18 Desember 2014

Korean Pine Love - Chapter 2



Chapter 2
Kalung Berlian Eomma

Lanjutan Dari Chapter 1



Hari minggu. Eomma mengajak Hyeon Joo ke rumah sakit. Ia terlalu mengkhawatirkan anaknya. Hyeon Joo tidak merasa sakit tapi Eomma tetap membawa Hyeon Joo ke rumah sakit untuk melakukan check-up. Aji mumpung, seorang teman lama Eomma adalah dokter anak di rumah sakit itu.
Hyeon Joo menjalani sejumlah tes dengan malas. Eomma sibuk ngobrol dengan temannya. Hyeon Joo harusnya ke pabrik sesuai janji Appa. Tapi karena kemarin Hyeon Joo nekat kabur, maka ia dianggap melanggar janji. Appa tidak jadi pergi ke pabrik membawa Hyeon Joo bermain dengan Jingga.
“Bagaimana hasilnya?” Eomma menunggu di ruang periksa dokter anak.
Hyeon Joo duduk di sebelahnya memainkan bandul hiasan meja dokter.
“Baik. Semuanya baik. Hyeon Joo, apa asma-mu akhir-akhir ini sering kambuh?” Tanya Dokter Zia, teman Eomma.
Hyeon Joo menggeleng.
“Seminggu yang lalu, iya.” Eomma menjawab pertanyaan dokter.
“Baiklah. Dia hanya perlu mengontrol diri. Tidak usah terlalu sibuk dan lelah. Nikmati saja dunia anak-anak. Aku akan berikan beberapa suplemen untuk menjaga daya tahan tubuhnya pasca kambuh asma itu.” Dokter Zia menulis resep.
Eomma mendapat telepon dari Appa. Ia permisi lalu keluar ruangan. Hyeon Joo memastikan Eomma sudah diluar, ia lalu mengeluarkan kertas yang diambilnya dari rumah Jingga.
Uisa. Dokter!” Hyeon Joo menyerahkan kertas itu.
Dokter bingung dengan panggilan Hyeon Joo.
“Apa yang dikatakan di kertas itu? Apa ada nama obat atau nama penyakitnya?”
Dokter membaca kertas itu. Ia sedikit terkejut lalu melihat wajah polos Hyeon Joo. “Kau dapat ini darimana?”
Hyeon Joo bingung mencari alasan. “Aku menemukannya.”
Dokter sedikit tidak percaya.
“Apa sakitnya? Apa itu parah?”
Dokter tersenyum. “Ini adalah hasil tes laboratorium seorang pasien dengan penyakit yang cukup parah. Orang dengan penyakit ini, harus menjalani pengobatan yang lama dan mahal.”
“Sakit apa?” Hyeon Joo mendesak.
“Kanker paru.”
“Oh!” Hyeon Joo terkejut. “Harabheojhi juga sakit itu.”
“Ng?”
“Kakek-ku.”
“Ooo…iya, dia harus kemoteraphy dan tidak cukup sekali. Pengobatannya juga mahal. Kenapa kau sangat ingin tahu?”
“Ooh…Appa bilang aku harus pintar dan menjadi dokter.”
Dokter Zia tersenyum. “Iya, tapi belum saatnya. Ini terlalu rumit. Nah, kuberikan ini pada bagian informasi agar diumumkan, siapa tahu pemiliknya belum jauh.”
Anio!” Hyeon Joo merebutnya.
Eomma datang. “Apa sudah selesai?”
Hyeon Joo turun dan menabrak ibunya keluar ruangan. Eomma bingung, Dokter Zia pun bingung.
“Maafkan anakku ya, Zia…” Eomma merasa tidak enak.
Dokter Zia membalas senyum dan memberikan resep Hyeon Joo pada Eomma.

Sesampainya di rumah, Hyeon Joo langsung berlari ke kamar tidak memperdulikan Eomma memanggilnya.
“Kenapa Coboy-ku?” Tanya Tuan Kim pada istrinya.
Eomma mengangkat bahu. “Mungkin dia berpikir aku sheriff yang jahat. Dia mengacuhkanku terus.”
Tuan Kim tertawa.
Di kamar, Hyeon Joo memecahkan celengannya diam-diam. Ia menghitung uang tabungannya. Ia lalu tampak bingung.
“Apa ini cukup?” Hyeon Joo pikir tidak. Karena kata dokter, pengobatannya mahal dan tidak cukup sekali.
Hyeon Joo lalu memandang berkeliling, apa ada benda berharga di sana dan bisa ia jual? Hyeon Joo terpaku pada sebuah foto keluarga di sudut dinding kamarnya. Ia memandangi kalung berlian yang dipakai Eomma pada sesi foto itu. Ia teringat kalimat Eomma waktu itu.
Hyeon Joo, apa Eomma cantik? Ini kalung termahal yang pernah Eomma punya. Hadiah ulang tahun pernikahan dari Harabheojhi-mu!”
“Eomma…bolehkah kupinjam sebentar kalung itu? Aku janji akan rajin belajar dan akan jadi pengusaha sukses seperti Harabheojhi dan Appa. Akan kugantikan kalung itu segera…” Hyeon Joo megeluh memandangi foto Eomma. “Harabheojhi…bisakah kupinjam hadiahmu untuk temanku?”
Appa sedang membaca Koran di tepi kolam renang. Hyeon Joo mendekati ayahnya.
“Appa…bolehkah aku ikut ke pabrik besok?” Hyeon Joo merajuk.
“Hm? Bukankah besok kau sekolah?” Appa membuka halaman berikutnya.
“Appa…Appa ingat Jingga temanku?”
“Aaaha.”
“Ibunya sakit, Appa. Aku harus menemui Jingga dan membantunya sebentar saja. Aku janji akan menurut pada Appa dan Eomma. Aku akan sekolah dan belajar yang rajin. Aku hanya akan bermain ke pabrik kalau libur.”
Pada saat yang bersamaan, Eomma sudah berdiri di belakang Hyeon Joo. Ia membawakan camilan untuk suaminya. Appa melirik Eomma, memberi isyarat apa istrinya setuju?
“Baiklah.” Eomma mengejutkan Hyeon Joo. “Kau harus menepati janjimu. Seorang coboy dan seorang laki-laki sejati harus menepati janji.”
Hyeon Joo yang awalnya takut berubah menjadi senang bukan main. “Gomapseumnida, Eomma! Terimakasih, Eomma…”

Hyeon Joo memeluk Eomma dan menciumi pipi ibunya berkali-kali. Eomma tertawa bahagia begitu juga suaminya. Hyeon Joo lalu kembali ke kamar mempersiapkan untuk besok ke pabrik.
Hyeon Joo menemui Jingga di rumah. Jingga sangat senang melihat Hyeon Joo datang. Ibunya sedang pergi ke sekolah untuk mendaftarkan Jingga sekolah.
“Hyeon Joo, kau datang tepat waktu!” Jingga terlihat bahagia. “Ibu sedang mendaftarkan aku sekolah! Aku akan sekolah!”
Hyeon Joo tersenyum senang. “Bagus! Kita akan berbagi buku bacaan!”
Jingga mengangguk. “Aku akan lebih pintar darimu, Hyeon Joo!”
“Oya?” Hyeon Joo meledek. “Aku sepuluh tahun. Kau tujuh tahun. Kau harus bekerja keras selama tiga tahun untuk sepintar aku!”
Jingga tertawa.
“Aku…” Hyeon Joo baru akan membahas Nuria.
“Oya, bagaimana penyelidikanmu, Coboy?”
“Ng?”
“Ibuku. Ibuku sakit apa? Apa obatnya mahal?”
“Iya, sangat mahal.” Hyeon Joo sedikit murung.
Jinga ikut sedih. “Apa Ibu bisa menungguku sampai aku dewasa, punya pekerjaan dan punya banyak uang lalu membawanya ke dokter?”
“Tidak usah. Kita pakai ini saja!” Hyeon Joo menunjukkan kalung berlian ibunya.
“Whoa!” Jinga terkejut. “Benda apa itu? Bagus sekali! Cantik dan berkilauan!”
“Aku meminjamnya dari Eomma dan Harabheojhi. Ayo kita ke pasar, menjualnya untuk membeli obat ibumu.”
Jingga tersenyum. Ia mengangguk dan bersemangat.
Jingga dan Hyeon Joo pergi ke pasar berjalan kaki. Sebenarnya Hyeon Joo sedikit kelelahan, tapi ia tidak mau mengecewakan Jingga yang begitu bersemangat. Sesampainya di pasar, Jingga memilih toko emas terbesar untuk menjual kalung itu.
Penjual Emas terkejut. “Darimana kau dapat benda ini? Kau mencurinya??”
Jingga sedikit takut. “Tidak. Itu punya Eomma temanku. Di sana!”
Jingga menunjuk Hyeon Joo yang sedang duduk kelelahan di teras toko. Penjual Emas melihat Hyeon Joo. Sekilas, ia percaya Hyeon Joo pasti anak orang kaya. Dari wajah dan cara pakaiannya, Hyeon Joo pasti anak orang kaya. Penjual Emas berniat untuk menipu Jingga dan Hyeon Joo.
“Mana surat-suratnya?” Tanya Penjual Emas.
“Surat?” Jingga bingung. Ia memanggil Hyeon Joo. Hyeon Joo datang. “Dia minta suratnya. Surat apa?”
Hyeon Joo agak bingung. “Aku tidak tahu dimana.”
“Apa? Jangan-jangan kau mencurinya?” Penjual Emas sedikit membentak.
Anio! Itu punya Eomma, Harabheojhi yang memberikannya. Aku hanya meminjamnya untuk membeli obat ibu temanku. Ibunya sakit parah dan harus ke rumah sakit. Aku tidak punya uang. Dia juga.”
Penjual Emas merasa tersentuh mendengarnya. Anak seusia Hyeon Joo bisa punya rasa peduli yang tinggi. Ia melihat Jingga yang terlihat seperti anak kampung. Melihat wajah polos dan senyum manis Jingga, Penjual Emas jadi urung untuk menipu. Tapi ia tidak punya uang untuk membeli berlian asli dan mewah itu.
Berlian terjual seharga lima juta rupiah. Sangat murah berkali-kali lipat dari harga aslinya, lima ratus juta. Hyeon Joo dan Jingga pulang sambil bergandeng tangan. Mereka sangat senang sambil memakan es potong.
“Hyeon Joo, terima kasih, ya. Ini sangat banyak. Ibuku pasti akan cepat sembuh.” Jingga girang melahap es potongnya.
“Iya. Tapi jangan ceritakan ini pada ibumu.”
“Ng? Kenapa?”
“Nanti dia mengira aku mencurinya, seperti paman itu tadi.”
“Baiklah. Eh, tapi…” Jingga berpikir lagi. “Apa kau benar meminjamnya?”
“Ha? A-aku…aku meminjamnya. Nanti kalau aku sudah besar, akan kugantikan yang lebih mahal dari ini.”
“Apa ibumu mengijinkannya?”
“Iya.” Hyeon Joo pergi meninggalkan Jingga.
“Hyeon Joo, kau bohong ya?” Jingga menyusul.
Anio!”
“Kenapa ibumu membiarkan kau menjualnya sendiri?”
“K-kau…” Hyeon Joo tidak percaya Jingga secerdas itu menebak. “Baiklah. Aku meminjamnya tanpa mengatakannya langsung.”
“Ha??”
“Tapi tenang saja. Aku sudah berjanji akan menggantinya segera.”
Jingga diam saja di tempatnya.
“Kau ingin ibumu cepat sembuh, kan?”
Jingga mengangguk.
“Kalau begitu ini rahasia kita. Hanya kita berdua. Jangan sampai ada yang tahu. Kau bisa pegang rahasia?”
Jingga mengagguk. “Bagaimana kalau Eomma-mu tahu?”
“Dia tidak boleh tahu.” Hyeon Joo kembali berjalan.
“Kenapa?” Jingga menyusul.
“Dia akan marah. Dia sangat menakutkan kalau marah.”
“Oya? Seperti apa?”
“Mmm…seperti pohon beringin. Aneh, dingin, kaku dan menyeramkan.”
Jingga tertawa. Hyeon Joo ikut tertawa.
Mereka tiba di tepi jalan untuk menyebrang. Tidak seperti pertama datang ke pasar, mereka bisa menunggu orang dewasa yang akan menyebrang dan mengikuti bersama. Kali ini terasa menakutkan. Kendaraan banyak dan sangat cepat. Tidak ada orang dewasa yang memperhatikan mereka. Jingga sedikit takut. Ia memegangi tangan Hyeon Joo. Hyeon Joo juga masih bingung bagaimana menghentikannya. Akhirnya ada orang dewasa berdiri di sebelah mereka. Ia juga ingin menyebrang. Hyeon Joo dan Jingga tersenyum berpandangan. Mereka lalu ikut menyebrang.
Hampir sampai. Jingga mencoba meraih tas kecilnya. Ia terkejut tasnya tidak ada. Jingga berbalik, tasnya terjatuh di tengah jalan. Tas berisi uang hasil menjual kalung berlian Hyeon Joo. Tanpa pikir panjang Jingga melepas diri dari pegangan Hyeon Joo. Ia berlari kembali ke tengah jalan. Hyeon Joo terkejut dan berhenti sejenak. Karena ramai, orang dewasa itu menarik Hyeon Joo segera menepi.
Jingga mendapatkan tasnya lalu tersenyum melihat Hyeon Joo. Tiba-tiba sebuah motor yang melaju cepat dan menyalip mobil di depannya tidak bisa mengendalikan laju motornya dan langsung menabrak Jingga. Jingga terlempar ke seberang jalan. Kepalanya membentur tepian trotoar. Beberapa detik kemudian kepalanya mengucurkan darah, membanjiri sebagian wajahnya.
Suasana mendadak ramai. Hyeon Joo terkejut dan berteriak memanggil Jingga. Beberapa orang ikut berteriak dan berusaha menolong.
“Hyeon Joo…Hyeon Joo…Hyeon Joo…” Jingga menangis menjulurkan tangan pada Hyeon Joo.
Hyeon Joo hendak menyusul tapi seseorang menahannya. Hyeon Joo berusaha berontak.
“Hyeon Joo…Hyeon Joo…Hyeon Joo…” darah terus mengalir di wajah Jingga.
Hyeon Joo menggigit tangan orang yang menahannya. Ia melepaskan diri dan berlari menemui Jingga. Belum sampai ke tujuan, dari dua arah, mobil dan motor beradu karena menghindari Hyeon Joo yang berada di tengah jalan secara tiba-tiba. Kaca mobil pecah dan pecahannya masuk ke mata Hyeon Joo. Hyeon Joo berhenti dan mengerang kesakitan. Ia memegangi matanya.
“Hyeon Joo…Hyeon Joo…” masih terdengar suara Jingga memanggil-manggil Hyeon Joo.
Hyeon Joo kembali berjalan sambil memegangi matanya. Matanya berdarah. Tangan Hyeon Joo berlumur darah. Hyeon Joo tidak bisa melihat jalannya. Sebuah motor kemudian menabrak Hyeon Joo dan membuat Hyeon Joo terjatuh di aspal.
“Hyeon Joo…!!!” Jingga berteriak.
Hyeon Joo tidak sadarkan diri. Kepalanya mengeluarkan banyak darah.

Nuria sedang memasang benang pada mesin jahitnya. Tiba-tiba jarinya terusuk jarum dan berdarah. Ia mengeluh sakit dan jantungnya berdebar tidak karuan. Tuan Kim sedang melakukan inspeksi dan melihat Nuria yang sedang cemas. Tuan Kim menghampiri Nuria.
“Kau baik-baik saja?” tegur Tuan Kim.
Nuria terkejut. “I-iya, Tuan.”
“Baguslah.” Tuan Kim tersenyum. “Oh, iya. Terima kasih tempo hari kau merawat anakku dengan sangat baik.”
“Oh?”
“Hyeon Joo. Kim Hyeon Joo adalah anakku.”
Nuria langsung berdiri. Ia meminta maaf karena lancang. “Maafkan aku. Maafkan anakku.”
“ Tidak apa-apa. Dia sangat menyukai anakmu. Dia senang bermain dengan Jingga. Terima kasih kau memberinya makan, mengajaknya bermain dan membuatnya tidur dengan nyaman dan hangat.”
Nuria tersenyum sambil merunduk.
“Hyeon Joo bilang begitu.”
Sebuah telepon masuk ke ponsel Tuan Kim. Ia mengangkatnya. Seketika wajahnya berubah pucat.

Di ruang UGD sebuah rumah sakit.
Jingga mendapat sepuluh jahitan di kening kirinya. Ia tidak berhenti menangis dan memanggil-manggil Hyeon Joo. Hyeon Joo tidak sadarkan diri dengan kepala dibalut verban berlapis-lapis. Matanya juga dibalut.
Tuan Kim dan Nuria datang. Jingga berhambur memeluk ibunya dan menangis. Nuria ikut menangis memeluk Jingga.
Tuan Kim tidak kuat untuk tidak menangis pula. Anaknya tidak sadarkan diri. Perawat menghampirinya.
“Anda keluarga anak ini?”
“Kim Hyeon Joo, anakku!” Tuan Kim mengguncang-guncangkan tubuh Hyeon Joo.
“Hyeon Joo harus segera dioperasi. Bisa anda ikut saya untuk menandatangi sejumlah administrasi?”
Tuan Kim mengangguk. Ia menitipkan Hyeon Joo pada Nuria dan Jingga.

Di ruang tunggu Kamar Operasi.
Nyonya Kim datang terburu-buru. Ia menghampiri suaminya dan nyaris pingsan. Tuan Kim menahan dan mendudukkan istrinya.
“Hyeon Joo…Hyeon Joo-ku…Hyeon Joo…” Nyonya Kim menangis tersedu.
Nuria memeluk Jingga di bangku lain. Ia ikut menangis. Jingga tersedu ketakutan. Jingga teringat kata Hyeon Joo soal ibunya,
“…seperti pohon beringin. Aneh, dingin, kaku dan menyeramkan.”
Jingga takut dimarahi Nyonya Kim. Ia memeluk ibunya erat-erat.
“Apa yang terjadi dengan Hyeon Joo-ku, sayang?” Nyonya Kim meremas lengan suaminya.
“Tenanglah dulu...” Tuan Kim menenangkan istrinya.
Dokter keluar. Tuan dan Nyonya Kim menghampiri. Nuria ikut berdiri.
“Bagaimana anakku, Dokter?” Nyonya Kim tidak sabar.
“Operasi berjalan baik. Kami perlu melakukan sejumlah tindakan lagi untuk matanya.”
“Apa yang terjadi dengan mata Hyeon Joo-ku?”
“Serpihan kaca merusak korneanya. Kami khawatir itu akan menyebabkan kebutaan.”
“Apa? Tidak mungkin, Dokter. Lalu apa yang harus dilakukan untuk mencegahnya?”
“Karena pasien belum siuman, kami masih harus menunggu hasilnya. Kami akan melakukan sejumlah pemeriksaan lanjut untuk memastikannya.”
“Tapi bagaimana jika dia buta, Dokter? Bagaimana?”
“Semoga itu tidak terjadi. Jika itu terjadi, ia butuh donor kornea. Dan itu tidak mudah.”
Nyonya Kim jatuh lemas. Tuan Kim menahannya.
“Terima kasih, Dokter. Kau sudah melakukan yang terbaik. Tolong periksa dan lakukan apa saja yang terbaik untuk anak kami.” Tuan Kim berusaha tenang.
Dokter pergi. Tuan Kim mendudukkan istrinya di kursi. Nuria mendekati.
“Tuan, maafkan aku…” Nuria ikut menangis.
Tuan Kim mencoba tersenyum.
“Harusnya aku mengawasi anakku.” Nuria membelai Jingga yang tersedu.
Nyonya Kim melirik Jingga. “Apa kau temannya?”
Jingga takut dan sembunyi di balik lengan ibunya.
“Apa kau yang selama ini membuat anakku jadi nakal?” Nyonya Kim naik pitam.
“Sayang, sabarlah. Dia hanya anak kecil…” Tuan Kim menahan istrinya.
“Anak kecil? Anak kecil macam apa kau? Kau ingin anakku mati!”
“Tidak!” Jingga berteriak takut. “Hyeon Joo baik, dia mengajakku ke pasar untuk menjual kalung Eomma-nya.”
Semua orang terkejut.
Nuria berjongkok. “Kalung apa, Jingga?”
Jingga kelepasan. Ia sudah berjanji untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Tapi…
“Kalung? Kau menyuruhnya mencuri kalung?” Nyonya Kim berusaha bangkit. Suaminya kembali menahan.
“Bukan. Kalung bagus berkilauan. Hyeon Joo bilang dia meminjamnya untuk biaya berobat Ibu…”
Nuria mnangis memeluk anaknya.

Satu bulan kemudian.
Hyeon Joo mengalami koma. Ketika terbangun, Hyeon Joo menangis memanggil ibunya.
“Eomma…Eomma…Appa…Appa…Harabheojhi…” Hyeon Joo panik di kasurnya.
Eomma baru masuk dari toilet. Ia memeluk dan menenangkan putranya.
“Hyeon Joo…Hyeon Joo sayang, ini Eomma….Hyeon Joo…” Eomma menangis.
“Eomma, kenapa di sini gelap? Gelap sekali, Eomma…” Hyeon Joo menangis ketakutan.
Eomma terkejut. Ia meraih kepala anaknya dan memandangi lekat-lekat kedua mata Hyeon Joo.
“Eomma…aku tidak suka gelap. Eomma ini terlalu gelap. Gelap sekali. Appa..Harabheojhi…”

Dokter memeriksa Hyeon Joo. Apa yang dikhawatirkan terjadi. Hyeon Joo mengalami kebutaan. Tidak hanya itu, Hyeon Joo juga kehilangan sebagian ingatannya. Ia hanya bisa mengingat sampai sakitnya Harabheojhi, seminggu sebelum Harabheojhi meninggal.
Eomma sangat frustasi melihat anaknya hilang ingatan meski hanya sebagian kecil, tapi itu memandakan terjadi masalah di otaknya. Ia terus berbohong menutupi kematian Harabheojhi sampai waktunya tepat. Lebih menyakitkan lagi adalah Hyeon Joo menjadi buta.

Eomma mengusap-usap kepala Hyeon Joo yang tertidur di kamarnya. Ia menangisi putranya yang malang. Eomma merapikan meja belajar Hyeon Joo dan tersedu melihat tulisan anaknya. Mulai hari ini, Hyeon Joo tidak bisa sekolah seperti biasanya. Hatinya sangat sakit menyadari itu.
Secarik kertas terjatuh dari selipan buku Hyeon Joo. Eomma memungut dan membacanya. Ia heran dan tidak mengerti kenapa secarik kertas berisi hasil pemeriksaan laboratorium seseorang bisa ada di kamar anaknya. Dibacanya kembali.
Eomma lalu tertegun. Ia menghubung-hubungkan beberapa kejadian sambil melihat foto keluarga di salah satu dinding kamar Hyeon Joo. Terpusat pada kalung berlian yang dipakainya di foto itu. Eomma kembali ke kamar dan mencari kalungnya. Firasatnya benar, kalung yang dimaksud Jingga itu adalah kalung berlian pemberian mertuanya.
Eomma mengirim faks pada Dokter Zia meminta penjelasan soal hasil laboratorium itu. Dokter Zia menelepon Eomma.
“Ada apa sebenarnya?” Tanya Dokter Zia heran. “Kau dan Hyeon Joo sama-sama menanyakan kertas yang sama.”
Nyonya Kim terkejut. “Apa? Kapan?”
“Tempo hari ketika kau membawanya untuk melakukan medical check-up. Dia memintaku menjelaskan sakit apa orang itu.”
“Apa?” Nyonya Kim bingung. “Lalu apa yang kau katakan padanya?”
“Aku bilang, orang dengan hasil tes itu sedang sakit parah dan harus dilakukan kemoteraphy. Orang itu sakit kanker paru. Obatnya mahal dan tidak cukup sekali.”
Nyonya Kim menutup mulutnya tidak percaya.
“Dia bilang, Harabheojhi juga sakit itu.”
Nyonya Kim menangis.
“Ada apa, Shinta?”
“Seberapa parah?”
“Ng?” Dokter Zia bingung. “Sudah stadium empat. Dilihat dari hasil pemeriksaan itu, kemungkinan sembuhnya sangat kecil karena terlambat untuk kemoteraphy.”
“Terima kasih, Zia. Aku senang berteman dengan dokter sepintar dirimu.”
Nyonya Kim memutus telepon. Ia diam memikirkan sesuatu. Pandangannya dingin dan kaku.
“Hyeon Joo-ku tidak seharusnya menerima ini. Ia harus bisa melihat kembali.”

Nyonya Kim menemui Nuria malam itu juga. Ia berdiri di depan rumah gubuk dengan lampu temaram sebagai pencahayaan. Nyonya Kim memandangi kertas hasil pemeriksaan itu. Alamat yang tertulis sepertinya benar membawanya ke sana.
Nyonya Kim mengetuk pintu. Tidak lama pintu dibuka. Nuria terkejut.
“Bisa kita bicara di luar sebentar?” Nyonya Kim terlihat sangat dingin.
Nuria melihat ke dalam. Anaknya masih tertidur. Ia lalu keluar dan menutup pintu.
Nyonya Kim menengadahkan tangan pada Nuria. “Kembalikan kalung berlianku seharga lima ratus juta yang asli dan mewah.”
Nuria terkejut. “Aku…aku tidak tahu, Nyonya.”
Nyonya Kim tersenyum meledek. “Kalau begitu anakmu tahu. Panggil dan bangunkan dia!”
“Ja-jangan, Nyonya. Dia sedang tidur dan lelah.”
“Tidur? Lelah?” Nyonya Kim emosi. “Anakku tidak bisa tidur cepat dan tenang setelah kecelakaan akibat anakmu!”
“Maafkan aku, Nyonya…”
“Seumur hidupmu, kau tidak akan bisa menggantikan kalungku.”
Nuria merunduk sedih.
Nyonya Kim memberikan kertas pemeriksaan milik Nuria. Nuria terkejut, bagaimana ini bisa sampai ke tangan Nyonya Kim?
“Kanker paru stadium akhir.” Nyonya Kim melipat tangan. “Kau bahkan tidak punya uang untuk biaya pengobatanmu, kan?”
Nuria membendung air mata.
“Aku menawarkan sebuah kesepakatan untukmu. Aku akan memaafkanmu untuk itu jika kau menyetujuinya.”

Nuria tidak bisa tidur. Ia membelai kepala anaknya sambil melamun. Nyonya Kim juga melakukan hal yang sama, tidak bisa tidur dan melamunkan sesuatu.
Menjelang pagi, Nuria masih belum tidur. Nuria lalu bangkit dan mengemaskan beberapa pakaian di lemari. Nuria menitikkan air mata sambil berkemas.

“Ibu, kita akan kemana?” Tanya Jingga.
“Ke rumah teman lama Ibu. Dia teman baik Ibu.” Nuria menggandeng tangan anaknya sambil berjalan.
“Dia tinggal di Jakarta ini?”
“Iya.”
Jingga memperhatikan sekelilingnya. Sebuah gang sempit dengan banyak kontrakan berjajar. Tidak banyak anak kecil seusianya bermain di sana. Hanya beberapa wanita muda dan paruh baya berpakaian minim di siang hari.
Mereka tiba di sebuah rumah. Wuri, teman baik Nuria menyambut mereka. Selagi Nuria dan Wuri bercakap-cakap, Jingga memandang ke luar jendela.
Jakarta tidak seperti yang dilihatnya di tv. Ternyata ada perkampungan seperti yang kini ia pijaki. Jingga melihat seorang anak laki-laki. Ia sedang bermain siput laut. Jingga tertarik melihat lebih dekat.
“Ibu, apa aku boleh keluar? Di sana ada anak kecil, boleh aku bermain dengannya?” pinta Jingga.
Wuri dan Nuria melihat keluar jendela.
“Ooh…itu Rio, anak temanku. Dia sedikit merepotkan tapi dia lucu. Mungkin dia dua tahun lebih tua dari Jingga.” Kata Wuri.
Nuria tersenyum memberi ijin pada Jingga. Jingga keluar dengan gembira.
“Apa itu?” Tanya Jingga pada anak itu.
“Ng?” Rio melihat Jingga. “Kau anak laki-laki atau perempuan?”
“Heu?” Jingga melihat dirinya. Memakai baju romper dan sepatu berpita. “Perempuan. Apa yang aneh?”
Rio tersenyum. “Harusnya kau pakai jepitan atau pita, supaya terlihat manis seperti anak perempuan.”
Jingga tersenyum. Dengan sekejap mereka langsung akrab.

“Apa? Ibu macam apa kau?” Wuri marah di rumahnya.
“Wuri…kumohon, bantulah aku.” Nuria menangis. “Selama hidupku aku tidak pernah melakukan hal baik pada anakku. Dia terlambat sekolah, tidak memiliki mainan bahkan baju bagus untuk sekedar menyenangkannya. Aku miskin dan bodoh. Dan…penyakitan.”
“Tapi kau tidak boleh menyerah begitu saja. Hidup atau mati memang sudah ditakdirkan, tapi kau harus berusaha.”
“Kumohon, Wuri. Ambilah uang ini dan jagalah anakku seperti anakmu sendiri. Aku hanya akan membebaninya.” Nuria memberikan sebuah amplop coklat penuh berisi uang.
“Tidak.” Wuri menolak. “Kalau kau memilih untuk mengakhiri semuanya, akhirilah dengan caramu. Aku tidak akan memakai uang itu sepeser pun. Aku akan menjaga Jingga seperti anakku sendiri, sebagai ganti anakku yang sudah tiada.”
Nuria tersedu.
“Aku benci pada keputusanmu. Aku akan membalasmu di kemudian hari. Kau akan menyesalinya. Kau akan lihat Jingga menjadi gadis cantik dan pintar. Dengan usahaku sendiri, bahkan yang bukan siapa-siapanya. Tidak dengan uang itu.”
Nuria tersenyum dalam tangis.
“Dia tidak akan sepengecut dirimu. Dia tidak akan sehina dan serendah pelacur seperti aku. Dia akan menjadi anakku. Kau akan menyesalinya!”
“Terima kasih. Terima kasih…”

 Bersambung ke Chapter 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Saya

authorAhlan Wa Sahlan, Saya Dian. Biasa dipanggil Dhie. Selamat datang di blog saya, selamat membaca dan jangan lupa follow. Syukron!.
Learn More →



Teman Blogger Saya