itu banyak perempuan muda bahkan paruh baya berdandan menor dan berpakaian minim. Mereka memperhatikan Hyeon Joo dengan tatapan memburu. Sebagian bahkan menggoda Hyeon Joo. Hyeon Joo mengacuhkan mereka dan terus berjalan mencari Jingga dan Rio.
Hyeon Joo berhenti. Ia melihat Jingga dan Rio. Seorang perempuan paruh baya berdandan menor dan pakaian sedikit terbuka sedang mengomel pada Jingga. Rio bertolak pinggang di sebelahnya. Jingga senyam-senyum mendengarkan omelan perempuan itu.
“Aku mencarimu. Kau tidak biasanya pulang malam. Walau aku tahu kau libur, tapi kau tidak pernah pulang malam. Jam lima sore kau sudah di rumah. Ada apa kau ini?” omel Bibi Wuri.
“Iya, maaf. Aku sedang senang karena bertemu teman lama.” Jingga tersenyum. “Bibi, temanku sangat tampan. Dia keren dan bodoh.”
“Bodoh?” Bibi Wuri dan Rio tercengang.
“Sudah yah, aku lelah!” Jingga memeluk Bibi Wuri lalu masuk ke rumah.
“Apa temannya laki-laki?” Bibi Wuri mulai khawatir.
“Iya.” Rio cemburu.
“Siapa namanya?”
“Entahlah.” Rio pergi mengacukan.
Hyeon Joo pulang dan tidak percaya ternyata Jingga benar tinggal bersama seorang pelacur. Persis seperti yang diceritakan Manager Rudi.

Bersambung ke Chapter 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya