Korean Pine Love - Chapter 2
Chapter 2
Kalung Berlian Eomma
Lanjutan Dari Chapter 1

Hyeon Joo menjalani sejumlah tes dengan malas.
Eomma sibuk ngobrol dengan temannya. Hyeon
Joo harusnya ke pabrik sesuai janji Appa. Tapi karena kemarin Hyeon Joo nekat
kabur, maka ia dianggap melanggar janji. Appa tidak jadi pergi ke pabrik
membawa Hyeon Joo bermain dengan Jingga.
“Bagaimana hasilnya?” Eomma menunggu di ruang
periksa dokter anak.
Hyeon Joo duduk di sebelahnya memainkan bandul
hiasan meja dokter.
“Baik. Semuanya baik. Hyeon Joo, apa asma-mu
akhir-akhir ini sering kambuh?” Tanya Dokter Zia, teman Eomma.
Hyeon Joo menggeleng.
“Seminggu yang lalu, iya.” Eomma menjawab
pertanyaan dokter.
“Baiklah. Dia hanya perlu mengontrol diri. Tidak
usah terlalu sibuk dan lelah. Nikmati saja dunia anak-anak. Aku akan berikan
beberapa suplemen untuk menjaga daya tahan tubuhnya pasca kambuh asma itu.”
Dokter Zia menulis resep.
Eomma mendapat telepon dari Appa. Ia permisi
lalu keluar ruangan. Hyeon Joo memastikan Eomma sudah diluar, ia lalu
mengeluarkan kertas yang diambilnya dari rumah Jingga.
“Uisa.
Dokter!” Hyeon Joo menyerahkan kertas itu.
Dokter bingung dengan panggilan Hyeon Joo.
“Apa yang dikatakan di kertas itu? Apa ada nama
obat atau nama penyakitnya?”
Dokter membaca kertas itu. Ia sedikit terkejut
lalu melihat wajah polos Hyeon Joo. “Kau dapat ini darimana?”
Hyeon Joo bingung mencari alasan. “Aku
menemukannya.”
Dokter sedikit tidak percaya.
“Apa sakitnya? Apa itu parah?”
Dokter tersenyum. “Ini adalah hasil tes
laboratorium seorang pasien dengan penyakit yang cukup parah. Orang dengan
penyakit ini, harus menjalani pengobatan yang lama dan mahal.”
“Sakit apa?” Hyeon Joo mendesak.
“Kanker paru.”
“Oh!” Hyeon Joo terkejut. “Harabheojhi juga
sakit itu.”
“Ng?”
“Kakek-ku.”
“Ooo…iya, dia harus kemoteraphy dan tidak cukup
sekali. Pengobatannya juga mahal. Kenapa kau sangat ingin tahu?”
“Ooh…Appa bilang aku harus pintar dan menjadi
dokter.”
Dokter Zia tersenyum. “Iya, tapi belum saatnya.
Ini terlalu rumit. Nah, kuberikan ini pada bagian informasi agar diumumkan,
siapa tahu pemiliknya belum jauh.”
“Anio!”
Hyeon Joo merebutnya.
Eomma datang. “Apa sudah selesai?”
Hyeon Joo turun dan menabrak ibunya keluar
ruangan. Eomma bingung, Dokter Zia pun bingung.
“Maafkan anakku ya, Zia…” Eomma merasa tidak
enak.
Dokter Zia membalas senyum dan memberikan resep
Hyeon Joo pada Eomma.
Sesampainya di rumah, Hyeon Joo langsung
berlari ke kamar tidak memperdulikan Eomma memanggilnya.
“Kenapa Coboy-ku?” Tanya Tuan Kim pada
istrinya.
Eomma mengangkat bahu. “Mungkin dia berpikir
aku sheriff yang jahat. Dia mengacuhkanku terus.”
Tuan Kim tertawa.
Di kamar, Hyeon Joo memecahkan celengannya
diam-diam. Ia menghitung uang tabungannya. Ia lalu tampak bingung.
“Apa ini cukup?” Hyeon Joo pikir tidak. Karena
kata dokter, pengobatannya mahal dan tidak cukup sekali.
Hyeon Joo lalu memandang berkeliling, apa ada
benda berharga di sana dan bisa ia jual? Hyeon Joo terpaku pada sebuah foto
keluarga di sudut dinding kamarnya. Ia memandangi kalung berlian yang dipakai
Eomma pada sesi foto itu. Ia teringat kalimat Eomma waktu itu.
“Hyeon Joo, apa Eomma cantik? Ini kalung termahal yang pernah Eomma punya. Hadiah
ulang tahun pernikahan dari Harabheojhi-mu!”
“Eomma…bolehkah kupinjam sebentar kalung itu? Aku
janji akan rajin belajar dan akan jadi pengusaha sukses seperti Harabheojhi dan
Appa. Akan kugantikan kalung itu segera…” Hyeon Joo megeluh memandangi foto
Eomma. “Harabheojhi…bisakah kupinjam hadiahmu untuk temanku?”
Appa sedang membaca Koran di tepi kolam renang.
Hyeon Joo mendekati ayahnya.
“Appa…bolehkah aku ikut ke pabrik besok?” Hyeon
Joo merajuk.
“Hm? Bukankah besok kau sekolah?” Appa membuka
halaman berikutnya.
“Appa…Appa ingat Jingga temanku?”
“Aaaha.”
“Ibunya sakit, Appa. Aku harus menemui Jingga
dan membantunya sebentar saja. Aku janji akan menurut pada Appa dan Eomma. Aku
akan sekolah dan belajar yang rajin. Aku hanya akan bermain ke pabrik kalau
libur.”
Pada saat yang bersamaan, Eomma sudah berdiri
di belakang Hyeon Joo. Ia membawakan camilan untuk suaminya. Appa melirik
Eomma, memberi isyarat apa istrinya setuju?
“Baiklah.” Eomma mengejutkan Hyeon Joo. “Kau
harus menepati janjimu. Seorang coboy dan seorang laki-laki sejati harus
menepati janji.”
Hyeon Joo yang awalnya takut berubah menjadi
senang bukan main. “Gomapseumnida, Eomma! Terimakasih, Eomma…”
Hyeon Joo memeluk Eomma dan menciumi pipi
ibunya berkali-kali. Eomma tertawa bahagia begitu juga suaminya. Hyeon Joo lalu
kembali ke kamar mempersiapkan untuk besok ke pabrik.
Hyeon Joo menemui Jingga di rumah. Jingga
sangat senang melihat Hyeon Joo datang. Ibunya sedang pergi ke sekolah untuk
mendaftarkan Jingga sekolah.
“Hyeon Joo, kau datang tepat waktu!” Jingga
terlihat bahagia. “Ibu sedang mendaftarkan aku sekolah! Aku akan sekolah!”
Hyeon Joo tersenyum senang. “Bagus! Kita akan
berbagi buku bacaan!”
Jingga mengangguk. “Aku akan lebih pintar
darimu, Hyeon Joo!”
“Oya?” Hyeon Joo meledek. “Aku sepuluh tahun.
Kau tujuh tahun. Kau harus bekerja keras selama tiga tahun untuk sepintar aku!”
Jingga tertawa.
“Aku…” Hyeon Joo baru akan membahas Nuria.
“Oya, bagaimana penyelidikanmu, Coboy?”
“Ng?”
“Ibuku. Ibuku sakit apa? Apa obatnya mahal?”
“Iya, sangat mahal.” Hyeon Joo sedikit murung.
Jinga ikut sedih. “Apa Ibu bisa menungguku
sampai aku dewasa, punya pekerjaan dan punya banyak uang lalu membawanya ke
dokter?”
“Tidak usah. Kita pakai ini saja!” Hyeon Joo
menunjukkan kalung berlian ibunya.
“Whoa!” Jinga terkejut. “Benda apa itu? Bagus
sekali! Cantik dan berkilauan!”
“Aku meminjamnya dari Eomma dan Harabheojhi.
Ayo kita ke pasar, menjualnya untuk membeli obat ibumu.”
Jingga tersenyum. Ia mengangguk dan
bersemangat.
Jingga dan Hyeon Joo pergi ke pasar berjalan
kaki. Sebenarnya Hyeon Joo sedikit kelelahan, tapi ia tidak mau mengecewakan Jingga
yang begitu bersemangat. Sesampainya di pasar, Jingga memilih toko emas
terbesar untuk menjual kalung itu.
Penjual Emas terkejut. “Darimana kau dapat
benda ini? Kau mencurinya??”
Jingga sedikit takut. “Tidak. Itu punya Eomma
temanku. Di sana!”
Jingga menunjuk Hyeon Joo yang sedang duduk
kelelahan di teras toko. Penjual Emas melihat Hyeon Joo. Sekilas, ia percaya Hyeon
Joo pasti anak orang kaya. Dari wajah dan cara pakaiannya, Hyeon Joo pasti anak
orang kaya. Penjual Emas berniat untuk menipu Jingga dan Hyeon Joo.
“Mana surat-suratnya?” Tanya Penjual Emas.
“Surat?” Jingga bingung. Ia memanggil Hyeon Joo.
Hyeon Joo datang. “Dia minta suratnya. Surat apa?”
Hyeon Joo agak bingung. “Aku tidak tahu
dimana.”
“Apa? Jangan-jangan kau mencurinya?” Penjual
Emas sedikit membentak.
“Anio!
Itu punya Eomma, Harabheojhi yang memberikannya. Aku hanya meminjamnya untuk
membeli obat ibu temanku. Ibunya sakit parah dan harus ke rumah sakit. Aku
tidak punya uang. Dia juga.”
Penjual Emas merasa tersentuh mendengarnya.
Anak seusia Hyeon Joo bisa punya rasa peduli yang tinggi. Ia melihat Jingga
yang terlihat seperti anak kampung. Melihat wajah polos dan senyum manis Jingga,
Penjual Emas jadi urung untuk menipu. Tapi ia tidak punya uang untuk membeli
berlian asli dan mewah itu.
Berlian terjual seharga lima juta rupiah. Sangat
murah berkali-kali lipat dari harga aslinya, lima ratus juta. Hyeon Joo dan Jingga
pulang sambil bergandeng tangan. Mereka sangat senang sambil memakan es potong.
“Hyeon Joo, terima kasih, ya. Ini sangat
banyak. Ibuku pasti akan cepat sembuh.” Jingga girang melahap es potongnya.
“Iya. Tapi jangan ceritakan ini pada ibumu.”
“Ng? Kenapa?”
“Nanti dia mengira aku mencurinya, seperti
paman itu tadi.”
“Baiklah. Eh, tapi…” Jingga berpikir lagi. “Apa
kau benar meminjamnya?”
“Ha? A-aku…aku meminjamnya. Nanti kalau aku
sudah besar, akan kugantikan yang lebih mahal dari ini.”
“Apa ibumu mengijinkannya?”
“Iya.” Hyeon Joo pergi meninggalkan Jingga.
“Hyeon Joo, kau bohong ya?” Jingga menyusul.
“Anio!”
“Kenapa ibumu membiarkan kau menjualnya
sendiri?”
“K-kau…” Hyeon Joo tidak percaya Jingga
secerdas itu menebak. “Baiklah. Aku meminjamnya tanpa mengatakannya langsung.”
“Ha??”
“Tapi tenang saja. Aku sudah berjanji akan
menggantinya segera.”
Jingga diam saja di tempatnya.
“Kau ingin ibumu cepat sembuh, kan?”
Jingga mengangguk.
“Kalau begitu ini rahasia kita. Hanya kita
berdua. Jangan sampai ada yang tahu. Kau bisa pegang rahasia?”
Jingga mengagguk. “Bagaimana kalau Eomma-mu
tahu?”
“Dia tidak boleh tahu.” Hyeon Joo kembali
berjalan.
“Kenapa?” Jingga menyusul.
“Dia akan marah. Dia sangat menakutkan kalau
marah.”
“Oya? Seperti apa?”
“Mmm…seperti pohon beringin. Aneh, dingin, kaku
dan menyeramkan.”
Jingga tertawa. Hyeon Joo ikut tertawa.
Mereka tiba di tepi jalan untuk menyebrang.
Tidak seperti pertama datang ke pasar, mereka bisa menunggu orang dewasa yang
akan menyebrang dan mengikuti bersama. Kali ini terasa menakutkan. Kendaraan
banyak dan sangat cepat. Tidak ada orang dewasa yang memperhatikan mereka. Jingga
sedikit takut. Ia memegangi tangan Hyeon Joo. Hyeon Joo juga masih bingung
bagaimana menghentikannya. Akhirnya ada orang dewasa berdiri di sebelah mereka.
Ia juga ingin menyebrang. Hyeon Joo dan Jingga tersenyum berpandangan. Mereka
lalu ikut menyebrang.
Hampir sampai. Jingga mencoba meraih tas
kecilnya. Ia terkejut tasnya tidak ada. Jingga berbalik, tasnya terjatuh di
tengah jalan. Tas berisi uang hasil menjual kalung berlian Hyeon Joo. Tanpa
pikir panjang Jingga melepas diri dari pegangan Hyeon Joo. Ia berlari kembali
ke tengah jalan. Hyeon Joo terkejut dan berhenti sejenak. Karena ramai, orang
dewasa itu menarik Hyeon Joo segera menepi.
Jingga mendapatkan tasnya lalu tersenyum
melihat Hyeon Joo. Tiba-tiba sebuah motor yang melaju cepat dan menyalip mobil
di depannya tidak bisa mengendalikan laju motornya dan langsung menabrak Jingga.
Jingga terlempar ke seberang jalan. Kepalanya membentur tepian trotoar. Beberapa
detik kemudian kepalanya mengucurkan darah, membanjiri sebagian wajahnya.
Suasana mendadak ramai. Hyeon Joo terkejut dan
berteriak memanggil Jingga. Beberapa orang ikut berteriak dan berusaha
menolong.
“Hyeon Joo…Hyeon Joo…Hyeon Joo…” Jingga
menangis menjulurkan tangan pada Hyeon Joo.
Hyeon Joo hendak menyusul tapi seseorang
menahannya. Hyeon Joo berusaha berontak.
“Hyeon Joo…Hyeon Joo…Hyeon Joo…” darah terus
mengalir di wajah Jingga.
Hyeon Joo menggigit tangan orang yang
menahannya. Ia melepaskan diri dan berlari menemui Jingga. Belum sampai ke
tujuan, dari dua arah, mobil dan motor beradu karena menghindari Hyeon Joo yang
berada di tengah jalan secara tiba-tiba. Kaca mobil pecah dan pecahannya masuk
ke mata Hyeon Joo. Hyeon Joo berhenti dan mengerang kesakitan. Ia memegangi matanya.
“Hyeon Joo…Hyeon Joo…” masih terdengar suara Jingga
memanggil-manggil Hyeon Joo.
Hyeon Joo kembali berjalan sambil memegangi
matanya. Matanya berdarah. Tangan Hyeon Joo berlumur darah. Hyeon Joo tidak
bisa melihat jalannya. Sebuah motor kemudian menabrak Hyeon Joo dan membuat Hyeon
Joo terjatuh di aspal.
“Hyeon Joo…!!!” Jingga berteriak.
Hyeon Joo tidak sadarkan diri. Kepalanya
mengeluarkan banyak darah.
Nuria sedang memasang benang pada mesin
jahitnya. Tiba-tiba jarinya terusuk jarum dan berdarah. Ia mengeluh sakit dan
jantungnya berdebar tidak karuan. Tuan Kim sedang melakukan inspeksi dan
melihat Nuria yang sedang cemas. Tuan Kim menghampiri Nuria.
“Kau baik-baik saja?” tegur Tuan Kim.
Nuria terkejut. “I-iya, Tuan.”
“Baguslah.” Tuan Kim tersenyum. “Oh, iya.
Terima kasih tempo hari kau merawat anakku dengan sangat baik.”
“Oh?”
“Hyeon Joo. Kim Hyeon Joo adalah anakku.”
Nuria langsung berdiri. Ia meminta maaf karena lancang.
“Maafkan aku. Maafkan anakku.”
“ Tidak apa-apa. Dia sangat menyukai anakmu. Dia
senang bermain dengan Jingga. Terima kasih kau memberinya makan, mengajaknya
bermain dan membuatnya tidur dengan nyaman dan hangat.”
Nuria tersenyum sambil merunduk.
“Hyeon Joo bilang begitu.”
Sebuah telepon masuk ke ponsel Tuan Kim. Ia
mengangkatnya. Seketika wajahnya berubah pucat.
Di ruang UGD sebuah rumah sakit.
Jingga mendapat sepuluh jahitan di kening
kirinya. Ia tidak berhenti menangis dan memanggil-manggil Hyeon Joo. Hyeon Joo
tidak sadarkan diri dengan kepala dibalut verban berlapis-lapis. Matanya juga
dibalut.
Tuan Kim dan Nuria datang. Jingga berhambur
memeluk ibunya dan menangis. Nuria ikut menangis memeluk Jingga.
Tuan Kim tidak kuat untuk tidak menangis pula.
Anaknya tidak sadarkan diri. Perawat menghampirinya.
“Anda keluarga anak ini?”
“Kim Hyeon Joo, anakku!” Tuan Kim
mengguncang-guncangkan tubuh Hyeon Joo.
“Hyeon Joo harus segera dioperasi. Bisa anda
ikut saya untuk menandatangi sejumlah administrasi?”
Tuan Kim mengangguk. Ia menitipkan Hyeon Joo
pada Nuria dan Jingga.
Di ruang tunggu Kamar Operasi.
Nyonya Kim datang terburu-buru. Ia menghampiri
suaminya dan nyaris pingsan. Tuan Kim menahan dan mendudukkan istrinya.
“Hyeon Joo…Hyeon Joo-ku…Hyeon Joo…” Nyonya Kim
menangis tersedu.
Nuria memeluk Jingga di bangku lain. Ia ikut
menangis. Jingga tersedu ketakutan. Jingga teringat kata Hyeon Joo soal ibunya,
“…seperti pohon
beringin. Aneh, dingin, kaku dan menyeramkan.”
Jingga takut dimarahi Nyonya Kim. Ia memeluk
ibunya erat-erat.
“Apa yang terjadi dengan Hyeon Joo-ku, sayang?”
Nyonya Kim meremas lengan suaminya.
“Tenanglah dulu...” Tuan Kim menenangkan
istrinya.
Dokter keluar. Tuan dan Nyonya Kim menghampiri.
Nuria ikut berdiri.
“Bagaimana anakku, Dokter?” Nyonya Kim tidak
sabar.
“Operasi berjalan baik. Kami perlu melakukan
sejumlah tindakan lagi untuk matanya.”
“Apa yang terjadi dengan mata Hyeon Joo-ku?”
“Serpihan kaca merusak korneanya. Kami khawatir
itu akan menyebabkan kebutaan.”
“Apa? Tidak mungkin, Dokter. Lalu apa yang
harus dilakukan untuk mencegahnya?”
“Karena pasien belum siuman, kami masih harus
menunggu hasilnya. Kami akan melakukan sejumlah pemeriksaan lanjut untuk
memastikannya.”
“Tapi bagaimana jika dia buta, Dokter?
Bagaimana?”
“Semoga itu tidak terjadi. Jika itu terjadi, ia
butuh donor kornea. Dan itu tidak mudah.”
Nyonya Kim jatuh lemas. Tuan Kim menahannya.
“Terima kasih, Dokter. Kau sudah melakukan yang
terbaik. Tolong periksa dan lakukan apa saja yang terbaik untuk anak kami.”
Tuan Kim berusaha tenang.
Dokter pergi. Tuan Kim mendudukkan istrinya di
kursi. Nuria mendekati.
“Tuan, maafkan aku…” Nuria ikut menangis.
Tuan Kim mencoba tersenyum.
“Harusnya aku mengawasi anakku.” Nuria membelai
Jingga yang tersedu.
Nyonya Kim melirik Jingga. “Apa kau temannya?”
Jingga takut dan sembunyi di balik lengan
ibunya.
“Apa kau yang selama ini membuat anakku jadi
nakal?” Nyonya Kim naik pitam.
“Sayang, sabarlah. Dia hanya anak kecil…” Tuan
Kim menahan istrinya.
“Anak kecil? Anak kecil macam apa kau? Kau
ingin anakku mati!”
“Tidak!” Jingga berteriak takut. “Hyeon Joo
baik, dia mengajakku ke pasar untuk menjual kalung Eomma-nya.”
Semua orang terkejut.
Nuria berjongkok. “Kalung apa, Jingga?”
Jingga kelepasan. Ia sudah berjanji untuk tidak
mengatakannya pada siapa pun. Tapi…
“Kalung? Kau menyuruhnya mencuri kalung?”
Nyonya Kim berusaha bangkit. Suaminya kembali menahan.
“Bukan. Kalung bagus berkilauan. Hyeon Joo
bilang dia meminjamnya untuk biaya berobat Ibu…”
Nuria mnangis memeluk anaknya.
Satu bulan kemudian.
Hyeon Joo mengalami koma. Ketika terbangun, Hyeon
Joo menangis memanggil ibunya.
“Eomma…Eomma…Appa…Appa…Harabheojhi…” Hyeon Joo panik
di kasurnya.
Eomma baru masuk dari toilet. Ia memeluk dan
menenangkan putranya.
“Hyeon Joo…Hyeon Joo sayang, ini Eomma….Hyeon
Joo…” Eomma menangis.
“Eomma, kenapa di sini gelap? Gelap sekali,
Eomma…” Hyeon Joo menangis ketakutan.
Eomma terkejut. Ia meraih kepala anaknya dan
memandangi lekat-lekat kedua mata Hyeon Joo.
“Eomma…aku tidak suka gelap. Eomma ini terlalu
gelap. Gelap sekali. Appa..Harabheojhi…”
Dokter memeriksa Hyeon Joo. Apa yang
dikhawatirkan terjadi. Hyeon Joo mengalami kebutaan. Tidak hanya itu, Hyeon Joo
juga kehilangan sebagian ingatannya. Ia hanya bisa mengingat sampai sakitnya
Harabheojhi, seminggu sebelum Harabheojhi meninggal.
Eomma sangat frustasi melihat anaknya hilang
ingatan meski hanya sebagian kecil, tapi itu memandakan terjadi masalah di
otaknya. Ia terus berbohong menutupi kematian Harabheojhi sampai waktunya
tepat. Lebih menyakitkan lagi adalah Hyeon Joo menjadi buta.
Eomma mengusap-usap kepala Hyeon Joo yang
tertidur di kamarnya. Ia menangisi putranya yang malang. Eomma merapikan meja
belajar Hyeon Joo dan tersedu melihat tulisan anaknya. Mulai hari ini, Hyeon
Joo tidak bisa sekolah seperti biasanya. Hatinya sangat sakit menyadari itu.
Secarik kertas terjatuh dari selipan buku Hyeon
Joo. Eomma memungut dan membacanya. Ia heran dan tidak mengerti kenapa secarik
kertas berisi hasil pemeriksaan laboratorium seseorang bisa ada di kamar
anaknya. Dibacanya kembali.
Eomma lalu tertegun. Ia menghubung-hubungkan
beberapa kejadian sambil melihat foto keluarga di salah satu dinding kamar Hyeon
Joo. Terpusat pada kalung berlian yang dipakainya di foto itu. Eomma kembali ke
kamar dan mencari kalungnya. Firasatnya benar, kalung yang dimaksud Jingga itu
adalah kalung berlian pemberian mertuanya.
Eomma mengirim faks pada Dokter Zia meminta
penjelasan soal hasil laboratorium itu. Dokter Zia menelepon Eomma.
“Ada apa sebenarnya?” Tanya Dokter Zia heran.
“Kau dan Hyeon Joo sama-sama menanyakan kertas yang sama.”
Nyonya Kim terkejut. “Apa? Kapan?”
“Tempo hari ketika kau membawanya untuk melakukan
medical check-up. Dia memintaku
menjelaskan sakit apa orang itu.”
“Apa?” Nyonya Kim bingung. “Lalu apa yang kau
katakan padanya?”
“Aku bilang, orang dengan hasil tes itu sedang
sakit parah dan harus dilakukan kemoteraphy. Orang itu sakit kanker paru. Obatnya
mahal dan tidak cukup sekali.”
Nyonya Kim menutup mulutnya tidak percaya.
“Dia bilang, Harabheojhi juga sakit itu.”
Nyonya Kim menangis.
“Ada apa, Shinta?”
“Seberapa parah?”
“Ng?” Dokter Zia bingung. “Sudah stadium empat.
Dilihat dari hasil pemeriksaan itu, kemungkinan sembuhnya sangat kecil karena
terlambat untuk kemoteraphy.”
“Terima kasih, Zia. Aku senang berteman dengan
dokter sepintar dirimu.”
Nyonya Kim memutus telepon. Ia diam memikirkan
sesuatu. Pandangannya dingin dan kaku.
“Hyeon Joo-ku tidak seharusnya menerima ini. Ia
harus bisa melihat kembali.”
Nyonya Kim menemui Nuria malam itu juga. Ia
berdiri di depan rumah gubuk dengan lampu temaram sebagai pencahayaan. Nyonya
Kim memandangi kertas hasil pemeriksaan itu. Alamat yang tertulis sepertinya
benar membawanya ke sana.
Nyonya Kim mengetuk pintu. Tidak lama pintu
dibuka. Nuria terkejut.
“Bisa kita bicara di luar sebentar?” Nyonya Kim
terlihat sangat dingin.
Nuria melihat ke dalam. Anaknya masih tertidur.
Ia lalu keluar dan menutup pintu.
Nyonya Kim menengadahkan tangan pada Nuria.
“Kembalikan kalung berlianku seharga lima ratus juta yang asli dan mewah.”
Nuria terkejut. “Aku…aku tidak tahu, Nyonya.”
Nyonya Kim tersenyum meledek. “Kalau begitu
anakmu tahu. Panggil dan bangunkan dia!”
“Ja-jangan, Nyonya. Dia sedang tidur dan lelah.”
“Tidur? Lelah?” Nyonya Kim emosi. “Anakku tidak
bisa tidur cepat dan tenang setelah kecelakaan akibat anakmu!”
“Maafkan aku, Nyonya…”
“Seumur hidupmu, kau tidak akan bisa
menggantikan kalungku.”
Nuria merunduk sedih.
Nyonya Kim memberikan kertas pemeriksaan milik Nuria.
Nuria terkejut, bagaimana ini bisa sampai ke tangan Nyonya Kim?
“Kanker paru stadium akhir.” Nyonya Kim melipat
tangan. “Kau bahkan tidak punya uang untuk biaya pengobatanmu, kan?”
Nuria membendung air mata.
“Aku menawarkan sebuah kesepakatan untukmu. Aku
akan memaafkanmu untuk itu jika kau menyetujuinya.”
Nuria tidak bisa tidur. Ia membelai kepala
anaknya sambil melamun. Nyonya Kim juga melakukan hal yang sama, tidak bisa
tidur dan melamunkan sesuatu.
Menjelang pagi, Nuria masih belum tidur. Nuria
lalu bangkit dan mengemaskan beberapa pakaian di lemari. Nuria menitikkan air
mata sambil berkemas.
“Ibu, kita akan kemana?” Tanya Jingga.
“Ke rumah teman lama Ibu. Dia teman baik Ibu.” Nuria
menggandeng tangan anaknya sambil berjalan.
“Dia tinggal di Jakarta ini?”
“Iya.”
Jingga memperhatikan sekelilingnya. Sebuah gang
sempit dengan banyak kontrakan berjajar. Tidak banyak anak kecil seusianya
bermain di sana. Hanya beberapa wanita muda dan paruh baya berpakaian minim di
siang hari.
Mereka tiba di sebuah rumah. Wuri, teman baik Nuria
menyambut mereka. Selagi Nuria dan Wuri bercakap-cakap, Jingga memandang ke
luar jendela.
Jakarta tidak seperti yang dilihatnya di tv.
Ternyata ada perkampungan seperti yang kini ia pijaki. Jingga melihat seorang
anak laki-laki. Ia sedang bermain siput laut. Jingga tertarik melihat lebih
dekat.
“Ibu, apa aku boleh keluar? Di sana ada anak
kecil, boleh aku bermain dengannya?” pinta Jingga.
Wuri dan Nuria melihat keluar jendela.
“Ooh…itu Rio, anak temanku. Dia sedikit
merepotkan tapi dia lucu. Mungkin dia dua tahun lebih tua dari Jingga.” Kata
Wuri.
Nuria tersenyum memberi ijin pada Jingga. Jingga
keluar dengan gembira.
“Apa itu?” Tanya Jingga pada anak itu.
“Ng?” Rio melihat Jingga. “Kau anak laki-laki
atau perempuan?”
“Heu?” Jingga melihat dirinya. Memakai baju
romper dan sepatu berpita. “Perempuan. Apa yang aneh?”
Rio tersenyum. “Harusnya kau pakai jepitan atau
pita, supaya terlihat manis seperti anak perempuan.”
Jingga tersenyum. Dengan sekejap mereka
langsung akrab.
“Apa? Ibu macam apa kau?” Wuri marah di
rumahnya.
“Wuri…kumohon, bantulah aku.” Nuria menangis.
“Selama hidupku aku tidak pernah melakukan hal baik pada anakku. Dia terlambat
sekolah, tidak memiliki mainan bahkan baju bagus untuk sekedar menyenangkannya.
Aku miskin dan bodoh. Dan…penyakitan.”
“Tapi kau tidak boleh menyerah begitu saja.
Hidup atau mati memang sudah ditakdirkan, tapi kau harus berusaha.”
“Kumohon, Wuri. Ambilah uang ini dan jagalah
anakku seperti anakmu sendiri. Aku hanya akan membebaninya.” Nuria memberikan
sebuah amplop coklat penuh berisi uang.
“Tidak.” Wuri menolak. “Kalau kau memilih untuk
mengakhiri semuanya, akhirilah dengan caramu. Aku tidak akan memakai uang itu
sepeser pun. Aku akan menjaga Jingga seperti anakku sendiri, sebagai ganti
anakku yang sudah tiada.”
Nuria tersedu.
“Aku benci pada keputusanmu. Aku akan
membalasmu di kemudian hari. Kau akan menyesalinya. Kau akan lihat Jingga
menjadi gadis cantik dan pintar. Dengan usahaku sendiri, bahkan yang bukan
siapa-siapanya. Tidak dengan uang itu.”
Nuria tersenyum dalam tangis.
“Dia tidak akan sepengecut dirimu. Dia tidak
akan sehina dan serendah pelacur seperti aku. Dia akan menjadi anakku. Kau akan
menyesalinya!”
“Terima kasih. Terima kasih…”
Bersambung ke Chapter 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar