18 Desember 2014

Korean Pine Love - Chapter 3



Chapter 3
Hyeon Joo Si Artis

Lanjutan Dari Chapter 2


Jakarta - Indonesia, 2011
“Jingga! Pesanan meja nomor sepuluh mana?” Rio berteriak di meja kasir.
Jingga keluar setengah berlari membawa nampan berisi makanan. “Tada! Aku cepat, kan?”
Rio menyentil kening Jingga. “Cepat jidatmu! Sudah sana antarkan. Pelangganku bisa mati kelaparan menunggumu!”
“Fhuss!” Jinga meniup poninya lalu pergi. “Silahkan…terima kasih sudah menunggu, maaf merepotkan…”
Rio melipat tangan memperhatikan Jingga yang ramah pada pelanggan. Sekelompok orang masuk. Memakai pakain serba rapi layaknya boyband asal Korea. Orang-orang menoleh lalu terkejut dan berhambur menghampiri.
“Inoe! Inoe!” teriak beberapa orang gadis antusias.
Rio dan Jingga heran melihat kejadian aneh itu. Jingga berjalan mundur mendekati Rio. Jingga menabrak seseorang. Ia terkejut dan berbalik.
Tepat di hadapannya, seseorang dengan tinggi sekitar 183 cm, berpakaian rapi, bersih dan harum. Hanya beberapa sentimeter jaraknya dengan Jingga. Jingga harus menengadah ke atas karena ia kalah tinggi.
“Kenapa?” orang itu menegur Jingga yang belum pulih dari terkejut.
Wajahnya. Pipinya. Bibirnya. Matanya. Hidungnya. Jingga mendadak berdebar tidak karuan.
“Hey, Bocah Centil, kemari!” Rio menarik Jingga.
“Hyeon Joo!” seseorang memanggil.
Jingga terkejut dan menoleh. Seorang wanita cantik, langsing dan tinggi. Ia mendekati orang yang ditabrak Jingga.
“Hyeon Joo, kau disini? Kukira kau bersama teman-temanmu. Aku khawatir kau dikerubungi begitu.”
“Hyeon Joo…” gumam Jingga sambil terkejut tidak percaya mendengar nama itu.
Hyeon Joo menghela napas. Ia terlihat tidak suka dan bosan. Hyeon Joo pergi dan mengambil tempat di pojok ruangan. Wanita itu menyusul.
“Hey, kau tidak dengar aku memanggilmu?” Rio memukul kepala Jingga dengan serbet.
“A-apa?” Jingga salah tingkah.
“Apa?” Rio mengulang dengan meledek. “Cepat ambil pesanan di dapur. Kenapa melamun di tengah jalan?”
“Oh. I-iya!” Jingga pergi.
“Hah..anak itu. Kalau orang lain, sudah kupecat kau. Sayang sekali karena aku menyukaimu.” Oceh Rio.
Group band INOE, sedang digandrungi para remaja. Group band bergenre rock ini sedang tenar-tenarnya. Mereka baru merilis dua single dan langsung booming. Mereka sedang syuting video klip untuk single ketiga mereka di kawasan pertokoan Jakarta Timur.
Di sela istirahat, mereka rehat di café milik Rio dimana Jingga juga bekerja di sana. Inoe terdiri dari Nael sebagai bassis, Aru sebagai vokalis, Joe sebagai gitaris dan Hyeon Joo sebagai drummer. Cyril Naysa adalah manager mereka. Mereka berlima adalah teman sekolah saat di SMA. Baru setahun kemunculan mereka, group band ini sudah menjadi idola di Indonesia.
Jingga mengantar pesanan Cyril untuk Inoe Band. Ia berhenti sejenak memperhatikan Hyeon Joo lekat-lekat. Nama Hyeon Joo bukan nama umum di Indonesia, tapi Jingga tidak yakin itu Hyeon Joo sahabatnya.
Jingga berjalan mendekati meja tempat Hyeon Joo dan kawan-kawan bersantai. Cyril duduk di sebelah Hyeon Joo. Hyeon Joo terlihat tidak suka dan sibuk memainkan stik drum-nya.
Prang! Nampan Jingga jatuh dan isinya berserakan.
“Ups! Ma-maaf!” seorang wartawan menabrak Jingga.
Jingga yang terkejut berubah jadi ingin marah. Seisi café memperhatikan Jingga dan wartawan itu. Rio keluar dari dapur. Ia tidak kalah terkejut melihatnya.
“Aku Sheila. Wartawan dari majalah Musik Top. Bisa kita wawancara sebentar?” Sheila si wartawan mengacuhkan Jingga dan langsung menyodorkan microfon pada Hyeon Joo.
Cyril terlihat tidak suka. Jingga menepuk bahu Sheila. Sheila menoleh.
“Kenapa?” Sheila merasa tidak suka.
Jingga menahan napas dan menunjuk-nujuk lantai tempat makanan tumpah.
“Itu salahmu. Kenapa sembarangan!” Sheila acuh lalu kembali menyodorkan microfon pada Hyeon Joo.
Jingga menepuk kembali bahu Sheila.
“Ada apa, sih?” Sheila lalu menunjukkan ID Card-nya. “Aku wartawan. Kalau kau menganggu pekerjaanku, akan kutuntut kau!”
“Kutuntut jidatmu!” Jingga menunjuk kening Sheila dan mendorongnya.
Semua orang terkejut. Hyeon Joo justru tertawa sedetik. Cyril melihat Hyeon Joo tertawa dan ia tidak suka.
“Hey, kau! Jangan sentuh aku!” Sheila marah. Ia melayangkan tangannya ke arah Jingga.
Rio menangkapnya sebelum mendarat di wajah Jingga. “Kau mau ganti atau kulaporkan pada polisi karena tindakan tidak menyenangkan!”
Hyeon Joo berdiri. Cyril terkejut, begitu juga teman-temannya yang lain.
“Aku ke toilet.” Hyeon Joo beranjak. Ia berhenti sebentar dan melirik Jingga.
Jingga juga melihat Hyeon Joo. keduanya bertemu pandang dihalangi tangan Sheila yang menggantung dipegang Rio. Hyeon Joo lalu pergi. Jingga melirik kepergian Hyeon Joo. Cyril menyadari aksi saling pandang itu. Ia ikut berdiri dan melihat Jingga dengan tatapan tidak suka. Cyril menyusul Hyeon Joo.
“Baik aku ganti! Dasar pengacau!” Sheila melepaskan diri.
Jingga berjongkok memunguti pecahan piring dan gelas. Rio menahan tangan Jingga.
“Biarkan saja. Orang lain yang bereskan. Ikut aku!” Rio menarik Jingga ke dapur.
Di dapur, Rio terlihat marah pada Jingga.
“Aku tahu kau tidak bersalah. Tapi caramu itu merusak reputasi café-ku.” Omel Rio.
“Tapi aku kesal. Dia menyebalkan!” sanggah Jingga.
“Dengar, yah! Kali ini kau kubiarkan. Tapi lain kali, tetaplah bersikap ramah dan marahlah yang baik!”
“Marah yang baik? Seperti apa?”
Cyril mendapat telepon. Ia melewati dapur dan melihat Rio-Jingga sedang bertengkar. Cyril acuh dan kembali menelepon. Hyeon Joo keluar dari toilet. Ia berjalan menuju teman-temannya.
“Pohon beringin!” teriak Jingga pada Rio.
Hyeon Joo berhenti. Ia menoleh. Pintu dapur terbuka. Dilihatnya Jingga sedang sesungut kesal.
“Apa katamu?” tantang Rio yang tampak tidak bersungguh-sungguh marah.
“Iya. Kau menyebalkan dan aneh. Seperti pohon beringin!” kata Jingga yang tidak menyadari diperhatikan Hyeon Joo.
Hyeon Joo tertarik mendengarkan.
“Seperti pohon beringin. Aneh, kaku, dingin dan menyeramkan!” Hyeon Joo dan Jingga mengucapkan kalimat yang sama bersamaan.
“Ya! Lalu kenapa? Apa kau takut padaku?” ledek Rio lalu pergi.
Cyril melihat Hyeon Joo mengucapkan kalimat yang sama dengan yang dikatakan Jingga.  Cyril mendekati Hyeon Joo. Ia menyentuh lengan Hyeon Joo. Hyeon Joo tersentak.
“Kau kenal dia?” Cyril cemburu.
Hyeon Joo menghela napas mengejek. Ia melepaskan diri dari Cyril dan pergi. Cyril menahannya.
“Kau kenapa?” Cyril terlihat sangat bermasalah.
“Kenapa? Aku yang harusnya bertanya itu padamu!” Hyeon Joo sedikit membentak.
Jingga mendengar suara rebut. Ia menoleh dan melihat Hyeon Joo di depan pintu. Jingga terkejut melihat Cyril juga ada di sana.
“Kau tidak membalas pesanku. Mengacuhkan teleponku lalu muncul di lokasi syuting seolah tidak mengenalku.”
“Bukankah aku memang begitu?”
“Hyeon Joo. Aku ini pacarmu!”
Jingga terkejut menutup mulut.
“Aku tidak suka diperlakukan begini!”
“Aku juga. Tidak suka kau perlakukan begini. Kalau begitu kita sama. Berhentilah bertindak seolah aku perliharaanmu.”
“Hyeon Joo, aku mencintaimu. Apa kau lupa?”
“Iya. Aku lupa. Aku lupa apa alasan kita bisa berpacaran. Cinta? Aku rasa tidak. Semua ini hanya kegilaan. Kau selalu mengaturku, menginterogasiku dan membuntutiku. Apa itu pacar?”
“Hyeon Joo. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku takut seseorang merebutmu dariku.”
Hyeon Joo menghalau tangan Cyril. “Sudahlah. Kalau diteruskan aku bisa gila. Kita putus saja!”
“Hyeon Joo!” Cyril menangis. “Maafkan aku. Aku tidak akan cemburu lagi. Aku tidak akan curiga lagi. Aku akan percaya padamu. Kumohon, Hyeon Joo…”
“Seratus enam belas kali. Kau sudah mengatakannya berkali-kali. Aku sudah lelah. Kita putus!”
“Hyeon Joo! Apa ada perempuan lain?”
“Tidak. Hanya aku gila karenamu!”
“Hyeon Joo! Aku tidak akan memberikanmu pada perempuan mana pun. Kau hanya untukku. Kalau bukan aku, maka tidak boleh ada yang memilikimu, Hyeon Joo!”
“Terserah!”
Hyeon Joo pergi. Cyril menangis terduduk di lantai.
“Daripada berpisah denganmu dan melihatmu dengan perempuan lain, aku lebih baik mati.” Cyril menghapus air matanya. “Tidak. Aku sudah bersumpah, akan sehidup semati denganmu.”
Cyril pergi. Jingga syok mendengarnya.
Cinta yang mengerikan. Ternyata Cyril kekasihnya Hyeon Joo. Jika Inoe adalah band terkenal, pasti mereka sering diliput media. Apa media tahu Cyril kekasih Hyeon Joo?
Rio kembali. “Kau sedang apa? Kenapa masih disini? Di luar rasanya aku dikeroyok pelanggan. Kau malah melamun disini!”
“Rio, apa kau kenal Inoe?” Jingga tidak menanggapi ocehan Rio.
“Apa itu penting?” Rio malah bingung. “Di Indonesia, banyak grup band keluar masuk dunia hiburan tanah air. Mereka bisa cepat datang, tenar lalu hilang begitu saja. Yang ini juga akan begitu.”
“Tapi aku tidak pernah tahu Inoe.”
“Apa?” Rio tidak menyangka Jingga kurang update. “Aku sering memutar lagunya di café ini. Grup band mereka beraliran rock, Jadi tidak semua lagu kuputar. Kau menghabiskan sebagian besar waktumu dengan bekerja di café tanpa sempat bermalas-malasan di depan tv untuk sekedar melihat berita entertainment atau acara musik video, kan?”
“Benar juga. Terlalu banyak grup band baru di Indonesia, aku jadi tidak bisa menghapalnya.” Jingga berpikir lagi. “Eh, apa kau tahu Cyril berpacaran dengan Hyeon Joo?”
“Benarkah?” Rio memasang tampang bodoh.
Sheila hendak ke kamar mandi, melihat pintu dapur terbuka dan dua orang itu sedang bicara dengan tampang bodoh, Sheila mencibir.
“Benar. Tadi aku mendengar mereka bicara. Mereka bertengkar!” lanjut Jingga antusias.
Sheila terkejut. Ia lalu mencari tempat untuk sembunyi dan menguping. Diambilnya alat perekam suara untuk merekam informasi dari Jingga.
Rio menjitak Jingga. “Semua orang tahu mereka sepasang kekasih. Sudah sana kerja!”
“Rio, tunggu!” Jingga bertahan. “Tapi ini menakutkan! Sepertinya terjadi sesuatu yang aneh dengan hubungan mereka.”
“Oya? Lalu apa peduliku?” Rio bertolak pinggang.
“Hyeon Joo bilang, dia lelah diatur Cyril.”
“Aha…lalu?” Rio berpura-pura menyimak.
“Hyeon Joo minta putus. Tapi Cyril menolak. Dia menangis dan minta maaf. Hyeon Joo bilang itu sudah yang ke-116 kali.”
“Whoa! Kau penguping yang baik!”
“Cyril sepertinya membuat Hyeon Joo tertekan. Membuntuti, menelepon dan mengirim pesan, bahkan menginterogasi Hyeon Joo setiap saat.”
“Ouh…itu keterlaluan.” Rio mulai tertarik. “Aku sebagai laki-laki juga akan kesal diperlakukan begitu. Tidak ada kebebasan. Dia terlalu posesif.”
“Yang menakutkan, Cyril bilang dia sudah bersumpah untuk sehidup semati dengan Hyeon Joo. Dia tidak akan memberikan Hyeon Joo pada perempuan mana pun. Bahkan dia bilang, dia lebih baik mati jika harus berpisah dan melihat Hyeon Joo dengan perempuan lain!”
“Wah! Cyril hanya satu dari sekian banyak perempuan bodoh yang menggilai Hyeon Joo. untung kau tidak termasuk. Sudah sana kerja!” Rio mendorong Jingga untuk bergegas.
“Iya…iya…” Jingga manyun.
Sheila mematikan alat perekamnya. Ia tersenyum mendapat berita bagus.

Jingga sedang membersihkan meja dan bersiap untuk membuka café. Rio menyalakan tv, ia juga sibuk menata meja.
“Berita terkini. Jum’at dini hari, drummer Inoe Band, Kim Hyeon Joo dan managernya Cyril Naysa yang juga kekasihnya mengalami kecelakaan di jalan tol Cawang-Pluit KM 13,4. Diduga karena mengantuk, mobil ford hitam yang dikendari Cyril melaju dengan kecepatan tinggi dan hilang kendali hingga menabrak pembatas jalan. Mobil itu kemudian terjun dan menabrak kendaraan lain yang sedang melintas sehingga terjadi kecelakaan beruntun. Tiga orang meninggal, termasuk Cyril yang tewas di tempat. Kim Hyeon Joo dikabarkan tidak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit terdekat.”
Rio mengkerutkan dahinya. Ia melirik Jingga. Jingga meremas lap melihat berita dengan wajah cemas dan sedih.
“Jingga, apa kau baik-baik saja?” Rio menegur.
Jingga menghela napas. “Aku…sedikit takut.”
Rio mendekati Jingga. “Kau tidak berpikir bahwa Cyril sengaja melakukannya, kan?”
Jingga tersenyum lirih. “Entahlah. Jika itu benar, harusnya kukatakan pada Hyeon Joo agar menjauhi Cyril. Aku merasa kasihan pada Hyeon Joo. Dia pasti menderita.”
Jingga merunduk. Ia teringat Hyeon Joo temannya. Meski pun nama Hyeon Joo bukan nama umum di Indonesia, tapi Jingga tidak berpikir bahwa Hyeon Joo temannya adalah Hyeon Joo Si Artis itu. Jingga tidak berpikir bahwa Hyeon Joo temannya adalah orang korea seperti Kim Hyeon Joo Si Artis. Mungkin saja Hyeon Joo temannya adalah seorang keturunan etis Tionghoa seperti sebagian masyarakat di Indonesia lainnya. Hanya karena kulitnya putih seperti orang Tionghoa, bukan berarti mereka adalah orang yang sama.
Persamaannya adalah keduanya mengalami kecelakaan. Jingga merasa kasihan karena Hyeon Joo temannya dulu pasti sangat kesakitan dan menderita karena kecelakaan itu. Meski baru bertemu sekilas, Jingga merasa perlu kasihan pada Hyeon Joo Si Artis. Hyeon Joo Si Artis juga pasti sangat sakit dan menderita.
Hyeon Joo, kau dimana? apa kau baik-baik saja? Apa yang terjadi setelah kecelakaan itu? Aku kasihan padamu. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku merindukanmu…” batin Jingga sedih.

Para personil band Inoe menjenguk Hyeon Joo di rumah sakit. Banyak wartawan menunggu dan ingin meliput tapi Hyeon Joo tidak ingin dijenguk para awak media. Hyeon Joo mengalami patah tulang selangka di bahu dan terpaksa dilakukan operasi pemasangan implant.
“Hyeon Joo, kata dokter kau mengalami patah tulang selangka. Kau baru saja melalui operasi pemasangan implan di bahumu. Untuk waktu yang cukup lama, kau tidak bisa bermain drum. Kami tidak akan menggantimu, kau tenang saja.” Kata Garuda atau Aru, vokalis Inoe.
“Iya, Hyeon Joo. Inoe bukan Inoe tanpamu.” Nael, basis Inoe menambahkan.
“Hyeon Joo. Kau harus cepat sembuh pokoknya. Kami akan menunggumu.” Joe, gitaris Inoe ikut menimpal.
Hyeon Joo hanya tersenyum. Ia melirik tangan kanannya yang diverban. “Aku minta maaf ya, kawan!”
“Tidak usah minta maaf. Bukankah kita berlima adalah teman. Kau sakit, kami juga sakit.” Aru menyahut.
“Eh, berlima?” Joe bingung.
“Iya, berlima dengan Cyril.”
Tiba-tiba mereka tersentak dan saling berpandangan. Mereka sebenarnya berencana merahasiakan kematian Cyril dan mencegah pembahasan tentang Cyril untuk sementara waktu sampai Hyeon Joo siap. Tapi Aru kelepasan.
“Bisakah kita tidak membahas orang yang sudah mati?” Hyeon Joo terlihat dingin.
“Ng?” Nael bingung.
“Kau sudah tahu?” Tanya Joe.
“Dia pergi bersamaku, bagaimana aku tidak tahu?” Hyeon Joo buang muka. “Aku baru pingsan setelah merasa sangat sakit di bahuku. Aku kelelahan.”
“Baiklah, kalau kau sudah tahu. Sebenarnya aku sangat penasaran bagaimana itu bisa terjadi. Tapi kau bilang tidak ingin membahasnya. Ya sudah, lupakan saja!” Aru melipat kaki duduk di sofa.
“Aku…juga tidak akan tidak bisa bermain drum untuk sementara waktu atau cukup lama.”
“Ho?” Nael bingung.
“Tapi selamanya.” Hyeon Joo memandang satu per satu wajah teman SMA-nya itu.
“Kau trauma?” Joe bertanya.
“Maukah kalian menyimpan rahasiaku?” Hyeon Joo sedikit sedih.
Ketiga temannya memandang Hyeon Joo lalu mengangguk pasti.
“Lihat ini!” Hyeon Joo menunjuk tangan kanannya.
Tangan Hyeon Joo bergetar perlahan nyaris tidak Nampak. Lalu bergetar sedikit demi sedikit menjadi cepat. Hyeon Joo mengaduh sakit.
“Sudah hentikan! Jangan dipaksakan. Kau belum pulih benar, Hyeon Joo!” cegah Joe.
“Bukan itu. Tapi sepertinya aku tidak hanya mengalami cidera di bahuku. Tapi juga hal lain yang sangat penting.”

Selama satu bulan Inoe tampil tanpa Hyeon Joo. Mereka mengambil seorang additional player untuk menggantikan posisi Hyeon Joo. Tapi mereka terlihat tidak semangat dan murung.
“Apa kalian merasa lelah?” Aru bertanya pada teman-temannya di sela sebuah acara konser musik.
“Iya. Aku merasa sangat lelah.” Joe memutar-mutar kunci mobil di meja.
“Kita pernah punya jam terbang lebih padat dari ini. Tapi kita selalu bersemangat. Hyeon Joo Si Pengacau itu selalu bisa membuat suasana lucu dan menyebalkan. Aku merindukannya.” Jelas Nael.
“Apa yang kita pikirkan sama?” Aru memandang semua temannya. Mereka berpandangan.
“Inoe bukan Inoe tanpa Hyeon Joo. Dia juga yang memberikan nama itu untuk grup band kita.” Lanjut Joe.
“Percuma memakai additional player karena Hyeon Joo tidak akan bermain drum lagi untuk selamanya.” Kata Nael.
“Kita memulai Inoe bersama-sama dari awal. Rasanya terlalu jahat kita di sini sementara Hyeon Joo sakit.” Aru melempar senyum pada teman-temannya.

Dua minggu setelah penampilan terkahir mereka di konser itu, Aru dan kawan-kawan mengadakan jumpa pers. Aru mengumumkan keputusannya dan teman-teman bahwa Inoe akan mundur dan menarik diri dari dunia hiburan tanah air. Inoe membubarkan diri. Seiring dengan keberadaan Hyeon Joo yang tidak diketahui dan tidak terlacak media, mereka juga akan menghilang dari dunia hiburan.
“Tidak ada alasan lain selain Inoe bukanlah Inoe tanpa Hyeon Joo.” Jelas Aru di sesi jumpa pers. “Hyeon Joo bukan berarti tidak bisa bergabung lagi dengan kami dan sama-sama berkarir dalam band ini. Tapi Hyeon Joo mungkin sedikit mengalami trauma dan kami tidak bisa memaksanya.”
“Iya, kami juga harus sudah memikirkan masa depan kami masing-masing. Kami selanjutnya akan membuka usaha atau bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikan kami. Rasanya sayang, bekerja keras untuk dapat gelar sarjana dari universitas di Singapur lalu dihabiskan dengan hanya bermusik.” Timpal Joe.
“Bukan berarti musik juga bukan bisnis yang menjanjikan. Tapi kami hanya ingin mengamalkan ilmu yang sudah kami dapat dengan susah payah. Apa tujuan orang tua kami menyekolahkan kami hingga ke universitas? Tentu untuk menjadi orang yang memanfaatkan ilmu itu, bukan?” kata Nael.
Jingga menonton entertainment news dengan seksama. Ia sangat serius sampai tidak menyadari Rio juga memperhatikannya. Beberapa pelanggan yang melihat berita itu tampak kecewa.
“Aku akan sangat merindukan mereka.” kata seorang pelanggan.
“Untung aku sudah punya semua lagunya di ponselku.” Sahut yang lain.
“Sayang sekali. Padahal mereka sedang tenar-tenarnya. Kalau diteruskan, mungkin mereka akan menembus pasar internasional.” Rio tiba-tiba muncul di sebalah Jingga.
Jingga sedikit terkejut. Ia hanya mengangguk setuju. Rio memperhatikan Jingga yang terlihat cemas. Rio tahu Jingga sebenarnya sangat mencemaskan Hyeon Joo yang sejak kecelakaan menghilang tanpa jejak. Tidak pernah diketahui kapan pulang dari rumah sakit dan kemana ia. Bahkan apartemennya pun sudah kosong.
“Hyeon Joo temanku juga begitu. Dia menghilang setelah kecelakaan.” Gumam Jingga. “Pasti itu sangat berat dan sakit. Hyeon Joo Si Artis pasti sangat menderita. Hyeon Joo temanku juga begitu.”

Pagi hari. Jingga sedang berjalan menuju café. Ia melewati seorang loper Koran.
“Koran! Majalah! Berita baru!” teriak Si Loper. “Hyeon Joo-Inoe Band kecelakaan disengaja oleh Cyril manager sekaligus kekasihnya sendiri!”
Jingga terkejut. Ia mencari penjual Koran itu. Ia mendekati dan mengambil satu  majalah degan judul cover depan : Rahasia Di Balik Kecelakaan Hyeon Joo-Inoe Band. Cyril tidak mau putus dari Hyeon Joo, sengaja mengajak mati bersama.
Jingga syok membacanya. Ia membeli satu majalah itu. Ia semakin terkejut begitu tahu nama majalah itu adalah Musik Top. Majalah tempat Sheila bekerja sebagai wartawan. Jingga membuka halaman untuk judul cover depan. Benar, penulis beritanya adalah Sheila.

Jingga mempercepat langkah menuju café. Ia terkejut melihat banyak wartawan di depan café Rio. Dilihatnya juga Rio sedang diburu wartawan. Jingga mendekat mencari tahu.
“Apa benar, karyawanmu yang mendengar percakapan terakhir Hyeon Joo dengan Cyril itu? Siapa dia? Dimana dia?” Tanya seorang wartawan.
Rio kelabakan.
“Apa anda melihat sendiri pertengkaran Cyril dan Hyeon Joo?” Tanya yang lain.
“Rekaman pembicaraan anda dengan karyawan anda tersebar di media sosial. Apa benar yang didengar karyawan anda itu?”
Jingga berbalik.  Ia syok. “Rekaman apa? Aku tidak tahu ada rekaman itu.”
“Seorang wartawan dari majalah Musik Top merekam pembicaraan kalian, membahas pertengkaran Cyril dan Hyeon Joo. Apa itu hanya sensasi atau memang benar?”
Jingga sesungut kesal. “Sheila Si Nenek Sihir itu rupanya!”
Jingga pergi. Rio hendak memanggil tapi takut wartawan curiga karyawan yang sedang mereka cari adalah Jingga. Rio membiarkan Jingga pergi.

Jingga mencari alamat redaksi majalah Musik Top. Ia naik taksi ke tempat itu. Ia harus menyelesaikan ini dengan Sheila.
Jingga sampai di kantor majalah Musik Top. Ia meminta untuk bertemu Sheila yang sedang merayakan kesuksesannya membuat majalah Musik Top laris manis dalam sekali peluncuran.
“Hey, Nenek Sihir!” panggil Jingga pada Sheila di ruangannya.
Semua orang tertegun mendengarnya. Mereka baru akan bersulang dan makan-makan bersama di kantor.
Sheila terkejut melihat Jingga. “Ho? Mau apa kau ke sini?”
Jingga mendekat. “Ayo kita selesaikan masalah kita di luar!” Jingga menarik tangan Sheila.
“Eh! Apa-apaan kau!” Sheila menolak. “Ha! Apa kau sudah dengar beritanya?”
Sheila melihat Jingga memegang majalah. Ia tersenyum. “Kau sudah download rekamannya juga belum?”
Jingga memandang marah pada Sheila. Matanya penuh air mata yang ditahan sekuat tenaga. “Kau harus menulis berita yang lebih baik dari ini. Jadi ikuti aku!”
Sheila dan teman-temannya bingung. Sheila lalu menyusul Jingga.

Di tangga darurat kantor majalah Musik Top.
“Apa kau bawa alat perekam lagi?” Tanya Jingga.
“A-apa?” Sheila ketahuan. “Kau bilang aku harus menulis berita.”
“Apa kau tidak punya hati?” Jingga akhirnya menangis.
“Kenapa?” Sheila bingung.
“Hyeon Joo sangat tidak menginginkan ini. Dia pasti sedang frustasi. Kecelakaan itu pasti berat dan sakit untuknya. Dia saja menghilang tanpa penjelasan apa pun soal itu, kenapa kau malah mengungkitnya?”
“Heh, dramatisasi apa ini?”
“Aku memang bukan siapa-siapa Hyeon Joo dan tidak ada hubungannya. Tapi aku tahu Hyeon Joo pasti menderita.”
Sheila tertawa mengejek. “Kau fans-nya juga ya?”
“Apa kau pernah punya teman baik? Dia menolongmu dan sangat baik padamu, sampai kau menyukainya. Lalu dia kecelakaan dan hilang begitu saja. Apa kau tahu rasanya?”
“Apa?” Sheila semakin bingung.
“Temanku juga sama. Dia kecelakaan lalu hilang. Kecelakaan parah dan aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Kalau dia baik-baik saja, dia pasti sudah kembali dan aku tidak akan menderita. Aku mungkin akan lebih lama melihat ibuku. Dia sudah berjanji akan menolong ibuku, tapi karena kecelakaan itu, dia jadi tidak pernah kembali.”
Sheila diam mendengarkan.
“Pasti terjadi sesuatu dengan Hyeon Joo. Itu pasti sangat menyakitkannya. Kenapa kau tega mengungkitnya? Apa kau pikir dia tidak akan apa-apa?”
“Apa kau kenal Hyeon Joo?”
“Kenapa kau mencari uang dengan menyakiti orang lain? Kekasihnya meninggal dan jika itu benar sebuah kesengajaan, bukankah itu menakutkannya?”
Sheila diam saja. Jingga menghapus air matanya.
“Aku kasihan padanya. Seperti saat aku kehilangan temanku, aku ingin agar orang lain jangan membahasnya dan menjaga perasaannya. Karena aku khawatir dia akan takut. Karena aku juga salah satu korban kecelakaan itu. Aku masih hidup, sementara Cyril meninggal. Mungkin Cyril juga akan sedih melihat Hyeon Joo menderita karenanya dan melarangmu melakukan ini jika ia masih hidup.”
Jingga lalu berlutut di anak tangga. Ia melipat tangan dan menengadah pada Sheila. “Kumohon, Kak…hentikanlah ini.”
“Kakak? Kau bahkan memanggilku dengan Nenek Sihir tadi!”
“Maafkan aku, Kak. Aku akan mentraktirmu makan sepuasnya di café. Aku yang bayar, asal kau jangan membuat berita menyakitkan soal Hyeon Joo lagi. Kumohon…”
Sheila merasa kasihan sekaligus aneh melihat Jingga sampai seperti itu. Tapi ia juga sedikit sedih mendengar cerita Jingga soal kehilangan teman dan ibunya.
“Baiklah. Besok aku akan mampir ke café-mu, tapi jangan sampai bos-mu itu mengacau.” Sheila lalu pergi.
Jingga berdiri dan tersenyum. “Gamsahanmida. Gamsahanmida. Gamsahanmida.”
Sheila mencibir. “Dasar bocah aneh!”
Jingga tersenyum lalu pergi. “Hyeon Joo, jika aku bisa memohon pada seseorang semudah dan dikabulkan sebaik itu, akan kulakukan untukmu agar kau baik-baik saja dan cepat kembali.” Ia teringat Hyeon Joo temannya.
“Hah…padahal aku mungkin akan dapat promosi karena berita ini.” Keluh Sheila sambil berlalu. “Atau sebaiknya aku jadi penulis saja? Menulis cerita seperti kisah anak itu. Kisah persahabatan dan cinta. Apa mereka akhirnya akan bertemu atau tidak. Aku jadi penasaran.”

 Bersambung ke Chapter 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya