Korean Pine Love - Chapter 5
Hyeon
Joo Teman Yang Hilang Ingatan
Lanjutan Dari Chapter 4
Minggu berikutnya, Hyeon Joo sengaja tidur di kantor
untuk melihat Jingga di minggu pagi. Hyeon Joo bahkan memasang alarm untuk
membangunkannya jam delapan pagi. Tapi karena kelelahan, Hyeon Joo mengabaikan
alarmnya. Setelah cukup lama terlena, Hyeon Joo tiba-tiba terbangun. Diliriknya
jam di tangan. Sudah lewat setengah jam dari alarm. Hyeon Joo melihat ke
jendela. Jingga baru saja pergi dan belum jauh dari pabrik. Hyeon Joo bergegas
mencuci muka di washtafel lalu berlari menyusul Jingga.
“Selamat pagi, Tuan Kim Hyeon Joo…” Security Arif pun
diacuhkan kedua kalinya.
Hyeon Joo terengah-engah mengejar Jingga untuk
memperhatikannya lagi. Jingga tidak begitu jauh dari posisinya. Mereka berjalan
di jalan yang sama. Jingga masih terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Hyeon
Joo mengikuti sambil memperhatikan Jingga.
Hyeon Joo mendapat telepon. Ponselnya berdering. Hyeon
Joo terkejut. Ia buru-buru mematikan ponselnya. Jingga berhenti dan berbalik.
Ia sedikit terkejut melihat Hyeon Joo ada di belakangnya.
“Ho? Kau lagi?” Jingga bingung.
“Ng? A-aku…” Hyeon Joo bingung mencari alasan.
Jingga melihat Hyeon Joo dengan tatapn curiga. “Apa
mobilmu mogok lagi?”
Hyeon Joo bingung dan terpaksa mengangguk.
“Kusarankan agar kau menjual mobilmu itu dan membeli
yang baru. Sepertinya mobilmu bermasalah.” Kata Jingga. “Mobil butut dipakai.”
Hyeon Joo terkejut mendengar kalimat terakhir Jingga.
Ia sedikit tersinggung. “Apa katamu?”
“Apa? Aku hanya menyarankanmu membeli mobil baru.
Kenapa?”
Hyeon Joo mendekat buru-buru. “Kau bilang mobilku
butut!”
“Oya? Apa kau mendengarnya?”
“Kau menghinaku, ya! Apa kau tidak tahu berapa harga
mobilku? Kau bicara seolah kau bisa membelinya. Sombong sekali!”
“Kau galak sekali. Hyeon Joo Si Pemarah!”
“Lalu kenapa? Apa kau takut?”
“Takut? Aku bukan penakut, tapi kau yang menakutkan,
seperti…”
“Kau mau bilang aku seperti pohon beringin?”
Jingga tersentak. Ia diam sejenak dilihatnya Hyeon Joo
baik-baik. Matanya, hidungnya, pipinya dan bibirnya. Tiba-tiba hatinya berdebar
tidak karuan. Jingga terpaku melihat kedua mata Hyeon Joo. Jingga teringat kata
Security Arif di pabrik itu minggu lalu.
“Dia
itu bos di sini. Dia anak pemilik pabrik ini.”
Mata Jingga memerah. Rasanya seperti ingin berteriak
menumpahkan isi hatinya. Matanya menggenang air mata. Hyeon Joo bingung melihat
Jingga yang diam tiba-tiba dan terlihat seperti ingin menangis.
“Aku
benar-benar bodoh. Tidak menyadarinya sejak awal…” batin Jingga. Air matanya menetes dan langsung jatuh
ke tanah.
Hyeon Joo menarik napas. Ia bingung kenapa Jingga
tiba-tiba menangis.
“Hyeon Joo…” kata Jingga perlahan.
Hyeon Joo mundur selangkah.
“Apa kau Hyeon Joo-ku?” Jingga melangkah maju
mendekati Hyeon Joo. “Maksudku, Hyeon Joo temanku?”
Hyeon Joo semakin mundur. Ia menghindar dan tidak
mengerti apa masalahnya. Hyeon Joo lalu berbalik dan pergi.
Jingga menyusul. “Hyeon Joo, tunggu! Apa kau tidak
ingat aku?”
Hyeon Joo mempercepat langkahnya. Jingga berlari mengejar
Hyeon Joo.
“Hyeon Joo, aku temanmu, Jingga. Kau tidak ingat aku?”
Hyeon Joo diam saja dan terus berjalan.
“Hyeon Joo, apa
yang terjadi? Kenapa kau pergi tidak kembali lagi? Bukankah kau berjanji akan
menolong ibuku? Kau tahu, ibuku sekarang sudah tidak ada?”
Jingga berhenti kelelahan berjalan sambil menangis.
“Ibuku sudah mati, Hyeon Joo!” teriak Jingga.
Hyeon Joo berhenti. Ia berbalik dan melihat Jingga
menangis tertunduk sambil berdiri. Jingga mengangkat kepala melihat Hyeon Joo.
Jinga merogoh tasnya dan mengambil kantung merah. Ia berjalan mendekati Hyeon
Joo. Jingga lalu menyusul di hadapan Hyeon Joo dan menyodorkan benda itu.
“Kau memberikan ini dan mengajakku ke pasar untuk
menjualnya.” Jingga berusaha menahan tangisnya agar ia bisa leluasa bicara.
Hyeon Joo diam. Ia melihat benda itu. Ia tidak ingat
apa-apa. Hyeon Joo sangat bingung harus bagaimana.
“Itu terakhir kalinya aku melihatmu.” Jingga
menyingkap poninya dan menunjukkan luka di kening kirinya. “Kita kecelakaan.
Mereka bilang matamu harus segera dioperasi. Apa yang terjadi? Apa kau
baik-baik saja?”
Hyeon Joo semakin bingung dan tidak mengerti. Hyeon
Joo mengahalau benda itu. Kantung merah itu terlempar cukup jauh. Jingga syok
dan pergi memungutnya. Selagi Jingga sibuk dengan kantungnya, Hyeon Joo pergi
mengacuhkan Jingga. Jingga mengambil kantungnya dan segera menyusul Hyeon Joo.
“Hyeon Joo!” panggil Jingga.
Hyeon Joo diam saja dan terus melangkah dengan cepat.
“Hyeon Joo!!” teriak Jingga.
Hyeon Joo tetap tidak berhenti dan berbalik. Hyeon Joo
terus berjalan meninggalkan Jingga.
Jingga kesal ia mengumpulkan segenap kekuatannya dan
mengejar Hyeon Joo. Setelah cukup dekat, Jingga langsung memeluk Hyeon Joo dari
belakang untuk menahannya. Hyeon Joo terkejut dan tertahan.
Di saat yang bersamaan, Rio muncul. Ia sengaja datang
ke Bogor untuk menjemput Jingga.
“Hyeon Joo, dengarkan aku!” Jingga memeluk Hyeon Joo
dengan kuat. “Sebenarnya aku marah padamu kenapa kau tidak kembali dan menolong
ibuku? Ibuku sudah mati, seperti katamu, kakekmu mati setelah sakit batuk berdarah
dan kau ingin menolong ibuku supaya tidak terlambat. Tapi kenapa kau pergi dan
membiarkan ibuku mati?”
Jingga menangis lagi. Hyeon Joo terpaksa diam
mendengarkan.
“Ibuku pergi mencari toko emas penipu itu untuk
mencari benda ini. Ia berpesan untuk mengembalikannya padamu sebelum ia
meninggal. Kau lama sekali, Hyeon Joo. Aku seperti orang bodoh menunggumu di
sini setiap minggu.”
Beberapa detik lamanya mereka terdiam. Hyeon Joo
meraih tangan Jingga. Ia melepaskan pelukan Jingga. Hyeon Joo berbalik dan
mereka berhadapan.
“Aku tidak mengenalmu.” Kata Hyeon Joo. “Aku lahir dan
besar di Seoul. Memang akhirnya aku ke Indonesia. Tapi aku tidak pernah punya
teman dekat perempuan.’
Jingga menggeleng. “Kau bohong! Berarti waktu itu, Hyeon
Joo yang kutemui di café dua tahun lalu adalah Hyeon Joo temanku. Iya, kan?”
“Sebenarnya apa maumu? Sudah kubilang aku tidak
mengenalmu!” Hyeon Joo mulai kesal.
Rio datang. Ia menarik Jingga menjauh dari Hyeon Joo. Rio
menatap Hyeon Joo.
“Pria sombong! Jangan berteriak di depannya! Dia tidak
tuli!” Rio balik membentak Hyeon Joo. “Dia bukan pembohong sepertimu. Dia
memang pernah tinggal di desa ini dan bertemu denganmu. Kalau kau malu
mengakuinya jangan perlakukan dia seperti orang bodoh!”
Rio dan Hyeon Joo saling berpandangan. Jingga
menghapus air matanya. Rio mengambil kantung itu dari Jingga. Ia melemparkannya
ke Hyeon Joo lalu menarik Jingga serta pergi.
Hyeon Joo menderu napas. Ia benar-benar tidak ingat apa-apa. Siapa Jingga?
Benda apa itu?
“Sudah kukatakan dia tidak akan mengingatmu, kenapa
masih nekat mencarinya?!” omel Rio pada Jingga.
Jingga tidak bisa berkata-kata. Sebelum pergi, ia
menoleh ke belakang melihat Hyeon Joo sekali lagi. Rio meluruskan pandangan Jingga
lalu benar-benar pergi.
Setelah Jingga dan Rio pergi, Hyeon Joo memungut benda
itu. Hyeon Joo membukanya, kalung berlian. Hyeon Joo ingat kalung itu. Pernah
dipakai ibunya dan ada dalam foto keluarga. Hyeon Joo semakin bingung, kenapa
benda berharga ini bisa ada pada Jingga? Bagaimana bisa sampai di tangan orang
yang menurutnya tidak dikenal?
Hyeon Joo pulang ke rumahnya di Jakarta. Lama ia diam
memandangi foto keluarga di kamarnya. Dipegangnya kalung berlian yang ternyata
selama ini ingin disampaikan oleh Jingga padanya. Hyeon Joo terus berusaha
mengingat tapi tidak ada bayangan sama sekali. Hyeon Joo mendesah dan menyerah.
Hyeon Joo memotret kalung berlian itu dan mengirimnya
pada Eomma di Korea dengan MMS. Mungkin Eomma punya penjelasan soal kalung itu.
Lama Hyeon Joo menunggu, belum ada balasan. Ponsel Hyeon Joo berbunyi. Hyeon
Joo bergegas mengambilnya dan membuka sebuah pesan masuk.
“Hyeon
Joo, Eomma terkejut melihatnya. Kau temukan dimana?” pesan dari Eomma.
“Bagaimana
itu bisa tidak ada pada Eomma?” balas Hyeon Joo.
“Bukankah
itu bagus? Kau sangat suka melihatku memakainya waktu kecil. Lalu kau
meminjamnya dan membawanya bermain kemudian hilang di pabrik ketika peresmian
pabrik. Kau mungkin lupa menaruhnya dimana. Aku sudah berusaha mencari tapi
tidak kutemukan. Akhirnya kau temukan. Dimana?”
Hyeon Joo diam. Ia tahu Eomma berbohong. Tapi ia
sendiri tidak bisa meminta penjelasan lebih jauh. Jika Eomma tidak bisa
mengatakan hal sebenarnya, bahkan ia tidak pernah menceritakan soal kecelakaan
tujuh belas tahun lalu, maka Eomma pasti merahasiakan sesuatu. Eomma punya
alasan yang Hyeon Joo tidak boleh tahu. Hyeon Joo kemudian menelepon Appa.
“Yeobseyo. Appa?”
sapa Hyeon Joo.
“Ne, Hyeon
Joo. Ada apa?” jawab Appa.
“Appa dimana? Apa Eomma bersamamu?”
“Aku masih di perjalanan pulang. Wae?”
“Bisakah aku percaya padamu?”
Appa bingung. Ia tidak mengerti kenapa Hyeon Joo
tiba-tiba bertanya itu. “Wae?”
“Appa kenal Jingga?”
Appa terkejut dan diam sejenak. “Ne. Dia temanmu.”
“Appa, apa yang terjadi padaku tujuh belas tahun lalu?
Kenapa aku tidak ingat sama sekali bahwa aku pernah bertemu dengannya. Kenapa,
Appa?”
Appa menarik napas perlahan. “Hyeon Joo, mianhamnida…”
Hyeon Joo mendengarkan dengan perasaan campur aduk. Semua
yang dikatakan Appa sama persis dengan yang diceritakan Jingga dan Manager Rudi.
Hanya saja, Appa tidak mengatakan kalau Hyeon Joo sempat mengalami kebutaan dan
frustasi selama satu bulan pasca siuman dari koma. Tuan Kim tahu apa yang
dilakukan istrinya untuk Hyeon Joo. Tuan Kim sebenarnya juga tidak setuju, tapi
ia juga tidak bisa tahan melihat kesakitan anaknya.
Tuan Kim melamun sepanjang perjalanan. Dia berharap Hyeon
Joo tidak akan tahu bahwa ia sempat buta dan bisa melihat lagi. Jika Hyeon Joo
tahu bagaimana ia bisa melihat lagi, ia pasti akan sangat sedih dan hancur.
Hyeon Joo terduduk di lantai, bersandar pada rangka
kasurnya. Pandangannya kosong. Ia lemas dan lelah. Ia bingung harus bagaimana
dan kenapa harus dialaminya. Hyeon Joo lalu mengingat Jingga pagi tadi di
Bogor. Gadis berambut lurus sebahu itu benar-benar menangisinya tapi Hyeon Joo
menyakitinya. Bagaimana mengembalikan semuanya seperti semula? Hyeon Joo tidak
tahu harus memulai darimana atau membiarkan semuanya seolah Hyeon Joo tidak
pernah tahu itu.
Jingga sedang mencuci piring di dapur. Ia murung dan
sedih. Rio memperhatikan serius dari meja kasir.
“Zss. Dasar perempuan” desis Rio dan kembali
menghitung uang.
Seseorang masuk. Rio terkejut dan langsung ingin
marah.
“Mau apa kau kesini? Aku sudah tutup! Cepat pergi!”
omel Rio seraya menutup laci kasir.
Hyeon Joo berdiri mencari seseorang.
“Hey, dasar orang ini!” Rio menghampiri Hyeon Joo. Mereka
berhadapan dan hampir sama tinggi. “Kubilang, pergi! Kenapa kau diam saja!”
Jingga mendengar keributan. Ia menyudahi pekerjaannya
lalu keluar.
“Aku mencari Jingga.” Kata Hyeon Joo.
“Mencarinya? Untuk apa?” Rio marah. “Ah…kau baru tahu
kalau dia menarik dan kau berniat memanfaatkannya, kan?”
“Hyeon Joo?” Jingga sedikit terkejut.
“Argh!” gerutu Rio.
Hyeon Joo membungkuk. “Annyeong Haseyo.”
Rio terbelalak melihat tingkah Hyeon Joo. Ia cemburu
melihat Jingga dan Hyeon Joo saling memandang.
“Bisa kita bicara sebentar?” Hyeon Joo bertanya pada Jingga.
Rio mendorong Hyeon Joo dan sedikit berpindah. “Tidak
bisa!”
Hyeon Joo tidak melawan. Ia diam saja mengacuhkan Rio.
Ia kembali melihat Jingga seolah memohon.
“Rio, sebentar saja!” Jingga menahan Rio. Ia memasang
senyum.
Rio tidak suka Jingga berubah tiba-tiba dan melupakan
apa yang dilakukan Hyeon Joo kemarin. Tanpa menunggu jawaban Rio, Jingga
langsung membuka apronnya dan keluar. Hyeon Joo melihat Rio sejenak. Rio buang
muka dan berbalik. Hyeon Joo menyusul Jingga ke luar.
Di halaman parkir. Hyeon Joo menghampiri Jingga
sedikit ragu. Ia sedikit bingung harus mengatakan apa.
“Apa kau sudah menyimpan benda itu?” Jingga berbalik
dan melihat Hyeon Joo.
“Mwo?” Hyeon
Joo agak bingung. “Oh…Ne.”
“Bagus. Tugasku sudah selesai. Ibuku menyuruhku
memberikannya langsung padamu. Tidak perduli berapa lama dan berapa sulit, aku
harus tetap menjaganya dan memastikan itu sampai kepadamu dengan utuh. Sekarang
aku tidak punya alasan lagi untuk menunggumu di pabrik.” Jingga tersenyum. Tapi
hatinya terasa sakit.
“Mianhanmida.”
Hyeon Joo membungkuk lagi. “Aku melanggar janjiku padamu dan membuatmu dalam
kesulitan.”
Jingga mulai merasa ingin menangis. Jingga menegakkan
kepala, menengadah ke langit melihat bintang-bintang. Tapi rasanya tetap saja
tidak kuat. Rasanya ingin menjerit.
“Kecelakaan itu…aku tidak ingat bukan karena aku
sengaja melupakannya.”
Jingga memberanikan diri menatap Hyeon Joo.
“Appa bilang, aku koma selama satu bulan dan bangun
dengan tidak tahu apa-apa selain sebulan sebelum aku ke Indonesia.”
“Maksudmu…kau kehilangan ingatanmu?”
“Mungkin.”
“Ng?”
“Menurut Appa begitu. Tapi karena aku sendiri tidak
ingat jadi aku tidak tahu.” Hyeon Joo berusaha tersenyum.
Jingga justru sebaliknya. Ia menggigit bibir menahan
sekuat tenaga agar tidak menangis. Tapi tetap saja menangis. Jingga merunduk
memperhatikan sepatunya lalu mulai memainkan kakinya di tanah. Jingga
menyembunyikan tangisannya.
“Maafkan aku.” Kata Hyeon Joo lagi.
Jingga masih menangis. Ia mengangkat kepala, menghapus
air mata lalu tersenyum. “Tidak apa-apa.
Memang lebih baik dilupakan.”
Hyeon Joo menatap Jingga sedih. Ia bingung, di saat
seperti itu apa yang dilakukan Hyeon Joo kecil pada sahabatnya? Atau dia harus
bretindak sebagai Hyeon Joo si orang asing untuk Jingga?
“Itu sudah tidak penting lagi.” Jingga berusaha tegar.
“Aku sudah memikirkannya bertahun-tahun, apa yang akan aku lakukan jika
akhirnya aku bertemu denganmu suatu hari nanti? Apa harus menangis? Bersorak
gembira? Atau memelukmu dan mengatakan aku merindukanmu? Apa lagi selain
mengembalikan benda itu?”
Keduanya terdiam. Mereka saling bertatapan.
“Aku
terus memikirkanmu setiap hari. Aku merindukanmu setiap minggu. Aku menyukaimu
setiap bulan dan membuatku mengkhayalkan pertemuan ini setiap tahunnya. Aku
menyukaimu, Hyeon Joo. Satu-satunya orang yang sangat baik dan
cantik. Aku menyebutnya cinta pertamaku. Aku selalu memikirkan apa lagi? Apa
lagi yang harus dilakukan setelah bertemu nanti?” batin Jingga.
“Sudah, ya! Gamsahanmida”
kata Jingga lalu membungkuk. “Annyeong-hi
gyeseyo.”
Jingga tersenyum. Kemudian ia pergi meninggalkan Hyeon
Joo yang masih mematung. Ketika berpapasan, air mata Jingga jatuh lagi. Rasanya
sakit jika harus bertemu tapi Hyeon Joo tidak mengenalnya atau mengingat apa
pun. Tidak ada lagi yang harus dibahas untuk sekedar memperpanjang waktu
bersama Hyeon Joo.
“Bisakah…” kata Hyeon Joo.
Jingga berhenti sejenak mendengarkan.
Hyeon Joo berbalik. “…kau membantuku mengingat
semuanya dengan baik lagi?”
Jingga berbalik. Dilihatnya Hyeon Joo sedang tersenyum.
Senyum lembut dan hangat. Jingga lalu ikut tersenyum. Keduanya saling melempar
senyum.
“Kau akan membayarku berapa untuk itu?”
“Mwo?”
Jingga tertawa. “Hari minggu, jemput aku. Aku akan
mengajakmu bertualang, Coboy!”
Jingga lalu pergi dengan senang. Hyeon Joo tersenyum sambil
sesekali tertawa. Hyeon Joo memperhatikan Jingga yang meski sedikit cengeng
tapi ternyata periang juga.
Hari minggu yang dinanti tiba. Hyeon Joo menjemput Jingga
di café. Meski Jingga libur di hari minggu, tapi Jingga tetap datang ke café
untuk bertemu Hyeon Joo tanpa setahu Rio.
Di perjalanan, Jingga banyak diam karena sedikit
canggung bersama Hyeon Joo yang meski sahabat lamanya tapi muncul kembali
dengan kepribadian yang berbeda. Jingga merasa sedikit asing. Hyeon Joo melaju
dengan Toyota Fortuner hitamnya di sepanjang jalan Tol Jagorawi. Mereka sudah
hampir sampai ke Bogor.
Hyeon Joo juga banyak diam. Ia sendiri juga merasa
canggung. Meski ia percaya Jingga sahabat masa kecilnya tapi Hyeon Joo tidak
ingat dan merasa asing. Apalagi Jingga seorang perempuan. Hyeon Joo hampir
tidak pernah berteman dekat dengan seorang perempuan, kecuali Cyril.
Jingga melihat ke luar jendela. Ia melihat pemandangan
sepanjang jalan Tol Jagorawi. Jingga kadang tersenyum sendiri.
“Ehm!” Hyeon Joo terbatuk.
Jingga sedikit tersentak. Hyeon Joo menyalakan radio.
Berkali-kali ia memutar chanel tapi tidak ada yang pas menurutnya.
“Kenapa?” Tanya Jingga yang bingung melihat Hyeon Joo.
“Oh?” Hyeon Joo menoleh Jingga sekali. “Aku mencari
chanel dengan lagu yang enak.”
“Tidak akan ketemu…” Jingga tersenyum.
“Kenapa?” Hyeon Joo sedikit gugup.
“Kau lama di Korea, ketika di Indonesia kau akan
sedikit sulit menyesuaikan. Jenis musik kedua negara ini tidak sepenuhnya sama.
Jadi kau akan sulit.”
“Ooh…” Hyeon Joo kembali menyetir. “Apa kau tahu
beberapa lagu Korea?”
“Mmm…sedikit. Aku pernah mendengarnya di radio. Di
chanel itu memutar hampir selama dua jam lagu-lagu korea.”
“Oo…lagu apa yang kau suka?”
“Lagunya Super Junior, Big Bang, Seven juga beberapa soundtrack drama.”
“Wah, kau cukup tahu banyak.”
“Hm.” Jingga mengangguk. “Aku kurang begitu hapal.”
“Lho? Kenapa? Kau kan orang Korea?”
“Tapi aku kurang begitu suka. Aku lebih suka musik
Jepang. Inoe Joe adalah musisi kesukaanku. Yui, Utada Hikaru, dan Larc En Ciel.
Dan nama Inoe Band kuambil dari musisi asal Jepang Joe Inoe. Tapi aliran
musikku kebanyakan terpengaruh dari Larc En Ciel.”
“Ooo…” Jingga tidak mengerti tapi ia berpura-pura
paham.
“Apa kau punya CD Super Junior?” Jingga antusias.
Hyeon Joo tersenyum melihat Jingga seolah memecahkan
suasana kaku. “Coba kau lihat di situ!”
Jingga melirik sebuah tempat CD di atas tape mobil. Ia
mengambilnya. Dilihatnya satu per satu. “Wah…apa ini semua original?”
Hyeon Joo tersenyum dan mengangguk.
“Ini dia. Dengarkan, ya!” Jingga memutar CD Super
Junior.
NeorNeorago (Neorago)…Nan
noppunirago (Neorago)…Neorago (Neorago)
Dareum saram pilyo obseo nan geunyang neorago
Dashi hanbon mullo bwado nan geunyang neorago
Imi noneun dareun saranghaet kkaetjiman
Ojol suga obseo dashi dorikilsu obseo oh~
Nae nunbit chi deuroodon keu sungane, Gaseum gipsul moseul bakdon sungane
Miryeon obshi baro nohreul sontaekhaeseo, Geurae nan neorago
Dareum saram pilyo obseo nan geunyang neorago
Dashi hanbon mullo bwado nan geunyang neorago
Imi noneun dareun saranghaet kkaetjiman
Ojol suga obseo dashi dorikilsu obseo oh~
Nae nunbit chi deuroodon keu sungane, Gaseum gipsul moseul bakdon sungane
Miryeon obshi baro nohreul sontaekhaeseo, Geurae nan neorago
Oh nan, geu nuga nuga mworaedo naneun sangwan obgado
Geu nuga nuga yokhaedo nomanbarabun dago
Na dashi taeor nandedo ojik noppunirago, Tic Toc Tic Toc Shigani heullodo
Oh nan...Nol sarang handa malhaedo chonbumanbon malhaedo
Nae gaseumsok dabultago mareun ibsol daldeorok
Na dashi taeor nande do ojik noppunirago, Tic Toc Tic Toc Shigani heullodo
Geu nuga nuga yokhaedo nomanbarabun dago
Na dashi taeor nandedo ojik noppunirago, Tic Toc Tic Toc Shigani heullodo
Oh nan...Nol sarang handa malhaedo chonbumanbon malhaedo
Nae gaseumsok dabultago mareun ibsol daldeorok
Na dashi taeor nande do ojik noppunirago, Tic Toc Tic Toc Shigani heullodo
Jingga memainkan jemarinya mengikuti irama. Kepalanya sesekali mengangguk
menikmati musik. Hyeon Joo memperhatikan Jingga yang asik sendiri. Hyeon Joo
diam, ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Hyeon Joo?” panggil Jingga membuyarkan Hyeon Joo. “Apa artinya lagu ini?”
“O?” Hyeon Joo sedikit terkejut. “Kau suka lagu itu?”
Jingga mengangguk tersenyum.
“Kenapa kau suka sebuah lagu tapi tidak tahu artinya? Setidaknya kau bisa
mencari tahu.”
“Iya. Aku tidak punya waktu untuk itu. Itu sebabnya aku bertanya padamu,
mencari tahu.”
Hyeon Joo tersenyum menyetir. “Intinya…lagu itu bercerita tentang cinta.”
“Aha.” Jingga mendengarkan sambil menatap Hyeon Joo.
“Tentang seseorang yang terlambat bertemu orang yang dicintainya. Orang
yang dicintainya itu berbeda dari yang lain. Si penyanyi membutuhkan kekasihnya
dan bilang kalau cinta yang dirasakannya berbeda saat dia mengenal kekasihnya
itu. Orang itu sangat merindukan kekasihnya sampai…” Hyeon Joo tiba-tiba
berhenti bercerita.
“Sampai apa?”
Hyeon Joo tertegun. “Sampai…” Hyeon Joo melirik Jingga sejenak lalu
berpaling mengemudi.
Jingga masih menunggu. Ia penasaran.
“Sampai air matanya tumpah ketika mereka bertemu. Orang itu memiliki
perasaan yang sangat dalam terhadap kekasihnya. Selama dia belum bertemu
kekasihnya, ia banyak mengalami kesulitan. Orang itu tidak perduli siapa
kekasihnya, dia akan tetap mencintainya dan mengatakannya beribu-ribu kali.”
“Ooh…” Jingga mengangguk lalu fokus ke jalan di depannya.
Mereka terdiam lagi. Saling menyelami pikiran dan perasaan masing-masing.
“Kupikir lagunya tentang cinta yang ceria.” Kata Jingga kemudian. “Habis
musiknya ceria.”
Hyeon Joo tersenyum sesungging. “Itu ceria, karena akhirnya mereka bertemu.”
Jingga tersenyum juga. “Sepertinya
aku mempunyai ikatan dengan lagu ini. Aku juga merindukan Hyeon Joo dan menangis ketika bertemu lagi untuk
pertama kalinya setelah sekian lama. Karena aku memiliki perasaan yang dalam
padanya. Aku juga mengalami kesulitan selama aku tidak bertemu dengan Hyeon
Joo.” Jingga membatin.
Mereka sampai di Bogor. Hyeon Joo memarkir mobilnya di pabrik. Jingga
menunggu di luar. Mereka pergi bersama dengan berjalan kaki.
“Astaga…ini seperti dongeng pangeran dan putri buruk rupa…” gumam Security
Arif memperhatikan Jingga dan Hyeon Joo yang sudah jauh.
Jingga sangat santai dengan setelan jeans biru keabu-abuan dan jaket
berbahan jeans dengan warna yang sama, memakai kaos putih dan tas selempang.
Rambutnya dibiarkan tergerai. Hyeon Joo memakai celana jeans biru, kaos putih
dilapis kemeja bergaris ungu biru dengan tiga kancing atas dibiarkan terbuka.
Keduanya memakai sepatu kets berwarna putih.
Jingga membawa Hyeon Joo ke sawah. Mereka berjalan di pematang sawah.
“Lihat semua ini! Bagus bukan?” Jingga merentangkan tangannya menghadap Hyeon
Joo.
Hyeon Joo memandang berkeliling. Ia tersenyum bukan berarti tidak pernah
melihat ini sebelumnya. Di Korea juga banyak yang seperti ini.
“Ini desa kelahiranku dan tempat pertama aku bermain denganmu.” kata Jingga.
Hyeon Joo berdiri melipat tangan di dada. Ia diam memperhatikan Jingga. Jingga
melipat celananya hingga ke lutut, melepas tas, membuka sepatu dan jaket lalu menaruhnya
di rumput. Jingga masuk ke sawah. Hyeon Joo terkejut melihatnya.
“Apa yang kau lakukan?” Hyeon Joo bingung.
“Buka sepatumu. Kita bermain lumpur. Sini!”
“Apa?” Hyeon Joo melihat sepatu mahalnya. Warna putih. Sayang kalau kotor. Hyeon
Joo menggeleng.
“Ini seru! Coba saja!” Jingga mengambil segenggam lumpur.
“Hey, hati-hati dengan itu! Jangan sampai mengotoriku.”
“Ini menarik. Di Indonesia, tidak ada salju. Bermain air di musim panas
akan boros. Bermain air musim hujan akan sakit. Jadi bermain lumpur saja.
Anggap saja ini salju.” Jingga melempar lumpur dan mengenai jeans Hyeon Joo.
Hyeon Joo terkejut tidak sempat menghindar. “Kau!”
Jingga malah tertawa. “Kau sama bodohnya seperti pertama kali.”
“Ini tidak lucu. Aku tidak punya pakaian ganti. Bagaimana aku bisa pulang?”
“Siapa suruh. Katanya kau seorang coboy petualang. Apa ada seorang
petualang hanya membawa satu pakaian yang dipakainya saja? Hah?” Jingga
melempar lumpur lagi.
“Kau meledekku?” tantang Hyeon Joo.
“Pabo!” Jingga nyengir.
“Mwo?” Hyeon Joo terperanjat. Hyeon
Joo membuka sepatunya lalu ikut turun dan membalas Jingga.
Mereka berperang lumpur. Baju dan celana mereka kotor semua. Keduanya jadi
perhatian orang-orang yang lewat. Sebagian mencibir mereka pasangan aneh, gila
dan bodoh.
“Hey!!” teriak seorang laki-laki paruh baya. Ia tampak marah setengah
berlari melihat Jingga dan Hyeon Joo.
“Ho??” Jingga terkejut. “Ayo pergi!”
“Apa??” Hyeon Joo bingung.
Jingga naik lalu bergegas mengambil tas, sepatu dan jaketnya. “Ayo cepat
naik!”
Hyeon Joo menuruti. Mereka mulai berlari. Tiba-tiba Hyeon Joo berhenti.
“Sepatuku!”
“Aduh…” Jingga menggerutu tidak sabar.
Si pemilik sawah semakin dekat. Ia membawa-bawa sebatang kayu sambil
berlari.
Hyeon Joo memungut sepatunya lalu berlari sambil menyambar tangan Jingga. Jingga
sedikit syok. Hyeon Joo menggandengnya sambil berlari. Hyeon Joo sedikit takut
dan terburu-buru. Jingga tersenyum. Dulu, Jingga yang menggandeng Hyeon Joo
sambil berlari. Sekarang, Hyeon Joo yang menggandengnya dan berlari bersama.
Si Pemilik sawah berhenti di petak sawahnya. Ia terangah-engah kelelahan.
“Jaman macam apa ini? Masih ada dua orang dewasa bodoh yang bermain lumpur di
sawah.”
Hyeon Joo berlari cukup kencang dan Jingga mulai kesulitan mengimbangi.
Tiba-tiba Hyeon Joo tersenyum lalu tertawa sambil berlari. Jingga yang
kelelahan ikut tersenyum melihat Hyeon Joo.
Si Pemilik memegangi lututnya yang nyeri. “Aduh. Aduh…ini mengingatkanku
pada beberapa tahun yang lalu. Dua orang anak kecil mengacak-acak sawahku yang
siap kutanam benih. Oh, ya ampun…aku harus bekerja dua kali.”
Jingga dan Hyeon Joo tiba di sungai. Jingga meletakkan sepatu, tas dan
jaketnya di atas batu. Ia berendam dengan pakaian lengkap di sungai. Hyeon Joo
sedang mencuci muka di batu yang lain. Jingga menenggelamkan diri lalu muncul
kembali membersihkan pakaian yang dikenakannya. Hyeon Joo nyengir lalu kembali
membasuh muka berkali-kali. Rasanya panas setelah berlari cukup jauh.
Jingga naik. Ia melihat Hyeon Joo belum selesai-selesai membasuh muka.
Muncul ide jahilnya. Jingga mendekati Hyeon Joo diam-diam. Setelah dekat, ia
mengejutkan Hyeon Joo dan mendorongnya. Hyeon Joo jatuh ke sungai. Jingga
menertawakan Hyeon Joo.
Hyeon Joo gelagapan. Ia sepertinya tidak bisa berenang. Jingga mulai panik.
Hyeon Joo menjulurkan tangan minta tolong. Jingga meraihnya.
“Dapat!” Hyeon Joo tersenyum licik dan menarik Jingga hingga tercebur.
Jingga panik. Arusnya lumayan deras dan cukup dalam. Jingga tidak bisa
berenang. Hyeon Joo menertawainya.
“Hey, orang usil. Ayo berenang. Jangan menjebakku lagi!” kata Hyeon Joo.
Jingga tidak menjawab. Ia berusaha keras bertahan di permukaan. Tapi
terlalu berat. Jingga kelelahan. Ia tenggelam dan tidak muncul lagi. Hyeon Joo panik
dan langsung menyelam menyusul Jingga. Hyeon Joo meraih Jingga dan membawanya
ke tepi. Jingga terbatuk. Hyeon Joo terengah-engah.
“Bercandamu tidak asik!” omel Hyeon Joo masih khawatir.
“Aku memang tidak bisa berenang.” Jingga berdiri. Ia mengambil
barang-barangnya dan pergi.
“Eh, tunggu!” Hyeon Joo mengambil sepatunya dan menyusul Jingga.
“Hey, apa kau marah?” Hyeon Joo berjalan di belakang Jingga.
Jingga diam saja.
“Harusnya aku yang marah. Kenapa malah kau yang marah?”
Jingga masih diam.
“Kita mau kemana? Aku sudah kedinginan. Bisakah kita kembali ke pabrik
sebentar? Mungkin aku bisa meminjam beberapa pakaian di sana. Lagi pula kau
juga masih basah kuyup. Kau tidak kedinginan?”
Mereka tiba di bukit. Hyeon Joo menunggu agak jauh dari pohon akasia besar.
Ia berdiri di bawah pohon ceri liar. Jingga berganti pakaian di balik pohon
akasia.
Hyeon Joo memetik beberapa buah ceri liar. Dicicipinya buah itu. “Manis.”
“Hyeon Joo!” panggil Jingga.
Hyeon Joo menoleh. Jingga sudah selesai berganti pakaian. Masih dengan
jeans dan kaos biasa, hanya berbeda warna. Jingga mendekati Hyeon Joo. Ia
mengambil buah ceri liar dari tangan Hyeon Joo dan memakannya.
“Hm…manis, bukan?” Jingga tersenyum.
Hyeon Joo tersenyum dan memakai buah ceri lagi. Ia melihat Jingga. “Ne, darayo. Manis.”
Jingga menyentuh goresan di pohon akasia.
“Apa itu?” Tanya Hyeon Joo.
“Aku menghitung kedatanganku ke tempat ini.” Kata Jingga.
“Kenapa tidak kau tambahkan lagi hari ini?”
“Tidak. Karena aku sudah bertemu denganmu.”
“Ng?” Hyeon Joo bingung. Ia melihat goresan di pohon itu. Hyeon Joo ikut
meraba dan menghitungnya. “Delapan ratus enam belas.”
Jingga tersenyum.
“Kau tidak curang kan?” Hyeon Joo meledek.
“Tidak. Itu bahkan terlalu sedikit. Karena hanya setiap hari minggu aku ke
sini. Bahkan ketika aku masih kecil, aku merengek pada Bibi untuk mengantarku
ke sini. Aku jiarah ke makam ibuku, ke pohon ini lalu menunggumu di pabrik. Bibi
bilang, waktu maksimal untuk menunggu adalah tiga puluh menit. Itu sebabnya aku
menunggu selama tiga puluh menit di gerbang pabrik.”
Hyeon Joo tersenyum. “Kau baik sekali. Kalau kita sepasang kekasih, ini
adalah kisah yang romantis.”
“Apa?” wajah Jingga memerah.
Hyeon Joo hanya tersenyum melihat Jingga.
“Hyeon Joo, apa kau ingat sesuatu?”
“Ng…nghm!” Hyeon Joo menggeleng.
“Oh...” Jingga lesu. “Tapi tidak apa-apa. Aku akan terus berusaha
membantumu mengingatnya lagi.”
Jingga duduk di rumput. Ia mengeluarkan sebuah buku. Ensiklopedia tanaman. Hyeon
Joo ikut duduk tidak jauh di sebelah Jingga.
“Pohon pinus. Dulu kau berjanji akan membawakanku buku ensklopedia tentang
pohon. Aku sudah punya sekarang.” Jingga membuka halaman tentang pohon pinus.
Hyeon Joo memperhatikan halaman di buku itu.
“Kau banyak menceritakan hal seru soal pohon. Aku berusaha mencari sumber
yang kau katakan waktu itu tentang pohon pinus.” Jingga membuka lembar lainnya.
“Pohon abadi. Pohon paling tua. Pohon mematikan.”
“Iya. Aku punya buku itu di rumah.” Kata Hyeon Joo.
Jingga tersenyum melihat Hyeon Joo.
“Kemana lagi kita biasa bermain?” Tanya Hyeon Joo.
“Ng…ke rumahku. Tapi sekarang sudah tidak ada. Dulu kami hanya menyewa. Sekarang
sudah dijual oleh pemiliknya.”
“Oo…” Hyeon Joo mengangguk. “Apa yang kita lakukan di sana? Apa yang aku
lakukan di rumahmu?”
“Banyak. Kita bermain lumpur bersama ibuku di sawah, lalu berenang bersama
di sungai. Kita naik sepeda bertiga. Aku di depan, kau membonceng di belakang.”
“Oya?”
“Hm!” Jingga mengangguk. “Lalu kita pulang kelelahan. Ibu menyuapimu makan
dan aku bergantian. Kemudian kita tidur…” Jingga berhenti tertahan.
“Tidur?”
Mendadak wajah Jingga memerah.
“Apa aku tidur di rumahmu?”
Jingga semakin memerah dan malu.
“Kau kenapa?” Hyeon Joo mencondongkan tubuhnya.
Jingga menghindar. Ia merunduk malu. “Mana
mungkin kukatakan kita tidur bersama dan aku pernah mencium pipimu yang merah.”
“Hey, kau baik-baik saja?” Hyeon Joo menyelidik.
“Tidak apa-apa.” Jingga berusaha biasa saja. “Tidak ada yang kau lakukan
lagi selain menumpang makan, tidur lalu pergi.”
“Mwo?” Hyeon Joo tertawa. “Itu
konyol.”
Di perjalanan pulang. Hyeon Joo mengantar Jingga ke Jakarta dengan
mobilnya. Jingga memutar lagu CD album Super Junior lagi. Meski tidak mengerti,
Jingga tetap menikmatinya.
Oneureun museun irin geoni,
ureoteon eolgul gateun geol
Geuga neoye ma eumeul apeuge haeni, naeyegen sesang jelso junghan neo inde
Japangi keopireul nae mireo geu soge gamchwo on nae mameul dama
Gomawo, oppan neomu joheun saramiya geu han madiye nan useul ppun
Hokshi neon giyeok hago isseulkka, nae chingu hakgyo ape nolleo wateon nal
Urideul yeonin gata jang nan chyeosseul ttae neon usseogo nan bamji saewoji
Niga useumyeon nado joha neon jang nanira haedo
Neol gidaryeoteon nal neol bogo shipdeon bam naegen beokchan haeng bok gadeukhande
Naneun honja yeodo gwaen chanha neol bolsuman itamyeon
Neul neoye dwiyeseo neul neol bara boneun geuge naega gajin mokshin geoman gata
Chingu deulji gyeopda malhaji neul gateun norael bureuneun nayege
Hajiman geuge baro naema eumin geol geudae meon geoman boneyo
Hokshi neon geunal nae mameul alkka, urireul aneun chingu modu moin bam
Sul chihan neol derireo on geureul naege insashi kyeoteon naye saengil nal
Niga joheu myeon nado joha ni yeope geureul bomyeo
Nawan neomu dareun nan chora haejineun geuyege neol butakhan daneun mal bakke
Geuga neoye ma eumeul apeuge haeni, naeyegen sesang jelso junghan neo inde
Japangi keopireul nae mireo geu soge gamchwo on nae mameul dama
Gomawo, oppan neomu joheun saramiya geu han madiye nan useul ppun
Hokshi neon giyeok hago isseulkka, nae chingu hakgyo ape nolleo wateon nal
Urideul yeonin gata jang nan chyeosseul ttae neon usseogo nan bamji saewoji
Niga useumyeon nado joha neon jang nanira haedo
Neol gidaryeoteon nal neol bogo shipdeon bam naegen beokchan haeng bok gadeukhande
Naneun honja yeodo gwaen chanha neol bolsuman itamyeon
Neul neoye dwiyeseo neul neol bara boneun geuge naega gajin mokshin geoman gata
Chingu deulji gyeopda malhaji neul gateun norael bureuneun nayege
Hajiman geuge baro naema eumin geol geudae meon geoman boneyo
Hokshi neon geunal nae mameul alkka, urireul aneun chingu modu moin bam
Sul chihan neol derireo on geureul naege insashi kyeoteon naye saengil nal
Niga joheu myeon nado joha ni yeope geureul bomyeo
Nawan neomu dareun nan chora haejineun geuyege neol butakhan daneun mal bakke
“Apa artinya lagu ini?” Tanya Jingga. “Sepertinya enak.”
“Kau cari sendiri saja di internet.” Hyeon Joo tidak bersemangat.
“Apa kau lelah?”
“Lelah? Tidak. Aku sakit.”
“Ho?”
“Lain kali beri tahu aku apa yang harus kubawa untuk bermain seperti tadi.
Bajuku basah semua. Untung aku punya satu kemeja di mobil. Coba kalau tidak?”
“Oh…maafkan aku.” Jingga murung dan merunduk. “Mianhanmida.”
Hyeon Joo melirik Jingga. Memperhatikan wajah memelas temannya. Hyeon Joo
tersenyum. Menurutnya Jingga sangat berbeda. Dia konyol, sedikit cuek dan
polos. Lepas dari itu, dia manis, mungil dan menggemaskan. Hyeon Joo jadi ingin
menggodanya supaya Jingga mengeluarkan ekspresi polos dan bodoh terus.
Mereka sampai di ruko tempat café Rio. Mereka berhenti sedikit lebih jauh
dari café. Jingga melepas safe belt
dan bersiap turun.
“Dimana rumahmu?” Tanya Hyeon Joo.
“O? Rumahku…rahasia.”
“Ng? Kenapa?”
“Rahasia.” Jingga tersenyum meledek.
“Aku tinggal di Bogor. Rumah lamaku juga di Jakarta. Tapi aku membeli rumah
di sana supaya lebih dekat. Kapan-kapan, kau boleh mampir ke sana. Aku tinggal
sendiri dengan seorang pembantu dan seorang tukang kebun. Mereka suami istri.
Mereka baik dan ramah.”
“Aha. Akan kupertimbangkan.” Jingga memegang pintu.
“Bisa tidak kau pindah ke Bogor juga?”
Jingga berhenti. Ia berbalik. “Kenapa?”
“Aku harus bekerja sendirian mengurus pabrik. Appa dan Eomma di Seoul. Aku
sedikit kurang memahami orang Indonesia. Meski Eomma sering bicara dengan
bahasa Indonesia saat bersamaku, tapi tetap saja aku canggung.”
“Lalu?”
“Aku butuh sekertaris. Apa kau bisa?”
“Apa?” Jingga terbelalak. “Aku hanya lulusan SMA biasa. Apa bisa?”
“Tidak masalah jika kau mau.”
Jingga berpikir sejenak. “Tapi sepertinya tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Rio sangat baik padaku. Dia adalah bos pertamaku. Café itu adalah tempat
kerja pertamaku. Aku nyaman di sana. Rio suka memberiku tips jika aku bekerja
sangat cepat dan rapi. Bahkan aku sering mendapat bonus tak terduga.”
“Berapa gajimu? Aku bisa membayar yang lebih dari yang dia bayar.”
“Bukan itu…tapi gajiku sekarang saja sudah lebih dari cukup. Aku tidak
berniat untuk mengkhianatinya.”
Hyeon Joo menyerah. Ia lalu mengambil ponsel di tangan Jingga.
“Ng?” Jingga bingung.
Hyeon Joo mengetik sebuah nomor dan menelepon dengan ponsel Jingga. Ponsel Hyeon
Joo berbunyi. Hyeon Joo mematikan panggilan dan mengembalikan ponsel Jingga.
“Gamsahanmida.” Hyeon Joo
tersenyum.
Jingga ikut tersenyum lalu pergi.
“Ah…darimana saja kau?” Rio menangkap basah Jingga di depan cafenya.
“Kenapa? Bukankah sudah tahu jadwalku setiap hari minggu?” Jingga
mengacuhkan Rio.
Rio menahannya. “Kau pergi bersama orang Korea itu?”
“Kenapa? Dia temanku.”
“Ini bukan masalah teman atau orang asing. Tapi dia jahat. Dia sombong dan
melupakanmu. Kenapa masih mendekatinya?”
“Kau tidak mengerti dia. Jadi biarkan saja aku.”
“Baiklah. Terserah, tapi kenapa baru pulang jam tujuh malam begini?”
“Aku sudah pulang sejak jam empat sore. Perjalanan jauh dan macet. Apa itu
salah?”
“Ayo pulang, kuantar kau ke rumah.” Rio menarik tangan Jingga.
“Eh? Bukankah café belum tutup?”
“Biarkan saja. Masih ada pekerja lain.”
Rio membonceng Jingga dengan motornya. Mereka pulang ke daerah pemukiman
yang tidak jauh dari café. Hyeon Joo diam-diam mengikuti mereka. Sampai di
sebuah gang kecil, Hyeon Joo kehilangan jejak. Hyeon Joo lalu turun dan masuk
ke gang itu. Hyeon Joo sedikit terkejut. Di gang itu banyak perempuan muda
bahkan paruh baya berdandan menor dan berpakaian minim. Mereka memperhatikan Hyeon
Joo dengan tatapan memburu. Sebagian bahkan menggoda Hyeon Joo. Hyeon Joo mengacuhkan
mereka dan terus berjalan mencari Jingga dan Rio.
Hyeon Joo berhenti. Ia melihat Jingga dan Rio. Seorang perempuan paruh baya
berdandan menor dan pakaian sedikit terbuka sedang mengomel pada Jingga. Rio
bertolak pinggang di sebelahnya. Jingga senyam-senyum mendengarkan omelan
perempuan itu.
“Aku mencarimu. Kau tidak biasanya pulang malam. Walau aku tahu kau libur,
tapi kau tidak pernah pulang malam. Jam lima sore kau sudah di rumah. Ada apa
kau ini?” omel Bibi Wuri.
“Iya, maaf. Aku sedang senang karena bertemu teman lama.” Jingga tersenyum.
“Bibi, temanku sangat tampan. Dia keren dan bodoh.”
“Bodoh?” Bibi Wuri dan Rio tercengang.
“Sudah yah, aku lelah!” Jingga memeluk Bibi Wuri lalu masuk ke rumah.
“Apa temannya laki-laki?” Bibi Wuri mulai khawatir.
“Iya.” Rio cemburu.
“Siapa namanya?”
“Entahlah.” Rio pergi mengacukan.
Hyeon Joo pulang dan tidak percaya ternyata Jingga benar tinggal bersama
seorang pelacur. Persis seperti yang diceritakan Manager Rudi.
Bersambung ke Chapter 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar