18 Desember 2014

Korean Pine Love - Chapter 4



Chapter 4
Hyeon Joo Si Pemarah




Lanjutan Dari Chapter 3

Bogor-Indonesia, 2013.
Setiap hari minggu, Jingga pergi ke makam ibunya di Bogor untuk berjiarah. Tidak jauh dari desa tempat mereka tinggal dulu. Jingga juga datang ke pabrik Joo Inhyeong dan menunggu Hyeon Joo di sana selama tiga puluh menit setiap minggu.
Tempat pertama yang dikunjunginya adalah yang terdekat. Bukit dengan pohon akasia. Kemudian memotong jalan melewati sawah dan sungai, baru ke pemakaman warga. Tujuan terkhirnya adalah Joo Inhyeong.
Sebuah mobil melintas dan tiba-tiba berhenti.
“Oh, ya ampun…” seseorang menggerutu. “Jangan bilang ini mogok?”
Ia berusaha menyalakan mobilnya tapi tidak bereaksi sesuai harapan. Akhirnya ia turun. Menghela napas kesal dan memandang berkeliling. Tidak ada kendaraan lewat. Pandangannya tertuju pada sesuatu. Sebuah bukit tidak jauh dari posisinya berdiri. Cukup lama ia berdiri melihat bukit itu. Ia kemudian mengunci mobil lalu pergi ke bukit untuk memuaskan penasarannya.
“Oh! Ternyata aku berjalan terlau jauh!” orang itu terkejut melihat ke belakang. “Belum seminggu aku di Bogor. Bagaimana kalau aku tersesat?”
Sepi. Hanya suara kicau burung, hembusan lembut angin dan suara semak-semak bergoyang ditiup angin.
“Aku, Kim Hyeon Joo. Seorang coboy, dan tidak takut tersesat.” Ia tersenyum dan melanjutkan perjalanan.
Hyeon Joo tiba di sebuah pohon akasia besar yang terlihat lebih rapi diantara pohon besar lainnya. Terlihat nyaman untuk sekedar melepas lelah. Hyeon Joo kembali memandang berkeliling. Sebuah pohon ceri liar tidak jauh dari posisinya.
“Apa itu bisa dimakan?” Hyeon Joo memiringkan kepalanya. Ia duduk di akar pohon akasia. Menarik napas dalam-dalam dan menikmati sejuknya udara di bawah pohon.
Hyeon Joo memejamkan mata sambil duduk bersila. Ia menengadah menikmati belaian angin ke lehernya yang jenjang.
“Sebenarnya pohon tidak tumbuh dari bawah ke atas, tapi lebih banyak dari atas ke bawah.” Hyeon Joo melafalkan kalimat yang ia sendiri tidak tahu darimana asal kata-kata itu.
Hyeon Joo terbawa suasana. Ia seperti sedang bermimpi mendengar suara-suara yang lucu.
Pohon pinus adalah 'pohon cinta'. Orang-orang di Korea mengambil pohon pinus sebagai filosofi. Karena melambangkan cinta yang kokoh, lurus, dan tidak pernah berakhir.
“Wah…Pasti pohon itu bagus. Seperti apa pohon pinus itu?”
“Mwo? Kau belum pernah melihat pohon pinus?”
Hyeon Joo tertawa dengan mata terpejam. Ternyata mimpi itu menggelikan, bahwa ada seseorang yang belum pernah melihat pohon pinus. Padahal pohon pinus bukan tanaman langka seperti Raflesia Arnoldi.
Seseorang datang. Ia melihat aneh pada Hyeon Joo yang duduk terpejam sambil tertawa sendirian. Seperti seorang dukun yang menertawakan mantranya sendiri.
Hyeon Joo membuka mata dan masih sesekali tertawa. Ia terkejut dan berhenti tertawa melihat ada orang lain di depannya. Beberapa detik mereka diam berpandangan.
Hyeon Joo berdiri. Ia baru akan pergi. Orang itu terus memperhatikannya lekat-lekat.
“Oh! Hyeon Joo!” teriaknya girang.
Hyeon Joo berhenti. Ia melihat dengan bingung.
“Ah…benar! Kau Hyeon Joo Si Artis itu! Aku Jingga!”
Hyeon Joo mundur karena Jingga agresif mendekat.
“Hyeon Joo! sejak kapan kau di sini?” Jingga terlihat gembira. “Ahk…aku hampir tidak mengenalimu. Dulu kau berambut sedikit gondrong seperti boyband korea. Sekarang kau rapi sekali. Seperti executive muda.”
Hyeon Joo tidak menjawab, ia acuh dan pergi.
“Eh, Hyeon Joo!” Jingga menyusul. “Kau lupa aku, ya? Kita pernah bertemu dua tahun lalu di café temanku. Waktu itu kau sedang syuting video klip untuk single ketiga grup band-mu, Inoe!”
“Oya? Lalu kenapa?” Hyeon Joo sinis menjawab dan pergi.
“Isz, kau galak sekali.” Jingga mendesis. “Eh? Tapi benar juga, bisa saja dia tidak ingat aku. Pertemuan waktu itu kan kami tidak saling menyapa dan menyebutkan nama.”
Hyeon Joo berjalan tanpa melihat ke belakang. Jingga berbalik dan melihat Hyeon Joo pergi.
“Aku nyaris tidak mengenalinya. Dia sekarang terlihat jauh lebih baik. Tidak gondrong dan seasal dulu.”
Jingga menggoreskan sebuah garis di batang pohon pinus dengan sebuah kunci. Ia lalu tersenyum. Ada banyak goresan di sana. Setiap goresan kelima, dibuat miring menandai sudah lima garis.
“Hyeon Joo! Aku datang lagi. Ini sudah yang ke…” Jingga menghitung goresan itu. “Wah…terlalu banyak. Mungkin sudah hampir seribu.”
Jingga memandang berkeliling sebelum akhirnya pergi. Ia melewati sawah dengan gembira. Ia menyapa beberapa orang yang sedang menuai padi. Jingga melewati jembatan yang di bawahnya sungai. Dilihatnya di sana, banyak anak kecil bermain di sana. Melompat dari batu yang tinggi lalu menceburkan diri ke sungai. Jingga tersenyum lalu pergi lagi. Jingga kembali berjalan. Tiba-tiba Jingga melihat Hyeon Joo di depannya.
“Kenapa orang itu ada di sini?” Jingga terus berjalan. Semakin dijalani, semakin membingungkan karena Hyeon Joo juga berjalan di jalan yang sama.
Hyeon Joo memperlambat jalannya. Sepertinya ia merasa diikuti seseorang. Jingga ikut berhenti menunggu apa yang akan dilakukan Hyeon Joo. Hyeon Joo kembali berjalan. Jingga juga berjalan. Hyeon Joo tiba-tiba mempercepat langkahnya dan berlari. Jingga terkejut.
“Ho? Kenapa dia berlari?” Jingga celingukan dan ia memutuskan untuk berlari juga.
Mereka bertemu lagi. Hyeon Joo berhenti dan berbalik. Jingga masih berlari terengah-engah. Jingga terkejut melihat Hyeon Joo berdiri melihatnya. Jingga berhenti dan berjalan perlahan sambil sedikit mengawasi Hyeon Joo.
“Kenapa kau mengikutiku?” Tanya Hyeon Joo dengan galak.
“Apa?” Jingga justru bingung. “Aku tidak mengikutimu. Aku memang akan melalui jalan ini untuk ke makam ibuku. Siapa yang mengikutimu. Memangnya hanya kau saja yang boleh memakai jalan ini.”
Hyeon Joo memandang sinis. Ia menarik napas lalu pergi. Jingga mengikuti di belakang.
Jingga mulai bosan. Ia menyanyikan nada sebuah lagu Korea yang biasa Rio nyanyikan buatnya, La La La oleh Seven. Jingga asik berdendang sambil berjalan.
Hyeon Joo berhenti. “Kau berisik sekali. Mengganggu!” omel Hyeon Joo.
Jingga berhenti terkejut. “Ini kan jauh, kenapa masih bisa mendengarnya?”
Hyeon Joo berbalik dengan kesal dan kembali berjalan.
Jingga ikut berjalan. Ia lalu menendang sembarang benda dan batu yang ada di hadapannya. Hyeon Joo kembali merasa terusik dengan kegaduhan yang dibuat Jingga. Suara-suara kaleng terpelanting, botol plastik yang diinjak atau suara batu yang berbenturan.
Hyeon Joo berhenti lagi. Ia melihat Jingga dengan penuh emosi. “Kalau kau berisik lagi aku akan melemparmu ke tempat sampah dan membuatmu bungkam.”
“Ng?” Jingga bingung dan takut. “Kau galak sekali. Hyeon Joo Si Artis ternyata seorang pemarah.”
“Berhenti menyebutku Hyeon Joo Si Artis!” Hyeon Joo berteriak.
“Kenapa?” Jingga ketakutan. “Kau memang artis. Kau drummer Inoe Band. Cyril…!”
“Diam atau aku akan benar-benar membuangmu ke tempat sampah!”
Jingga diam ketakutan. Hyeon Joo berbalik dan pergi.
“Isz…baiklah, aku tidak akan memanggilmu Hyeon Joo Si Artis. Tapi Hyeon Joo Si Pemarah. Kau menakutkan seperti pohon beringin. Dingin, kaku, aneh dan menyeramkan!”
Jingga kembali berjalan sedikit menjauh dari Hyeon Joo. Di persimpangan jalan, mereka baru berpisah. Jingga mengambil arah sebelah kanan untuk ke pemakaman dan Hyeon Joo sebelah kiri. Setelah cukup jauh, Hyeon Joo menoleh ke belakang. Jingga sudah tidak ada. Berarti Hyeon Joo sudah salah paham.
Jingga sampai di makam ibunya. Ia menyiram air, menebar bunga lalu berdoa untuk ibunya.
“Ibu, aku akan ke pabrik menunggu Hyeon Joo lagi. Kalau aku bertemu dia, akan kukembalikan ini sesuai pesanmu. Aku pergi dulu. Aku sayang Ibu.” Jingga memegang sebuah kantung berwarna merah.
Jingga pergi ke pabrik Joo Inhyeong. Di hari minggu, pabrik tutup. Meski sedikit tidak mungkin bertemu Hyeon Joo temannya, Jingga akan tetap menunggu. Mungkin saja ada kabar tentang Hyeon Joo dari Security di sana.
Jingga tiba di pabrik. Security yang bosan melihat Jingga mengomel dan menyuruh Jingga pulang.
“Tidak bisa. Aku harus menunggunya. Ada sesuatu yang harus kukembalikan padanya. Itu pesan terakhir ibuku.” Kata Jingga.
“Ahk…kau tidak mungkin berteman dengan anak pemilik pabrik ini. Kau membual.” Omel Security yang bernama Arif.
“Sungguh, dia temanku.” Jingga ngotot. “Eh, Pak Security! Apa kau dapat kabar soal Hyeon Joo?”
Security Arif tampak tidak suka. Ia bosan menjelaskan pada Jingga bahwa Hyeon Joo dan keluarganya tidak pernah kembali sejak tujuh belas tahun lalu.
“Beri tahu aku, nanti kutraktir kau minum kopi.” Jingga merayu.
“Ahk, gadis gila. Sudah sana pergi. Kau menggangguku saja!” Security Arif berusaha mengusir Jingga.
“Pak Security, kumohon. Ada yang harus kukembalikan padanya!” Jingga meremas kantung merah yang dibawanya.
“Berikan itu padaku! Kalau dia datang akan kusampaikan padanya!” Security Arif merebut benda itu.
“Oh!” Jingga merebutnya kembali. “Pak Security, aku harus memberikannya langsung.”
Hyeon Joo memperhatikan keributan Jingga dan Security Arif dari dalam pabrik. Manager Rudi mendekati. Ia heran melihat Hyeon Joo serius melihat sesuatu. Manager Rudi mengikuti pandangan Hyeon Joo. Ia lalu tersenyum.
“Hah…gadis itu lagi!” keluh Manager Rudi.
Hyeon Joo sedikit terkejut melihat Manager Rudi. “Kenapa dengannya?”
“Ho? Dia temanmu.” Manager Rudi menjelaskan. “Kalian sangat akrab waktu kecil.”
Hyeon Joo bingung. Ia memandang serius kedua mata Manager Rudi. “Aku?”
“Iya. Sejak kecelakaan itu, dia terus mencarimu ke sini. Ibunya berhenti bekerja dan mereka pindah ke Jakarta. Aku tidak tahu apa yang terjadi,  beberapa bulan kemudian mereka kembali. Tapi sayang, Nuria kembali sebagai jenazah.”
“Ha?” Hyeon Joo terkejut.
“Nuria adalah ibu gadis itu. Namanya Jingga. Dia teman baikmu.”
Hyeon Joo melihat Jingga yang masih berkelut dengan Security di luar pagar. Ia tidak merasa mengenal Jingga sama sekali.
“Aku…” Hyeon Joo kembali pada Manager Rudi. “Kecelakaan apa?”
“Ho?” Manager Rudi heran. “Kau lupa?”
“Paman,” Hyeon Joo tersenyum. “aku baru pertama kali ke Bogor. Sejak kecil aku di Korea. Aku bahkan sekolah di Singapur sejak SMA hingga lulus universitas. Bagaimana aku bisa mengenal Jingga dan aku mengalami kecelakaan?”
Manager Rudi terkejut. “Apa? Apa kau punya saudara kembar?”
Hyeon Joo tertawa dan berlalu. Manager Rudi kebingungan. Tidak mungkin ada dua Hyeon Joo. Tapi ia juga yakin Hyeon Joo pernah ke pabrik dan bermain dengan Jingga. Bahkan ia pernah sekali mengantar Hyeon Joo ke rumah gubuk Jingga.
Langit mulai gelap. Mendung lalu gerimis. Jingga berteduh di bawah pohon di samping gerbang masuk pabrik. Ia meremas kantung berwarna merah dengan kedua tangan di dadanya. Hyeon Joo diam memperhatikan Jingga dari jendela ruangannya di lantai dua. Ia teringat cerita Manager Rudi tadi. Hyeon Joo berusaha mengingat sesuatu tapi ia tidak tahu. Semakin berusaha justru semakin bingung.
Hyeon Joo menelepon agar Manager Rudi ke ruangannya. Manager Rudi datang. Hyeon Joo tidak menyadari kedatangan Manager Rudi. Ia sedang memperhatikan Jingga dari jendelanya.
“Ehm!” Manager Rudi terbatuk.
Hyeon Joo berbalik dan mempersilahkan Manager Rudi duduk.
“Ada yang bisa kubantu, Tuan?” Tanya Manager Rudi.
“Aku mau tahu, apa yang kau ketahui tentang aku dan Jingga. Juga…kecelakaan itu.” Hyeon Joo mengambil sebuah foto di meja kerjanya.
Foto yang diambil pada Februari 1996. Di sana ada Hyeon Joo kecil, Eomma dan Appa. Hyeon Joo menunjukkan foto itu pada Manager Rudi lalu menaruhnya di posisi semula.
“Benar. Itu bukti bahwa kau pernah ke sini. Di hari ulang tahunmu. Tuan Kim membangun pabrik ini dan meghadiahkannya untukmu. Tapi aku tidak tahu pastinya kapan kau bertemu Jingga. Aku hanya tahu kalian sudah berteman baik. Kau sering ikut ayahmu ke pabrik, lalu pergi entah kemana. Kau kembali sore hari sebelum ayahmu pulang lalu pulang bersama.”
Hyeon Joo duduk di kursinya. Ia mendengarkan cerita Manager Rudi.
“Kau pernah terlambat kembali. Kami semua mencarimu, lalu Nuria mendengar Tuan Kim menyebut Jingga adalah temanmu. Nuria bertanya apa Jingga yang dimaksud adalah anaknya. Tuan Kim menceritakan cirri-cirinya dan benar, Jingga adalah anak gadis Nuria. Kami bertiga mencarimu. Di perjalanan, kami bertemu Jingga dan membawanya padamu.”
“Kemana?”
“Di sebuah bukit tidak jauh dari sini. Di bawah pohon akasia besar. Melewati sawah dan jembatan sungai. Asma-mu sedang kambuh.”
Hyeon Joo tertegun. Mungkinkah itu sebabnya Hyeon Joo penasaran dengan bukit itu?
“Setelah itu Nyonya Kim melarangmu kembali ke pabrik. Seminggu kemudian, kau datang dengan sembunyi di bagasi mobil ayahmu. Aku menemukanmu waktu itu. Kau minta aku merahasiakannya dan memintaku mengantarmu ke rumah Jingga. Tidak kusangka, aku akan menyesali hari itu.”
“Ng? Kenapa?”
“Itu terakhir kalinya aku melihatmu.” Manager Rudi sedih. “Kau dan Jingga mengalami kecelakaan di pasar. Jingga terluka di kepalanya dan kau koma. Aku tidak pernah tahu selanjutnya karena satu bulan lebih setelah itu, Tuan Kim kembali ke Korea. Ia mempercayakan pabrik ini padaku. Meski ayahmu orang Korea, tapi dia sangat percaya pada orang pribumi.”
Hyeon Joo mengusap wajahnya. Ia bingung kenapa ia tidak tahu dan tidak ingat apa-apa soal itu.
“Jingga selalu datang ke desa ini setiap minggunya. Dia selalu jiarah ke makam ibunya lalu menunggumu di sini selama tiga puluh menit.”
Hyeon Joo melihat jam tangannya. “Baiklah. Terima kasih, kau bisa kembali ke ruanganmu.”
“Baik. Kalau kau butuh apa-apa, panggil saja aku. Aku diberitahu kau akan datang untuk melihat pabrik, jadi aku sempatkan datang meski sedang libur.”
Setelah Manager Rudi pergi, Hyeon Joo kembali ke jendela. Ia melihat Jingga. Masih di tempat yang sama. Hyeon Joo melihat jam lagi. Lima menit menjelang setengah jam waktu tunggu Jingga.
Hyeon Joo lalu turun dan pamit pada Manager Rudi. Hyeon Joo terlihat buru-buru. Jingga melirik jam tangannya. Sudah setengah jam. Jingga mendesah lalu pamit pada Security.
“Pak Security, aku sudah selesai. Terima kasih.” Kata Jingga.
“Yah, pergilah dan jangan kembali.” Jawab Security Arif.
“Tidak. Aku akan kembali minggu depan. Jangan merindukanku ya!”
“Dasar gadis aneh.”
Jingga tersenyum lalu pergi.
Hyeon Joo baru tiba. Security Arif terkejut.
“Tadi aku tidak melihatmu. Aku Hyeon Joo. Kim Hyeon Joo. Berjagalah di pos dengan baik.” Hyeon Joo lalu pergi setengah berlari.
Security Arif masih belum selesai dengan terkejut. “Kim Hyeon Joo…siapa dia?”
Tuk! Seseorang memukul kepalanya.
“Dia anak pemilik pabrik ini. Dia baru pulang dari Korea.” Jawab temannya. “Kau baru tujuh tahun bekerja di sini. Aku sudah tua bersama pabrik ini.”
“Ho??” Security Arif semakin terkejut.
Hyeon Joo berjalan mengikuti Jingga di belakang. Jingga tidak menyadari keberadaan Hyeon Joo karena suasana masih gerimis. Hyeon Joo terus mengikuti sambil berusaha mengingat sesuatu, tapi tidak ada yang diingatnya.
Hyeon Joo berhenti. Ia sudah hampir basah kuyup karena gerimis. Hyeon Joo mengusap wajahnya sambil melihat Jingga yang tidak berbalik sama sekali. Jingga justru menikmati gerimis karena menutupi air matanya. Hari ini, untuk ke sekian kalinya, Jingga masih belum bertemu Hyeon Joo.
“Ibu…haruskah aku menyerah?” batin Jingga. Hyeon Joo, aku merindukanmu. Sangat, sangat merindukanmu. Setengah mati. Aku hampir gila atau sudah gila karena semua orang mengatakan aku sudah gila. Hyeon Joo, cepatlah kembali sebelum aku lelah dan menyerah.”

Di café. Jingga sedang membersihkan meja bersama Rio. Mereka sudah tutup. Jinga bersin berkali-kali. Ia terserang flu. Rio memandang sinis pada Jingga.
“Pasti kau kehujanan, jadi kau kena flu.” Kata Rio.
Jingga tersenyum. “Ahk, kau sangat mengerti aku.”
“He, ini bukan soal mengerti atau bukan! Tapi kau selalu tidak enak dilihat setiap kali pulang dari Bogor. Pasti kau kecewa lagi, kan?”
“Benarkah?” Jingga merapikan rambut lurus sebahunya.
“Izs!” Rio mencibir.
Terdengar suara pintu dibuka. Seseorang masuk. Mengenakan topi kupluk menutupi seluruh rambutnya dan memakai kaca mata gelap.
“Hey, Bung. Kami sudah tutup.” Kata Rio.
“Maaf. Aku tersesat. Aku baru datang dari Jepang, sedang mencari teman lama. Aku lapar sekali. Hanya tempat ini yang masih menyala. Bisakah aku membeli beberapa makanan?” kata orang itu dengan logat aneh seperti turis Jepang.
Jingga diam memperhatikan.
“Tersesat?” kata Rio.
“Iya. Bisakah aku membeli makanan di sini?”
Jingga tersenyum. “Bisa. Tapi maaf, kami tidak bisa menyajikan makanan sesuai menu. Kami hanya bisa menyiapkan makanan sesuai bahan yang tersisa saja.”
Orang itu membungkuk. “Terima kasih.”
“Hey, kau kira café ini punyamu?” Rio tidak setuju.
“Bukankah itu bagus? café kita kedatangan turis asing. Mungkin saja nanti dia akan mengajak teman-temannya ke sini juga dan café ini akan semakin terkenal.” Jingga pergi ke dapur.
“Apa?” Rio heran.
Jingga menyuguhkan makanan sederhana kepada pelanggan asing mereka.
“Silahkan. Café kami sangat terkenal dengan rasanya yang enak. Itu sebabnya kami selalu tutup dengan sisa bahan makanan yang sedikit. Habis semua!” Jingga tersenyum.
Orang itu mengangguk. “Terima kasih.”
“Oh, iya. Kenapa kau bisa tersesat? Padahal Jakarta meski rumit tapi banyak orang yang bisa kau tanya. Tapi kau salah kalau mencari alamat malam hari. Silahkan mencoba besok pagi saja.”
“Hm!” orang itu mengangguk lagi. Ia mengambil sumpit dengan tangan kirinya dan memulai makan.
“Wah, ternyata benar. Orang Jepang tidak membedakan tangan kiri atau tangan kanan. Tidak ada tangan baik atau tidak untuk makan.” Oceh Jingga mulai beranjak ke dapur.
“Apa yang bagus dengan itu? Menjijikan.” Komentar Rio. “Dia terlihat aneh.”
“Ng?” Jingga ikut memperhatikan. “Aneh apanya? Dia kan turis asing.”
Rio mendekati pelanggannya. “Boleh aku duduk di sini?” Rio duduk di kursi depan pelanggannya.
“Oh. Iya. Iya.” Orang asing itu mengangguk lagi.
Jingga menghampiri Rio. “Bukankah dia kasihan? Tersesat malam-malam dan kelaparan.”
“Dia kan mencari temannya, masak dia tidak tahu alamatnya.” Cibir Rio. “Hey, Bung. Apa kau punya alamatnya? Tunjukkan padaku biar kuberi tahu dimana?”
“Ho?” orang itu sibuk mencari. Ia kebingungan.
“Apa kau kehilangan alamatnya?” Jingga ikut cemas.
“Sepertinya aku kehilangan alamatnya.”
“Oh…kacau sekali.” Jingga mengeluh.
Rio memandangi keduanya dengan aneh. Orang Jepang itu orang asing dan baru bertemu Jingga beberapa menit lalu, kenapa mereka jadi terlihat akrab?
“Apa kau belum pernah ke rumahnya sebelumnya?” selidik Jingga.
“I-iya. Dulu dia tinggal di Bogor. Waktu aku ke sana, dia sudah pindah ke Jakarta. Seseorang memberitahuku. Tapi aku kehilangan itu.”
“Ooh..” Jingga ikut sedih. “Bogor-nya dimana? Aku juga pernah tinggal di sana. Aku juga kemudian pindah ke Jakarta. Aku…juga kehilangan teman baikku.”
“Ah, jangan lagi!” Rio berdiri. “Jangan bahas orang itu lagi.”
“Kenapa? Dia kan temanku. Kau juga temanku, kalau aku bertemu Hyeon Joo, aku juga akan menceritakan dirimu padanya.” Jingga ikut berdiri.
“Hyeon Joo, Hyeon Joo, Hyeon Joo!” Rio kesal. “Apa kau sebodoh itu? Dia tidak akan pernah kembali. Dia mungkin tidak ingat padamu lagi. Kau selalu pergi ke sana menunggunya setiap minggu dan pulang dengan terlihat murung. Itu membuatku kesal.”
“Kalau kau hilang, aku juga akan menunggumu.”
“Tapi aku tidak akan membuatmu menderita. Aku akan cepat pulang dan tidak akan melupakanmu.”
Orang Jepang itu bingung melihat Rio dan Jingga bertengkar.
“Mungkin saja Hyeon Joo tidak bermaksud begitu. Dia orang baik. Dia tidak segalak dirimu.”
“Nah, kan? Mulai lagi?”
Kau seorang pemarah yang aneh, kalau kau terus menerus marah dan mengesalkan begitu kau tidak akan punya teman dan tidak akan bahagia. Kalau kau marah, wajahmu mirip pohon beringin. Bukannya aku penakut, tapi kau memang menakutkan. Seperti pohon beringin yang dingin, kaku, aneh dan seram.”
“Beringin lagi. Beringin lagi. Apa tidak ada yang lain?” Rio melipat tangan, kesal.
“Hyeon Joo bilang orang menakutkan memang seperti itu.”
“Hyeon Joo lagi. Kenapa Hyeon Joo terus? Apa yang sudah dilakukannya sampai kau tidak bisa sehari saja tidak menyebut namanya?”
Jingga mendadak murung. Ia terlihat sedih.
“Kau hanya mengenalnya tidak lebih dari setahun. Aku menemanimu selama tujuh belas tahun. Itu tidak adil bagiku.” Rio mencondongkan tubuhnya pada Jingga. “Atau jangan-jangan…kau menyukainya, ya?”
“Apa?” Jingga terbelalak. “Dia baik. Dia tidak galak sepertimu. Dia tidak malu berteman denganku. Apa alasan aku tidak menyukainya?”
“Uhuk!” pelanggan terbatuk.
“Tidak. Kau pasti menyukainya bukan sebagai teman. Tapi sebagai seorang perempuan.” Rio mengabaikan pelanggannya.
“Aku memang perempuan. Kenapa?”
“Oh, jadi itu sebabnya kau selalu menolakku? Kau menyukainya, kan?”
Jingga diam terbata. Ia seperti diadili. Matanya mulai memerah.
“Ayo mengaku!”
“Ehm!” pelanggan berdiri. “Aku sudah selesai.”
Rio menoleh. Ia mengadahkan tangan. “Seratus ribu.”
Pelanggan menaruh selembar uang seratus ribu di meja. Ia berjalan mendekati Jingga dan Rio.
“Terima kasih. Kalian berdua sangat baik.” Pelanggan membungkuk.
Jingga tiba-tiba menitikkan air mata. Sikap pelanggan itu justru memaksa air matanya tumpah. Orang itu mengingatkannya pada Hyeon Joo. Hyeon Joo juga pernah membungkuk di depan Jingga dan ibunya sambil mengucapkan kalimat yang sama seperti pelanggan itu.
Jingga membuka apronnya lalu pergi meninggalkan Rio dan pelanggan.
“Apa-apaan dia?” oceh Rio. “Kalau aku tidak menyukainya sudah kupecat dia dari dulu.”

Jingga berjalan cepat sambil menuangkan emosinya. “Benar, Rio. Aku sangat bodoh menangisi Hyeon Joo yang belum tentu ingat padaku. Tapi bisakah sekitarku tidak membuat aku teringat padanya? Bisakah?”
Orang yang mengaku turis dari Jepang itu keluar. Ia masuk ke mobil dan membuka topi serta kacamatanya. Ternyata Hyeon Joo. Ia memijat-mijat keningnya, frustasi. Hyeon Joo datang untuk memastikan apa ia bisa mengingat Jingga atau tidak. Ternyata tidak. Hyeon Joo bahkan mengurutkan beberapa kejadian setiap tahunnya. Semuanya berhubungan dan lengkap. Tidak ada yang terputus dan ia mengingatnya dengan baik. Lalu di bagian mana ia bisa bertemu Jingga?
Hyeon Joo tiba di rumahnya yang di Jakarta. Hyeon Joo mondar-mandir memandangi fotonya ketika di pabrik tujuh belas tahun lalu. Hyeon Joo lelah tapi tetap tidak berhasil mengingat apa pun. Bagaimana bisa ia bertemu seseorang yang tidak bisa ia ingat sama sekali. Manager Rudi menceritakan banyak hal tentang Hyeon Joo dan Jingga. Jingga juga menceritakan masa kecilnya bersama Hyeon Joo. Tapi bayangan mereka tidak pernah ada di pikiran Hyeon Joo. Semakin dipikirkan, Hyeon Joo semakin bingung dan penasaran.
Jingga sedang melamun di kamarnya. memandangi kantung merah yang selalu dibawanya. Kantung yang membuatnya harus menunggu Hyeon Joo untuk memberikan amanah terakhir ibunya itu.
Rio mengirim pesan pada Jingga.
“Jingga, maafkan aku. Jangan marah. Kalau kau marah, kau seperti pohon beringin.”
“Kumohon jangan mogok kerja atau berhenti. Aku tidak bisa hidup tanpamu sebagai karyawanku. Kalau kau masuk, akan kuberi bonus yang besar. Besok, masuk yah…”
“Pohon beringin…” gumam Jingga.

Hyeon Joo tinggal di Bogor, tidak jauh dari pabrik Joo Inhyeong. Hyeon Joo mulai sibuk bekerja. Perusahaannya kebanjiran pesanan untuk valentine yang masih empat bulan lagi. Hyeon Joo bahkan terpaksa lembur di hari sabtu hingga larut malam. Hyeon Joo ketiduran di ruangannya hingga pagi.
Hyeon Joo terbangun. Ia terkejut melihat jam di tangannya sudah hampir jam delapan pagi. Hyeon Joo mengucek matanya, merapikan berkas di mejanya dan hendak turun. Hyeon Joo berhenti sejenak. Ia ingat ini hari minggu. Hyeon Joo melirik jendela dan mendekatinya.
“Kau lagi??” omel Security Arif pada Jingga.
“Iya, Pak. Apa ada kabar soal Hyeon Joo?” Jingga cengengesan.
“Ssst!” Security Arif kelihatan panik sambil menutup mulut Jingga.
Jingga menghalau tangannya. “Bau, Pak!”
“Jaga bicaramu. Di sini tidak ada yang berani memanggil dia dengan nama itu.”
“Apa? Aku biasa memanggilnya begitu sejak dulu. Lalu kenapa?”
“Dia itu bos di sini. Dia anak pemilik pabrik ini.”
“Oya?” Jingga bingung. “Aku tidak tahu. Kupikir orang tuanya bekerja di pabrik ini juga.”
“Argh, dasar penipu. Kau bilang kau sangat mengenalnya, sekarang kau tidak tahu dia itu seorang pangeran!”
“Pangeran? Dia orang biasa. Dia juga tidak memakai mahkota.”
Security Arif memukul kepala Jingga dengan tongkatnya. Jingga mengaduh walau tidak begitu sakit.
“Sudah sana pergi! Aku tahu motif perempuan-perempuan licik sepertimu.”
“Apa? Aku tidak mengerti maksudmu, Pak. Aku hanya ingin tahu, apa dia sudah kembali atau bagaimana?”
Security Arif mendorong Jingga pergi. Jingga berusaha keras bertahan. Terjadi aksi saling dorong diantara keduanya, meski akhirnya Jingga menyerah. Jingga berdiri di pohon. Ia menunggu Hyeon Joo selama tiga puluh menit lagi.

Dua puluh lima menit sudah Jingga menunggu. Ia melirik jam tangannya dan mengeluh. Hyeon Joo juga melirik jam tangannya. Hyeon Joo lalu bergegas keluar dan turun. Hyeon Joo tiba di bawah. Ia baru akan masuk ke mobil lalu berhenti. Hyeon Joo berbalik. Ia pergi menyusul Jingga.
“Se-selamat pagi, Tuan Kim Hyeon Joo…” sapa Security Arif sedikit membungkuk.
Hyeon Joo berlalu sambil setengah berlari. Security Arif terkejut ia diacuhkan oleh Hyeon Joo.
Hyeon Joo mengikuti Jingga. Ia berjalan kaki dan memperhatikan Jingga dari jauh. Jingga berjalan tanpa menoleh.
Seseorang lewat dengan sepeda. Orang itu menyapa Jingga dan Jingga membalasnya. Jingga mengiringi kepergian orang yang menyapanya dengan senyum dan sedikit berputar. Jingga melihat seseorang. Sepertinya ia kenal. Jingga berbalik dan memastikan orang itu.
Hyeon Joo tertangkap basah. Ia membuang muka berpura-pura sibuk. Jingga semakin memperhatikan.
“Ah! Hyeon Joo Si Artis!” Jingga terperanjat mengenali. “Oh, bukan! Hyeon Joo Si Pemarah!”
Hyeon Joo terkejut ia dikenali. Hyeon Joo salah tingkah. Jingga kembali berjalan mengacuhkan Hyeon Joo. Hyeon Joo kembali berjalan mengikuti. Beberapa langkah kemudian, Jingga berhenti. Ia berbalik dan melihat Hyeon Joo masih di belakangnya. Jingga curiga dan ia nekat menghampiri Hyeon Joo. Hyeon Joo bersikap biasa saja.
“Kau mengikutiku?” Tanya Jingga sesampainya.
“Oh? Aku?” Hyeon Joo berpura-pura tidak tahu. “Tidak. Mobilku mogok. Aku terpaksa jalan kaki. Memangnya ini jalan nenek moyangmu? Siapa pun bisa berjalan di sini, kan?”
Jingga tidak merespon. Ia berbalik dan pergi. Hyeon Joo mengikuti. Diperhatikannya Jingga lekat-lekat mencoba mengingat tapi tetap saja tidak ingat.
Jingga sampai di jalan besar. Ia naik angkutan umum dan pergi. Hyeon Joo berhenti memperhatikan Jingga hingga menghilang. Hyeon Joo mengambil ponselnya.
“Tolong antar mobilku ke sini. Aku di jalan besar. Tidak bisa pulang tanpa itu. Cepat sedikit.” Hyeon Joo menutup teleponnya dan memperhatikan jalanan dengan tatapan bingung.

 Bersambung ke Chapter 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya