Korean Pine Love - Chapter 4
Chapter
4
Hyeon
Joo Si Pemarah
Lanjutan Dari Chapter 3
Bogor-Indonesia, 2013.
Setiap hari minggu, Jingga pergi ke makam ibunya di
Bogor untuk berjiarah. Tidak jauh dari desa tempat mereka tinggal dulu. Jingga
juga datang ke pabrik Joo Inhyeong dan menunggu Hyeon Joo di sana selama tiga
puluh menit setiap minggu.
Tempat pertama yang dikunjunginya adalah yang terdekat.
Bukit dengan pohon akasia. Kemudian memotong jalan melewati sawah dan sungai,
baru ke pemakaman warga. Tujuan terkhirnya adalah Joo Inhyeong.
Sebuah mobil melintas dan tiba-tiba berhenti.
“Oh, ya ampun…” seseorang menggerutu. “Jangan bilang
ini mogok?”
Ia berusaha menyalakan mobilnya tapi tidak bereaksi
sesuai harapan. Akhirnya ia turun. Menghela napas kesal dan memandang
berkeliling. Tidak ada kendaraan lewat. Pandangannya tertuju pada sesuatu. Sebuah
bukit tidak jauh dari posisinya berdiri. Cukup lama ia berdiri melihat bukit
itu. Ia kemudian mengunci mobil lalu pergi ke bukit untuk memuaskan
penasarannya.
“Oh! Ternyata aku berjalan terlau jauh!” orang itu
terkejut melihat ke belakang. “Belum seminggu aku di Bogor. Bagaimana kalau aku
tersesat?”
Sepi. Hanya suara kicau burung, hembusan lembut angin
dan suara semak-semak bergoyang ditiup angin.
“Aku, Kim Hyeon Joo. Seorang coboy, dan tidak takut
tersesat.” Ia tersenyum dan melanjutkan perjalanan.
Hyeon Joo tiba di sebuah pohon akasia besar yang
terlihat lebih rapi diantara pohon besar lainnya. Terlihat nyaman untuk sekedar
melepas lelah. Hyeon Joo kembali memandang berkeliling. Sebuah pohon ceri liar
tidak jauh dari posisinya.
“Apa itu bisa dimakan?” Hyeon Joo memiringkan
kepalanya. Ia duduk di akar pohon akasia. Menarik napas dalam-dalam dan
menikmati sejuknya udara di bawah pohon.
Hyeon Joo memejamkan mata sambil duduk bersila. Ia
menengadah menikmati belaian angin ke lehernya yang jenjang.
“Sebenarnya pohon tidak tumbuh dari
bawah ke atas, tapi
lebih banyak dari atas ke bawah.”
Hyeon Joo melafalkan kalimat yang ia sendiri tidak tahu darimana asal kata-kata
itu.
Hyeon Joo terbawa suasana. Ia seperti sedang bermimpi
mendengar suara-suara yang lucu.
“Pohon pinus
adalah 'pohon cinta'. Orang-orang di Korea mengambil pohon pinus
sebagai filosofi. Karena melambangkan cinta yang kokoh,
lurus, dan tidak pernah berakhir.”
“Wah…Pasti pohon itu
bagus. Seperti apa pohon pinus itu?”
“Mwo? Kau belum pernah
melihat pohon pinus?”
Hyeon Joo tertawa dengan mata terpejam.
Ternyata mimpi itu menggelikan, bahwa ada seseorang yang belum pernah melihat
pohon pinus. Padahal pohon pinus bukan tanaman langka seperti Raflesia Arnoldi.
Seseorang datang. Ia melihat aneh pada Hyeon
Joo yang duduk terpejam sambil tertawa sendirian. Seperti seorang dukun yang
menertawakan mantranya sendiri.
Hyeon Joo membuka mata dan masih sesekali
tertawa. Ia terkejut dan berhenti tertawa melihat ada orang lain di depannya. Beberapa
detik mereka diam berpandangan.
Hyeon Joo berdiri. Ia baru akan pergi. Orang itu
terus memperhatikannya lekat-lekat.
“Oh! Hyeon Joo!” teriaknya girang.
Hyeon Joo berhenti. Ia melihat dengan bingung.
“Ah…benar! Kau Hyeon Joo Si Artis itu! Aku Jingga!”
Hyeon Joo mundur karena Jingga agresif
mendekat.
“Hyeon Joo! sejak kapan kau di sini?” Jingga
terlihat gembira. “Ahk…aku hampir tidak mengenalimu. Dulu kau berambut sedikit
gondrong seperti boyband korea. Sekarang
kau rapi sekali. Seperti executive
muda.”
Hyeon Joo tidak menjawab, ia acuh dan pergi.
“Eh, Hyeon Joo!” Jingga menyusul. “Kau lupa
aku, ya? Kita pernah bertemu dua tahun lalu di café temanku. Waktu itu kau
sedang syuting video klip untuk single
ketiga grup band-mu, Inoe!”
“Oya? Lalu kenapa?” Hyeon Joo sinis menjawab
dan pergi.
“Isz, kau galak sekali.” Jingga mendesis. “Eh?
Tapi benar juga, bisa saja dia tidak ingat aku. Pertemuan waktu itu kan kami
tidak saling menyapa dan menyebutkan nama.”
Hyeon Joo berjalan tanpa melihat ke belakang. Jingga
berbalik dan melihat Hyeon Joo pergi.
“Aku nyaris tidak mengenalinya. Dia sekarang
terlihat jauh lebih baik. Tidak gondrong dan seasal dulu.”
Jingga menggoreskan sebuah garis di batang
pohon pinus dengan sebuah kunci. Ia lalu tersenyum. Ada banyak goresan di sana.
Setiap goresan kelima, dibuat miring menandai sudah lima garis.
“Hyeon Joo! Aku datang lagi. Ini sudah yang
ke…” Jingga menghitung goresan itu. “Wah…terlalu banyak. Mungkin sudah hampir
seribu.”
Jingga memandang berkeliling sebelum akhirnya
pergi. Ia melewati sawah dengan gembira. Ia menyapa beberapa orang yang sedang
menuai padi. Jingga melewati jembatan yang di bawahnya sungai. Dilihatnya di
sana, banyak anak kecil bermain di sana. Melompat dari batu yang tinggi lalu
menceburkan diri ke sungai. Jingga tersenyum lalu pergi lagi. Jingga kembali
berjalan. Tiba-tiba Jingga melihat Hyeon Joo di depannya.
“Kenapa orang itu ada di sini?” Jingga terus
berjalan. Semakin dijalani, semakin membingungkan karena Hyeon Joo juga
berjalan di jalan yang sama.
Hyeon Joo memperlambat jalannya. Sepertinya ia
merasa diikuti seseorang. Jingga ikut berhenti menunggu apa yang akan dilakukan
Hyeon Joo. Hyeon Joo kembali berjalan. Jingga juga berjalan. Hyeon Joo
tiba-tiba mempercepat langkahnya dan berlari. Jingga terkejut.
“Ho? Kenapa dia berlari?” Jingga celingukan dan
ia memutuskan untuk berlari juga.
Mereka bertemu lagi. Hyeon Joo berhenti dan
berbalik. Jingga masih berlari terengah-engah. Jingga terkejut melihat Hyeon
Joo berdiri melihatnya. Jingga berhenti dan berjalan perlahan sambil sedikit
mengawasi Hyeon Joo.
“Kenapa kau mengikutiku?” Tanya Hyeon Joo
dengan galak.
“Apa?” Jingga justru bingung. “Aku tidak
mengikutimu. Aku memang akan melalui jalan ini untuk ke makam ibuku. Siapa yang
mengikutimu. Memangnya hanya kau saja yang boleh memakai jalan ini.”
Hyeon Joo memandang sinis. Ia menarik napas
lalu pergi. Jingga mengikuti di belakang.
Jingga mulai bosan. Ia menyanyikan nada sebuah
lagu Korea yang biasa Rio nyanyikan buatnya, La La La oleh Seven. Jingga asik
berdendang sambil berjalan.
Hyeon Joo berhenti. “Kau berisik sekali.
Mengganggu!” omel Hyeon Joo.
Jingga berhenti terkejut. “Ini kan jauh, kenapa
masih bisa mendengarnya?”
Hyeon Joo berbalik dengan kesal dan kembali
berjalan.
Jingga ikut berjalan. Ia lalu menendang
sembarang benda dan batu yang ada di hadapannya. Hyeon Joo kembali merasa
terusik dengan kegaduhan yang dibuat Jingga. Suara-suara kaleng terpelanting,
botol plastik yang diinjak atau suara batu yang berbenturan.
Hyeon Joo berhenti lagi. Ia melihat Jingga
dengan penuh emosi. “Kalau kau berisik lagi aku akan melemparmu ke tempat
sampah dan membuatmu bungkam.”
“Ng?” Jingga bingung dan takut. “Kau galak
sekali. Hyeon Joo Si Artis ternyata seorang pemarah.”
“Berhenti menyebutku Hyeon Joo Si Artis!” Hyeon
Joo berteriak.
“Kenapa?” Jingga ketakutan. “Kau memang artis. Kau
drummer Inoe Band. Cyril…!”
“Diam atau aku akan benar-benar membuangmu ke
tempat sampah!”
Jingga diam ketakutan. Hyeon Joo berbalik dan
pergi.
“Isz…baiklah, aku tidak akan memanggilmu Hyeon
Joo Si Artis. Tapi Hyeon Joo Si Pemarah. Kau menakutkan seperti pohon beringin.
Dingin, kaku, aneh dan menyeramkan!”
Jingga kembali berjalan sedikit menjauh dari Hyeon
Joo. Di persimpangan jalan, mereka baru berpisah. Jingga mengambil arah sebelah
kanan untuk ke pemakaman dan Hyeon Joo sebelah kiri. Setelah cukup jauh, Hyeon
Joo menoleh ke belakang. Jingga sudah tidak ada. Berarti Hyeon Joo sudah salah
paham.
Jingga sampai di makam ibunya. Ia menyiram air,
menebar bunga lalu berdoa untuk ibunya.
“Ibu, aku akan ke pabrik menunggu Hyeon Joo
lagi. Kalau aku bertemu dia, akan kukembalikan ini sesuai pesanmu. Aku pergi
dulu. Aku sayang Ibu.” Jingga memegang sebuah kantung berwarna merah.
Jingga pergi ke pabrik Joo Inhyeong. Di hari
minggu, pabrik tutup. Meski sedikit tidak mungkin bertemu Hyeon Joo temannya, Jingga
akan tetap menunggu. Mungkin saja ada kabar tentang Hyeon Joo dari Security di
sana.
Jingga tiba di pabrik. Security yang bosan
melihat Jingga mengomel dan menyuruh Jingga pulang.
“Tidak bisa. Aku harus menunggunya. Ada sesuatu
yang harus kukembalikan padanya. Itu pesan terakhir ibuku.” Kata Jingga.
“Ahk…kau tidak mungkin berteman dengan anak
pemilik pabrik ini. Kau membual.” Omel Security yang bernama Arif.
“Sungguh, dia temanku.” Jingga ngotot. “Eh, Pak
Security! Apa kau dapat kabar soal Hyeon Joo?”
Security Arif tampak tidak suka. Ia bosan
menjelaskan pada Jingga bahwa Hyeon Joo dan keluarganya tidak pernah kembali
sejak tujuh belas tahun lalu.
“Beri tahu aku, nanti kutraktir kau minum
kopi.” Jingga merayu.
“Ahk, gadis gila. Sudah sana pergi. Kau
menggangguku saja!” Security Arif berusaha mengusir Jingga.
“Pak Security, kumohon. Ada yang harus
kukembalikan padanya!” Jingga meremas kantung merah yang dibawanya.
“Berikan itu padaku! Kalau dia datang akan
kusampaikan padanya!” Security Arif merebut benda itu.
“Oh!” Jingga merebutnya kembali. “Pak Security,
aku harus memberikannya langsung.”
Hyeon Joo memperhatikan keributan Jingga dan Security
Arif dari dalam pabrik. Manager Rudi mendekati. Ia heran melihat Hyeon Joo
serius melihat sesuatu. Manager Rudi mengikuti pandangan Hyeon Joo. Ia lalu
tersenyum.
“Hah…gadis itu lagi!” keluh Manager Rudi.
Hyeon Joo sedikit terkejut melihat Manager Rudi.
“Kenapa dengannya?”
“Ho? Dia temanmu.” Manager Rudi menjelaskan.
“Kalian sangat akrab waktu kecil.”
Hyeon Joo bingung. Ia memandang serius kedua
mata Manager Rudi. “Aku?”
“Iya. Sejak kecelakaan itu,
dia terus mencarimu ke sini. Ibunya berhenti bekerja dan mereka pindah ke
Jakarta. Aku tidak tahu apa yang terjadi, beberapa bulan kemudian mereka kembali. Tapi
sayang, Nuria kembali sebagai jenazah.”
“Ha?” Hyeon Joo terkejut.
“Nuria adalah ibu gadis
itu. Namanya Jingga. Dia teman baikmu.”
Hyeon Joo melihat Jingga
yang masih berkelut dengan Security di luar pagar. Ia tidak merasa mengenal Jingga
sama sekali.
“Aku…” Hyeon Joo kembali
pada Manager Rudi. “Kecelakaan apa?”
“Ho?” Manager Rudi heran.
“Kau lupa?”
“Paman,” Hyeon Joo
tersenyum. “aku baru pertama kali ke Bogor. Sejak kecil aku di Korea. Aku
bahkan sekolah di Singapur sejak SMA hingga lulus universitas. Bagaimana aku
bisa mengenal Jingga dan aku mengalami kecelakaan?”
Manager Rudi terkejut.
“Apa? Apa kau punya saudara kembar?”
Hyeon Joo tertawa dan
berlalu. Manager Rudi kebingungan. Tidak mungkin ada dua Hyeon Joo. Tapi ia
juga yakin Hyeon Joo pernah ke pabrik dan bermain dengan Jingga. Bahkan ia
pernah sekali mengantar Hyeon Joo ke rumah gubuk Jingga.
Langit mulai gelap.
Mendung lalu gerimis. Jingga berteduh di bawah pohon di samping gerbang masuk
pabrik. Ia meremas kantung berwarna merah dengan kedua tangan di dadanya. Hyeon
Joo diam memperhatikan Jingga dari jendela ruangannya di lantai dua. Ia
teringat cerita Manager Rudi tadi. Hyeon Joo berusaha mengingat sesuatu tapi ia
tidak tahu. Semakin berusaha justru semakin bingung.
Hyeon Joo menelepon agar Manager
Rudi ke ruangannya. Manager Rudi datang. Hyeon Joo tidak menyadari kedatangan Manager
Rudi. Ia sedang memperhatikan Jingga dari jendelanya.
“Ehm!” Manager Rudi
terbatuk.
Hyeon Joo berbalik dan
mempersilahkan Manager Rudi duduk.
“Ada yang bisa kubantu,
Tuan?” Tanya Manager Rudi.
“Aku mau tahu, apa yang
kau ketahui tentang aku dan Jingga. Juga…kecelakaan itu.” Hyeon Joo mengambil
sebuah foto di meja kerjanya.
Foto yang diambil pada
Februari 1996. Di sana ada Hyeon Joo kecil, Eomma dan Appa. Hyeon Joo
menunjukkan foto itu pada Manager Rudi lalu menaruhnya di posisi semula.
“Benar. Itu bukti bahwa
kau pernah ke sini. Di hari ulang tahunmu. Tuan Kim membangun pabrik ini dan
meghadiahkannya untukmu. Tapi aku tidak tahu pastinya kapan kau bertemu Jingga.
Aku hanya tahu kalian sudah berteman baik. Kau sering ikut ayahmu ke pabrik,
lalu pergi entah kemana. Kau kembali sore hari sebelum ayahmu pulang lalu
pulang bersama.”
Hyeon Joo duduk di
kursinya. Ia mendengarkan cerita Manager Rudi.
“Kau pernah terlambat
kembali. Kami semua mencarimu, lalu Nuria mendengar Tuan Kim menyebut Jingga
adalah temanmu. Nuria bertanya apa Jingga yang dimaksud adalah anaknya. Tuan
Kim menceritakan cirri-cirinya dan benar, Jingga adalah anak gadis Nuria. Kami
bertiga mencarimu. Di perjalanan, kami bertemu Jingga dan membawanya padamu.”
“Kemana?”
“Di sebuah bukit tidak
jauh dari sini. Di bawah pohon akasia besar. Melewati sawah dan jembatan
sungai. Asma-mu sedang kambuh.”
Hyeon Joo tertegun.
Mungkinkah itu sebabnya Hyeon Joo penasaran dengan bukit itu?
“Setelah itu Nyonya Kim
melarangmu kembali ke pabrik. Seminggu kemudian, kau datang dengan sembunyi di
bagasi mobil ayahmu. Aku menemukanmu waktu itu. Kau minta aku merahasiakannya
dan memintaku mengantarmu ke rumah Jingga. Tidak kusangka, aku akan menyesali
hari itu.”
“Ng? Kenapa?”
“Itu terakhir kalinya aku
melihatmu.” Manager Rudi sedih. “Kau dan Jingga mengalami kecelakaan di pasar. Jingga
terluka di kepalanya dan kau koma. Aku tidak pernah tahu selanjutnya karena
satu bulan lebih setelah itu, Tuan Kim kembali ke Korea. Ia mempercayakan
pabrik ini padaku. Meski ayahmu orang Korea, tapi dia sangat percaya pada orang
pribumi.”
Hyeon Joo mengusap
wajahnya. Ia bingung kenapa ia tidak tahu dan tidak ingat apa-apa soal itu.
“Jingga selalu datang ke
desa ini setiap minggunya. Dia selalu jiarah ke makam ibunya lalu menunggumu di
sini selama tiga puluh menit.”
Hyeon Joo melihat jam
tangannya. “Baiklah. Terima kasih, kau bisa kembali ke ruanganmu.”
“Baik. Kalau kau butuh
apa-apa, panggil saja aku. Aku diberitahu kau akan datang untuk melihat pabrik,
jadi aku sempatkan datang meski sedang libur.”
Setelah Manager Rudi
pergi, Hyeon Joo kembali ke jendela. Ia melihat Jingga. Masih di tempat yang
sama. Hyeon Joo melihat jam lagi. Lima menit menjelang setengah jam waktu
tunggu Jingga.
Hyeon Joo lalu turun dan
pamit pada Manager Rudi. Hyeon Joo terlihat buru-buru. Jingga melirik jam
tangannya. Sudah setengah jam. Jingga mendesah lalu pamit pada Security.
“Pak Security, aku sudah
selesai. Terima kasih.” Kata Jingga.
“Yah, pergilah dan jangan
kembali.” Jawab Security Arif.
“Tidak. Aku akan kembali
minggu depan. Jangan merindukanku ya!”
“Dasar gadis aneh.”
Jingga tersenyum lalu
pergi.
Hyeon Joo baru tiba. Security
Arif terkejut.
“Tadi aku tidak melihatmu.
Aku Hyeon Joo. Kim Hyeon Joo. Berjagalah di pos dengan baik.” Hyeon Joo lalu
pergi setengah berlari.
Security Arif masih belum
selesai dengan terkejut. “Kim Hyeon Joo…siapa dia?”
Tuk! Seseorang memukul
kepalanya.
“Dia anak pemilik pabrik
ini. Dia baru pulang dari Korea.” Jawab temannya. “Kau baru tujuh tahun bekerja
di sini. Aku sudah tua bersama pabrik ini.”
“Ho??” Security Arif semakin
terkejut.
Hyeon Joo berjalan
mengikuti Jingga di belakang. Jingga tidak menyadari keberadaan Hyeon Joo
karena suasana masih gerimis. Hyeon Joo terus mengikuti sambil berusaha
mengingat sesuatu, tapi tidak ada yang diingatnya.
Hyeon Joo berhenti. Ia
sudah hampir basah kuyup karena gerimis. Hyeon Joo mengusap wajahnya sambil
melihat Jingga yang tidak berbalik sama sekali. Jingga justru menikmati gerimis
karena menutupi air matanya. Hari ini, untuk ke sekian kalinya, Jingga masih
belum bertemu Hyeon Joo.
“Ibu…haruskah aku menyerah?” batin Jingga.
“Hyeon Joo, aku merindukanmu. Sangat, sangat merindukanmu. Setengah mati. Aku
hampir gila atau sudah gila karena semua orang mengatakan aku sudah gila. Hyeon
Joo, cepatlah kembali sebelum aku lelah
dan menyerah.”
Di café. Jingga sedang
membersihkan meja bersama Rio. Mereka sudah tutup. Jinga bersin berkali-kali.
Ia terserang flu. Rio memandang sinis pada Jingga.
“Pasti kau kehujanan, jadi
kau kena flu.” Kata Rio.
Jingga tersenyum. “Ahk,
kau sangat mengerti aku.”
“He, ini bukan soal
mengerti atau bukan! Tapi kau selalu tidak enak dilihat setiap kali pulang dari
Bogor. Pasti kau kecewa lagi, kan?”
“Benarkah?” Jingga
merapikan rambut lurus sebahunya.
“Izs!” Rio mencibir.
Terdengar suara pintu
dibuka. Seseorang masuk. Mengenakan topi kupluk menutupi seluruh rambutnya dan
memakai kaca mata gelap.
“Hey, Bung. Kami sudah
tutup.” Kata Rio.
“Maaf. Aku tersesat. Aku
baru datang dari Jepang, sedang mencari teman lama. Aku lapar sekali. Hanya
tempat ini yang masih menyala. Bisakah aku membeli beberapa makanan?” kata
orang itu dengan logat aneh seperti turis Jepang.
Jingga diam memperhatikan.
“Tersesat?” kata Rio.
“Iya. Bisakah aku membeli
makanan di sini?”
Jingga tersenyum. “Bisa.
Tapi maaf, kami tidak bisa menyajikan makanan sesuai menu. Kami hanya bisa
menyiapkan makanan sesuai bahan yang tersisa saja.”
Orang itu membungkuk.
“Terima kasih.”
“Hey, kau kira café ini
punyamu?” Rio tidak setuju.
“Bukankah itu bagus? café
kita kedatangan turis asing. Mungkin saja nanti dia akan mengajak
teman-temannya ke sini juga dan café ini akan semakin terkenal.” Jingga pergi
ke dapur.
“Apa?” Rio heran.
Jingga menyuguhkan makanan
sederhana kepada pelanggan asing mereka.
“Silahkan. Café kami
sangat terkenal dengan rasanya yang enak. Itu sebabnya kami selalu tutup dengan
sisa bahan makanan yang sedikit. Habis semua!” Jingga tersenyum.
Orang itu mengangguk.
“Terima kasih.”
“Oh, iya. Kenapa kau bisa
tersesat? Padahal Jakarta meski rumit tapi banyak orang yang bisa kau tanya.
Tapi kau salah kalau mencari alamat malam hari. Silahkan mencoba besok pagi
saja.”
“Hm!” orang itu mengangguk
lagi. Ia mengambil sumpit dengan tangan kirinya dan memulai makan.
“Wah, ternyata benar.
Orang Jepang tidak membedakan tangan kiri atau tangan kanan. Tidak ada tangan
baik atau tidak untuk makan.” Oceh Jingga mulai beranjak ke dapur.
“Apa yang bagus dengan
itu? Menjijikan.” Komentar Rio. “Dia terlihat aneh.”
“Ng?” Jingga ikut
memperhatikan. “Aneh apanya? Dia kan turis asing.”
Rio mendekati
pelanggannya. “Boleh aku duduk di sini?” Rio duduk di kursi depan pelanggannya.
“Oh. Iya. Iya.” Orang
asing itu mengangguk lagi.
Jingga menghampiri Rio.
“Bukankah dia kasihan? Tersesat malam-malam dan kelaparan.”
“Dia kan mencari temannya,
masak dia tidak tahu alamatnya.” Cibir Rio. “Hey, Bung. Apa kau punya
alamatnya? Tunjukkan padaku biar kuberi tahu dimana?”
“Ho?” orang itu sibuk
mencari. Ia kebingungan.
“Apa kau kehilangan
alamatnya?” Jingga ikut cemas.
“Sepertinya aku kehilangan
alamatnya.”
“Oh…kacau sekali.” Jingga
mengeluh.
Rio memandangi keduanya
dengan aneh. Orang Jepang itu orang asing dan baru bertemu Jingga beberapa
menit lalu, kenapa mereka jadi terlihat akrab?
“Apa kau belum pernah ke
rumahnya sebelumnya?” selidik Jingga.
“I-iya. Dulu dia tinggal
di Bogor. Waktu aku ke sana, dia sudah pindah ke Jakarta. Seseorang
memberitahuku. Tapi aku kehilangan itu.”
“Ooh..” Jingga ikut sedih.
“Bogor-nya dimana? Aku juga pernah tinggal di sana. Aku juga kemudian pindah ke
Jakarta. Aku…juga kehilangan teman baikku.”
“Ah, jangan lagi!” Rio
berdiri. “Jangan bahas orang itu lagi.”
“Kenapa? Dia kan temanku.
Kau juga temanku, kalau aku bertemu Hyeon Joo, aku juga akan menceritakan
dirimu padanya.” Jingga ikut berdiri.
“Hyeon Joo, Hyeon Joo, Hyeon
Joo!” Rio kesal. “Apa kau sebodoh itu? Dia tidak akan pernah kembali. Dia
mungkin tidak ingat padamu lagi. Kau selalu pergi ke sana menunggunya setiap
minggu dan pulang dengan terlihat murung. Itu membuatku kesal.”
“Kalau kau hilang, aku
juga akan menunggumu.”
“Tapi aku tidak akan
membuatmu menderita. Aku akan cepat pulang dan tidak akan melupakanmu.”
Orang Jepang itu bingung
melihat Rio dan Jingga bertengkar.
“Mungkin saja Hyeon Joo
tidak bermaksud begitu. Dia orang baik. Dia tidak segalak dirimu.”
“Nah, kan? Mulai lagi?”
“Kau seorang pemarah yang aneh, kalau kau terus menerus
marah dan mengesalkan begitu kau tidak akan punya teman dan tidak akan bahagia.
Kalau kau marah, wajahmu mirip pohon beringin. Bukannya aku penakut, tapi kau
memang menakutkan. Seperti pohon beringin yang dingin, kaku, aneh dan seram.”
“Beringin lagi. Beringin lagi. Apa tidak ada yang
lain?” Rio melipat tangan, kesal.
“Hyeon Joo bilang orang menakutkan memang seperti
itu.”
“Hyeon Joo lagi. Kenapa Hyeon Joo terus? Apa yang
sudah dilakukannya sampai kau tidak bisa sehari saja tidak menyebut namanya?”
Jingga mendadak murung. Ia terlihat sedih.
“Kau hanya mengenalnya tidak lebih dari setahun. Aku
menemanimu selama tujuh belas tahun. Itu tidak adil bagiku.” Rio mencondongkan
tubuhnya pada Jingga. “Atau jangan-jangan…kau menyukainya, ya?”
“Apa?” Jingga terbelalak. “Dia baik. Dia tidak galak
sepertimu. Dia tidak malu berteman denganku. Apa alasan aku tidak menyukainya?”
“Uhuk!” pelanggan terbatuk.
“Tidak. Kau pasti menyukainya bukan sebagai teman.
Tapi sebagai seorang perempuan.” Rio mengabaikan pelanggannya.
“Aku memang perempuan. Kenapa?”
“Oh, jadi itu sebabnya kau selalu menolakku? Kau
menyukainya, kan?”
Jingga diam terbata. Ia seperti diadili. Matanya mulai
memerah.
“Ayo mengaku!”
“Ehm!” pelanggan berdiri. “Aku sudah selesai.”
Rio menoleh. Ia mengadahkan tangan. “Seratus ribu.”
Pelanggan menaruh selembar uang seratus ribu di meja.
Ia berjalan mendekati Jingga dan Rio.
“Terima kasih. Kalian berdua sangat baik.” Pelanggan membungkuk.
Jingga tiba-tiba menitikkan air mata. Sikap pelanggan
itu justru memaksa air matanya tumpah. Orang itu mengingatkannya pada Hyeon Joo.
Hyeon Joo juga pernah membungkuk di depan Jingga dan ibunya sambil mengucapkan
kalimat yang sama seperti pelanggan itu.
Jingga membuka apronnya lalu pergi meninggalkan Rio
dan pelanggan.
“Apa-apaan dia?” oceh Rio. “Kalau aku tidak
menyukainya sudah kupecat dia dari dulu.”
Jingga berjalan cepat sambil menuangkan emosinya. “Benar, Rio. Aku sangat bodoh menangisi Hyeon Joo yang belum tentu ingat padaku. Tapi bisakah sekitarku tidak membuat
aku teringat padanya? Bisakah?”
Orang yang mengaku turis dari Jepang itu keluar. Ia
masuk ke mobil dan membuka topi serta kacamatanya. Ternyata Hyeon Joo. Ia
memijat-mijat keningnya, frustasi. Hyeon Joo datang untuk memastikan apa ia
bisa mengingat Jingga atau tidak. Ternyata tidak. Hyeon Joo bahkan mengurutkan
beberapa kejadian setiap tahunnya. Semuanya berhubungan dan lengkap. Tidak ada
yang terputus dan ia mengingatnya dengan baik. Lalu di bagian mana ia bisa
bertemu Jingga?
Hyeon Joo tiba di rumahnya yang di Jakarta. Hyeon Joo
mondar-mandir memandangi fotonya ketika di pabrik tujuh belas tahun lalu. Hyeon
Joo lelah tapi tetap tidak berhasil mengingat apa pun. Bagaimana bisa ia bertemu
seseorang yang tidak bisa ia ingat sama sekali. Manager Rudi menceritakan
banyak hal tentang Hyeon Joo dan Jingga. Jingga juga menceritakan masa kecilnya
bersama Hyeon Joo. Tapi bayangan mereka tidak pernah ada di pikiran Hyeon Joo.
Semakin dipikirkan, Hyeon Joo semakin bingung dan penasaran.
Jingga sedang melamun di kamarnya. memandangi kantung
merah yang selalu dibawanya. Kantung yang membuatnya harus menunggu Hyeon Joo
untuk memberikan amanah terakhir ibunya itu.
Rio mengirim pesan pada Jingga.
“Jingga,
maafkan aku. Jangan marah. Kalau kau marah, kau seperti pohon beringin.”
“Kumohon
jangan mogok kerja atau berhenti. Aku tidak bisa hidup tanpamu sebagai
karyawanku. Kalau kau masuk, akan kuberi bonus yang besar. Besok, masuk
yah…”
“Pohon beringin…” gumam Jingga.
Hyeon Joo tinggal di Bogor, tidak jauh dari pabrik Joo
Inhyeong. Hyeon Joo mulai sibuk bekerja. Perusahaannya kebanjiran pesanan untuk
valentine yang masih empat bulan lagi. Hyeon Joo bahkan terpaksa lembur di hari
sabtu hingga larut malam. Hyeon Joo ketiduran di ruangannya hingga pagi.
Hyeon Joo terbangun. Ia terkejut melihat jam di
tangannya sudah hampir jam delapan pagi. Hyeon Joo mengucek matanya, merapikan
berkas di mejanya dan hendak turun. Hyeon Joo berhenti sejenak. Ia ingat ini
hari minggu. Hyeon Joo melirik jendela dan mendekatinya.
“Kau lagi??” omel Security Arif pada Jingga.
“Iya, Pak. Apa ada kabar soal Hyeon Joo?” Jingga
cengengesan.
“Ssst!” Security Arif kelihatan panik sambil menutup
mulut Jingga.
Jingga menghalau tangannya. “Bau, Pak!”
“Jaga bicaramu. Di sini tidak ada yang berani
memanggil dia dengan nama itu.”
“Apa? Aku biasa memanggilnya begitu sejak dulu. Lalu
kenapa?”
“Dia itu bos di sini. Dia anak pemilik pabrik ini.”
“Oya?” Jingga bingung. “Aku tidak tahu. Kupikir orang
tuanya bekerja di pabrik ini juga.”
“Argh, dasar penipu. Kau bilang kau sangat
mengenalnya, sekarang kau tidak tahu dia itu seorang pangeran!”
“Pangeran? Dia orang biasa. Dia juga tidak memakai
mahkota.”
Security Arif memukul kepala Jingga dengan tongkatnya.
Jingga mengaduh walau tidak begitu sakit.
“Sudah sana pergi! Aku tahu motif perempuan-perempuan
licik sepertimu.”
“Apa? Aku tidak mengerti maksudmu, Pak. Aku hanya
ingin tahu, apa dia sudah kembali atau bagaimana?”
Security Arif mendorong Jingga pergi. Jingga berusaha
keras bertahan. Terjadi aksi saling dorong diantara keduanya, meski akhirnya Jingga
menyerah. Jingga berdiri di pohon. Ia menunggu Hyeon Joo selama tiga puluh
menit lagi.
Dua puluh lima menit sudah Jingga menunggu. Ia melirik
jam tangannya dan mengeluh. Hyeon Joo juga melirik jam tangannya. Hyeon Joo
lalu bergegas keluar dan turun. Hyeon Joo tiba di bawah. Ia baru akan masuk ke
mobil lalu berhenti. Hyeon Joo berbalik. Ia pergi menyusul Jingga.
“Se-selamat pagi, Tuan Kim Hyeon Joo…” sapa Security Arif
sedikit membungkuk.
Hyeon Joo berlalu sambil setengah berlari. Security Arif
terkejut ia diacuhkan oleh Hyeon Joo.
Hyeon Joo mengikuti Jingga. Ia berjalan kaki dan
memperhatikan Jingga dari jauh. Jingga berjalan tanpa menoleh.
Seseorang lewat dengan sepeda. Orang itu menyapa Jingga
dan Jingga membalasnya. Jingga mengiringi kepergian orang yang menyapanya
dengan senyum dan sedikit berputar. Jingga melihat seseorang. Sepertinya ia
kenal. Jingga berbalik dan memastikan orang itu.
Hyeon Joo tertangkap basah. Ia membuang muka
berpura-pura sibuk. Jingga semakin memperhatikan.
“Ah! Hyeon Joo Si Artis!” Jingga terperanjat
mengenali. “Oh, bukan! Hyeon Joo Si Pemarah!”
Hyeon Joo terkejut ia dikenali. Hyeon Joo salah
tingkah. Jingga kembali berjalan mengacuhkan Hyeon Joo. Hyeon Joo kembali
berjalan mengikuti. Beberapa langkah kemudian, Jingga berhenti. Ia berbalik dan
melihat Hyeon Joo masih di belakangnya. Jingga curiga dan ia nekat menghampiri Hyeon
Joo. Hyeon Joo bersikap biasa saja.
“Kau mengikutiku?” Tanya Jingga sesampainya.
“Oh? Aku?” Hyeon Joo berpura-pura tidak tahu. “Tidak.
Mobilku mogok. Aku terpaksa jalan kaki. Memangnya ini jalan nenek moyangmu?
Siapa pun bisa berjalan di sini, kan?”
Jingga tidak merespon. Ia berbalik dan pergi. Hyeon
Joo mengikuti. Diperhatikannya Jingga lekat-lekat mencoba mengingat tapi tetap
saja tidak ingat.
Jingga sampai di jalan besar. Ia naik angkutan umum
dan pergi. Hyeon Joo berhenti memperhatikan Jingga hingga menghilang. Hyeon Joo
mengambil ponselnya.
“Tolong antar mobilku ke sini. Aku di jalan besar. Tidak
bisa pulang tanpa itu. Cepat sedikit.” Hyeon Joo menutup teleponnya dan
memperhatikan jalanan dengan tatapan bingung.
Bersambung ke Chapter 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar