Korean Pine Love - Chapter 3

Chapter 3
Hyeon Joo Si Artis
Jakarta - Indonesia, 2011
“Jingga! Pesanan meja nomor sepuluh mana?” Rio
berteriak di meja kasir.
Jingga keluar setengah berlari membawa nampan
berisi makanan. “Tada! Aku cepat, kan?”
Rio menyentil kening Jingga. “Cepat jidatmu!
Sudah sana antarkan. Pelangganku bisa mati kelaparan menunggumu!”
“Fhuss!” Jinga meniup poninya lalu pergi.
“Silahkan…terima kasih sudah menunggu, maaf merepotkan…”
Rio melipat tangan memperhatikan Jingga yang
ramah pada pelanggan. Sekelompok orang masuk. Memakai pakain serba rapi
layaknya boyband asal Korea.
Orang-orang menoleh lalu terkejut dan berhambur menghampiri.
“Inoe! Inoe!” teriak beberapa orang gadis
antusias.
Rio dan Jingga heran melihat kejadian aneh itu.
Jingga berjalan mundur mendekati Rio. Jingga menabrak seseorang. Ia terkejut
dan berbalik.
Tepat di hadapannya, seseorang dengan tinggi
sekitar 183 cm, berpakaian rapi, bersih dan harum. Hanya beberapa sentimeter
jaraknya dengan Jingga. Jingga harus menengadah ke atas karena ia kalah tinggi.
“Kenapa?” orang itu menegur Jingga yang belum
pulih dari terkejut.
Wajahnya. Pipinya. Bibirnya. Matanya. Hidungnya.
Jingga mendadak berdebar tidak karuan.
“Hey, Bocah Centil, kemari!” Rio menarik Jingga.
“Hyeon Joo!” seseorang memanggil.
Jingga terkejut dan menoleh. Seorang wanita
cantik, langsing dan tinggi. Ia mendekati orang yang ditabrak Jingga.
“Hyeon Joo, kau disini? Kukira kau bersama
teman-temanmu. Aku khawatir kau dikerubungi begitu.”
“Hyeon Joo…” gumam Jingga sambil terkejut tidak
percaya mendengar nama itu.
Hyeon Joo menghela napas. Ia terlihat tidak
suka dan bosan. Hyeon Joo pergi dan mengambil tempat di pojok ruangan. Wanita
itu menyusul.
“Hey, kau tidak dengar aku memanggilmu?” Rio
memukul kepala Jingga dengan serbet.
“A-apa?” Jingga salah tingkah.
“Apa?” Rio mengulang dengan meledek. “Cepat
ambil pesanan di dapur. Kenapa melamun di tengah jalan?”
“Oh. I-iya!” Jingga pergi.
“Hah..anak itu. Kalau orang lain, sudah kupecat
kau. Sayang sekali karena aku menyukaimu.” Oceh Rio.
Group band INOE, sedang digandrungi para
remaja. Group band bergenre rock ini sedang tenar-tenarnya. Mereka baru merilis
dua single dan langsung booming. Mereka sedang syuting video
klip untuk single ketiga mereka di
kawasan pertokoan Jakarta Timur.
Di sela istirahat, mereka rehat di café milik Rio
dimana Jingga juga bekerja di sana. Inoe terdiri dari Nael sebagai bassis, Aru
sebagai vokalis, Joe sebagai gitaris dan Hyeon Joo sebagai drummer. Cyril Naysa
adalah manager mereka. Mereka berlima adalah teman sekolah saat di SMA. Baru
setahun kemunculan mereka, group band ini sudah menjadi idola di Indonesia.
Jingga mengantar pesanan Cyril untuk Inoe Band. Ia
berhenti sejenak memperhatikan Hyeon Joo lekat-lekat. Nama Hyeon Joo bukan nama
umum di Indonesia, tapi Jingga tidak yakin itu Hyeon Joo sahabatnya.
Jingga berjalan mendekati meja tempat Hyeon Joo dan
kawan-kawan bersantai. Cyril duduk di sebelah Hyeon Joo. Hyeon Joo terlihat
tidak suka dan sibuk memainkan stik drum-nya.
Prang! Nampan Jingga jatuh dan isinya berserakan.
“Ups! Ma-maaf!” seorang wartawan menabrak Jingga.
Jingga yang terkejut berubah jadi ingin marah. Seisi
café memperhatikan Jingga dan wartawan itu. Rio keluar dari dapur. Ia tidak
kalah terkejut melihatnya.
“Aku Sheila. Wartawan dari majalah Musik Top. Bisa
kita wawancara sebentar?” Sheila si wartawan mengacuhkan Jingga dan langsung
menyodorkan microfon pada Hyeon Joo.
Cyril terlihat tidak suka. Jingga menepuk bahu Sheila.
Sheila menoleh.
“Kenapa?” Sheila merasa tidak suka.
Jingga menahan napas dan menunjuk-nujuk lantai tempat
makanan tumpah.
“Itu salahmu. Kenapa sembarangan!” Sheila acuh lalu kembali
menyodorkan microfon pada Hyeon Joo.
Jingga menepuk kembali bahu Sheila.
“Ada apa, sih?” Sheila lalu menunjukkan ID Card-nya.
“Aku wartawan. Kalau kau menganggu pekerjaanku, akan kutuntut kau!”
“Kutuntut jidatmu!” Jingga menunjuk kening Sheila dan
mendorongnya.
Semua orang terkejut. Hyeon Joo justru tertawa
sedetik. Cyril melihat Hyeon Joo tertawa dan ia tidak suka.
“Hey, kau! Jangan sentuh aku!” Sheila marah. Ia
melayangkan tangannya ke arah Jingga.
Rio menangkapnya sebelum mendarat di wajah Jingga.
“Kau mau ganti atau kulaporkan pada polisi karena tindakan tidak menyenangkan!”
Hyeon Joo berdiri. Cyril terkejut, begitu juga
teman-temannya yang lain.
“Aku ke toilet.” Hyeon Joo beranjak. Ia berhenti
sebentar dan melirik Jingga.
Jingga juga melihat Hyeon Joo. keduanya bertemu
pandang dihalangi tangan Sheila yang menggantung dipegang Rio. Hyeon Joo lalu
pergi. Jingga melirik kepergian Hyeon Joo. Cyril menyadari aksi saling pandang
itu. Ia ikut berdiri dan melihat Jingga dengan tatapan tidak suka. Cyril
menyusul Hyeon Joo.
“Baik aku ganti! Dasar pengacau!” Sheila melepaskan
diri.
Jingga berjongkok memunguti pecahan piring dan gelas. Rio
menahan tangan Jingga.
“Biarkan saja. Orang lain yang bereskan. Ikut aku!” Rio
menarik Jingga ke dapur.
Di dapur, Rio terlihat marah pada Jingga.
“Aku tahu kau tidak bersalah. Tapi caramu itu merusak
reputasi café-ku.” Omel Rio.
“Tapi aku kesal. Dia menyebalkan!” sanggah Jingga.
“Dengar, yah! Kali ini kau kubiarkan. Tapi lain kali,
tetaplah bersikap ramah dan marahlah yang baik!”
“Marah yang baik? Seperti apa?”
Cyril mendapat telepon. Ia melewati dapur dan melihat Rio-Jingga
sedang bertengkar. Cyril acuh dan kembali menelepon. Hyeon Joo keluar dari
toilet. Ia berjalan menuju teman-temannya.
“Pohon beringin!” teriak Jingga pada Rio.
Hyeon Joo berhenti. Ia menoleh. Pintu dapur terbuka. Dilihatnya
Jingga sedang sesungut kesal.
“Apa katamu?” tantang Rio yang tampak tidak
bersungguh-sungguh marah.
“Iya. Kau menyebalkan dan aneh. Seperti pohon
beringin!” kata Jingga yang tidak menyadari diperhatikan Hyeon Joo.
Hyeon Joo tertarik mendengarkan.
“Seperti pohon beringin. Aneh, kaku, dingin dan
menyeramkan!” Hyeon Joo dan Jingga mengucapkan kalimat yang sama bersamaan.
“Ya! Lalu kenapa? Apa kau takut padaku?” ledek Rio
lalu pergi.
Cyril melihat Hyeon Joo mengucapkan kalimat yang sama
dengan yang dikatakan Jingga. Cyril mendekati
Hyeon Joo. Ia menyentuh lengan Hyeon Joo. Hyeon Joo tersentak.
“Kau kenal dia?” Cyril cemburu.
Hyeon Joo menghela napas mengejek. Ia melepaskan diri
dari Cyril dan pergi. Cyril menahannya.
“Kau kenapa?” Cyril terlihat sangat bermasalah.
“Kenapa? Aku yang harusnya bertanya itu padamu!” Hyeon
Joo sedikit membentak.
Jingga mendengar suara rebut. Ia menoleh dan melihat Hyeon
Joo di depan pintu. Jingga terkejut melihat Cyril juga ada di sana.
“Kau tidak membalas pesanku. Mengacuhkan teleponku lalu
muncul di lokasi syuting seolah tidak mengenalku.”
“Bukankah aku memang begitu?”
“Hyeon Joo. Aku ini pacarmu!”
Jingga terkejut menutup mulut.
“Aku tidak suka diperlakukan begini!”
“Aku juga. Tidak suka kau perlakukan begini. Kalau
begitu kita sama. Berhentilah bertindak seolah aku perliharaanmu.”
“Hyeon Joo, aku mencintaimu. Apa kau lupa?”
“Iya. Aku lupa. Aku lupa apa alasan kita bisa
berpacaran. Cinta? Aku rasa tidak. Semua ini hanya kegilaan. Kau selalu
mengaturku, menginterogasiku dan membuntutiku. Apa itu pacar?”
“Hyeon Joo. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku takut
seseorang merebutmu dariku.”
Hyeon Joo menghalau tangan Cyril. “Sudahlah. Kalau
diteruskan aku bisa gila. Kita putus saja!”
“Hyeon Joo!” Cyril menangis. “Maafkan aku. Aku tidak
akan cemburu lagi. Aku tidak akan curiga lagi. Aku akan percaya padamu.
Kumohon, Hyeon Joo…”
“Seratus enam belas kali. Kau sudah mengatakannya
berkali-kali. Aku sudah lelah. Kita putus!”
“Hyeon Joo! Apa ada perempuan lain?”
“Tidak. Hanya aku gila karenamu!”
“Hyeon Joo! Aku tidak akan memberikanmu pada perempuan
mana pun. Kau hanya untukku. Kalau bukan aku, maka tidak boleh ada yang
memilikimu, Hyeon Joo!”
“Terserah!”
Hyeon Joo pergi. Cyril menangis terduduk di lantai.
“Daripada berpisah denganmu dan melihatmu dengan
perempuan lain, aku lebih baik mati.” Cyril menghapus air matanya. “Tidak. Aku
sudah bersumpah, akan sehidup semati denganmu.”
Cyril pergi. Jingga syok mendengarnya.
Cinta yang mengerikan. Ternyata Cyril kekasihnya Hyeon
Joo. Jika Inoe adalah band terkenal, pasti mereka sering diliput media. Apa
media tahu Cyril kekasih Hyeon Joo?
Rio kembali. “Kau sedang apa? Kenapa masih disini? Di
luar rasanya aku dikeroyok pelanggan. Kau malah melamun disini!”
“Rio, apa kau kenal Inoe?” Jingga tidak menanggapi
ocehan Rio.
“Apa itu penting?” Rio malah bingung. “Di Indonesia,
banyak grup band keluar masuk dunia hiburan tanah air. Mereka bisa cepat
datang, tenar lalu hilang begitu saja. Yang ini juga akan begitu.”
“Tapi aku tidak pernah tahu Inoe.”
“Apa?” Rio tidak menyangka Jingga kurang update. “Aku sering memutar lagunya di
café ini. Grup band mereka beraliran rock, Jadi tidak semua lagu kuputar. Kau
menghabiskan sebagian besar waktumu dengan bekerja di café tanpa sempat
bermalas-malasan di depan tv untuk sekedar melihat berita entertainment atau
acara musik video, kan?”
“Benar juga. Terlalu banyak grup band baru di
Indonesia, aku jadi tidak bisa menghapalnya.” Jingga berpikir lagi. “Eh, apa
kau tahu Cyril berpacaran dengan Hyeon Joo?”
“Benarkah?” Rio memasang tampang bodoh.
Sheila hendak ke kamar mandi, melihat pintu dapur
terbuka dan dua orang itu sedang bicara dengan tampang bodoh, Sheila mencibir.
“Benar. Tadi aku mendengar mereka bicara. Mereka
bertengkar!” lanjut Jingga antusias.
Sheila terkejut. Ia lalu mencari tempat untuk sembunyi
dan menguping. Diambilnya alat perekam suara untuk merekam informasi dari Jingga.
Rio menjitak Jingga. “Semua orang tahu mereka sepasang
kekasih. Sudah sana kerja!”
“Rio, tunggu!” Jingga bertahan. “Tapi ini menakutkan!
Sepertinya terjadi sesuatu yang aneh dengan hubungan mereka.”
“Oya? Lalu apa peduliku?” Rio bertolak pinggang.
“Hyeon Joo bilang, dia lelah diatur Cyril.”
“Aha…lalu?” Rio berpura-pura menyimak.
“Hyeon Joo minta putus. Tapi Cyril menolak. Dia
menangis dan minta maaf. Hyeon Joo bilang itu sudah yang ke-116 kali.”
“Whoa! Kau penguping yang baik!”
“Cyril sepertinya membuat Hyeon Joo tertekan.
Membuntuti, menelepon dan mengirim pesan, bahkan menginterogasi Hyeon Joo
setiap saat.”
“Ouh…itu keterlaluan.” Rio mulai tertarik. “Aku
sebagai laki-laki juga akan kesal diperlakukan begitu. Tidak ada kebebasan. Dia
terlalu posesif.”
“Yang menakutkan, Cyril bilang dia sudah bersumpah
untuk sehidup semati dengan Hyeon Joo. Dia tidak akan memberikan Hyeon Joo pada
perempuan mana pun. Bahkan dia bilang, dia lebih baik mati jika harus berpisah
dan melihat Hyeon Joo dengan perempuan lain!”
“Wah! Cyril hanya satu dari sekian banyak perempuan
bodoh yang menggilai Hyeon Joo. untung kau tidak termasuk. Sudah sana kerja!” Rio
mendorong Jingga untuk bergegas.
“Iya…iya…” Jingga manyun.
Sheila mematikan alat perekamnya. Ia tersenyum
mendapat berita bagus.
Jingga sedang membersihkan meja dan bersiap untuk
membuka café. Rio menyalakan tv, ia juga sibuk menata meja.
“Berita terkini. Jum’at dini hari, drummer Inoe Band,
Kim Hyeon Joo dan managernya Cyril Naysa yang juga kekasihnya mengalami
kecelakaan di jalan tol Cawang-Pluit KM 13,4. Diduga karena mengantuk, mobil ford hitam yang
dikendari Cyril melaju dengan kecepatan tinggi dan hilang kendali hingga
menabrak pembatas jalan. Mobil itu kemudian terjun dan menabrak kendaraan lain
yang sedang melintas sehingga terjadi kecelakaan beruntun. Tiga orang
meninggal, termasuk Cyril yang tewas di tempat. Kim Hyeon Joo dikabarkan tidak
sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit terdekat.”
Rio mengkerutkan dahinya. Ia melirik Jingga. Jingga
meremas lap melihat berita dengan wajah cemas dan sedih.
“Jingga, apa kau baik-baik saja?” Rio menegur.
Jingga menghela napas. “Aku…sedikit takut.”
Rio mendekati Jingga. “Kau tidak berpikir bahwa Cyril
sengaja melakukannya, kan?”
Jingga tersenyum lirih. “Entahlah. Jika itu benar,
harusnya kukatakan pada Hyeon Joo agar menjauhi Cyril. Aku merasa kasihan pada Hyeon
Joo. Dia pasti menderita.”
Jingga merunduk. Ia teringat Hyeon Joo temannya. Meski
pun nama Hyeon Joo bukan nama umum di Indonesia, tapi Jingga tidak berpikir
bahwa Hyeon Joo temannya adalah Hyeon Joo Si Artis itu. Jingga tidak berpikir
bahwa Hyeon Joo temannya adalah orang korea seperti Kim Hyeon Joo Si Artis. Mungkin
saja Hyeon Joo temannya adalah seorang keturunan etis Tionghoa seperti sebagian
masyarakat di Indonesia lainnya. Hanya karena kulitnya putih seperti orang Tionghoa,
bukan berarti mereka adalah orang yang sama.
Persamaannya adalah keduanya mengalami kecelakaan. Jingga
merasa kasihan karena Hyeon Joo temannya dulu pasti sangat kesakitan dan
menderita karena kecelakaan itu. Meski baru bertemu sekilas, Jingga merasa
perlu kasihan pada Hyeon Joo Si Artis. Hyeon Joo Si Artis juga pasti sangat
sakit dan menderita.
“Hyeon Joo, kau
dimana? apa kau baik-baik saja? Apa yang terjadi setelah kecelakaan itu? Aku
kasihan padamu. Aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku merindukanmu…” batin Jingga
sedih.
Para personil band Inoe menjenguk Hyeon Joo di rumah
sakit. Banyak wartawan menunggu dan ingin meliput tapi Hyeon Joo tidak ingin
dijenguk para awak media. Hyeon Joo mengalami patah tulang selangka di bahu dan
terpaksa dilakukan operasi pemasangan implant.
“Hyeon Joo, kata dokter kau mengalami patah tulang
selangka. Kau baru saja melalui operasi pemasangan implan di bahumu. Untuk
waktu yang cukup lama, kau tidak bisa bermain drum. Kami tidak akan
menggantimu, kau tenang saja.” Kata Garuda atau Aru, vokalis Inoe.
“Iya, Hyeon Joo. Inoe bukan Inoe tanpamu.” Nael, basis
Inoe menambahkan.
“Hyeon Joo. Kau harus cepat sembuh pokoknya. Kami akan
menunggumu.” Joe, gitaris Inoe ikut menimpal.
Hyeon Joo hanya tersenyum. Ia melirik tangan kanannya
yang diverban. “Aku minta maaf ya, kawan!”
“Tidak usah minta maaf. Bukankah kita berlima adalah
teman. Kau sakit, kami juga sakit.” Aru menyahut.
“Eh, berlima?” Joe bingung.
“Iya, berlima dengan Cyril.”
Tiba-tiba mereka tersentak dan saling berpandangan. Mereka
sebenarnya berencana merahasiakan kematian Cyril dan mencegah pembahasan
tentang Cyril untuk sementara waktu sampai Hyeon Joo siap. Tapi Aru kelepasan.
“Bisakah kita tidak membahas orang yang sudah mati?” Hyeon
Joo terlihat dingin.
“Ng?” Nael bingung.
“Kau sudah tahu?” Tanya Joe.
“Dia pergi bersamaku, bagaimana aku tidak tahu?” Hyeon
Joo buang muka. “Aku baru pingsan setelah merasa sangat sakit di bahuku. Aku
kelelahan.”
“Baiklah, kalau kau sudah tahu. Sebenarnya aku sangat
penasaran bagaimana itu bisa terjadi. Tapi kau bilang tidak ingin membahasnya.
Ya sudah, lupakan saja!” Aru melipat kaki duduk di sofa.
“Aku…juga tidak akan tidak bisa bermain drum untuk
sementara waktu atau cukup lama.”
“Ho?” Nael bingung.
“Tapi selamanya.” Hyeon Joo memandang satu per satu
wajah teman SMA-nya itu.
“Kau trauma?” Joe bertanya.
“Maukah kalian menyimpan rahasiaku?” Hyeon Joo sedikit
sedih.
Ketiga temannya memandang Hyeon Joo lalu mengangguk
pasti.
“Lihat ini!” Hyeon Joo menunjuk tangan kanannya.
Tangan Hyeon Joo bergetar perlahan nyaris tidak
Nampak. Lalu bergetar sedikit demi sedikit menjadi cepat. Hyeon Joo mengaduh
sakit.
“Sudah hentikan! Jangan dipaksakan. Kau belum pulih
benar, Hyeon Joo!” cegah Joe.
“Bukan itu. Tapi sepertinya aku tidak hanya mengalami
cidera di bahuku. Tapi juga hal lain yang sangat penting.”
Selama satu bulan Inoe tampil tanpa Hyeon Joo. Mereka
mengambil seorang additional player
untuk menggantikan posisi Hyeon Joo. Tapi mereka terlihat tidak semangat dan
murung.
“Apa kalian merasa lelah?” Aru bertanya pada
teman-temannya di sela sebuah acara konser musik.
“Iya. Aku merasa sangat lelah.” Joe memutar-mutar
kunci mobil di meja.
“Kita pernah punya jam terbang lebih padat dari ini.
Tapi kita selalu bersemangat. Hyeon Joo Si Pengacau itu selalu bisa membuat
suasana lucu dan menyebalkan. Aku merindukannya.” Jelas Nael.
“Apa yang kita pikirkan sama?” Aru memandang semua
temannya. Mereka berpandangan.
“Inoe bukan Inoe tanpa Hyeon Joo. Dia juga yang
memberikan nama itu untuk grup band kita.” Lanjut Joe.
“Percuma memakai additional
player karena Hyeon Joo tidak akan bermain drum lagi untuk selamanya.” Kata
Nael.
“Kita memulai Inoe bersama-sama dari awal. Rasanya
terlalu jahat kita di sini sementara Hyeon Joo sakit.” Aru melempar senyum pada
teman-temannya.
Dua minggu setelah penampilan terkahir mereka di
konser itu, Aru dan kawan-kawan mengadakan jumpa pers. Aru mengumumkan
keputusannya dan teman-teman bahwa Inoe akan mundur dan menarik diri dari dunia
hiburan tanah air. Inoe membubarkan diri. Seiring dengan keberadaan Hyeon Joo
yang tidak diketahui dan tidak terlacak media, mereka juga akan menghilang dari
dunia hiburan.
“Tidak ada alasan lain selain Inoe bukanlah Inoe tanpa
Hyeon Joo.” Jelas Aru di sesi jumpa pers. “Hyeon Joo bukan berarti tidak bisa
bergabung lagi dengan kami dan sama-sama berkarir dalam band ini. Tapi Hyeon
Joo mungkin sedikit mengalami trauma dan kami tidak bisa memaksanya.”
“Iya, kami juga harus sudah memikirkan masa depan kami
masing-masing. Kami selanjutnya akan membuka usaha atau bekerja sesuai dengan
latar belakang pendidikan kami. Rasanya sayang, bekerja keras untuk dapat gelar
sarjana dari universitas di Singapur lalu dihabiskan dengan hanya bermusik.”
Timpal Joe.
“Bukan berarti musik juga bukan bisnis yang
menjanjikan. Tapi kami hanya ingin mengamalkan ilmu yang sudah kami dapat
dengan susah payah. Apa tujuan orang tua kami menyekolahkan kami hingga ke
universitas? Tentu untuk menjadi orang yang memanfaatkan ilmu itu, bukan?” kata
Nael.
Jingga menonton entertainment
news dengan seksama. Ia sangat serius sampai tidak menyadari Rio juga
memperhatikannya. Beberapa pelanggan yang melihat berita itu tampak kecewa.
“Aku akan sangat merindukan mereka.” kata seorang
pelanggan.
“Untung aku sudah punya semua lagunya di ponselku.”
Sahut yang lain.
“Sayang sekali. Padahal mereka sedang tenar-tenarnya.
Kalau diteruskan, mungkin mereka akan menembus pasar internasional.” Rio
tiba-tiba muncul di sebalah Jingga.
Jingga sedikit terkejut. Ia hanya mengangguk setuju. Rio
memperhatikan Jingga yang terlihat cemas. Rio tahu Jingga sebenarnya sangat
mencemaskan Hyeon Joo yang sejak kecelakaan menghilang tanpa jejak. Tidak
pernah diketahui kapan pulang dari rumah sakit dan kemana ia. Bahkan apartemennya
pun sudah kosong.
“Hyeon Joo temanku juga begitu. Dia menghilang setelah
kecelakaan.” Gumam Jingga. “Pasti itu sangat berat dan sakit. Hyeon Joo Si
Artis pasti sangat menderita. Hyeon Joo temanku juga begitu.”
Pagi hari. Jingga sedang berjalan menuju café. Ia
melewati seorang loper Koran.
“Koran! Majalah! Berita baru!” teriak Si Loper. “Hyeon
Joo-Inoe Band kecelakaan disengaja oleh Cyril manager sekaligus kekasihnya
sendiri!”
Jingga terkejut. Ia mencari penjual Koran itu. Ia
mendekati dan mengambil satu majalah
degan judul cover depan : Rahasia Di Balik Kecelakaan Hyeon Joo-Inoe Band.
Cyril tidak mau putus dari Hyeon Joo, sengaja mengajak mati bersama.
Jingga syok membacanya. Ia membeli satu majalah itu.
Ia semakin terkejut begitu tahu nama majalah itu adalah Musik Top. Majalah
tempat Sheila bekerja sebagai wartawan. Jingga membuka halaman untuk judul
cover depan. Benar, penulis beritanya adalah Sheila.
Jingga mempercepat langkah menuju café. Ia terkejut
melihat banyak wartawan di depan café Rio. Dilihatnya juga Rio sedang diburu
wartawan. Jingga mendekat mencari tahu.
“Apa benar, karyawanmu yang mendengar percakapan
terakhir Hyeon Joo dengan Cyril itu? Siapa dia? Dimana dia?” Tanya seorang
wartawan.
Rio kelabakan.
“Apa anda melihat sendiri pertengkaran Cyril dan Hyeon
Joo?” Tanya yang lain.
“Rekaman pembicaraan anda dengan karyawan anda
tersebar di media sosial. Apa benar yang didengar karyawan anda itu?”
Jingga berbalik.
Ia syok. “Rekaman apa? Aku tidak tahu ada rekaman itu.”
“Seorang wartawan dari majalah Musik Top merekam
pembicaraan kalian, membahas pertengkaran Cyril dan Hyeon Joo. Apa itu hanya
sensasi atau memang benar?”
Jingga sesungut kesal. “Sheila Si Nenek Sihir itu
rupanya!”
Jingga pergi. Rio hendak memanggil tapi takut wartawan
curiga karyawan yang sedang mereka cari adalah Jingga. Rio membiarkan Jingga
pergi.
Jingga mencari alamat redaksi majalah Musik Top. Ia
naik taksi ke tempat itu. Ia harus menyelesaikan ini dengan Sheila.
Jingga sampai di kantor majalah Musik Top. Ia meminta
untuk bertemu Sheila yang sedang merayakan kesuksesannya membuat majalah Musik
Top laris manis dalam sekali peluncuran.
“Hey, Nenek Sihir!” panggil Jingga pada Sheila di
ruangannya.
Semua orang tertegun mendengarnya. Mereka baru akan
bersulang dan makan-makan bersama di kantor.
Sheila terkejut melihat Jingga. “Ho? Mau apa kau ke
sini?”
Jingga mendekat. “Ayo kita selesaikan masalah kita di
luar!” Jingga menarik tangan Sheila.
“Eh! Apa-apaan kau!” Sheila menolak. “Ha! Apa kau
sudah dengar beritanya?”
Sheila melihat Jingga memegang majalah. Ia tersenyum.
“Kau sudah download rekamannya juga
belum?”
Jingga memandang marah pada Sheila. Matanya penuh air
mata yang ditahan sekuat tenaga. “Kau harus menulis berita yang lebih baik dari
ini. Jadi ikuti aku!”
Sheila dan teman-temannya bingung. Sheila lalu
menyusul Jingga.
Di tangga darurat kantor majalah Musik Top.
“Apa kau bawa alat perekam lagi?” Tanya Jingga.
“A-apa?” Sheila ketahuan. “Kau bilang aku harus
menulis berita.”
“Apa kau tidak punya hati?” Jingga akhirnya menangis.
“Kenapa?” Sheila bingung.
“Hyeon Joo sangat tidak menginginkan ini. Dia pasti
sedang frustasi. Kecelakaan itu pasti berat dan sakit untuknya. Dia saja
menghilang tanpa penjelasan apa pun soal itu, kenapa kau malah mengungkitnya?”
“Heh, dramatisasi apa ini?”
“Aku memang bukan siapa-siapa Hyeon Joo dan tidak ada
hubungannya. Tapi aku tahu Hyeon Joo pasti menderita.”
Sheila tertawa mengejek. “Kau fans-nya juga ya?”
“Apa kau pernah punya teman baik? Dia menolongmu dan
sangat baik padamu, sampai kau menyukainya. Lalu dia kecelakaan dan hilang begitu
saja. Apa kau tahu rasanya?”
“Apa?” Sheila semakin bingung.
“Temanku juga sama. Dia kecelakaan lalu hilang.
Kecelakaan parah dan aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Kalau dia
baik-baik saja, dia pasti sudah kembali dan aku tidak akan menderita. Aku
mungkin akan lebih lama melihat ibuku. Dia sudah berjanji akan menolong ibuku,
tapi karena kecelakaan itu, dia jadi tidak pernah kembali.”
Sheila diam mendengarkan.
“Pasti terjadi sesuatu dengan Hyeon Joo. Itu pasti
sangat menyakitkannya. Kenapa kau tega mengungkitnya? Apa kau pikir dia tidak
akan apa-apa?”
“Apa kau kenal Hyeon Joo?”
“Kenapa kau mencari uang dengan menyakiti orang lain?
Kekasihnya meninggal dan jika itu benar sebuah kesengajaan, bukankah itu
menakutkannya?”
Sheila diam saja. Jingga menghapus air matanya.
“Aku kasihan padanya. Seperti saat aku kehilangan
temanku, aku ingin agar orang lain jangan membahasnya dan menjaga perasaannya.
Karena aku khawatir dia akan takut. Karena aku juga salah satu korban
kecelakaan itu. Aku masih hidup, sementara Cyril meninggal. Mungkin Cyril juga
akan sedih melihat Hyeon Joo menderita karenanya dan melarangmu melakukan ini
jika ia masih hidup.”
Jingga lalu berlutut di anak tangga. Ia melipat tangan
dan menengadah pada Sheila. “Kumohon, Kak…hentikanlah ini.”
“Kakak? Kau bahkan memanggilku dengan Nenek Sihir
tadi!”
“Maafkan aku, Kak. Aku akan mentraktirmu makan
sepuasnya di café. Aku yang bayar, asal kau jangan membuat berita menyakitkan
soal Hyeon Joo lagi. Kumohon…”
Sheila merasa kasihan sekaligus aneh melihat Jingga
sampai seperti itu. Tapi ia juga sedikit sedih mendengar cerita Jingga soal kehilangan
teman dan ibunya.
“Baiklah. Besok aku akan mampir ke café-mu, tapi
jangan sampai bos-mu itu mengacau.” Sheila lalu pergi.
Jingga berdiri dan tersenyum. “Gamsahanmida. Gamsahanmida. Gamsahanmida.”
Sheila mencibir. “Dasar bocah aneh!”
Jingga tersenyum lalu pergi. “Hyeon Joo, jika aku bisa
memohon pada seseorang semudah dan dikabulkan sebaik itu, akan kulakukan
untukmu agar kau baik-baik saja dan cepat kembali.” Ia teringat Hyeon Joo
temannya.
“Hah…padahal aku mungkin akan dapat promosi karena
berita ini.” Keluh Sheila sambil berlalu. “Atau sebaiknya aku jadi penulis
saja? Menulis cerita seperti kisah anak itu. Kisah persahabatan dan cinta. Apa
mereka akhirnya akan bertemu atau tidak. Aku jadi penasaran.”
Bersambung ke Chapter 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar